Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

2📌Tentang Harapan

بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>•••••<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<

"Berharap kepada manusia adalah bentuk patah hati yang paling disengaja."

~Rahasia Semesta~

Sebagai mahasiswa tingkat akhir, tentu saja skripsi adalah prioritas utama dari segala kegiatan yang semakin membuyarkan konsentrasi. Kampus, perpustakaan, dan rumah pembimbing adalah tiga hal yang tak bisa dipisahkan. Konsultasi dan revisi bagaikan ritus yang harus selalu dilakukan. Waktu tidur menipis, namun bergadang semakin sering. Makan alakadarnya, itu pun karena sang ibu tak lelah untuk selalu mengingatkan. Itulah beberapa kesibukan yang digeluti Dena Humaira di dalam garis edarnya sebagai mahasiswi dipenghujung senja.

Hari libur yang diisi joging ringan kemarin sungguh merupakan suatu kesempatan emas baginya. Hari-hari yang dilaluinya cukup berat. Sebagai calon chef yang berkualitas, menuntut Dena untuk selalu tampil perfect. Apa pun yang dia lakukan harus benar-benar sudah lengkap,  sempurna, dan tanpa cela. Dena tak suka hujatan dan sorotan remeh dari khalayak. Sebut saja bahwa dia adalah sosok yang selalu mengidamkan pujian dan tepuk tangan gempita. Hal ini tentu saja membuat Dena harus berusaha lebih keras dan berat agar semua pencapaian itu sesuai keinginan dengan hasil yang memuaskan.

Tujuan kaki Dena saat ini adalah kelas 305. Tempat yang menyimpan berbagai genre cerita. Tawa, canda, haru, dan sebagainya telah menyatu di sana. Membuatnya selalu rindu suasana yang luar biasa itu. Tugas akhir benar-benar telah menyita banyak waktu dan kebersamaan mereka. Semua sibuk mempersiapkan diri demi waktu dua jam di ruang sidang nanti.

"Assalamu'alaikum," sapanya lengkap dengan senyuman dari bibirnya yang merona.

"Wa'alaikumussalam, eh si miss perfect udah tiba nih," balas sebuah suara menyambut kedatangan Dena. Gadis itu duduk persis di sebelahnya. Berkumpul bersama geng kecilnya yang terdiri dari lima perempuan dengan kepribadian yang berbeda-beda.

"Skripsi udah kelar belum?" tanya seorang perempuan dengan jilbab besar membalut kepalanya.

"Kelar apanya, penelitiannya aja belum beres" balasnya tampak jenuh. Melakukan penelitian sebulan ini membuat semangatnya banyak terkuras.

"Kamu sih, udah dibilangin uji organoleptiknya di rumah masing-masing, eh malah ngotot mau di kampus. Hei, jaman pandemi gini dimana mau dapat panelis yang stay kampus coba?" celetuk Yumna heran dengan sifat keras kepala temannya itu.

"Kalau di rumah masing-masing kurang efektif, Sayang. Siapa yang mau mengontrol atau mengintruksi mereka? Masa iya didatangi satu-satu, nguras tenaga banget. Hih, mending juga di kampus, penilaian lebih akurat dan kita bisa melihat kejujuran mereka," balas Dena.

"Iya deh, iyaa. Miss perfect mah gitu, apa-apa harus sempurna, gak boleh sedikitpun ada yang tidak akurat," ucap Yumna ingin menyerah dari perdebatan.

"Haha iya, dong. Meskipun harus terlambat sidang yang penting isi skripsi harus benar-benar PERFECT. Ya kali, dapat serangan kata dari penguji. Amit-amit ya Allah, semoga enggak" Dena berujar sambil mengetukkan tangan ke kepala lalu ke meja sebanyak tiga kali. Berharap ucapannya tak menjadi kenyataan.

"Pokoknya harus selesai tepat waktu dan tentunya dengan hasil yang sempurna," tekadnya.

"Iya, iya. Apalah daya kami ini, boro-boro sempurna, typo aja masih bertebaran. Tanda baca pun masih banyak yang salah penempatan. Walhasil revisi pun selalu didapatkan," ucap Maisa dramatis.

"Makanya mari kita bersama-sama hidupkan budaya literasi!" cetus Dena sambil mengacungkan tangannya.

"Hiyaakkk ... hidup literasi!" Yumna dan ketiga temannya yang lain ikut menyorakkan semangat berliterasi di antara mereka.

"Eh, out of topic dulu, yuk," celetuk Dena menyingkirkan laptopnya. Membuat pasang mata berfokus padanya dengan mimik penasaran.

"Kemarin tuh aku seneeeeng, banget," kisahnya dengan antusias.

"Hmm ... Aku mencium bau love love di udara, nih," selidik Rara.

"Dengerin dulu ih. Jadi, kemarin itu seseorang yang sudah lama kutunggu-tunggu kedatangannya akhirnya pulang, weh. Jadi terharu," ucap Dena sambil pura-pura menyeka ujung matanya.

"Iihhh, ikut terharu." Maisa yang paling mudah tersentuh hatinya ternyata serius terharu ditandai dengan mata yang berkaca-kaca lalu disambut tawa oleh teman-temannya.

"Baper banget, astaga." Diva menoyor pelan kepala Maisa.

"Terus, Na. Gimana lanjutan ceritanya?" Yumna yang peka dengan mimik cemberut Dena pun langsung bersuara.

"Udah itu aja. Intinya aku senang dia kembali, hehe."

"Yaahhh." Penonton kecewa karena ending tak seperti yang mereka harapkan.

Setelah pertemuan sederhana siang itu, Dena melanjutkan langkahnya menuju rumah sang dosen untuk konsultasi sekaligus bimbingan penelitiannya yang masih tertunda. Bersama Diva dia menyusuri jalan dengan motornya. Kebetulan keduanya memiliki dosen pembimbing yang sama. Cukup banyak yang mereka bicarakan. Hingga waktu menunjukkan pukul tiga, Dena dan Diva pamit pulang.

Matahari masih berpijar dengan kuat saat mata Dena menangkap keramaian di dekat rumahnya. Tidak biasanya rumah itu mengadakan acara besar-besaran hingga mengundang banyak orang. Hatinya pun bertanya-tanya, acara apakah itu?

Motor kesayangannya diparkir di halaman lalu berjalan menuju pintu yang tak terkunci. Dahinya berkerut saat ibunya keluar dengan penampilan yang oke.

"Ibu, mau ke rumah A Rizam?" tanyanya.

"Hm," gumam ibunya sambil mencari sendal nyentriknya.

"Ada acara apa sih, Bu?"

"Ikut Ibu, yuk. Sibuk, gak?" Alih-alih menjawab, Dina justru mengajaknya ke acara tersebut.

"Mm ... enggak juga, Dena cuma mau membaca beberapa buku, tapi itu bisa dilakukan nanti malam," jawabnya sedikit ragu.

"Bagus. Kalau gitu kita ke depan, ya. Masa tetangga dekatnya gak datang. Sekalian bantu memasak kan, ya. Hitung-hitung mengunjuk kemampuan masakmu itu."

"Ah, Ibu bisa aja. Ya udah, Dena mau naruh tas dulu." Ibu menangguk lalu duduk di teras menunggunya.

Setelah menyimpan barang bawaannya serta memperbaiki sedikit riasan di wajah, Dena pun siap untuk menghadirkan diri di rumah sang pujaan. Meskipun agak gugup, tapi dia harus bisa mengontrol dirinya agar tidak lagi dipermalukan oleh sang hati.

Perasaan Dena mulai tidak enak saat melangkah masuk melewati pintu lebar. Rumah besar itu tampak memukau dengan sentuhan gaya modern. Meskipun mereka adalah tetangga, tetapi Dena sama sekali belum pernah memasuki rumah itu.

"Assalamu'alaikum," sapa keduanya.

"Wa'alaikumussalam. Mari masuk," balas penghuni rumah yang stand by di ruang tamu. Dena seketika mematung saat melihat ibunya cipika-cipiki bersama Laila hingga mengabaikan dirinya.

"Ini Dena ya, Bu?" tanya ibu Rama seraya menghampiri Dena yang tersenyum canggung.

"Iya, Bu. Anak ini sibuk melulu dengan urusan kampusnya jadi jarang banget nongol di sini," cerocos ibunya membuat Dena jadi malu.

"Sini, Nak, kita kenalan dulu biar lebih dekat," ajaknya sambil menarik tangan Dena lembut menuju sofa.

Dekat? Dekat seperti apa? Tetangga kah atau ... calon menantu? Aahhh ....

Dena memejamkan mata meredam pikiran liar yang mulai bermunculan. Perempuan itu selalu sensitif jika ada bahasan yang berbau perasaan. Eh, atau hanya dirinya yang menyimpulkan demikian? Ah, sungguh lemah hati perempuan itu.

"Ah, Bu Laila, padahal saya sudah menyuruh Dena ini beraksi di dapur," ucap Dina sambil memamerkan gigi-gigi putihnya.

Isshh, Ibu ini memang hobinya merusak suasana, uh. Dena menggerutu dalam hati.

"Wah, masa anak secantik Dena ini tempatnya di dapur. Biarkan di sini saja ya, Bu Dina." Dena hanya pasrah ditarik ulur oleh dua wanita paruh baya di hadapannya itu.

"Hehe, baiklah Bu Laila. Saya pamit ke dalam dulu ya, Bu mau bantu ibu-ibu yang lain," pamitnya.

"Iya, Bu Dina. Terima kasih ya sudah mau menyempatkan diri membantu kami," ujar Laila sungkan.

🌷

Sepeninggal ibunya, Dena begitu gerogi saat ini. Selain Laila, juga terdapat Aryo, Rizam, dan Naisha yang duduk di hadapannya. Suasana canggung ini membuat perutnya terasa mulas. Acara mendadak ini, kehadirannya di tengah keluarga besar Rizam, dan kata "dekat" yang dilontarkan Laila semakin membuatnya salah paham.

Apa arti dari semua kebetulan ini ya Robb? jeritnya dalam hati.

"Nak Dena panggil saya Umi saja ya, biar kesannya lebih akrab."

Akrab? Dari dekat menjadi akrab. Kenapa pembahasan ini semakin intim ya Robb. Hamba tak mau terbang secepat ini.

"I-iya, Umi," ucapnya begitu canggung. Laila tersenyum memaklumi.

"Ah iya, tadi Ibumu bilang sangat sibuk dengan urusan kampus, memangnya Dena kuliah di mana?" tanya Laila antusias.

"Eh, i-itu ... saya kuliah di UPI, Tante ... eh Umi." Dena menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Sedangkan di seberang, seseorang justru tersenyum geli menatap tingkahnya yang begitu jelas terlihat gugup.

"Maasyaa Allah, anak UPI ya ternyata," celetuk Rizam dengan tatapan kagumnya.

"Wah UPI itu kampus impian Naisha, Umi. Kakak jurusan apa? Semester berapa?" Gadis belia di samping Rizam itu memberondonginya dengan pertanyaan.

"Satu-satu dong nanyanya, Ca," protes Laila mewakili perasaan Dena.

"Hehe tidak apa-apa, Umi. Saya ambil jurusan Tata Boga dan saat ini sudah semester akhir," jawab Dena sopan.

"Waah berarti pintar masak dong," imbuh Aryo ikut bersuara.

"Dena masih belajar, Om." Dena tersenyum malu saat mengakui itu.

"Duuhh pengin deh punya menantu yang pinter masak."

Degh

Dena bisa merasakan jantungnya yang berhenti berdetak saat kalimat itu meluncur tanpa beban dari mulut Laila. Wajahnya terasa panas dan perutnya semakin mulas.

Ya Robb jangan buat hati ini semakin geer.

"Oh ya, Umi. Ada acara apa sih hari ini? Kok ramai banget?" Setelah berhasil menguasai diri, Dena menetralkan air mukanya lalu menanyakan hal yang dari tadi mengganjal pikiran.

"Ohh, ini, Na. Umi mau mengadakan tasyakuran atas kembalinya Rizam, sekaligus ingin membahas perihal i'tikad baik katanya," jawabnya kini dengan wajah yang serius.

I'tikad baik? Apakah ... ?

"Maasyaa Allah, siapa perempuan beruntung itu, Mi?" Dena bertanya dengan wajah takjub. Jika boleh berharap, dia sangat berharap jika Laila mengatakan bahwa perempuan beruntung itu adalah dirinya.

"Bisa jadi kamu atau ... orang lain," jedanya, sambil tersenyum tanpa tahu jika saat ini tubuh Dena dilanda panas dingin yang hebat. "Umi juga belum tahu siapa perempuan yang Rizam maksud," lanjut Laila membuat perasaan Dena tidak keruan. Detakan keras di dadanya semakin menjadi-jadi. Ujung matanya melirik Rizam yang sedang mengulum senyum penuh arti.

Ya robb, jika ini adalah anugerah maka hamba akan mengucap beribu-ribu kalimat syukur kepada-Mu. Namun jika ini adalah ujian, maka satu-satunya tempat kembaliku hanyalah kepada-Mu.

🌷

To be continued ...

____________________________________________________________

Tetap utamakan salat dan Al-qur'an sebagai bacaan utama.

Ambil yang maslahat, buang yang mudarat.

Jangan lupa vote dan komentar untuk membantu author tetap semangat😉
____________________________________________________________

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro