Bab.4c
Rumah sakit ramai oleh pengunjung. Bau antiseptik menyebar dari balik kamar rawat pasien maupun lantai yang baru saja dipel. Di lobi, pengunjung memenuhi kursi ruang tunggu. Beberapa nampak cemas dengan handphone di tangan dan banyak di antaranya sedang antri menunggu obat. Monica melangkah pelan melewati koridor rumah sakit. Dia mengernyit beberapa kali saat melihat sesuatu yang tidak ingin dia lihat. Bagaimanapun dia merasa akrab di sini meski membuat gelisah.
Adit sedang tidur, Monica yang tidak ingin mengganggunya, melewati waktu dengan berjalan-jalan keliling rumah sakit. Dia sangat hati-hati agar tidak ada yang memergoki. Dia merasa bahagia bisa menemani Adit di rumah sakit, mengobrol banyak hal dan Adit yang dulu terlihat sangat sombong ternyata ramah sekali. Meski dia tahu, Adit belum terbiasa dengan kehadirannya tapi setidaknya mereka lebih dekat sekarang.
"Kamu nggak makan? sorry aku tanya, soalnya aku nggak tahu gimana kalian makan," tanya Adit siang itu saat dia sedang makan dan Monica menemaninya.
Monica menggeleng, "Aku tidak pernah lapar dan haus," sahutnya.
Adit mengangguk, mengunyah daging rendang yang dibawakan mama untuknya. Terus terang makanan rumah sakit membuatnya muak, dia butuh asupan lain untuk membuatnya cepat pulih.
Selama beberapa hari Monica menemaninya siang dan malam. Adit bahkan dengan sengaja mengusir keluarganya pulang agar Monica punya tempat untuk tinggal. Meski mamanya bersikeras menemaninya namun Adit menolak. Dari semua hal tentang Monica, yang masih membuat Adit belum terbiasa adalah cara Monica yang bisa muncul tiba-tiba dan pergi begitu saja. Dia harus membiasakan diri untuk tidak tersentak setiap kali melihatnya melakukan itu.
"Monica, apa kamu tahu sudah berapa lama kamu tidak ada di dunia?" Itu adalah pertanyaan Adit yang membuat Monica tertegun. Malam itu sepulang Andra, mereka kembali mengobrol.
Monica bergerak pelan dari tempatnya berdiri, menatap Adit dengan matanya yang bersinar sebelum menjawab, "Aku nggak tahu."
Dia terdiam memandang Adit dengan serius.
"Adit, berapa lama aku dah nggak ada di dunia?" Seperti Adit, dirinya juga menghindari menyebut kata mati.
"Tiga bulan." Jawaban Adit membuat dirinya terpukul. Sudah selama itu dan dia masih tidak sadar bahwa sekarang dunianya berbeda dengan mereka semua. Jadi sudah tiga bulan lamanya dia lupa tentang dirinya, keluarganya namun tidak lupa tentang Adit dan sekolahnya. Bukankah itu aneh? kenapa Monica hanya mengingat soal Adit dan sekolah. Dia ingat benar jika dia punya keluarga tapi detil peristiwa dalam hidupnya tidak ada satu pun yang dia ingat.
Di ujung lorong Monica berpapasan dengan sosok wanita renta yang memandangnya sambil tersenyum. Monica yang tidak ingin bercakap-cakap hanya menganggukkan kepalanya untuk memberi salam. Sang Nenek berjalan tertatih melewatinya. Bau Sang Nenek sangat harum, semacam bunga mawar.
Beberapa langkah kemudian dia menghentikan langkah saat mendengar suara Nenek memanggilnya, "Hei, gadis muda. Nenek perlu bicara denganmu."
Monica menoleh, menelengkan kepala dan tersenyum padanya, "Iya Nek, ada yang bisa Monica bantu?"
"Oh, namamu Monica? nama yang bagus. Bisakah kamu tolong Nenek?"
Monica mengangguk, dalam gerakan cepat dia sudah berada di samping Nenek, "Iya, tentu."
Sang Nenek kembali tersenyum, meraih sesuatu dalam kantong bajunya dan menyerahkan pada Monica, "Kalung ini adalah miliku, kalung berharga yang semua anggota keluargaku mengetahui bahwa hanya orang yang terpilih yang berhak menerimanya. Tolong besok pagi kamu berikan padanya dan sampaikan pada cucu-cucuku yang lain, terima kasih sudah merawatku tapi kalung ini aku berikan pada Andaya."
Monica menerima kalung dari sang nenek. Sebuah kalung emas sederhana dengan untaian batu permata. Beban kalung terasa berat di tangannya.
"Tapi, Nek ...."
Sang Nenek membungkukkan sedikit badannya dan tersenyum, "Tolong, Monica. Hanya kamu yang bisa. Bila nanti para cucuku tetap ribut, kamu bilang mereka, Neneknya bisa melihat mana yang paling tulus di antara yang tulus. Seperti bunga mawar asli tampak mencolok di antara mawar plastik meski sama bentuk dan warnanya."
Monica menggenggam kalung di tangannya dan menatap nanar saat melihat sosok Nenek di hadapannya mulai memudar. Dia memejamkan mata, merasa sedih untuk seseorang yang tidak dia kenal. Kalung di tangannya bagaikan sebuah amanah yang tidak dapat dia tolak.
Lorong rumah sakit kembali sunyi. Di ruang suster, Monica bisa mendengar para suster jaga sedang sibuk memeriksa jadwal pasien. Terdengar bisik-bisik dan tak lama kemudian suara tangis meledak dari kamar 104. Monica melayang pelan, kembali menuju kamar Adit.
"Monica, kamu dari mana?" tanya Adit saat melihat Monica datang.
"Adit! kamu harus bantu aku," kata Monica dengan panik.
Sekarang, di sinilah mereka berdua. Berhadapan dengan anggota keluarga nenek yang semuanya nampak berduka namun entah kenapa Monica merasakan aura kemarahan. Ruangan pasien 104 diselimuti oleh rasa kehilangan, kelegaan dan juga pengharapan yang aneh. Monica bergidik ketika merasakan kesenangan akibat kematian nenek di kamar ini.
Dalam kamar 104 tidak ada pasien lain. Hanya keluarga nenek yang sedang berkumpul. Monica melihat seorang gadis berkacamata sedang sibuk mengemasi barang. Matanya sembab dan wajahnya pucat. Rambutnya tergerai di atas kepalanya yang menunduk, memeriksa laci.
Seorang laki-laki berpakaian necis terlihat asyik mencukil kukunya yang dimanikur rapi. Seorang wanita amat cantik sedang mengelap wajahnya dengan tisu. Sepertinya dia baru saja menangis karena sisa air mata terpeta di wajahnya yang putih. Duduk di atas ranjang, seorang laki-laki yang lebih muda. Memakai topi dan jin belel, memandang gadis berkacamata dengan penuh minat. Tidak ada tanda-tanda kesedihan di wajahnya.
Semua menoleh saat melihat Adit yang duduk di kursi roda dengan Monica mondorong di belakangnya, masuk ke dalam kamar.
Sesaat Adit ragu-ragu untuk bicara. Belum sempat dia membuka mulut, terdengar teguran dari pemuda necis.
"Bang, lo salah kamar. Di sini tidak ada pasien." Suaranya yang cempreng terdengar membahana di ruangan sepi.
Monica yang merasakan keragu-raguan Adit, menggerakkan tangannya untuk menepuk pundak Adit, memberi semangat.
"Bukankah ada Nenek yang semalam meninggal di sini? kamar 104?" ujar Adit pelan.
Mendengar perkataan Adit semua mata yang ada di ruangan memandannya dengan bertanya-tanya. Bahkan gadis yang Monica lihat tengah sibuk mengemasi barang di laci pun menghentikan aktivitasnya untuk memandang Adit.
"Siapa lo?" Si Necis kembali bertanya sambil menegakkan tubuh untuk memandang Adit dengan lebih jelas.
Adit berdehem, menguatkan diri sebelum bicara. Merasakan tekanan yang disertai hawa sejuk di pundaknya, hanya sekilas lalu menghilang.
"Nama saya, Adit. Saya kemari ingin menyampaikan pesan Nenek dari kamar 104 untuk anggota keluarganya."
Seketika semua mata terlihat waspada. Mereka menatap Adit yang kikuk. Laki-laki bertopi yang semula duduk di atas ranjang, bangkit dari tempatnya dan melangkah mendekati Adit.
"Maksud lo apa? ngigau ya? atau almarhum Nenek gue ada hutang sama lo?"
Adit menggeleng, "Nggak, ini serius. Sebelum meninggal Nenek sempat meminta agar kami menyampaikan pesan."
"Kami?" tanya si laki-laki bertopi.
"Iya, teman saya yang bertemu Nenek dan menyampaikan hal ini."
"Sudah, jangan muter-muter bicara nggak jelas. To the point saja maksudk] kamu apa?" Kali ini suara wanita cantik yang terdengar tidak sabar. Kata-katanya diberi anggukan setuju oleh yang lain. Terdengar gumanan ketidaksukaan keluar dari mulut mereka.
Si gadis berkaca mata meneruskan pekerjaannya. Tiga pasang mata yang lainnya memandang Adit dengan tajam. Monica bergerak pelan, berdiri di samping Adit.
"Nenek mengatakan, dia berterima kasih karena sudah dirawat oleh cucunya. Dia bisa melihat yang paling tulus di antara yang tulus."
Gumanan berhenti, mereka menatap Adit dengan tegang.
"Benarkah Nenek bilang begitu?" Si gadis berkaca mata bertanya dengan lirih.
Monica dan Adit mengangguk bersamaan
"Lalu, apa yang dia katakan lagi? apakah dia kesakitan? apakah dia meninggal dengan tenang dan bahagia? apakah dia memaafkanku karena tidak pernah cukup berbakti merawatnya?"
Pertanyaan bertubi-tubi dari gadis itu membuat Adit bungkam.
"Adit, bilang padanya. Nenek bahagia," bisik Monica lirih.
Adit mengangguk, menghela napas sebelum bicara.
"Dia bahagia, tidak kesakitan."
Medengar perkataannya, si gadis berkacamata menangis tersedu-sedu. Adit berpandangan dengan Monica, merasa tidak enak hati.
"Dasar penipu!" ucap wanita cantik dengan nada sengit.
"Kak Dinda!" Gadis berkaca mata menegurnya.
"Memang dia penipu dan aku tahu dia suruhan kamu kan? karena kamu ingin membuktikan pada kami semua bahwa kamu selama ini mengurus Nenek dengan baik. Paling baik, paling tulus di antara kami yang sibuk bekerja?"Dinda menuding gadis di hadapannya dengan garang.
Si gadis berkacamata tertegun, sama sekali tidak menyangka akan menerima rentetan kemaharan dari wanita yang dia panggil, Dinda.
"Dinda, jangan begitu. Kamu berpikiran buruk saja. Dia menipu apa?" Si Necis dengan suaranya yang cempreng mencoba melerai.
"Halah, kalian berdua sok suci. Dia mengutus orang ini!" Tangannya menunjuk Adit dengan marah, "Untuk berpura-pura memberi tahu wasiat Nenek. Lihat saja, bentar lagi akan ada omongan kalau semua warisan Nenek diberikan pada dia." Kali ini tangannya menunjuk gadis berkaca mata membuat gadis yang ditunjuk berurai air mata.
Monica menjawil bahu Adit. Memberi tanda dengan gelengan kepalanya. Adit mengangguk tanda mengerti. Tidak menghiraukan padangan marah dari Dinda maupun tatapan curiga dari laki-laki necis dia berkata lantang.
"Ini ada peninggalan dari Nenek untuk seorang bernama Andaya. Yang manakah Andaya?"
Serempak semua kepala tegak, semua mata memandang Adit. Dengan gemetar gadis berkaca mata mengacungkan tangannya, "Aku Andaya."
Adit merogoh kantongnya dan mengeluarkan seuntai kalung, "Ini peninggalan Nenek untuk Andaya disertai ucapan terima kasih karena telah mengorbankan masa mudanya untuk merawat seorang nenek penyakitan. Untuk pembagian warisan, pengacara akan menghubungi kalian semua."
Andaya berjalan tertatih menghampiri Adit dan menerima kalung yang diulurkan padanya. Matanya menatap kalung di tangannya dengan berkaca-kaca.
"Bagaimana kalung ini ada di tanganmu? bukankah Nenek menguncinya di dalam brankas dan ada di lemari penyimpanan?"
"Hanya pihak pengacara yang tahu kuncinya di mana,"sahut Si Necis dengan suara lemah.
Monica memperhatikan laki-laki bertopi yang semula nampak arogan sekarang tertunduk lesu. Begitu hebatnya pengaruh kalung ini hingga mampu mendiamkan pertikaian.
"Entahlah, Nenek hanya mengatakan itu. Amanat sudah aku sampaikan, aku harus pergi." Adit menggerakkan kursi rodanya, matanya sekilas menangkap pemandangan yang ganjil. Bagaimana semua orang nampak tertegun menatap kalung di tangan Andaya. Namun itu bukan urusannya, apa yang dia harus lakukan sudah selesai. Waktunya kembali ke kamar.
"Tunggu, siapa namamu?" Suara Andaya menghentikan Adit.
"Adit."
Andaya menghampiri Adit sambil meremas tangannya, "Adit, bisakah aku minta tolong sekali lagi?"
Adit menaikkan sebelah alisnya, berpandangan dengan Monica yang terdiam.
"Ada apa?"
Andaya menggigit bibir bawahnya, nampak ragu-ragu untuk berucap.
"Andaya, mau apa lagi kamu?" tanya Dinda bingung.
"Adit, bisakah kau tanyakan Nenekku sekali lagi, kenapa aku yang harus menerima kalung ini?"
Adit memandang Monica yang menggeleng.
"Maaf, tidak bisa. Nenek sudah pergi."
Andaya tertunduk lesu. Adit kembali melanjutkan menjalankan kursi rodanya ketika Monica berbisik. Sebelum menutup pintu di depannya, Adit menatap kamar untuk terakhir kalinya dan melihat mereka menatapnya penuh harap.
"Nenek mengatakan, dia bisa mengenali mawar asli di antara mawar plastik meski sama bentuk dan warnanya."
Andaya tergugu, bercucuran air mata adalah pemandangan terakhir yang dilihat Adit sebelum pintu tertutup.
Adit mengayuh kursi roda dengan Monica melayang pelan di sampingnya menyusuri koridor rumah sakit yang ramai. Berkali kali Monica menutup matanya setiap kali melewati kamar tertentu. Adit kasihan melihat Monica yang nampak tersiksa namun dia tidak berani bertanya sampai tiba di dalam lift yang sepi.
"Monica, besok kita pulang," ujarnya pelan.
Monica mengangguk, memejamkan mata dan berdiri diam di sudut lift. Entah bagaimana, di dalam lift tercium semerbak bunga. Adit membaui aroma, menyesap setiap wangi yang masuk ke dalam hidungnya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro