Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab.5a

Bunga kaca piring

Diterpa sinar mentari

Disiram embun pagi

Mungkin tak wangi

Mungki tak berwarna selain putih

Tapi bunga kaca piring, akan selalu menghiasi hati.

****

"Kamu beneran sudah sehat?" tanya mama sekali lagi saat melepas Adit di pintu.

Matanya memandang Adit yang sudah berseragam dengan kuatir. Anaknya, sudah nyaris dua minggu tidak sekolah. Dokter mengatakan bahwa Adit sudah sembuh total, tetap saja dia kuatir.

"Sudah, Ma. Tenang saja, Adit bisa jaga diri." Adit menjawab sambil tersenyum. Menaruh ransel di punggungnya.

"Ada Papa yang akan mengantar Adit, jadi Mama nggak usah kuatir," ucap Adit menenangkan mamanya.

Setelah mencium tangan mamanya, Adit masuk ke mobil. Duduk tenang di samping Monica yang sudah menunggunya dari pagi. Di depan ada sang papa dan Andra.

Sepanjang perjalanan, Adit lebih banyak mendengarkan percakapan papa dan kakaknya. Sesekali dia ikut bicara jika diminta pendapatnya.

"Adit, apa nanti aku harus ke kelasku? atau bisakah aku ikut ke kelasmu?" tanya Monica lirih.

"Kamu bisa ikut aku atau ke kelasmu sendiri," jawab Adit sambil tersenyum, "saat istirahat atau pulang, kita bisa bersama lagi."

"Baiklah." Monica terlihat bingung dengan pikirannya sendiri.

"Jangan bingung, ada aku yang akan bantu kamu." Adit berusaha menenangkan Monica.

Adit tersentak ketika terdengar gebrakan dari depan. Andra sedang melotot, menatapnya dengan heran. Adit yang tidak mengerti apa salahnya bertanya dengan pelan.

"Apa?"

"Adit-Adit, lo ngomong ama siapa? dari tadi aku dan kamu sendirian, lo sehat kan?" tanya Andra sambil menggelengkan kepalanya, "lihat kan Papa, Adit kena gegar otak."

"Ngaco, lo!" sergah Adit panas.

"Hah, emang lo aneh. Ini bukan pertama kali gue lihat lo ngomong sendiri ya? beberapa hari lalu, gue pergokin lo ngomong di kamar lo sendiri, menghadap ke rumah sebelah. Iya kan?"

Adit tidak menjawab, merasa kikuk. Dia memang sering mengobrol dengan Monica saat malam, jika Monica datang ke kamarnya. Biasanya dia selalu berhati-hati agar tidak ada yang tahu. Rupanya malam itu dia kecolongan.

"Jangan ngaco, kamar gue selalu gue tutup. Mana mungkin lo lihat gue ngomong sendiri keq orang gila gitu," balas Adit nggak mau kalah.

"Malam itu pintu lo terbuka dikit," jawab Andra tenang. Matanya melirik papanya yang masih menyetir dengan tenang, "Pa, apa nggak ngrasa Adit jadi gila?"

"Andra," tegur papanya pelan. Andra menutup mulutnya, "Adit mungkin hanya bicara sama teman kecilnya," sahut papa yang disambut tawa menggelegar Andra dan Adit yang berpandangan dalam diam dengan Monica.

Setelahnya, Adit harus pasrah menerima ledekan dari Andra mengenai teman masa kecil. Aku harus berhati-hati lain kali, desis Adit dalam hati. Mengulum senyum ke arah Monica untuk menenangkannya.

Gerbang sekolah ramai oleh murid yang berdatangan. Saat melihat Adit turun dari mobil, Monica melihat beberapa orang berbisik-bisik seru. Terutama para cewek. Adit sendiri berjalan dengan tegap seakan tidak melihat orang-orang memperhatikannya. Dia membalas sapaan beberapa teman yang dia kenal.

"Adit, sepertinya kita memang harus berpisah saat di sekolah. Kalau nggak nanti teman-temanmu akan menyangka kamu gila." Monica melayang pelan di samping Adit.

"Biarkan saja, ngapain kamu pusing masalah itu Monica?" Adit menghentikan langkahnya, menatap Monica yang terlihat transparan bagai air karena sinar matahari. "Apa sinar matahari nggak bikin kamu sakit?"

Belum sempat Monica menjawab, terdengar seruan dari belakang mereka. Teman-teman satu kelas Adit berlarian menghampiri sambil berteriak senang saat melihatnya.

Satu per satu mereka memeluk, menepuk bahu atau berjabat tangan dengannya. Monica melihat Adit meringis kesakitan jika ada yang menjabat terlalu kuat.

"Sekolah sungguh sepi nggak ada lo, Dit. Biasa kami lihat cewek-cewek cantik menyapa karena lo, sekarang mereka jadi cuek, sungguh terlalu!" seru Farhan sambil memukul pundak Adit dan membuat Adit mendesis karena sakit.

"Adit sang idola, akhirnya sembuh juga dikau!" teriak Seno persis di dekat telinga Adit. Membuat tidak hanya Adit tapi juga yang lain merasa kaget karena suaranya yang keras, "untung lo masuk hari ini, gue dah kebingungan mau nyontek ama siapa soal matematika. Sulit sekali!"

"Eih, songong! lo teriak-teriak pagi-pagi gini? sarapan apaan lo tadi?" sungut Farhan sambil meniup telinganya yang pekak.

Adit melambaikan tangan, memberi tanda agar teman-temannya diam, "Berisik semua, dah sana jalan duluan," omelnya sambil mendorong Seno menjauh.

Seno yang hendak membantah menutup mulutnya kembali saat melihat Hana di ujung lorong. Sepertinya sengaja menunggu Adit.

"Ah, ada Tuan Putri rupanya. Ingatlah selalu bahwa kami merindukanmu," ujar Seno asal, mencolek dagu Adit dan berjalan cepat meninggalkannya.

"Kami merindukanmu, Adit," ucap Farhan sebelum menyusul Seno.

"Kami merindukanmu, Adit." Berikutnya Brian yang bicara.

Saat temannya yang lain akan melakukan hal yang sama, Adit berkata mengancam, "Awas aja lo bilang kangen lagi. Gue hajar satu-satu!"

Sambil menggerutu dan menggedikkan bahu, satu per satu mereka meninggalkan Adit sendiri. Adit menghela napa lega saat melihat mereka menjauh. Dia melirik Monica yang sedari tadi terdiam. Ada yang aneh dari dirinya membuat Adit menghentikan langkah.

"Monica, kamu kenapa?"

Monica menggeleng, menyembunyikan wajah di balik rambutnya yang terurai. Adit merasa gemas, jika bisa ingin rasanya mengguncang tubuh Monica.

"Apa kamu tersinggung dengan omongan Kakakku?"

Monica menggeleng, tangan Adit terulur untuk menyentuhnya namun hanya menyentuh udara kosong. Sosok Monica tak tersentuh. Belum sempat Adit bertanya lebih jauh, Monica mengangkat wajahnya dan tertawa terbahak-bahak. Adit melihatnya terheran-heran, sementara Monica masih tertawa.

"Monica, kamu kenapa?" tanya Adit Bingung.

Terdengar sapaan dari ujung lorong yang membuat Adit menoleh.

"Adit, lo ngapain di situ!" tegur Hana dengan tidak sabar.

Adit bergeming di tempatnya, tidak mengindahkan panggilan Hana. Dia melihat Monica yang berusaha menahan tawa dengan wajah tertarik.

"Sudah ketawanya?" tanyanya pelan, Monica mengangguk dan mengibaskan rambutnya ke belakang.

"Sorry, Adit, Teman-teman kamu lucu-lucu," kikik Monica sambil terbungkuk.

Adit menggelengkan kepalanya, sungguh heran dengan tingkah Monica.

"Adiiiit!" Hana kembali berteriak tidak sabar.

Adit meneruskan langkah dengan Monica masih terkikik geli di sampingnya. Hana yang berdiri sambil berkacak pinging, terlihat bagai bunga segar di pagi hari. Seragam sekolah membalut tubuhnya dengan pas. Rambutnya yang lurus sebahu terlihat hitam berkilau.

"Hana, ada apa?" tanya Adit. Monica menghentikan tawanya dan terdiam di samping Adit.

Hana mendengkus kesal, "Bisa ya, lo ngomong ada apa?" dia menatap Adit dengan tajam, "gue nungguin dari pagi, Adit. Harusnya yang lo lakukan pertama kali saat menginjak halaman sekolah tuh hubungin gue, pacar lo. Bukan malah ketawa nggak jelas sama teman-teman lo."

Monica melirik Adit yang terdiam, dia merasa heran melihat Adit sama sekali tidak gentar karena Hana marah.

"Gue baru datang nggak sampai sepuluh menit. Kebetulan aja ketemu mereka. Sekarang gue dah di sini, jadi? lo mau ngapain?" Adit bertanya dengan pelan.

"Adit, koq lo bisa ngomong gitu?" Hana berteriak, tersinggung dengan kata-kata Adit.

"Jangan teriak-teriak Hana, masih pagi dan lo bikin kita jadi pusat perhatian. Kalau nggak ada perlu, gue jalan ke kelas dulu."

"Adit, lo tega ya ngomong gitu sama gue?" Suara Hana bergetar, sepetinya menahan tangis, "gue kuatir sama elo. Gue pingin ngerawat elo selama sakit tapi Mama lo tegas nggak ngasih kami kesempatan buat jenguk."

Adit menghela napas panjang,bingung jika harus berhadapan sama cewek yang lagi nangis, "Sudah jangan nangis, Mama memang gitu. Mungkin lagi kuatir aja. Yang penting sekarang gue dah sehat."

Tanpa sadar Adit berdiri mendekat pada Hana, tangannya terulur untuk menggenggam tangan Hana. Monica yang melihat pemandangan mesra di hadapannya merasa bahwa dia hanya pengganggu. Diam tanpa suara dia melayang pergi menuju kelasnya sendiri.

Bukankah dia sudah tahu dari dulu jika Adit pacarnya Hana? kenapa masih ada rasa cemburu saat mereka bersama? Monica tidak mengerti dengan pikirannya sendiri. Dia menunduk sedih, melihat kelasnya yang sudah mulai penuh. Bangku yang dulu adalah tempat duduknya masih kosong. Monica melayang ke bangku belakang dan berniat menunggu Rianti datang. Dia kangen dengan sahabatnya.

Hingga selesai jam pelajaran pertama, Rianti nggak datang juga. Monica mulai gelisah. Ingin bertanya namun itu hal yang tidak mungkin. Ketika bel berbunyi tanda jam istirahat pertama, Monica menelungkup di bangkunya dengan lemas.

Mendadak terdengar bisikan di seluruh kelas. Suasana yang semula ramai menjadi gumanan heran. Beberapa bahkan berbicara lirih karena kaget.

"Itu Adit."

"Kenapa Adit ada di kelas ini?"

Mendengar nama Adit disebut Monica mendongak dan benar saja, Adit berdiri di samping pintu kelas Monica. Mata mereka bertatapan, Adit memberi tanda dengan gelengan kepala agar Monica mengikutinya.

"Loh, koq Adit pergi lagi?"

"Ngapain sih Adit lihat-lihat kelas kita?" Gumaman heran mengiringi langkah Monica.

Adit sedang berdiri di bawah pohon akasia yang rindang. Dia tersenyum saat melihat Monica menghampiri.

"Tadi pagi kamu pergi nggak bilang-bilang," ucap Adit.

Monica menunduk, menghindari pancaran sinar matahari, "Nggak enaklah, kamu lagi ada pacar kan?"

"Setidaknya lain kali cobalah memberi tanda agar aku nggak bingung."

Monica mengangguk. Dari ujung matanya banyak yang melihat ke arah mereka. Monica tahu orang-orang itu merasa heran melihat Adit berdiri sendirian di bawah pohon akasia.

"Adit, bisa kamu bantu aku?" pinta Monica.

"Ada apa?"

Belum sempat Monica menjawab terdengar sapaan manja disertai kikik menggoda dari beberapa anak cewek yang melintas di hadapan mereka. Dengan sengaja mereka menggoda Adit. Namun Adit hanya tersenyum simpul, enggan untuk menanggapi. Akhirnya mereka menyingkir dari sekitar Adit saat tahu bahwa kehadirannya tidak diinginkan.

"Monica? kenapa nggak jawab?"

Suara Adit mengagetkan Monica . Dia memalingkan pandangan dari para cewek yang terlihat bahagia, tertawa bersama. Berganti menatap Adit yang memandangnya.

"Itu, Rianti. Sahabatku tidak masuk hari ini, tidak biasanya dia begitu. Bisakah kau tanyakan apa yang terjadi? kali aja dia sakit?"

Adit mengangkat sebelah alisnya, "Hanya itu saja?"

Monica mengangguk, "Hanya itu saja, please."

Tanpa diminta dua kali, Adit bergegas menuju kelas Monica. Dari tempatnya berdiri, Monica melihat Adit berbicara dengan beberapa orang teman sekelasnya. Mungkin mereka akan merasa aneh kenapa Adit Sang idola menanyakan Rianti dan bisa jadi saat masuk esok hari, Rianti akan melonjak senang karena Adit mencarinya, memikirkan hal itu membuat Monica tersenyum.

"Monica, Rianti absen," terang Adit sambil melangkah mendekatinya.

"Karena apa? apakah mereka memberitahumu?" Monica bertanya dengan cemas.

Adit menggeleng, "Mereka hanya bilang ada urusan keluarga."

Monica menggeleng tidak mengerti, "Rianti tidak pernah absen sehari pun karena dia menyukai sekolah. Dia selalu bilang rumah bagaikan neraka untuknya karena ayah tirinya kejam. Karena itu dia lebih suka bersekolah. Aneh ya? ada apa?"

Adit mengerutkan keningnya, mencoba berpikir. Sementara itu, bel tanda pelajaran dimulai berdentang mengingatkan.

"Kita akan ke rumahnya nanti, apa kamu tahu rumahnya?" Monica mengangguk.

"Oke, tunggu aku di gerbang sepulang sekolah ya?"

Monica menatap kepergian Adit yang berlari-lari kecil menuju kelasnya. Bunga akasia berguguran ditiup angin berserakan di atas tanah kering. Hawa panas yang semula dirasakan oleh Monica, berubah menjadi kesejukan di hatinya karena Adit yang baik hati akan membantunya, Monica merasa sedikit tersanjung akan hal itu.

Berarti kami akan naik mobil umum saat ke rumah Rianti, Adit tidak bawa motornya,batin Monica dalam hati.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro