Bab.9c
"Lo kemana aja, beberapa hari nggak nongol di sekolah. Rianti kuatir sama lo?" kata Alex pada Monica yang berdiri tenang di sampingnya. Sementara Rianti dan dirinya duduk di sebuah bangku kayu di bawah pohon bintaro merah.
"Gue baik-baik saja, ada di rumah," jawab Monica datar.
"Tanya dia, Alex. Apa karena kecelakaan yang menimpa Hana? itu bukan salah dia." Rianti berucap pada Alex yang dimaksudkan untuk Monica.
Monica tersenyum mendengar kata-kata Rianti yang menghiburnya. Dia terdiam, memandang jalanan yang tertimpa panas. Bahkan Rianti pun bisa menyimpulkan demikian.
"Gue pingin tahu, lo nggak takut matahari ya?" tanya Alex tiba-tiba.
Plak!
Sebuah pukulan kembali mendarat di punggungnya. Membuatnya meringis kesakitan kali ini. Dia menoleh pada Rianti yang mengepalkan tangannya.
"Lo apa-apaan sih?"
"Lo yang salah, udah gue bilang suruh tanya kabar bukan hal yang remeh kayak gitu," geram Rianti sambil melotot pada Alex.
Monica tertawa terbahak-bahak melihat Rianti memarahi Alex. Sungguh lucu bagaimana sahabatnya saat marah. Rianti yang hebat, semua yang dia lakukan demi dirinya dan ekspresi Alex yang kesakitan tapi tidak berani balas memukul Rianti.
"Lo kagak bisa lihat tapi belagu, Monica lagi ketawa sekarang!" ketus Alex sambil menahan kesakitan.
"Benarkah? karena apa?" cerca Rianti penasaran.
"Kalian berdua lucu, gue merasa terhibur," ujar Monica sambil tertawa lirih.
"Yeah, kami memang lawak," imbuh Alex.
Monica tertawa makin keras. Alex melihatnya terpesona, bukankah dengan wajah pucat, rambut tergerai berantakan dan baju putih yang dia pakai, Monica terlihat cantik saat tertawa? Alex mengetuk kepalanya dan merasa bodoh.
"Apakah Hana belum keluar dari rumah sakit?"
Alex menggeleng, "Belum."
Monica melayang risau, bergerak pelan dari sisi Alex berpindah ke sisi Rianti.
"Jadi beneran lo punya kekuatan?" tanya Alex pada Monica, "kekuatan super yang bisa lo gunakan kapan aja gitu?"
Kali ini Monica yang menggeleng, "Gue nggak punya kekuatan apa pun, itu hanya energy besar yang tanpa sengaja menyembur keluar jika gue sedang emosi. Terus terang, kata-kata Hana siang itu bikin gue marah. Tapi memang yang gue lakukan sudah keterlaluan."
"Kalau gitu, lo harus belajar mengontrol," saran Alex yang disetujui oleh Monica.
Mendadak Monica membalikkan tubuh dan memandang Alex lurus ke arah matanya. Membuat Alex berjengit kaget.
"Lo kenapa? ada apa?" tanya Rianti kebingungan melihat Alex kaget.
Alex mengangkat tangannya, memberi tanda agar Rianti diam. Sementara dia tetap bergeming di tempat duduknya meski hatinya mendadak berdebar aneh.
"Ada apa, Monica? kenapa memandang gue kayak gitu?"
Monica tersenyum, masih dengan posisi membungkuk menatap mata Alex. "Bilang sama Rianti kalau gue baik-baik saja. Mulai kedepannya gue akan kontrol emosi. Gue akan ke sekolah lagi tapi dengan satu syarat."
"Apa?"kata Alex ingin tahu.
"Lo harus jemput gue tiap pagi, bisa?"
"Kenapa harus dijemput?"
"Karena gue nggak bisa ke sana sendirian," pungkas Monica.
Alex mengangguk tanda setuju. Setelahnya dia memberitahu secara rinci percakapannya dengan Monica pada cewek di sebelahnya. Rianti bersorak gembira saat tahu Monica akan kembali ke sekolah besok.
"Gue tahu lo nggak ada kewajiban harus ke sekolah tapi gue nggak pingin lo kesepian. Meski gue nggak bisa lihat lo setidaknya kita bisa bersama kan?" tutur Rianti pelan. Dengan keyakinan Monica pasti mendengarnya.
Monica mengangguk, dia melangkah ke samping Rianti dan merangkul bahunya.
"Gue merinding." Rianti berkata sambil meraba lengannya.
Alex bangkit dari duduknya dan berjalan arah rumah Monica, "Dia lagi meluk lo, "ucapnya tanpa menoleh.
Rianti masih terpaku di tempatnya berdiri lalu berkata pelan, "Jangan patah hati karena, Adit. Lo harus tetap semangat ya?"
Monica tahu, meski Rianti tidak dapat melihatnya tapi dia bisa limpahan rasa sayang dari hatinya untuk sahabatnya tercinta. Mendadak kelebatan memory melintas di pikirannya. Tentang papanya yang mengatakan bahwa seorang sahabat lebih berarti bahkan dari emas dan permata sekalipun. Sahabat adalah orang yang paling peduli bahkan saat seluruh dunia memusuhimu. Monica merasa Rianti sama berharganya dengan Adit.
Keesokan paginya Alex menepati janjinya untuk menjemput Monica di rumahnya. Karena jarak rumah Alex sangat jauh dari rumah Monica dengan terpaksa dia naik motor dan berangkat lebih pagi dari biasanya. Monica dengan senang hati duduk di belakang Alex. Ini pengalaman pertamanya naik motor setelah tidak lagi menjadi manusia. Selama ini saat pergi bersama Adit, mereka selalu naik angkot atau taxi. Dia sudah tidak sabar ingin bertemu Adit. Setidaknya untuk mengucapkan rasa penyesalan.
Belum lagi motor masuk ke dalam halaman sekolah, Monica melayang cepat menuju kelas Adit. Alex yang melihatnya hanya bisa terkaget-kaget.
"Untung gue nggak jantungan, dasar hantu cewek pecicilan," gerutunya sambil memarkir motornya.
Monica bersenandung riang, menatap murid-murid yang berjalan bergerombol maupun yang berlari sambil berkejaran di sepanjang koridor kelas. Dia melayang tak kasatmata bagi mereka dan dia tidak peduli.
Sampai di kelas Adit dia tidak menemukan sosok yang dicarinya. Mungkin belum datang, pikirnya sambil duduk di bangku Adit. Satu per satu teman-teman sekelas Adit memasuki kelas. Seseorang yang dia kenal bernama Seno dan Brian duduk tepat di depannya. Monica menantikan dengan deg-degan kedatangan Adit. Lalu telinganya menangkap percakapan lirih antara dua orang di depannya.
"Gue sebenarnya mau ngomong ini ama lo tapi takut kedengeran Adit," ucap Seno pelan.
Brian menoleh ke arahnya, "Ada apa?"
Seno nampak mengeluarkan handphone dari sakunya lalu meletakkannya di atas meja, "Lo tahu nggak peristiwa angin ribut saat kita di koridor?"
Brian mengangguk, Monica menegang di tempat duduknya.
"Saat itu gue ngrasa ada yang aneh sama Adit, waktu angin datang dia bukannya berlindung malah teriak-teriak manggil nama seseorang," lanjut Seno bercerita.
"Gue juga dengar, Monica kalau nggak salah," tebak Brian. Masih jelas dalam benak Brian, Adit yang panik justru lupa menyelamatkan Hana.
Monica bangkit dari duduknya dan berdiri di samping Seno agar lebih jelas mendengar pembicaraan mereka.
"Itu dia, Monica. Lo tahu nggak dia itu siapa?"
Brian mengangguk sekali lagi, "Tetangga Adit, sudah meninggal."
"Tepat, lo perhatiin nggak Adit akhir-akhir ini jadi aneh? suka bicara dan ketawa sendiri," tegas Seno sambil memukul pelan mejanya.
Brian termenung lalu mengangguk-anggukan kepalanya, "Memang, gue ingat sekarang. Kalau nggak salah Rianti itu sahabat Monica karena gue lihat beberapa kali mereka bersama. Dan kalau gue nggak salah tebak, Adit yang mendadak akrab sama Rianti bahkan sampai membantunya, jangan-jangan karena—."
"Monica," potong Seno lugas.
Monica yang menjadi objek pembicaraan mereka gemetar tak terkira. Sungguh dia tidak menyangka teman-teman Adit akan berpikir demikian.
"Menurut lo ini semua karena apa? kenapa Adit bisa sampai segitunya sama orang yang sudah meninggal?" tanya Brian kali ini pada Seno.
"Dugaan gue ya, Adit naksir Monica saat masih hidup." Kata-kata Seno hampir membuat Monica tertawa. Mana mungkin Adit naksir dia? pikirnya geli.
"Dia berduka karena Monica meninggal makanya sering berhalusinasi," tebak Seno, "karena obsesinya juga dia jadi dekat sama Rianti yang akhirnya malah bikin Farhan menjauh. Setahu gue, Farhan itu naksir Rianti."
Brian mengangguk setuju, "Sepertinya gitu, kalau kelamaan berlusinansi dia bisa gila. Nanti kita bicara baik-baik sama Adit agar dia melupakan Monica dan hidup normal. Terus terang Adit yang sekarang sangat aneh buat kita," usulnya.
Seno menepuk punggung Brian sebagai tanda kesepakatan. Saat mereka berbisik membuat rencana, Monica melayang pergi keluar dari kelas Adit. Meski dia bukan lagi manusia namun dia tetap bisa merasa sedih dan merana. Dia merasa sedih untuk Adit karena gara-gara dia semua orang menganggapnya berhalusinasi. Dengan perasaan tak menentuk, Monica melayang ke kelasnya dan duduk diam di samping Rianti.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro