Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

3📌Rumah Embun

بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>•••••<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<

"Sebaik-baik tempat adalah tempat dimana di dalamnya dibacakan ayat suci Al-Qur'an."

~Rahasia Semesta~

Hari sudah beranjak sore. Seharusnya aktifitas sudah mulai dihentikan, namun hiruk-pikuk dunia masih terus berlanjut. Seakan lupa bahwa sebentar lagi malam akan menyambut. Begitu pula disebuah balai sederhana yang didominasi bambu mengkilap. Tulisan "Rumah Embun" tercetak jelas di bagian depan. Senandung ayat suci Al-Qur'an menggema di setiap sudut balai. Suara khas anak kecil menambah keriuhan sore itu. Suara yang mampu membangkitkan rasa semangat untuk mengikuti irama.

Di tengah kesibukan Dena sebagai mahasiswa tingkat akhir, tidak lantas membuatnya abai pada hal-hal yang menyangkut urusan ukhrawi. Dia selalu berusaha menyempatkan diri untuk hadir di taman-taman Surga atau ikut menghidupi taman-taman Surga tersebut. Perempuan itu telah menyadari hakikat hidup yang sebenarnya. Bahwa akhirat adalah tujuan utama. Adapun dunia dan segala perangkatnya hanyalah ujian belaka. Semua bentuk akitifitas dan pekerjaan impian tak lebih sekadar sarana memperbanyak pahala. Tempat menanam amal yang bisa menghantarkan diri ke Surga-Nya.

"Shadaqallahul adziim." Tadarrus berakhir pertanda pembelajaran akan segera dimulai.

"Baiklah adik-adik, seperti biasa sebelum kita belajar, Kakak akan menceritakan sebuah kisah. Dengar baik-baik ya, nanti Kakak bakal tanya-tanya lagi." Anak-anak yang rata-rata berusia tujuh sampai sembilan tahun itu mengangguk serentak. Jika dihitung, mungkin ada sekitar dua belas anak yang hadir di balai tersebut.

"Pada suatu hari dizaman Rasulullah, ada seorang laki-laki miskin membawa semangkuk buah anggur sebagai hadiah yang diberikan kepada Nabi. Dengan penuh semangat lelaki itu memberikan buah anggur yang dibawanya kepada Nabi seraya berkata, 'Wahai Rasulullah, terimalah hadiah kecil ini dariku'. Wajahnya berseri-seri penuh rasa bahagia menandakan bahwa dia sangat mencintai Nabi. Nabi pun mengucapkan terima kasih lalu mengambilnya satu buah dan memakannya. Para sahabat yang menatapnya penuh harap menjadi kebingungan saat melihat Nabi tak membagikan buah anggur tersebut."

"Setelah orang miskin itu pergi dengan amat senang, sahabat kembali bertanya-tanya mengapa Nabi tidak membagikan sama sekali anggur itu kepada mereka dan hanya memakannya seorang diri. Biasanya beliau akan memakan buah pertama untuk menghormati sang pemberi, namun kali ini hingga buah anggur itu habis, tak pernah sekalipun Nabi menawarkan kepada siapa pun. Karena merasa penasaran, seorang sahabat pun memberanikan diri untuk bertanya, 'Wahai Rasulullah! Mengapa kau makam semua buah anggur itu sendirian dan sama sekali tidak menawarkan untuk salah satu dari kami?"

"Mendengar pertanyaan itu Nabi justru tersenyum lalu berkata, 'Aku memakan semua buah anggur itu karena rasanya masam. Jika aku menawarkannya kepada kalian, aku khawatir jika kalian memakannya, wajah kalian akan menampakkan ekspresi tidak suka dan aku takut hal itu akan menyakiti perasaannya. Jadi kupikir, lebih baik aku memakan semua buah anggur itu dan menyenangkan si pemberi. Aku tidak ingin menyakiti perasaan orang miskin itu."

Mata Dena tak berkedip sedikit pun. Dia begitu fokus menatap Intan dan ikut terhanyut dengan kisah yang diceritakannya. Jika melihat sahabatnya itu, rasanya Dena seperti berada di seberang sungai. Terbentang jarak yang cukup jauh dari sahabatnya tersebut. Berbeda dengan Intan yang tampak menguasai beberapa hal yang berbau islam, Dena tak lebih hanyalah perempuan biasa yang baru saja mengenal kata hijrah dan memulai misi barunya untuk menjadi wanita salihah. Namun semua tak semudah yang dipikirkannnya, karena nyatanya dia begitu sulit menghilangkan kebiasaan lama.

“Baiklah, Adik-adik … yang bisa menyimpulkan kisah yang Kakak bawakan tadi, dapat hadiah ini,” lanjutnya dengan wajah ceria sambil menampilkan sebuah gantungan kunci berbetuk ka’bah yang imut. Tentu saja anak-anak menyambutnya antusias dan berlomba-lomba untuk menyampaikan isi kepala yang telah mereka tangkap. Setelah mendengar beberapa kalimat yang keluar dari mulut berani seorang anak, Intan pun menyerahkan ganci itu sesuai janjinya.

“Benar sekali apa yang dikatakan Nabila dan sungguh luar biasa sifat Rasulullah terhadap para sahabat. Meskipun hanya karena alasan sederhana, namun itu semua cukup membuktikan bahwa Rasulullah sangat mencintai sahabat-sahabatnya dan selalu memuliakan orang lain ….”

“Baik, kita lanjut kegiatan kita hari ini. Ayo bergegas ke ustazahnya masing-masing,” imbuh Intan menginstruksikan anak-anak.

Rumah embun berdiri sekitar lima bulan yang lalu. Awalnya tempat tersebut hanya balai biasa yang kerap dijadikan tempat tongkrongan oleh jamaah masjid Babul Jannah. Kemudian, atas permintaan Intan tempo hari yang tiba-tiba mencetuskan ide itu, akhirnya berhasil terlaksana. Mengingat masjid yang lebih pantas disebut musala itu tidak memiliki taman pendidikan Al-Qur’an dan cenderung pasif di mata warga. Oleh karena itu, suatu hari Intan yang notabenenya tetangga Dena pun mengajak perempuan itu untuk menghidupkan masjid dan mengembalikan warnanya. Akhirnya, usahanya tidak sia-sia, karena beberapa bulan kemudian masjid tersebut berangsur-angsur pulih dan kembali aktif. Setidaknya, meskipun kecil namun jika suasananya positif pasti akan memberi dampak positif pula terhadap jamaahnya. Semakin rajin salat atau ikut pengajian, misalnya.

"Ahtar kemarin berenti di halaman berapa?" Dena membuka lembar demi lembar buku iqra salah satu anak yang kehilangan bacaannya.

"Ahtar lupa ustajah," ucap Ahtar dengan nada yang menggelitik telinga Dena. Jika Intan lebih menyukai dipanggil Kakak dari pada ustazah, lain halnya dengan Dena yang lebih memilih dipanggil ustazah.

"Julukan juga kan merupakan doa. Siapa tau suatu hari nanti aku beneran jadi ustazah, aamiin," ucapnya tempo hari saat dia menanyakan alasan Intan tidak ingin dipanggil ustazah.

Tanpa sengaja, Dena mengangkat kepala lalu menatap ke depan. Saat itu juga, pupil legamnya bersirobok dengan pupil lain dengan warna yang senada. Jantung Dena seketika berdentum kuat mendapati pemilik mata itu tengah memperhatikannya. Sejak perkenalan Dena beserta keluarga besar Rizam beberapa hari yang lalu, perempuan itu menjadi semakin salah tingkah ketika melihat maupun berpapasan dengan sang tetangga. Entah karena alasan apa, hanya saja dia merasa terlalu geer jika melihat lelaki itu lalu membayangkan jika suatu hari nanti Rizam akan bertamu ke rumahnya beserta keluarga.

"Ustajah!" tegur Ahtar dengan wajah cemberut. Pasalnya dia sudah memanggil ustazahnya itu lebih dari satu kali namun tidak direspons sama sekali.

"Eh ... i-iya, Tar. Ada apa?" Dena tersadar dari lamunan dan langsung memperbaiki mimik wajahnya agar tak disangka sedang melamun.

"Ahtar baca halaman berapa?" tanyanya masih dengan wajah cemberut.

"Emm ... ini saja." Dena membuka halaman iqra' lalu menunjuknya dengan asal-asalan.

"Ini iqra' lima ustajah. Ahtar kan masih iqra' tiga," ucap Ahtar memandang Dena dengan tatapan bingung.

"Eh ... salah ya, aduh maaf ya, Tar. Ya udah deh, ustajah kembali ke iqra' tiga, ya." Dena mengambil alih buku iqra' Ahtar lalu mencari letak bacaan bocah itu.

"Kenapa sih, Na?" Intan menyikut Dena menyakan kejanggalan sikap sahabatnya. Sehebat apapun Dena menyembunyikannya, tetap akan terbaca dengan jelas oleh kedua mata Intan.

"Hufftt ... lemah banget hatiku ya Allah," keluhnya lalu menyandarkan punggung di dinding balai.

"Ada apa?" Intan tetap bertanya walaupun matanya sibuk mengamati bacaan muridnya.

"Enggak ada apa-apa, Tan .... Sini Tar, nah baca yang ini, ya," ucapnya seraya mengangsurkan buku itu kepada pemiliknya untuk dibaca.

🌷

Ketika corong masjid telah mengeluarkan suara tadarrus pertanda sebentar lagi memasuki waktu Magrib, saat itu juga kegiatan di Rumah Embun diberhentikan. Bergegas menyambut waktu salat dengan berwudu. Anak-anak begitu antusias saat meninggalkan balai menuju masjid. Demi mencapai tempat wudu saja mereka seheboh itu untuk berlomba-lomba. Para ustazah pun hanya tersenyum melihat tingkah khas mereka.

Degupan jantung Dena bertambah cepat seiring langkahnya yang semakin mendekati Rizam. Lelaki itu tampak mengedarkan pandangannya menikmati suguhan alami di halaman masjid yang tanaman liarnya sengaja dibiarkan tumbuh agar sifat alaminya tetap terjaga.

Dena menerbitkan senyuman tatkala mata Rizam mengarah padanya. Rasa bahagia kini bertambah saat lelaki itu membalas dengan senyum serupa. Dua tahun telah berlalu sejak sifat lelaki itu padanya masih sering spontan. Mengacak kepala Dena serta menyentil dahinya ketika gemas, menjadi hal yang paling gadis itu rindukan. Sekarang ... Rizamnya sudah berubah total dan seakan memberi jarak. Ada sekat yang tak terlihat dan tidak bisa mereka dobrak sebelum ada ikatan halal.

"Dena?" Langkah perempuan terhenti dan merasakan seluruh tubuhnya menegang saat mendengar suara itu memanggil namanya.

"Iya, A?" Dena berbalik lalu tersenyum kikuk.

"Boleh ngobrol sebentar?"

Ngobrol? A Rizam ngajak ngobrol? Ya Allah mimpi apa aku semalam sehingga keajaiban ini datang. Lama-lama juga gak apa-apa kok, A. Eh jangan deng ... entar aku malah tambah gerogi.

"Temenin aku ya, Tan," pintanya sambil berbisik di telinga Intan.

"Aku pantau dari jauh aja ya, Na," lirih Intan yang dibalas anggukan oleh Dena. Setelah memastikan sahabatnya berada tidak jauh dari keberadaan Dena dan Rizam, perempuan itu pun menghampiri Rizam dan duduk beberapa meter di sebelahnya.

"Mau ngobrolin apa, A?" Sebenarnya Dena mati-matian menahan rasa gugup, namun dia harus memastikan dirinya untuk tetap bersikap netral.

"Hmm ... sejak kepergian saya dua tahun yang lalu sepertinya sudah banyak yang berubah, ya? Balai kecil itu, masjid yang lebih berwarna dan ramai, juga tentunya kamu yang terlihat semakin dewasa." Dena tertegun mendengar pengakuan Rizam yang menilainya terlihat lebih dewasa. Dua tahun yang lalu sifat Dena memang masih terlalu kekanak-kanakan dan manja, kadangkala dia bertingkah konyol di hadapan Rizam hanya untuk menarik perhatian pria itu, namun semua hanya ditanggapi biasa oleh Rizam. Tidak ada yang lebih di antara mereka berdua, padahal Dena sudah menyimpan perasaanya begitu apik dengan harapan suatu saat nanti Rizam akan menyadari dan membalasnya. Namun hingga dua tahun kemudian pun semua masih tetap sama, tak ada kata spesial selain tetangga yang pernah dekat meski hanya sekadar adik kakak.

"Iya, A. Alhamdulillah." Dena tak tahu harus membalas apa. Seperti biasa, kosakatanya selalu menipis jika berhadapan dengan lelaki itu.

"Gimana caranya hingga balai ini bisa menjadi TPA?"

Suara dari Syeikh Mishary Rashid Alafasy yang menggaungkan surah Taha telah berganti menjadi salawat tarhim yang mendamaikan jiwa. Rona jingga semakin memudar di ufuk barat pertanda malam segera bertandang. Jalanan pun yang sebelumnya ramai kini berangsur-angsur sepi.

"Semua bermula dari ide spontan Intan, A. Saat itu dia merasa sangat terdorong untuk menghidupkan masjid yang seperti tak terawat. Jamaah sedikit, bangunan kurang terurus, dan aktifitas internalnya pun sangat pasif. Jadi, Intan mengajakku bersama-sama untuk mewarnai rumah Allah ini kembali. Salah satunya adalah Rumah Embun ini. Alhamdulillah, semakin lama masjid ini berangsur-angsur pulih dan aktifitasnya pun kembali masif." Dena mengakiri ceritanya dengan embusan napas lega dari hidung. Dia kembali teringat kejadian di mana dirinya hampir menyerah karena Pak RT tidak mendukung gerakan mereka. Namun jika melihat hasilnya sekarang, Dena begitu bersyukur memiliki sahabat seperti Intan yang penuh rasa sabar demi mewujudkan taman-taman Surga. Jika tidak ada Intan, mungkin masjid ini akan tetap suram dan tak terurus seperti biasa.

"Maasyaa Allah, Kompleks Inari begitu beruntung memiliki penghuni-penghuni yang luar biasa seperti kalian berdua," sanjung Rizam membuat Dena tersipu.

"Ah, Aa bisa aja."

Allahu akbar, allahu akbar ....

Azan telah berkumandang dan menggema di langit petang. Balasan serupa terucap lirih di bibir keduanya. Kalimat agung telah bergema, pertanda panggilan Allah segera tiba. Sepasang muda-muda itu pun beranjak untuk menuju suaru yang mulia. Bersiap untuk menghadap Sang Pencipta dengan sikap penghambaan sepenuhnya.

"Sudah azan, Aa duluan, ya. Assalamu'alaikum. Jangan lupa gemakan doa terbaikmu disujud terakhir."

"Eh ... wa-wa'alaikumussalam."

Kode macam apa pula itu?

Tatapan Dena menajam menyaksikan kepergian Rizam yang superkilat setelah mengucapkan kalimat tersebut. Apakah dia tahu jika efek dari ucapannya itu sangat berimbas besar pada hatinya yang lemah?

Oh Allah, jangan biarkan hati ini semakin nakal.

A Rizam, ada aamiin yang paling serius mengarah padamu.

🌷

To Be Contineud ...

____________________________________________________________
Tetap utamakan salat dan Al-qur'an sebagai bacaan utama.

Ambil yang maslahat, buang yang mudarat.

Jangan lupa vote dan komentar untuk membantu author tetap semangat😊

____________________________________________________________

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro