Bab.9a
Jangan kautanya kemana perginya angin yang datang dari timur.
Belum tentu dia berlari ke barat atau tenggara.
Jangan kaukira kau akan paham arah gelombang.
Dia tidak selalu tinggi ada kalanya datang mendatar.
Seperti halnya hati dan keinginan manusia, tiada yang tahu maunya.
Monica membaca tulisannya di depannya dengan mulut tertutup rapat. Buku itu dia temukan tergeletak begitu saja di sudut kamar. Dia membacanya berulang kali dan berusaha memahami makna tulisan yang tertera di sana.
Sudah beberapa hari ini dia tidak keluar rumah. Semenjak peristiwa Angin ribut yang datang dari kemarahannya, Monica dihinggapi rasa bersalah yang bercokol di hati. Berkali-kali dia mengutuk kebodohannya. Berkali-kali pula dia mengutuk dirinya yang tidak bisa mengontrol emosi. Akibatnya, tidak hanya sekolah yang rusak, porak poranda namun Hana juga terluka parah.
Pada hari Hana dibawa ke rumah sakit dengan Adit menemaninya, itu adalah hari terakhir Monica melihat Adit. Rasa bersalah, rasa malu membuatnya enggan datang mendatangi Adit. Monica berpikir jika dirinya yang membahayakan ini akan jauh lebih baik jika jauh dari manusia. Dia merindukan kehadiran Rianti dan ingin berbagi kegundahan namun itu tidak mungkin dilakukan mengingat keadaannya.
Dia melayang tak tentu arah di dalam rumahnya yang sepi. Melihat keadaan dapur yang kosong dan bersih lalu kembali ke kamarnya. Saat bosan dia melangkah ke kamar papa dan mamanya. Kamar mereka sama kosong dengan kamar-kamar yang lain. Monica melihat berkeliling pada tembok dengan cat warna putih yang mengelupas. Di tembok bagian bawah ada banyak sekali besak coretan. Sepertinya seseorang dengan sengaja mencorat-coret tembok menggunakan pulpen.
"Apakah yang melakukan ini, adikku? sepertinya begitu, "guman Monica sambil terus mengamati kamar.
Di sudut kamar dia melihat satu benda persegi yang mencurigakan tergeletak menutup. Sepertinya bingkai foto. Bisa jadi ada foto dibaliknya. Monica berkonsentrasi untuk meraih bingkai itu. Dia memfokuskan pikirannya agar bingkai terbalik. Sekali, dua kali dia gagal. Di usahanya yang ketiga dia berhasil.
Bingkai terbalik ke atas dan menampakkan foto seorang wanita yang berpose setengah badan.
Monica menunduk di atas foto itu dan berusaha untuk melihat dengan jelas. Wanita itu cantik, jika tidak salah lihat sangat mirip dirinya.
Saat tangan Monica berusaha menyentuh foto yang tergeletak di lantai, mendadak berbagai macam ingatan menyerbu pikirannya.
"Monica, kamu harus tahu apa yang sebenarnya terjadi. Biar kamu berhenti bersikap kekanak-kanakan." Bayangan papanya yang marah merasuki otaknya.
"Papa, hentikan. Jangan ngaco ngomongnya biarpun sedang marah!" Suara mamanya terdengar melerai.
Monica tertunduk, memejamkan mata dan berkonsentrasi untuk mengingat lebih banyak. Dia yang bertingkah, papanya yang marah dan mamanya yang melerai. Lalu apa yang terjadi? kenapa papa marah besar? kenapa pula ingatannya datang saat memegang foto yang dia temukan.
"Papa jahat, Papa tidak sayang Monica. Papa hanya sayang dia dan dia!"
Dirinya yang marah menunjuk pada mama dan adiknya lalu sebuah tamparan datang dari papanya. Mengenai pipinya, sakit sekali. Monica mendesah bingung sambil meraba pipinya.
"Apa yang sebenarnya aku lakukan dulu? hingga Papa menamparku? dan kenapa aku menunjuk mama dan adikku dengan marah?" guman Monica sambil berdiri dari tempatnya jongkok, "sepertinya aku harus mulai mencari benda-benda yang masih tertinggal di rumah ini. Barangkali saja itu akan membantuku untuk mengingat kembali."
Di luar turun hujan deras, Monica melangkah ke arah jendela ruang tamu dan menatap ke arah air yang turun dari langit. Apakah langit marah padaku karena aku jahat, hingga dia menangis begitu deras? desah Monica dalam hati.
****
Adit mengamati air hujan yang menetes di atas bunga yang tumbuh di dalam pot. Siang ini seperti biasanya, sepulang sekolah dia menunggui Hana di rumah sakit. Hana sudah siuman dari pingsannya, untunglah tidak ada luka parah selain gegar otak ringan. Dokter mengatakan, Hana butuh perawatan kurang lebih seminggu agar cepat pulih. Selama itu pula, Adit mendampinginya. Dari mulai pulang sekolah sampai malam tiba.
Hana tengah tertidur pulas di ranjangnya. Adit termenung, teringat akan Monica. Semenjak peristiwa hari itu, dia sama sekali belum melihat Monica. Adit tidak pernah mematikan lampu kamarnya dengan harapan bahwa saat dia pulang, Monica bisa datang sewaktu-waktu namun harapannya nihil.
Ketika di sekolah, bertemu dengan Riantin dia pun menanyakan soal Monica dan jawaban Rianti memang tidak tahu karena dia tidak bisa melihat Monica. Yang dia perkirakan sungguh terjadi, Monica menghilang.
"Adit, hujan reda kamu sebaiknya pulang. Biar ibu yang menjaganya." Ibu Hana seorang wanita cantik berumur pertengahan empat puluh. Wajahnya yang cantik dibingkai rambut hitam yang dipotong pendek. Tidak hanya ibu melainkan bapak Hana juga sangat ramah, mereka memperlakukan Adit bagaikan anak sendiri.
"Iya, Bu. Saya pulang segera setelah hujan reda," jawab Adit sambil mengalihkan pandangannya dari derasnya hujan.
Ibu Hana tersenyum, menyodorkan segelas teh panas ke tangannya. Adit menerimanya dan berucap terima kasih.
"Hana beruntung punya pacar seperti kamu, saat dia sakit kamu sungguh perhatian. Pantas saja selama ini dia selalu bercerita tentang kamu dengan menggebu-gebu. Adit yang hebat, Adit yang jago basket." Ibu Hana tertawa.
Adit menunduk, merasakan wajahnya panas karena rasa malu. Mereka berbincang sambil minum teh. Setelah teh habis dan hujan reda, Adit berpamitan pulang.
Di luar udara dingin menusuk tulang. Angin yang bertiup kencang seperti membekukan darah. Untuk sejenak Adit terdiam di pintu gerbang rumah sakit. Di rumah sakit ini juga dia dirawat karena kecelakaan dan Monicalah yang banyak menolongnya.
Penglihatan Adit ternyata hanya berlaku untuk Monica. Karena meski bisa melihat hantu tapi Adit tidak dapat melihat wujud hantu lain kecuali Monica. Bukankah itu suatu keanaeha? lagi-lagi kuasa Tuhan yang membuat nasibnya begitu.
Sampai di rumah Adit mendapati keluarganya masih terjaga. Mamanya bertanya apakah dia lapar dan Adit mengatakan sudah makan karena Mama Hana membawa bekal.
Sampai di kamarnya, Adit buru-buru meletkan tas di atas meja dan berjalan menghampiri jendela yang menghadap ke rumah Monica. Membukanya dan mulai berbisik.
"Monica, kamu di mana?" Sunyi tidak ada jawaban.
"Monica-Monica, datanglah!" Kali ini Adit berteriak lebih keras.
Belum lima menit dia berteriak, mendadak pintu kamarnya terbuka membuat Adit terlonjak kaget. Kepala Andra muncul dari pintu yang terbuka. Wajahnya menunjukan kegusaran sekaligus penasaran.
"Adit, lo gila atau apa sih? malam-malam gini teriak-teriak?" semburnya jengkel.
Adit tidak menjawab. Menutup jendelanya kembali dan duduk dan merebahkan diri di ranjang. Mengabaikan Andra yang masih berdiri di dekat pintu.
"Ada apa, lo? lagi bt? kangen sama orang sampai lo harus teriakin namanya?" terka Andra. Dia menghampiri ranjang Adit dan duduk di ujungnya.
"Bukan gitu," sanggah Adit pelan.
"Lalu apa? aneh juga lo nyebut-nyebut nama cewek bukannya pacar lo lagi di rumah sakit?"
Adit tidak menjawab, menarik napas panjang lalu berbaring miring memunggungi kakaknya.
"Tenang saja my little bro, cinta memang aneh. Dengan tampang lo dan postur lo yang tinggi pasti gampang dapat cewek. Jadi jangan patah hati sampai teriak-teriak malam-malam gini, kedengaran kenceng dari kamar gue, tahu!" cerocos Andra.
Adit malas menanggapinya namun susah untuk mengusir Kakaknya keluar sekarang.
"Atau lo mau konsul ama gue, gimana caranya mendua?" ujar Andra dengan nada geli, "Hei, gini-gini gue pernah mendua tahu! sampai akhirnya gue benjol karena dua cewek ngroyok gue. Hahahaha!"
Adit bangkit dari ranjang, menyentakkan tubuh Andra dan mendorongnya keluar. Adra yang masih asyik tertawa berusaha mempertahankan diri namun tenaga Adit lebih kuat.
"Eih, tunggu. Gue belum selesai ngomong!" teriak Andra.
"Gue nggak butuh omongan lo!" usir Adit sambilmenutup pintu. Setelah menguncinya dia kembali merebahkan tubuhnya di atasranjang. Mungkin besok gue akan cobatanya Alex, pikirnya sambil membolak-balikkan tubuh sebelum akhirnya dia terlelapdan menyerah pada kelelahan
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro