Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

5📌Ta'aruf

بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>•••••<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<

"Satu-satunya jalan yang diridhoi Allah untuk mengenal sosoknya lebih dalam adalah ta'aruf."

~Rahasia Semesta~

Tak ada yang bisa menebak masa depan seperti apa. Kendati manusia berencana, pun tetap Allah yang menjadi penentu atas segalanya. Seperti pada masa lampau, ketika hati dan perasaan masih belum terkontrol. Saat itu dalam pikiran hanya bagaimana cara menyampaikan rasa cinta dan rindu agar tak ada lagi yang membuat dada sesak dengan ribuan partikelnya. Tak jarang mengikuti instruksi setan untuk menembus batasan.

Rencana demi rencana pun sudah terlahir dan tertempel rapi dalam memori kepala. Tentu saja dengan selalu melibatkan Allah adalah salah satu cara untuk mendapat ridho-Nya. Di saat dia percaya bahwa doa dapat mengubah takdir seseorang, maka saat itu juga doa menjadi satu-satunya senjata agar masa depan kelak seperti apa yang telah diharapkannya.

Bismillah ....

Sejak ilmu Allah telah merasuki hati dan kepalanya, kini tiada lagi pesan yang berkicau memberi kabar, tiada lagi percakapan panjang yang membuat keringat dingin, dan tiada lagi kalimat-kalimat penyemangat yang tersemat dipesan singkat. Ketika Rizam telah memutuskan untuk pergi dan mengikhlaskan hati, maka pada saat itu pula dia harus rela kehilangan separuh jiwa dan semangatnya. Tetapi saat dia mengetahui bahwa apa pun yang ditinggalkan karena Allah, maka Dia akan menggantinya dengan yang lebih baik. Rizam hanya bisa berserah dan berpasrah bahwa apa pun yang Allah pilihkan untuknya maka itulah yang terbaik. Namun, setelah menelaah selama dua tahun terakhir ini, ternyata cinta dan rindu ... masih mengarah pada nama yang sama. Nama yang masih setia bertahta dalam hatinya.

Rizam pun percaya bahwa menetapnya nama itu adalah sebuah petunjuk dari Sang Mahacinta. Diiringi salat istikharah di sepertiga malam, insyaa Allah hari ini dia siap memulai langkah baru sesuai syariat yang berlaku. Melalui e-mail,  cv taaruf itu dilayangkan kepada sebuah nama yang kerap menghantui siang dan malamnya.

Beberapa kali lelaki itu mengembuskan napas karena gugup. Apalagi hatinya sudah tak bisa diam menanti jawaban. Di hati kecilnya, dia tetap berharap bahwa perempuan itu masih memegang komitmen mereka. Kendati tidak, Rizam tetap akan menerima ketetapan dari Allah. Bukankah dia telah berusaha? Dan tawakal adalah jalan terakhir sebagai bentuk ketidakberdayaan manusia sebagai hamba.

Tak lama kemudian, layar laptopnya berkedip menandakan sebuah pemberitahuan. Dengan jantung yang berdetak cepatz, Rizam membukanya. Jari-jemari putih itu gemetaran saat hendak menekan nama si pengirim.

"Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabaraktuh. Kabar saya beserta keluarga, alhamdulillah baik. Maasyaa Allah, selama dua tahun lebih kita sama-sama berusaha untuk saling mengikhlaskan karena Allah, akhirnya pesan ini muncul dipemberitahuan. Terima kasih karena sudah bersedia untuk mengenal saya melalui jalan yang insyaa Allah diridhoi-Nya. Berikut ini saya lampirkan cv dengan data yang sebenar-benarnya. Selebihnya, jika masih ada yang ingin antum tanyakan, bisa tanya langsung melalui e-mail ini. Syukron wajazakallahu khairan. Semoga Allah memudahkan dan meridhoi niat baik ini."

Rasa bahagia Rizam berasa ingin pecah. Senyumnya mengembang sempurna. Rona kebahagian terpancar jelas dari wajahnya. Tak ada yang lebih melegakan dari pertanyaan yang mendapatkan jawaban. Apatah lagi dengan balasan yang sesuai harapan. Langkah pertama berjalan sesuai rencana. Semoga setelah ini, semesta terus memberi dukungan atas niat baiknya.

🌷

Di belahan bumi yang sama, seorang perempuan terlihat begitu bahagia. Senyuman indah tak henti terlukis dari wajahnya. Setelah sekian lama penantian yang melelahkan itu, akhirnya tibalah saat di mana dia akan menyambut impian. Rencana memang kadang tak seusai realita. Ada yang berujung bahagia, ada pula yang berakhir tak menyenangkan. Meskipun jalan yang dia tempuh tak sesuai rencana, namun kejutan itu sungguh luar biasa.

"Alhamdulillah, akhirnya ya Allah," pekiknya kegirangan. Dia tak mampu membendung rasa bahagia yang membuncah di dada. Karena terbawa perasaan, sontak dia memeluk erat perempuan berparas gemuk yang ada di hadapannya.

"Terima kasih, Bu. Dena tidak menyangka bisa menyelesaikan skripsi Dena secepat ini. Bahkan target saya masih tersisa dua minggu. Alhamdulillah." Setelah melepaskan pelukan, dia pun mengusap ujung matanya yang berair karena begitu terharu. Dosen pembimbingnya ikut tersenyum melihat kebahagiaan yang terpancar jelas dari wajah anak bimbingannya itu.

"Alhamdulillah. Ini juga berkat kerja keras serta semangatmu yang tak pernah pudar, Na." Untaian kalimat sanjungan keluar dari mulut sang dosen, membuat Dena tak mampu menahan gemuruh rasa haru.

Jika dipikirkan, rasanya mustahil jika tugas akhirnya bisa selesai dalam kurun waktu yang cukup singkat. Apalagi dia sempat mengalami beberapa kendala saat proses penelitian berlangsung. Tetapi, seperti kata sebuah pepatah arab yang amat terkenal, "man jadda wa jadda", siapa yang bersungguh-sungguh maka akan berhasil. Dena telah membuktikan kesungguhannya. Fokusnya yang hanya sekadar skripsi semata. Tak mengapa dia dicap sebagai mahasiswa yang ngebet lulus. Toh, dia hanya tidak ingin mengesampingkan amanah dari orang-orang yang telah berharap besar padanya. Dia juga tak akan siap dengan pertanyaan-pertanyaan seputar, "kapan selesai, Nak?" "Kapan wisuda?" dan kapan-kapan lainnya yang sungguh membuat kepala pening. 

Dena pamit setelah menyelesaikan urusan dengan dosen penasehat akademiknya. Dia tak sabar menyampaikan kabar gembira ini pada ibunya. Senandung kecil pertanda bahagia keluar dari mulutnya mengiringi laju motor. Sesampainya di rumah, Dena langsung mencari Dina.

"Ibu kemana, Dil?" tanyanya saat tak menemukan sosok yang dia cari.

"Entah, sejak Fadhil pulang sekolah, Ibu sudah gak ada di rumah," jawab pemuda remaja itu.

Dengan wajah kusut, dia berlalu menuju kamarnya di lantai dua. Menyimpan tas berisi laptop yang sungguh melelahkan bahu. Sebelum bersalin, Dena menyempatkan diri mengunjungi balkon. Sinar matahari tidak begitu terik hari ini. Angin pun berembus bersahabat. Dena menyukai suasananya. Ketika matanya mengarah ke rumah besar di seberang rumahnya, saat itu juga netranya menangkap raut bahagia dari seseorang yang akhir-akhir ini banyak menyita waktu luangnya.

Dena menyipitkan mata untuk memastikan bahwa orang itu memang benar sedang berbahagia. Seperti sedang menang undian. Bahkan senyumnya tak pernah luntur dari sana.

Perempuan itu mengangkat gawainya, lalu membuka aplikasi Whatsapp. Dicarinya sebuah akun bernama Rizam di kolom pencaharian. Dilihatnya status akun itu aktif satu jam yang lalu. Dena kemudian membukanya. Serentetan percakapan zaman dulu pun bermuculan di sana.

Sudah sangat lama sejak terakhir kali mereka masih sering berkirim pesan, menanyakan kabar, hingga membahas sesuatu yang tak penting demi mengisi kekosongan. Dena menggulir pesan itu hingga atas lalu membacanya ulang. Diam-diam sudut bibirnya tertarik ke samping. Ada rindu yang terselip di sana. Rindu dengan kebiasaan lama yang bahkan telah mereka lupa. Waktu terlalu tega memberi jarak sehingga tak ada lagi celah untuk mereka bersua. Bahkan hanya sekadar sapa, semesta sepertinya sudah enggan memberi restu.

Ah, bodoh banget sih! Ngapain juga aku membuang-buang waktu untuk membaca semua pesan ini. Kurang kerjaan banget.

Dena merasa kesal sendiri karena berhasil dikelabui oleh hati. Dia mematikan gawainya dengan kasar lalu kembali menatap sosok di seberang sana dengan tajam.

Kira-kira apa ya yang membuat cowok cuek itu gak berhenti tersenyum? Apa dia lagi nonton drama romantis? Atau sedang membaca komik lucu?

Ah, bodo ah! Mending tidur aja daripada memikirkan orang yang gak pernah mikirin aku sama sekali.

"Meoongg."

Pintu kamar Dena berderit bersamaan dengan suara merdu si kucing persia yang berjalan dengan anggun ke arahnya.

"Hei, Luki. Majikanku ini dari mana saja, hm?" Perempuan penyuka kucing itu membalikkan tubuh lantas menyambut sang kucing dengan mata berbinar lalu memeluknya dengan sayang. Dia memboyong Luki yang berada dalam pelukan menuju kasur empuknya untuk merebahkan tubuh. Hari ini tenaga dan pikiran begitu banyak terforsir demi pemfinalan skripsi. Istirahat sejenak mungkin bisa mengembalikan kewarasan yang dia miliki. Saat ini pikirannya kembali tersita karena senyum aneh dari tetangganya itu. Tidak ingin menerka dan memupuk rasa penasaran, akhirnya Dena memejamkan mata mencoba untuk terlelap sambil terus mengelus bulu-bulu lembut Luki.

Drrtt, drrtt ...

Bahkan disaat ia ingin berhenti memikirkan dunia, semesta bahkan tidak rela untuk membiarkannya tidur dengan tenang. Matanya yang baru terpejam langsung terbuka saat gawainya itu bergetar. Nama Intan seketika memenuhi layar.

"Halo, assalamu'alaikum. Ada apa, Tan?"

"Wa'alaikumussalam. Dena! Kamu di mana?" Sontak Dena bangkit dari tidurnya dan menjadi tegang saat mendengar suara panik sahabatnya.

"Aku di rumah, Tan. Ada apa?"

"Tolong kamu ke masjid, Na, Ahtar jatuh dari pohon. Aku gak tau mau minta tolong sama siapa, di sini cuma ada anak-anak yang juga gak tahu apa-apa." Suaranya semakin panik dan nyaris menangis. Tanpa ba-bi-bu, Dena langsung mematikan telepon lalu berlari keluar rumah dan segera tancap gas menuju masjid.

Di pelataran masjid, seorang bocah laki-laki sedang terbujur lemah dengan mata terpejam dipangkuan Intan. Beberapa anak yang mengelilinginya menampilkan raut khawatir dan sedih. Tak lama kemudian, suara motor Dena terdengar mendekat. Secepat kilat dia memarkirkannya lalu menghampiri Intan.

"Ahtar mana, Tan?" tanya Dena dengan raut yang sama.

"Cepat antar dia ke rumah sakit, Na. Aku takut terjadi apa-apa sama Ahtar." Mata Intan terlihat berkaca-kaca saat menatap Dena. Perempuan bercadar itu begitu khawatir.

"Oke, kita angkat dan dudukkan ke motor. Kamu bisa duduk laki-laki, kan, Tan?" tanya Dena sedikit ragu.

"Tenang, Na. Aku memakai celana longgar kok. Lagian kita sedang berada disituasi yang genting."

Dena mengangguk lalu naik ke motor dan menyalakannya. Intan ikut naik sambil tetap menahan tubuh Ahtar agar tak jatuh. Mereka berangkat menuju rumah sakit terdekat dengan perasaan yang cemas. Entah mengapa, perjalan terasa begitu lambat disaat situasi urgen.

Seakan perjalanan mereka memang sengaja dipersulit, perempatan yang biasanya bebas dari jangkauan polisi, hari itu jalanan bahkan dipenuhi oleh orang-orang berompi hijau.

Dena memejamkan mata meredam rasa kesal. Dia tak bisa memutar karena arus jalanan hanya satu arah. Selain itu, mereka sudah berada beberapa meter dari polisi. Sepertinya ada razia dadakan.

"Bagaimana ini, Na? Kita mesti buru-buru, aku takut kalau tubuh Ahtar ada yang terluka," ucap Intan dengan suara bergetar. Bagaimana tidak, para polisi itu pasti akan menjadikan mereka sasaran empuk karena tak ada yang memakai helm satu orang pun. Tetapi sungguh sangat keterlaluan jikalau saja mereka tetap akan menilang Dena dalam keadaan genting seperti ini.

"Helm kalian terbang ke mana? Kenapa tidak dipakai?" Jantung keduanya seperti ingin jatuh saat suara itu menyapa. Dena berusaha untuk bersikap tenang walaupun nyalinya juga sudah menciut. Dia ingat pesan sepupunya, "Kalau ingin lolos dari jangkauan polisi, usahakan jangan pasang wajah ketakutan dan ngomong yang tegas jangan gerogi."

"Maaf, Pak. Sebelumnya kami ini buru-buru hendak ke rumah sakit karena adik saya ini habis kecelakaan, jadi kami tidak sempat memakai helm karena panik."

"Mana Adiknya? Beneran gak tuh? Gak bohong?"

"Astagfirullah, Allah yang menjadi saksi atas perkataan kami, Pak. Bagaimana mungkin kami bisa berbohong disaat situasi seperti ini? Kami mohon agar Bapak membiarkan kami melanjutkan perjalanan karena Adik saya ini sudah sangat pucat." Dengan penuh emosional, Intan menatap sang polisi dengan mata berkaca-kaca.

"Bisa saja kan kalian berbohong dan bersandiwara dengan Adik kalian ini untuk mengelabui kami." Dengan nada menyindir polisi itu tampak menatap remeh keduanya. Mencoba abai terhadap alasan-alasan klise dari mulut sang pelanggar ketertiban pengendara sepeda motor.

"Demi Allah, Pak. Silahkan periksa keadaan Adik saya kalau Bapak tidak percaya. Apakah Bapak mau bertanggung jawab jika nyawa Adik saya ini tidak tertolong?" Dena yang sudah tidak tahan dengan sikap polisi itu, akhirnya meledak.

"Kalau memang Bapak masih tidak percaya dengan kami, saya akan menelepon ambulans sekarang juga untuk menjemput kami!" terangnya dengan nada tinggi.

"Baiklah, baiklah. Tidak usah berteriak-teriak seperti itu juga dong. Macam tidak ada akhlak saja," gerutunya dengan raut wajah yang tidak bersahabat. Ia kemudian mempersilahkan Dena melajukan motonya. Seketika itu juga dia tancap gas dengan kekuatan ekstra.

"Aarrgghh ... inginku berkata kasar, Tan!" teriak Dena melampiaskan rasa kesalnya pada sosok bertubuh gemuk dan pendek itu.

"Sabar, Na," ucap Intan sambil menyentuh pundak Dena dengan lembut.

🌷

Gimana nasib Ahtar?😟

To Be Continued ...

____________________________________________________________

Tetap utamakan salat dan Al-qur'an sebagai bacaan utama.

Ambil yang maslahat, buang yang mudarat.

Jangan lupa vote dan komentar untuk membantu author tetap semangat

____________________________________________________________

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro