Bab.7a
Gelap, temaram dan buram
Kupu-kupu terbang dan hinggap di pusaran kembang
Air menetes dari pengujung malam
Mungkin embun, bisa jadi air mata sang rembulan
Tak kala hati terbenam dalam kebimbangan, suram menggayut jiwa
Kau kekasih, tak ubahnya pelita dalam temaran
****
"Monica! sstt! ayo buruan!" Adit berkata setengah berbisik dari pagar rumah Monica yang terkunci rapat.
Dari balik gorden yang tertutup, Adit bisa melihat bayangan Monica. Bagi sebagian orang tentu akan sangat menakutkan, melihat gadis berwajah pucat mengintip dari balik jendela tapi tidak bagi Adit. Wajah murung Monica lebih menakutkan baginya.
Sudah tiga hari ini Monica mengurung diri di rumah. Tidak ingin ke sekolah bahkan nyaris tidak pernah datang ke kamarnya lagi. Adit sudah berusaha dengan berbagai cara untuk memanggil Monica namun tidak diindahkan. Kakaknya, Andra bahkan menganggap Adit gila karena malam kemarin mendapati Adit berteriak memanggil nama Monica di dalam kamarnya.
Peristiwa kesurupan rupanya membuat Monica terpukul. Adit tidak menyalahkannya karena memang setelah hari itu, sekolah dipenuhi kasak kusuk tidak jelas tentang Monica yang gentayangan. Setelah si bando biru yang ternyata bernama Tuti mengaku kesurupan, setelahnya beberapa gadis mengalami hal yang sama.
Rianti bahkan beberapa kali datang menemuinya hanya untuk mengutarakan kecemasannya akan Monica. Seperti sore itu saat dia mencegat Adit di ujung lorong seusai latihan basket.
"Meski gue nggak bisa lihat dia kayak elo, Dit. Tapi entah kenapa gue tahu kalau dia nggak ada di samping gue akhir-akhir ini," ucap Rianti dengan suara lirih.
Adit memandangnya sekejap lalu mengangguk, "Emang dia nggak datang ke sekolah. Sudah beberapa hari ini."
"Karena peristiwa itu kan?" tanya Rianti.
Adit mengangguk sekali lagi. Beberapa orang murid berjalan cepat melewati mereka. Wajah mereka menampakkan ketertarikan karena melihat Adit berbicara serius dengan Rianti.
"Apa yang harus kita lakukan demi Monica?" tanya Rianti sedih.
Adit tidak menjawab, dia masih berpikir serius soal ini. Harus ada yang menghentikan kasak kusuk di sekolah agar Monica bisa datang lagi. Tapi bagaimana caranya itu yang Adit tidak mengerti.
"Ayolah, Monica. Keluarlah, kamu pasti nggak mau aku dianggap orang gila karena berteriak di depan rumah kosong kan?" ucap Adit dengan memelas.
Tidak ada jawaban dari dalam, Adit menunduk lemas. Belum sempat dia beranjak, tepukan di bahunya membuat Adit terlonjak.
"Kamu ngapaian di sini, Adit?" Papa Adit datang entah dari mana. Sekarang menatap Adit dengan pandangan bingung.
"Ini rumah orang, kosong pula. Kamu celingak-celinguk di depan pagar, bisa-bisa dianggap maling," tegur Sang Papa sambil menggelengkan kepala. Setelahnya dia berjalan menuju mobilnya yang terparkir di jalan.
Adit tidak menjawab, berjalan gontai mengikuti papanya. Duduk di belakang dengan pikiran muram. Saat mobil bergerak menjauh, dia menoleh sekali lagi ke belakang. Berharap Monica mengikutinya. Tapi nyatanya tidak.
Angin bertiup agak kencang, mendung menggantung di langit. Pasti sebentar lagi turun hujan, pikir Adit muram. Jika hujan, berarti lebih banyak di kelas dan semua kegiatan akan ditiadakan. Itu akan sangat membosankan. Dia duduk bersandar dan memejamkan mata, tidak ingin terlibat dalam pembicaraan antara papa dan Andra, sepertinya sedang membahas sesuatu yang serus melibatkan sepak bola, tawuran dan peristiwa mengerikan lainnya. Adit tidak mengerti tentang orang-orang yang dibicarakan kakaknya, demi tim kesayangan mereka berani kehilangan nyawa. Jika ditelaah lebih dalam bukankah itu sesuatu yang aneh? Harusnya mereka mengenal Monica, agar lebih menghargai arti hidup. Pikiran soal Monica membuat suasana hatinya kembali murung.
"Adit, lo kusam amat?" tanya Farhan saat menghampiri Adit yang duduk di bangkunya.
"Kurang tidur," jawab Adit pelan.
Farhan tidak bicara hanya mengamati dalam diam. Dari ujung matanya, Adit melihat sikap Farhan yang gelisah, tangannya menyisir rambutnya yang klimis dengan gugup.
"Ada apa, lo? keq bingung gitu?" tanya Adit heran.
Farhan tertawa lirih, tangannya sekarang mengetuk-ngetuk meja Adit. Kepalanya menoleh ke kanan dan kiri untuk memastikan tidak ada orang lain yang mendengar sebelum berbisik pada Adit.
"Gue mau tanya sesuatu," ucapnya pelan.
Adit mengangkat sebelah alisnya, "Apaan?"
"Well, itu," kata Farhan bingung, menggaruk rambutnya yang tidak gatal, "gue naksir Rianti dari dulu," ucapnya kemudian.
"Terus, apa masalahnya?" tanya Adit lebih lanjut.
"Yah, gimana ya? akhir-akhir ini lo dekat banget sama dia. Beberapa kali gue lihat dia yang sebelumnya nggak pernah datang ke kelas kita, datang buat nyariin lo. Agak aneh menurut gue."
Kata-kata Farhan tertimpa oleh suara riuh penghuni kelas yang mulai berdatangan. Beberapa diantaranya terdengar menyumpah karena hujan yang turun dengan deras. Adit menoleh ke arah jendela, mengamati air yang seperti tumpah dari langit. Gelegar guruh dan petir terdengar bersahutan, hawa dingin berembus ke seluruh kelas. Apakah Monica baik-baik saja? pikrannya kembali tertuju pada gadis hantu yang beberapa saat ini menjadi sahabatnya.
"Adit!"
Teriakan Farhan menyadarkan Adit dari lamunannya. Dia menoleh dan memandang Farhan yang masuk duduk di depannya.
"Lo maunya apa sih, Han? gue sama Rianti nggak ada apa-apa," jelas Adit pelan.
"Gue tahu lo nggak ada apa-apa sama dia, secara lo sudah punya Hana yang jelita tapi gue takut Riantinya yang punya rasa apa-apa sama lo."
Adit menatap Farhan dengan bingung, seakan nggak pernah lihat Farhan sebelumnya. Memang mereka bersahabat tapi baru kali ini dia tahu jika Farhan menyukai cewek. Sebelumnya Brian sudah pernah mengatakan hal ini tapi dia nggak menyangka jika Farhan menyukai Rianti dengan serius.
"Terserah lo mau ngomong apa, gue nggak ada hubungan apa-apa sama Rianti. Kalau kami sering mengobrol itu urusan lain jauh dari urusan cinta-cintaan," ujar Adit sambil memandang lurus mata Farhan.
"Tentang apa kalau gue boleh tahu," desak Farhan tertarik.
Adit mengangkat bahunya, "Bukan sesuatu yang harus lo ketahui dan lagi kalau memang lo naksir dia, harusnya lo bilang langsung sama dia bukannya malah ngomong hal nggak mutu gini sama gue."
Farhan menunduk, menatap tali sepatunya yang lepas. Dia mengangkat sepatunya dan mengikat talinya kembali dengan rapi, "Sebagai sohib, gue minta lo cukup tahu diri, Adit!" ucap Farhan pelan. Kemudian melangkah pergi meninggalkan Adit.
Adit merasa Farhan benar-benar aneh soal Rianti. Bukahkah gue dah bilang dengan jelas kalau nggak naksir, Rianti? bagian mana yang dia nggak paham sih? pikir Adit tidak mengerti.
Setelah kejadian pagi itu, Farhan bersikap dingin sama Adit. Dengan sengaja dia berkumpul dengan kelompok lain saat makan siang. Meski dia masih menegur dan tertawa bersama Brian dan Seno namun seakan-akan tidak melihat kehadiran Adit.
Adit yang sudah pusing urusan Monica ditambah pula dengan sikap dingin Farhan membuatnya muak. Selesai jam pelajaran, saat teman-teman yang lainnya sudah bubar untuk pulang. Dia berlatih basket seorang diri. Berlari-larian dan berkeringat adalah cara ampuh menghilangkan galau.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro