Bab.5b
Sungguh hal yang terjadi tidak sesuai dengan sangkaan Monica. Dia yang semula berpikir akan naik kendaraan umum dengan Adit, sekarang berjejalan duduk di bagian belakang mobil dengan teman-teman Adit. Entah apa yang terjadi, saat tahu Adit akan pergi ke daerah utara semua mengutarakan niatnya untuk ikut. Adit sudah mati-matian menolak namun mereka memaksa. Brian bahkan menawarkan diri menjadi sopir untuk mengantar Adit . Akhirnya Adit pasrah, membiarkan mereka ikut.
"Adit, samping lo kan masih kosong. Geser dikit napa?"pinta Farhan menatap sebelah Adit yang kosong. Namun Adit enggan bergeser.
"Udah, duduk aja lo di situ. Berisik!"
Farhan menggerutu sebal. Brian dan Seno yang duduk di depan hanya nyengir melihat kelakuan Adit. Jujur saja mereka menganggap Adit aneh karena menyisakan tempat kosong tapi enggan bersitegang dengannya.
"Adit, kita mau ke rumah siapa?" tanya Seno sambil menengok ke belakang.
"Rumah teman," jawab Adit singkat.
"Cewek?" tegas Seno. Adit hanya mengangguk.
"Siapa? cewek baru lo?" tanya Brian asal. Sebuah pukulan di belakang kepala dari Adit membungkam mulutnya.
"Kalian tanya macam-macam, gue turun nih?"
"Eih, jangan! Ampun deh. Adit ngambekan." Seno menggelengkan kepala.
Monica tertawa lirih mendengar percakapan mereka. Adit dan teman-temannya sungguh sangat kompak. Persahabatan mereka terjalin dengan baik.
Jalanan menuju rumah Rianti agak tersendat. Lalu lintas lumayan padat di siang hari. Sesuai dengan petunjuk yang Monica berikan, mobil memasuki jalan umum yang terhitung sempit untuk dilewati kendaraan. Rumah-rumah padat penduduk berjejalan di samping kiri dan kanan jalan. Got dengan air berwarna hitam dan menguarkan bau anyir, menganga di pinggir jalan. Menjadi pembatas antara jalan raya dan teras rumah penduduk.
Monica mengamati jalanan yang mereka lewati dengan penuh minat. Dia pernah ke daerah ini sebelumnya.
"Benar ini tempatnya?" tanya Adit. Monica menganguk.
"Lo tanya sama gue? mana gue tahu?" sela Farhan dari samping Adit.
"Emang gue tanya lo?" balas Adit.
"Lah, emang lo ngomong sama siapa? hantu di sebelah lo?"
Sebuah injakan di kaki membuat Farhan meringis. Adit memandangnya dengan tatapan mengancam. Farhan yang tidak tahu apa salahnya, mengelus kakinya yang kesakitan.
Sementara itu Monica terdiam bagai patung. Kata hantu yang keluar dari mulut Farhan seolah menyadarkannya jika dia memang bukan lagi manusia. Dia menunduk sedih namun cepat tersadar kalu ada Adit di sampingnya. Dia tidak ingin Adit merasa bersalah.
"Di ujung depan kita berhenti. Mobil bisa kalian parkir di halaman minimarket. Lalu kita jalan kaki masuk ke dalam gang," ucap Monica pelan.
Adit mengangguk dan memberi instruksi yang sama persis kepada Brian. Setelah memarkir mobil di halaman minimarket yang sepi pengunjung, mereka berjalan beriringan melewati gang sempit. Banyak anak-anak kecil berlarian di sepanjang gang ditimpa dengan suara teriakan orang dewasa. Di tempat-tempat yang digunakan untuk nongkrong, para laki-laki mengobrol dengan handphone di tangan.
Monica menunjuk sebuah gang yang lebih sempit. Adit berjalan mendahului yang lain. Gang itu menuju langsung ke halaman sebuah rumah sederhana bercat kuning. Dindingnya sudah retak di sana sini dan catnya mengelupas. Monica melihat atapnya yang terbuat dari genteng banyak yang sudah pecah. Kondisi rumah sungguh menyedihkan.
Belum sempat mereka mengetuk pintu. Terdengar teriakan dari dalam. Semua terkesiap. Tidak berapa lama, pintu membanting terbuka. Seorang laki-laki tua berjalan sempoyongan keluar rumah sambil berteriak-teriak.
"Dasar anak dan ibu nggak tahu diri, udah bagus gue mau ngasuh kalian!" Laki-laki dengan jaket lusuh menuding tangannya ke dalam rumah. Samar-sama terdengar tangisan perempuan. Laki-laki itu menyambar pot bunga yang ada di samping pintu dan memecahkannya.
Adit dan yang lain terdiam. Mereka tidak tahu harus bagaimana. Saat laki-laki tua menegakkan tubuh, pandangannya bertemu dengan Adit dan teman-temannya yang berdiri diam di halaman.
"Siapa kalian, mau apa kalian kemari?" tanyanya dengan mata beringas.
"Kami mencari Rianti," jawab Adit pelan.
"Anak kurang ajar itu tidak ada di rumah. Pulang kalian semua, pulang!" teriaknya dengan suara marah. Tangannya melambai-lambai mengusir mereka.
Adit merasakan teman-temannya bergerak gelisah di belakangnya. Berhadapan dengan laki-laki tua pemarah harus hati-hati.
"Tadi kami mendengar suara anak perempuan," ucap Brian sambil menunjuk ke dalam rumah. "Apakah boleh kami menemuinya?"
"Tidak ada yang namanya Rianti di sini," balas laki-laki itu dengan geram.
"Dia bohong, Adit," ucap Monica pelan di samping Adit.
Adit mengangguk, matanya menatap laki-laki pemarah di hadapannya dengan nyalang. Tidak berapa lama, dari dalam rumah muncul Rianti memegang sesuatu yang sepertinya tongkat kayu. Rambutnya awut-awutan, ada luka-luka di wajahnya dan sepertinya dia baru saja berkelahi.
"Dasar kau lelaki tua, kamu apakan ibuku!" Rianti mengayunkan tongkat untuk memukul laki-laki berjaket lusuh. Adit dan yang lainnya bergerak gesit menghalangi.
"Rianti, jangan!" tanda sadar Monica menjerit.
Rianti yang kedua tangannya di tahan oleh Adit dan Farhan meledak marah, "Lepasin tangan gue, biar gue hajar laki-laki itu. Dia udah bikin hidup gue sengsara!"
Laki-laki itu tertawa mendengar makian Rianti, "Hah, sengsara katamu? jika buka karena aku maka ibumu dan kamu akan berakhir di jalanan."
"Kalau begitu minggat kau dan jangan datang lagi!" usir Rianti dengan beringas.
"Tidak, aku tetap akan datang sebelum kalian berikan sertifikat tanah. Rumah ini sudah aku jual dan kalian harus pergi dalam waktu dekat. Kalau tidak, preman-peman itu akan datang untuk menghajarmu." Kembali laki-laki itu tertawa seperti orang gila.
Rianti meronta, berusaha melepaskan diri dari pegangan Adit dan Farhan, "Lepasin gue, kalian mau apa sih?"
"Rianti, tahan diri lo. Jangan emosi, orang kaya dia harus dihadapi dengan tenang," tegur Adit berusaha menenangkan amarah Rianti.
"Gue dah tahan bertahun-tahun, sekarang waktunya gue melawan kalau nggak rumah ini bakalan jatuh ke tangan rentenir. Laki-laki itu kalah judi," rintih Rianti dengan memelas. Matanya berkaca-kaca sekarang, kesedihan menyeruak.
Monica melihat sahabatnya menangis, hatinya teriris sedih. Ingin membantu namun tidak bisa apa-apa.
"Gue ngerti kemarahan lo, sabar dulu. Oke, gue bantu atasin," ucap Adit menenangkan.
"Farhan lo pegangain Rianti, jangan sampai lepas," perintah Adit yang diberi anggukan oleh Farhan.
Adit melepaskan tangan Rianti dan berjalan mendekati laki-laki tua di hadapannya. Matanya mengawasi bagaimana sosok laki-laki itu terlihat begitu menyedihkan. Bau keringat yang tajam menguar dari tubuhnya, ada lingkaran hitam di bawah mata dan rambutnya yang gondrong terlihat seperti tidak pernah dicuci berhari-hari.
"Kalau tidak salah Bapak adalah ayah tiri Rianti, benar?" tanya Adit.
Ayah tiri Rianti berkacak pingang, "Iya memang, kalau sudah tahu cepat kalian menyingkir dari sini!"
Adit tersenyum simpul, "Bapak suka berjudi, banyak hutang pada rentenir dan akhirnya berniat menjual rumah ini. Benar begitu, Rianti?" Kali ini Adit bertanya pada Rianti yang terdiam di samping Farhan.
Monica mengalihkan padangannya dari Adit ke Rianti. Melayang pelan ke samping sahabatnya.
"Bukan ingin menjual tapi sudah dijaminkan untuk judi. Untunglah sertifikat tanah masih ada padaku, dia hanya gunakan foto copy. Kemarin preman-preman penagih hutang datang untuk mengusir kami. Jika kami tidak mengosongkan rumah dalam minggu ini, mereka akan membuat kami celaka," kata Rianti dengan nada sedih. Air mata mengucur di pipinya. Monica mengelus pundak Rianti meski dia tahu Rianti tidak akan bisa melihat kehadirannya.
Adit mengangguk, bertatapan dengan Brian dengan penuh keprihatinan.
"Brian, bukankah Papa lo bertugas di Polres daerah utara?"
Brian mengangguk, "Yuup, Wakapolres. Apa perlu gue telepon untuk minta bantuan?" tanya Brian. Tangannya merogoh kantong dan mengeluarkan handphone-nya.
Ayah tiri Rianti tertawa terbahak-bahak, "Kalian pikir bisa menakut-nakutiku? hah, mana Papamu? aku nggak takut!"
Brian menggendikkan bahu, membuka handphonenya dan menyorongkannya ke muka Ayah Rianti, "Lihat kan Pak Tua, itu Papaku. Jika benar kamu orang sini, harusnya kamu mengenalnya."
Sesaat wajah Ayah Rianti menegang, melihat bergantian antara layar handphone dan Brian. Matanya melotot seperti tidak percaya. Brian menyodorkan handphone-nya sekali lagi.
"Silahkan, kita bisa video call jika anda belum percaya," desak Brian.
Ayah tiri menggedikkan bahu, meludah ke tanah dan memandang mereka dengan tatapan meremehkan. Monica merasa gemas, ingin rasanya membawa Rianti pergi dari sini segera. Benci sekali melihat ayah Rianti.
"Trus? dia bisa apa? rumah ini sudah aku jaminkan. Surat pernyataan setuju dari istriku sudah aku dapatkan--,"
"Itu karena dia mengancam untuk memukul ibu gue!" potong Rianti marah.
Tawa ayah Rianti meledak. Dia terbahak-bahak seperti orang gila. Adit berpandangan dengan Monica yang terlihat sedih. Dia menghela napas, membalikkan tubuh dan bicara pada Seno yang sedari tadi diam.
"Seno, bukannya Kakak lo pengacara?" tanyanya.
Seno mengangguk, "Iya, gue akan minta bantuan dia nanti."
"Jadi kalian semua mengancamku? mengeroyokku?" teriak laki-laki tua itu dengan marah.
Adit maju ke depan, berdiri sedekat mungkin dengannya hingga bisa mencium bau keringatnya yang anyir. Menahan dorongan untuk menutup hidung, Adit berkata pelan, "Iya, kami mengancammu Pak Tua. Silahkan pilih tinggalkan tempat ini atau malam nanti akan ada polisi datang. Aku pastikan, Papa dari temanku itu," tunjuk Adit pada Brian, "tidak hanya akan menangkapmu tapi juga kelompok judimu. Soal jaminan rumah ini, pengacara yang kebetulan adalah Kakak kami sendiri yang akan membereskan."
Sekarang posisi Ayah tiri Rianti benar-benar tersudut. Merasa bahwa dia dikeroyok dengan wajah garang dia berjalan mendekati Rianti.
"Kamu bebas hari ini tapi ini belum berakhir, gadis kecil," ancamnya pelan. Dia melangkah pergi namun sebelumnya sempat berbalik untuk mengancam sekali lagi, "Aku akan datang lagi, lihat saja nanti pembalasanku."
Dengan sempoyongan dia berjalan menuju gang. Monica menatap kepergiannya dengan benci. Entah apa yang terjadi mendadak laki-laki itu menjerit, tubuhnya terperosok ke dalam got yang dalam dan bau. Dia berteriak-teriak minta tolong namun tidak ada yang berniat menolongnya. Monica menatapnya tanpa berkedip saat dia merangkak naik dari dalam got dan menyeret kakinya menuju jalan raya.
Rianti merosot, terduduk di atas tanah. Dia menangis tergugu. Adit berpandangan dengan lain lalu berjongkok di depan Rianti.
"Jangan sedih Rianti, kami akan berusaha buat bantu lo, oke?"
Rianti mendongak dan mengangguk dengan wajah bersimbah air mata, "Bagaimana bisa kalian menemukan rumah gue? juga bantu gue selesaikan masalah ini," tanyanya pada Adit.
Adit mendongak untuk memandang Monica yang terdiam. Saat Monica mengangguk, Adit berjongkok di depan Rianti berbisik tanpa didengar yang lain.
"Karena bunga kaca piring," ujar Adit
"Siapa? bunga kaca piring? bukankah itu ...." Rianti terdiam, mulutnya menganga. "bagaimana mungkin lo dan dia ...."
Adit mengangkat bahu,"Begitulah, ada hal-hal yang lebih baik lo nggak usah tahu."Dia lalu berdiri. Merangkul Brian dan Seno. Dia menepuk pundak mereka dan mengucap terima kasih.
Rianti masih terduduk , menutup matanya. Tiba-tiba dia berdiri dan berteriak keras sekali.
"Terima kasih bunga kaca piring!" Suaranya terbawa angin yang meniupkan debu-debu jalanan. Seno, Brian dan Farhan menatapnya kebingungan. Tidak ada sahutan namun Adit melihat Monica tersenyum bahagia.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro