Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab.7b

Hujan deras mengguyur dari pagi sampai sore hari. Monica gelisah di rumahnya, dia memikirkan Adit yang terlihat sedih tadi pagi. Mungkin dia memang pengecut, bukankah isu itu benar soal dia hantu gentayangan jadi kenapa dia marah? kenapa dia kecewa sampai mendiamkan Adit. Bukan salah Adit juga soal ini. Monica menjambak rambutnya, merasa kerdil karena pemarah. Jam sekolah sudah berakhir, harusnya Adit sudah pulang sedari tadi. Kenapa belum terlihat juga? Monica cemas dengan pikirannya.

Gelegar guruh membuat Monica berjengit. Melayang ke ruang depan untuk melihat tetes hujan yang tumpah ke jalan. Matanya melihat di jalanan yang buram ada angkot yang lewat. Dengan satu gerakan cepat dia berjalan menerobos hujan untuk duduk di angkot.

Di dalam tidak banyak penumpang, hanya ada seorang wanita sedang duduk sambil mengantuk di pojokan. Seorang gadis SMA yang asyik dengan handphonenya dan seorang kakek yang memandang jalanan berhujan dengan muram. Suara sopir yang mencari penumpang teredam oleh gemuruh air. Entah kenapa Monica merasa kasihan padanya. Sepi penumpang.

Tiba di sekolah, dia menatap sekelilingnya. Masih banyak murid yang tertinggal di sekolah, mungkin mereka takut kebasahan. Jadi menunggu di sekolah sampai hujan reda. Monica melayang pelan menuju kelas Adit. Kosong, tidak ada orang. Lalu menuju kelasnya sendiri, hanya ada tiga orang teman sekelasnya yang sedang mengobrol serius. Akhirnya Monica memutuskan untuk menengok Adit di lapangan basket.

Benar dugaanya, Adit ada di lapangan sendirian. Sedang mendribel bola dan memasukkannya ke keranjang. Peluh bercucuran di tubuhnya. Langkah dan larinya tegap dan fokus. Monica bergerak mendekat dan duduk diam di bangku pinggir lapangan.

Ujung mata Adit menemukannya, senyum terkembang di mulut Adit. Dia memungut bola yang jatuh kemudian berjalan mendekati Monica.

"Hai!"

Monica tersenyum, "Hai, juga!"

"Naik apa kamu kemari? angkot?"

Monica mengangguk, Adit berjalan memutari pembatas dan duduk di samping Monica.

"Aku senang melihatmu di sini," ucap Adit.

Monica mengulum senyum, "Aku kenak-kanakan ya? ngambek hanya karena urusan begitu."

"Tidak juga, manusiawi itu," sahut Adit.

"Adit," tegus Monica pelan.

"Ya?"

"Aku bukan manusia." Keduanya terdiam lalu meledak tawa bersama-sama.

Monica mengawasi lapangan basket yang sepi. Pikirannya teringat akan pemain nomor sepuluh yang tanpa sengaja dia buat celaka. Dulu dia sering sekali kemari untuk melihat Adit latihan. Akan ada banyak cewek yang tidak mau duduk saat menonton melainkan berdiri di pinggir lapangan, Suara mereka riuh rendah menyemangati Adit. Monica salah satu diantaranya. Kadang kekonyolan mereka membuat pelatih basket marah-marah dan mengusir mereka semua keluar.

"Aku dulu sering menontonmu latihan."

Adit menoleh, memandang Monica yang tertawa.

"Aku tahu, sering lihat."

"Benarkah?" Monica bertanya heran.

Adit mengangguk. Tangannya memainkan bola di pangkuannya.

"Seorang gadis berkata mata yang pendiam, nggak pernah mau bertegur sapa tapi selalu hadir saat aku latihan. Tetanggaku yang misterius."

Ucapan Adit membuat Monica tertawa terbahak-bahak. Ternyata begitu penilaian Adit akan dirinya. Sekarang saat diingat memang lucu, Monica yang naksir Adit terlalu malu untuk bertegur sapa bahkan saat mereka berpapasan di depan rumah. Tidak ada yang dibanggakan dari cara dia bergaul. Rianti bahkan sempat gemas dengan dirinya yang terlalu pemalu.

"Rianti kuatir sama kamu,"

Monica menoleh, "Iyakah, bisa kita ke tempatnya sekarang?"

Adit mengangguk, "Bisa, tunggu aku ganti baju."

Monica berdiri, melayang pelan mengelilingi lapangan. Tempat ini begitu familiar untuknya. Karena dia sendiri berlatih basket di sini. Terus terang basket bukan jenis olah raga yang dia suka. Dia merasa bola basket itu berat dan mendrible bola itu melelahkan. Belum lagi jika terjatuh membuat dengkulnya berdarah. Olah raga yang dia sukai hanya lari. Meski membuat ngos-ngosan tapi tidak membuatnya takut jatuh. Untuk orang kikuk seperti dirinya, berolah raga seperti membahayakan nyawa.

"Rianti harusnya ada di tempat latihan," kata Monica pada Adit.

Mereka berjalan beriringan di lorong yang sepi. Lantai basah karena air, banyak bunga di dalam pot menjadi rusak atau miring terkena siraman hujan yang deras. Monica memperhatikan hanya ada beberapa murid yang terlihat di sudut-sudut kelas. Kebanyakan dari mereka hanya duduk mengobrol. Hujan sudah reda meski masih menyisakan rintik. Halaman sekolah tidak hanya basah namun banyak genangan di sana. Berjalan harus hati-hati jika tidak ingin terpeleset.

Di tempat latihan judo tidak hanya ada Rianti melainkan ada beberapa orang lainnya. Rianti tengah berlatih dengan satu cewek di hadapannya. Mereka saling menendang dan memukul. Adit mengajak Monica duduk di bangku penonton, melihat Rianti berlatih. Ketika melihat sosok Adit duduk dengan santai, serentak semua menoleh padanya. Rianti yang paling terkejut. Dia berbicara pelan dengan lawan tandingnya dan berjalan cepat menghampiri Adit.

"Adit, ada apakah? tumben kemari," tanya Rianti masih dengan napas terengah.

"Ini, mengantar Nona Cantik menemui sahabatnya," jawab Adit sambil menunjuk Monica di sampingnya.

Mata Rianti melebar karena senang, tanpa sadar dia terlonjak dan menggapai udara kosong di depannya, "Gue senang lo datang, Monica. Apa kabar lo? jangan hiraukan mereka ya?"

Ucapan Rianti yang bertubi-tubi membuat Monica tertawa senang. Dia berdiri, berusaha meraih wajah sahabatnya namun tidak bisa.

"Adit, bilang padanya aku baik-baik saja."

Adit mengangguk, "Dia baik-baik saja, Rianti. Nggak usah nangis gitu."

Mereka meledak tertawa. Teman-teman Rianti memandang mereka dengan aneh. Mulai kapan gadis tomboy seperti Rianti bisa bergaul akrab dengan idola sekolah? bukankah Adit terkenal cuek? hebat juga Rianti bisa berteman dengannya. Kasak kusuk dan tatapan iri para gadis terlihat di sekitar Rianti.

"Gue ada cara buat bantu Monica, maksud gue membersihkan nama dia dari isu-isu aneh soal hantu gentayangan," kata Rianti pelan.

Mereka bertiga berdiri di pinggir korodor yang sepi. Hujan sudah benar-benar berhenti. Banyak murid sudah meninggalkan sekolah.

"Bagaimana caranya?" tanya Adit tertarik.

Rianti menatap Adit, "Di mana Monica?" Adit menunjuk Monica yang berdiri tepat di samping Rianti.

"Jadi gini, ada anak cowok kelas satu yang terkenal karena menurut kabar berita dia anak indigo. Kita akan minta bantuan dia."

Kali ini Adit menatap heran ke arah Rianti, "Benarkah ada orang indigo? maksudku teman kita?"

Rianti mengangkat bahunya, "Entah dia benar indigo atau hanya orang yang suka berhalunisasi tapi kita bisa memanfaatkan ketenarannya untuk menolong Rianti. Untuk itu gue perlu bantuan lo, Adit."

"Apa?"

"Cowok itu penggemar lo," ujar Rianti lugas sambil melirik ke arah Monica.

"Penggemar bagaimana?" tanya Adit sambil bertukar tatapan bingung dengan Monica.

Rianti meringis, "Besok lo lihat sendiri dech, bisa dibilang dia mengagumi Adit yang jago segalanya."

Mereka berpisah di depan pagar sekolah. Adit pulang dengan Monica naik angkot yang berbeda dengan Rianti. Adit bisa saja naik ojek namun dia mempertimbangkan Monica. Tanpa mereka sadari, sepasang mata menatap Adit dan Rianti yang bertukar salam perpisahan dengan pandangan merana.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro