1📌 Makhluk Pecicilan
بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
Tetap utamakan salat dan Al-qur'an sebagai bacaan utama.
Ambil yang maslahat, buang yang mudarat.
Jangan lupa vote dan komentar untuk membantu author tetap semangat😉
__Selamat membaca__
>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>•••••<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<
Di dalam tubuh seseorang, ada makhluk kecil yang bernama hati. Kerap menjadi petunjuk, tak jarang pula menjadi pengacau.
~Rahasia Semesta~
"Fadiilll ... tungguin!" Pekikan seorang gadis terdengar melengking turut mewarnai jalanan lengang yang bermandikan cahaya mentari pagi. Dengan napas tersengal-sengal, dia terus berusaha menyamakan langkahnya dengan Fadil yang berjarak cukup jauh darinya. Wajahnya terlihat pucat akibat kelelahan. Berlari mengelilingi area perumahan bukanlah hal yang mudah. Apalagi bagi seorang perempuan yang notabenenya tak pernah menyukai hal-hal yang berbau olahraga. Keringat mengucur deras membasahi jilbab yang menempel di pelipis. Kakinya mulai gemetaran. Tak kuat lagi untuk melewati satu putaran terakhir.
"Fad ..."
Brukk
Suara Dena menggantung di udara saat merasakan tubuhnya menubruk seseorang. Teriakan itu seketika teredam berganti rasa malu yang luar biasa ketika matanya menangkap sosok yang menjulang dengan tegap di hadapannya. Pupilnya yang kecil seketika melebar, pun air mukanya yang lelah seakan ambyar ketika bersitatap dengan pemiliki wajah tersebut. Ia yang awalnya tersengal-sengal hanya bisa mengatupkan mulut sambil menahan napas.
Dia?
"A Rizam?!" Pekiknya tidak percaya. Si lelaki hanya membalas dengan senyum manis yang mampu membuat Dena meleleh saat itu juga. Dena meneguk saliva dengan susah payah, merasa kehausan dalam waktu yang bersamaan. Senyum itu terlalu kuat menarik pasokan oksigen sehingga membuat Dena kesulitan untuk bernapas.
"Assalamu'alaikum, Dena. Apa kabar?" Kaki Dena yang gemetar mendadak mati rasa saat mendapat sapaan itu. Setelah sekian lama, suara itu kini bisa dia dengar kembali.
Oh Allah, jika ini mimpi, tolong jangan bangunkan aku!
"Wa-walaikumussalam, A." Mata Dena menelusuri seluruh tubuh pria itu. Mulai dari kepalanya yang tersemat topi pet berwarna hitam, lalu ke pundak dengan setrip pangkat yang berbaris empat. Beralih ke bagian depan dengan lencana kebanggaan serta gambar burung garuda yang tertempel erat di seragamnya. Dena mendongak, masih mendapati senyuman itu. Dia kembali menelan air liur yang hampir menetes saking terpananya.
"Aa sudah kembali?" Dena bertanya dengan bodoh. Gadis itu mendadak kehabisan kosakata dan Rama hanya mengangguk.
"Kapan?" Lagi, Dena sungguh terlihat bodoh saat ini. Bertanya dengan wajah melongo, masih tidak percaya dengan kehadiran makhluk di hadapannya tersebut.
"Baru saja, Na. Aa kebetulan ambil cuti. Ada yang mesti Aa urus di rumah," jawabnya lancar. Namun Dena masih saja mematung merasakan bagian kecil di dalam tubuhnya mulai berulah.
"Lagi jogging, ya?" Tanyanya saat memperhatikan pakaian Dena.
"Eh, i-iya, A." Gadis itu akhirnya tersadar dan mulai menunduk saat merasakan semburat malu yang menjalari kedua pipinya.
"Sama siapa? Sendiri?"
"Sama Fadhil, A." Dena berusaha menatap lawan bicaranya, namun yang dia temukan hanyalah hawa panas di sekitar wajah dan jantungnya yang berdentum hebat. Ini bukan seperti bukan dirinya, sesuatu di dalam sana mendorongnya untuk melakukan sesuatu di luar akal sehatnya. Dena mendadak mati gaya dihadapan pria tinggi nan penuh pesona itu.
"Oh, Fadhil? Sudah kelas berapa dia, ya?"
"Masih kelas tiga SMP, A."
"Mm ... Kalau begitu, Aa duluan ya, Na. Nanti Abah sama Bunda menunggu lama. Salam sama Tante Dina," pamit Rama diiringi senyumnya yang khas. Jantung Dena seperti jatuh ke perut saat senyum itu terbit menembus matanya.
Wahai hati jangan membuatku malu di hadapan makhluk ini.
🌷
"Ibu ... Ibu ...." Dena memasuki rumah dengan tergesa-gesa. Jantungnya masih berdetak ria di dalam dada. Lelahnya hilang seketika saat netra hitamnya menangkap sosok Rama kembali di kehidupannya. Perempuan itu mencari sang ibu dimana-mana. Di dapur, di sanalah ibunya berada.
"Ibu ..." Wanita paruh baya itu terkejut melihat kemunculan Dena seperti orang kesetanan. Terlihat tak sabaran dengan wajah yang masih menyisakan rona merah.
"Astagfirullah, ada apa sih, Na?"
Dena mengatur napasnya setelah berlari-lari memasuki rumah, membuat ibunya keheranan.
"Aa, Bu."
"Duduk dulu," titah Dina, kemudian mengambil segelas air mineral lalu diangsurkan ke depan Dena. "Minum dulu, Na. Ada apa sih? Kok buru-buru gitu?"
Dena menerima pemberian dari ibunya dan meneguk air itu pelan. "Aa Rizam, Bu," ucapnya sembari meletakkan gelas di atas meja.
"Rizam kenapa?"
"A Rizam sudah pulang, Bu," jelasnya setelah berhasil menenangkan diri. Dina menghela napas, mengira bahwa berita yang dibawa Dena terdengar buruk. Namun ternyata diluar dugaan.
"Subhanallah, Ibu kira terjadi sesuatu dengan Rizam." Lalu Dena hanya bisa menyengir karena telah membuat ibunya khawatir.
"Assalamu'alaikum." Sapaan salam melengking dari depan lalu sosok itu mendekat ke arah dapur menemukan dua perempuan yang terlibat percakapan dengan mimik wajah serius.
"Wa'alaikumussalam," jawab Dina dan Dena serempak.
"Kirain Teteh kenapa-kenapa di belakang Fadhil, jadi Fadhil coba susulin Teteh tapi gak nemu-nemu. Eh, ternyata yang dicariin sudah duduk manis di sini," sindir pemuda tersebut sambil berlalu dan membuka kulkas. Dena mengatupkan mulutnya lalu tertawa cekikikan.
"Salah sendiri jadi adik budeg. Rasain tuh!" sambar Dena dengan mengucapkan kalimat terakhir dengan suara besar di telinga Fadhil. Adik kecilnya itu sukses berjengit dan nyaris tersedak minuman saat Dena buru-buru berlari sambil tertawa jahat meninggalkan Fadhil yang mukanya memerah menahan kesal. Dina hanya bisa menggelengkan kepala melihat pemandangan itu. Pemandangan dimana Dena masih seperti anak SMP diusianya yang sudah menginjak 23.
Di dalam kamar bercat hijau muda tersebut, seorang perempuan tengah bercakap dengan hebohnya bersama lawan bicaranya di seberang telepon. Meluahkan isi hati yang baru saja diperciki aroma bunga kebahagiaan. Wajahnya merekah indah bagaikan lebah yang baru saja mengisap nektar.
"Aduh, Tan. Kamu gak tau aja gimana malunya aku pas yang kutabrak itu ternyata A Rizam."
"Ini fakta, Tan. Ya Allah, aku harus ketemu kamu, Tan. Biar kamu lihat gimana wajah aku sekarang. Bahkan nih ya, tanganku tuh masih gemetaran, jantungku masih menggila, dan aarrghh..." Dena seperti orang gila karena tidak tahu bagaimana cara mengungkap perasaannya setelah bertemu Rizam beberapa menit yang lalu. Sepertinya semua rasa malu, bahagia, dan gugup masih melekat erat di hatinya. Membuat gadis itu tak kuasa menahan euforia hati.
"Aku gak berlebihan, Tan. Ini serius."
"Iya, iya, aku tahu." Tiba-tiba wajah Dena berubah cemberut saat mendengar petuah dari sahabatnya. Rekahan bahagia perlahan menyusut, menyisakan wajah datar dengan mimik serius.
"He'em, aku gak berharap kok, ini cuma perasaan biasa." Dena mencoba meyakinkan dirinya sendiri.
"Iya, Ustazah. Aku paham. Tapi aku juga gak bisa menahan perasaan ini. Hatiku lemah banget ya Allah." Dena beranjak menuju jendela. Berdiri di tengah bingkai jendela sambil memandangi rumah besar di hadapannya. Rumah yang setiap hari dia nantikan penghuninya hadir di balkon kamar untuk memandang langit. Sebuah kebiasaan yang lambat laun menular pada Dena. Melakukan hal yang sama agar bisa mengobati rindu yang tercipta karena sang pemilik kamar jauh dari pandangan mata.
"Jadi menurutmu gimana? Apakah aku ungkapkan saja?"
"Baiklah aku akan menuruti perkataanmu, Tan. Insyaa Allah."
Mata Dena memandang lurus pada rumah tersebut. Sebuah tekad mengalir deras dalam tatapannya. Saat ini dia telah memutuskan sesuatu yang berhubungan dengan masa depannya. Keputusan itu akan terus dia perjuangankan sebelum semesta benar-benar memberi lampu merah dan menyuruhnya berhenti.
🌷
Suana haru bercampur bahagia terasa kental di ruangan tersebut. Pelukan dan ciuman tak henti dilayangkan kepada sang anak. Pertanda ada rindu yang begitu dalam terpendam. Hari minggu yang penuh warna dan kehangatan. Setelah dua tahun Rizam bergelut dengan dunia penerbangan, akhirnya semesta menciptakan temu di antara mereka. Sebenarnya rasa rindu sudah lama menggedor-gedor dada, namun dia juga terlalu berat meninggalkan amanah. Akhirnya, dengan penuh pertimbangan dan harapan, dia memutuskan untuk pulang sekaligus ingin mengungkapkan sebuah i'tikad baiknya kepada sang pujaan.
"Kau bertambah tampan, Nak." Kedua tangan hangat itu menangkup wajah Rizam. Matanya yang bening dan bercahaya di bawah pijar lampu tampak semakin bening dengan hadirnya air mata bahagia. Sejak mengetahui kabar anaknya yang ingin pulang, Laila begitu tak sabaran menunggu kedatangan Rizam. Lalu ketika sosok itu sudah di depan mata, Laila tak segan-segan untuk menubrukkan tubuh dan membawa Rizam ke dalam pelukan terhangatnya.
"Ah, Umi bisa saja. Dari dulu wajah Rizam biasa-biasa saja, Mi," sangkal Rizam tersenyum manis.
"Selamat datang kembali di rumah, Zam." Seorang lelaki paruh baya tengah berdiri di belakang Laila. Menyaksikan keposesifan istrinya kepada Rizam. Membuat Aryo tak memiliki kesempatan untuk memeluk sang anak.
"Abah, apa kabar?" Dengan terpaksa, Rizam melepaskan tangan Laila dan bergerak mengambil tangan Aryo untuk dicium.
"Alhamdulillah, Abah baik, Nak. Abah senang kamu akhirnya bisa pulang," ucap Aryo dengan binar begitu bahagia. Dulu, Rizam hanyalah jagoan kecil yang selalu duduk di pundaknya, menceritakan mimpi-mimpinya yang ingin menjadi seorang pilot. Terbang mengarungi semesta dan melintasi samudera. Lalu dua tahun yang lalu, mimpi itu menjadi nyata saat Rizam dinyatakan lulus sekolah penerbangan dan langsung bisa mengemudikan pesawat.
"Iya, Abah. Alhamdulillah, Rizam mengambil cuti lumayan lama."
Keluarga itu masih melepas rindu di ruang tengah yang cukup luas. Rizam membagi cerita dan pengalaman yang luar biasa selama dua tahun ditempa di luar sana. Sebagai anak lelaki, tentu saja semua harapan yang menyala dikedua mata orang tuanya itu ditujukan untuknya. Berharap sang anak kelak mampu mengangkat harkat dan martabat keluarga. Lalu betapa bangganya mereka sekarang. Melihat harapan itu menjelma dengan jelas di hadapannya, berbentuk seragam hitam putih kebanggaan yang melekat erat pada putera kesayangannya yang lembut dan tampan—Abrizam Khalif Akbar.
Usai menuntaskan rindu, Rizam meminta izin ke kamar. Setelah perjalanan yang cukup lama, dia merasa sedikit lelah dan ingin istirahat. Tentu saja sang ibu mempersilahkannya dengan senang hati. Apalagi rindunya sedikit sudah terobati. Setelah ini dia akan merencanakan sesuatu.
Rizam menarik kopernya menaiki tangga menuju kamarnya di lantai dua. Ketika memasuki markas tersebut, pandangannya beredar. Tak ada yang berubah. Semua masih persis seperti ketika dia meninggalkannya dulu. Bersihnya sama, letak perabotnya sama, bahkan ketika jemari Rizam menyentuh permukaan meja, dia tak menemukan secuil pun debu yang melekat di sana. Lelaki itu tersenyum, tampaknya sang ibu sangat rajin membersihkan kamar itu walaupun penghuninya jarang memberi kabar.
Ah, aku mencintai Umi.
Seragam kebanggaan itu dilepas dari tubuh kekarnya lalu di simpan di tempat teraman. Tanpa sengaja mata elangnya menangkap sosok perempuan yang sedang berdiri di tengah-tengah jendela. Ekspresinya yang begitu serius dengan mulut komat kamit entah mengucapkan apa. Matanya menukik ke depan membuat senyum Rizam terbit. Perempuan itu selalu terlihat lucu di matanya. Kadang bertingkah konyol, namun hal itu cukup ampuh mengundang perhatian Rizam.
Memikirkan Dena, tiba-tiba sesosok perempuan lain melintas dalam benak Rizam. Perlahan senyumya melebar membayangkan gadis tersebut. Sebentar lagi, batinnya.
Perempuan itu ... siapakah dia?
🌷
To be contineud ...
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro