Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab.3b

Adit memantut diri di depan cermin, memegang sisir di tangan kanan dan berusaha merapikan rambutnya. Dia bukan pesolek seperti Farhan si rambut klimis tapi setidaknya, menyisir adalah hal biasa yang dia lakukan setelah mandi.

Handphonenya yang terletak di atas meja nakas bergetar, tanda telepon masuk. Masih dengan sisir di tangan Adit meliriknya sekilas, nama Hana tertera di sana. Dia tidak berminat mengangkatnya, membiarkan handphone tetap bergetar untuk beberapa saat.

Ingatan tentang Hana menimbulkan rasa jenuh dalam benaknya. Kecemburuan yang meledak-ledak membuat Adit seperti terkekang. Selalu seperti ini, para cewek ingin menguasai dia sepenuhnya. Bukankah dari awal mereka sepakat? bersama tanpa saling membatasi? pada akhirnya merekalah yang melanggar janji. Dasar cewek! pikir Adit muram.

Mamanya sibuk di dapur dari pagi. Saat tahu, Adit akan pergi bertanding, dia ingin membuatkan sarapan. Aroma bawang goreng tercium menguar di udara. Ditimpa dengan wangi deodorant yang Adit oleskan di ketiak.

"Adit, lo berangkat sendiri ya? gue sibuk mau anterin Marina belanja." Wajah Kakaknya muncul dari balik pintu kamarnya yang terbuka.

Andra, Sang Kakak terpaut usia lima tahun di atasnya adalah seorang mahasiswa tingkat akhir yang tengah menempuh ujian skripsi. Marina, cewek yang dipacarinya hampir dua tahun ini.

"Ya sudah, kunci motor mana?" Adit mengulurkan tangan. Gemerincing kunci terdengar saat Andra merogoh sakunya.

"Hati-hati ya, motor itu kayaknya agak rewel. Remnya kurang pakem. Lo jangan kenceng-kenceng," kata Andra mengingatkan.

"Oke," jawab Adit singkat.

Andra menepuk punggung adiknya. Meski adik namun tinggi Adit lima sentimeter lebih tinggi darinya.

"Semoga menang," ujarnya sebelum meninggalkan kamar. Adit mengangguk. Meraih ransel yang berisi baju seragam dan mencangklongkannya di pundak.

"Ah ya, kalau sempat. Pulang tanding lo ke bengkel ya? sekalian service motor!" perintah Andra sebelum menghilang ke dalam kamarnya.

Adit berjalan menuju dapur. Tersenyum tipis saat melihat mamanya sedang sibuk menata piring di atas meja. Meski berusia hampir setengah abad namun mamanya masih terlihat cantik dan enerjik.

"Adit, mama buatin kamu sop buntut. Biar kamu ada tenaga. Sebenarnya mau masak yang simple aja macam nasi goreng tapi takutnya bikin kamu gampang haus."

"Adit makan apa saja masakan Mama," jawab Adit sambil menarik kursi dan duduk sambil menyendok nasi. Tak lama, hidangan sop panas dia nikmati dengan gembira. Mamanya paling jago kalau memasak.

"Enak tidak sop buntut buatan Mama?" tanya Sang Mama sambil menabur bawang goreng ke atas sop di mangkok Adit.

Adit mengangguk, "Enak banget."

Mamanya mengambil kursi dan duduk di depannya, "Sudah beberapa waktu kamu nggak makan sop buntut dari tetangga sebelah ya? Gadis itu yang memasak bukan?"

Adit mendongak, ingatannya melayang pada sop buntut panas dan lezat yang dikirim tetangga sebelah untuknya. Masakan itu, seenak buatan mamanya. Adit tidak tahu apakah mama si cewek yang membuat ataukah cewek itu sendiri. Mengingat tentangnya membuat pikirannya sedih.

Saat mengendarai motor melewati rumah sebelah, sekilas dia melihat gorden tersingkap dari dalam. Adit berpikir mungkin ada saudara atau siapa datang membersihkan rumah. Dia memacu motornya menuju sekolah dan membenarkan pendapat kakaknya bahwa motor memang perlu di service.

****

Seperti biasa, Monica memilih kursi paling belakang untuk menyaksikan pertandingan. Di barisan depan nyaris semua yang menduduki adalah cewek. Karena pertandingan diadakan hari minggu, cewek yang menonton datang dengan dandanan terbaik mereka. Semua terlihat cantik dan glamor. Diam-diam Monica melirik bajunya yang berupa terusan putih sederhana.

Ada banyak supporter dari tim lawan. Mereka berada tribun timur. Berseberangan dengan tribun tempat Monica duduk. Lumayan banyak yang datang.

Dari tempat duduknya dia bisa melihat Adit tersenyum saat bicara dengan rekan satu timnya. Dia melambai pada cewek-cewek yang duduk di bagian selatan. Mereka membalas lambaiannya dengan heboh.

"Huh, baru diberi lambaian sudah pada kejang," ucap satu cowok di sampingnya.

"Itu karena bukan lo yang melambai tapi Adit." Cewek di sebelahnya yang berbaju biru membantah dengan sebal.

"Sama saja, sekedar lambaian biasa. Emangnya mereka nggak tahu Adit pacaran sama Hana?"

"Mereka tahu dan Adit tetap memesona meski sudah punya pacar." Ucapan cewek itu dibalas dengan dengkusan si cowok. Selanjutnya terjadi cekcok kecil antar mereka tentang Adit, Hana dan hal tak masuk akal lainnya. Monica merasa mereka berdua terlalu berisik.

Pertandingan di mulai, Monica memfokuskan pandangannya hanya pada Adit. Bagaimana dia berlari, melompat atau mengelap keringat yang membasahi wajahnya. Gerakan Adit sungguh lincah dan gesit.

Penonton bersorak saat Adit berhasil memasukkan bola ke dalam keranjang. Dia benar-benar menjadi idola. Kemudian, sesuatu terjadi. Ada seorang pemain dari pihak lawan melakukan kecurangan, dia dengan sengaja menabrak Adit saat tengah melaju membawa bola untuk dimasukkan ke dalam keranjang. Tabrakan yang tiba-tiba membuat Adit tersungkur. Sang penabrak, pemain nomor punggung sembilan tersenyum minta maaf, Adit meringis dan berdiri kembali untuk meneruskan pertandingan.

"Sial itu nomor sembilan, sengaja dia." Cowok di samping Monica berguman marah.

"Memang, untuk melemahkan Adit. Secara dari tadi Adit mlulu yang cetak angka," jawab cewek berbaju biru.

Tidak berapa lama teriakan marah kembali bergema, ketika Adit ditabrak kembali. Kali ini lebih keras membuat Adit jatuh terguling. Lututnya membentur lantai lapangan. Sesaat dia tidak bergerak, tergeletak di atas lantai.

Suara-suara marah terdengar dari kubu sekolah mereka. Monica sendiri bangkit dari duduknya. Tanpa sadar bergerak ke depan menembus kerumunan, cemas dengan keadaan Adit. Dia bisa melihat dengan jelas, Adit yang meringis kesakitan. Lututnya membengkak. Ada yang retak sepertinya.

Monica hanya berdiri di pinggir lapangan. Adit dipapah keluar lapangan dan digantikan pemain lain. Gumanan marah terdengar bagai serangan lebah.

Berjalan pelan, Monica mengambil jalan memutar menuju tempat Adit sedang duduk diobati.

"Bagaimana? Sakit saat diluruskan atau ditekuk?" Pelatih bertanya pada Adit yang meringis.

Dari tempatnya berdiri Monica bahkan bisa menghitung bulir-bulir keringat di wajahnya. Hana sang kekasih memandang cemas, wajahnya cantiknya terlihat ingin menangis.

"Lebih sakit saat ditekuk," jawab Adit.

Sang Pelatih mengoleskan obat, memijat, mengompres kaki Adit. Setelah beberapa waktu rasa sakit memudar.

Monica ingin sekali membantunya. Mungkin mengelap wajahnya yang basah karena keringat, mengambilkan air minum atau apa pun itu untuk mengurangi kesakitan Adit. Semua niat hati dia telan bulat-bulat karena sudah Hana yang melakukan. Monica mengawasi Adit yang sedang menjalani perawatan dalam diam dari tempatnya berdiri.

Monica mengalihkan pandanganya dari Adit yang sedang beristirahat ke arah pemain nomor sembilan. Dia merasa sangat jengkel padanya karena membuat Adit celaka. Saat itulah dia melihat pemain nomor sembilan tersungkur dengan mulut berdarah. Tidak ada orang yang menubruknya namun Monica bisa mendengarnya berteriak-teriak menyalahkan angin.

"Ada angin nerjang gue. Kenceng banget sampai bikin gue muter sendiri dan jatuh!" kata si nomor sembilan dengan mulut penuh darah. Suara tawa tertahan bercampur dengan desis kasihan terdengar di sana-sini. Penjelasan si nomor sembilan tentang angin memang tidak masuk akal. Akhirnya dia ditarik keluar dari lapangan dan digantikan pemain lain.

Hasil akhir pertandingan, tim sekolah mereka unggul tipis dari lawan. Teriakan kegembiraan bergema di seluruh stadion. Para pemain yang bubar, satu persatu menghampiri Adit dan menepuk punggungnya, memberi semangat.

Monica menyingkir, Adit baik-baik saja itu sudah membuatnya tenang. Dia berjalan keluar stadion. Matahari siang terasa membakar kulit. Monica mengelus lengannya yang terasa panas, sungguh tak nyaman. Dia memutuskan untuk menghindari panas, duduk di dalam kelas kosong. Menikmati angin yang menerpa tubuhnya, dia merasa sangat lelah. Kepalanya terkulai di meja dan tertidur, tidur tenang tanpa mimpi.

Kesunyian yang terlalu tenang menggugah tidur Monica. Matanya mengerjap terbuka, memandang kelas kosong yang sunyi. Sedikit bingung, dia bangkit dari kursi dan berjalan terhuyung menuju pintu.

Pantas saja sepi sekali, sudah pada pulang rupanya, batin Monica sambil mengamati lingkungan sekolah yang tak berpenghuni. Pintu pagar halaman depan sudah ditutup. Dengan terpaksa Monica berjalan memutar menuju pintu belakang.

Daun-daun pohon akasia dan bunganya yang berwarna warni berguguran di sepanjang jalan beraspal. Jalanan yang dilalui Monica tidak terhitung besar. Sepanjang trotoar yang dia lalui, tidak ada orang berjalan kaki. Kendaraan tidak terlalu ramai. Ada beberapa angkot yang lewat namun tidak mau berhenti saat Monica melambai. Mungkin mereka tidak melihatnya atau juga angkot terlalu penuh, pikir Monica menghibur diri. Terpaksa dia berjalan menuju jalan besar untuk mencari halte bus.

Monica mengerjap, ketakutan melanda hatinya. Entah bagaimana dia bisa melihat dalam gerak lambat, Adit datang mengendarai motor dari arah belakang. Tiba di perempatan jalan, persis di depan Monica, sebuah mobil melaju kencang dari arah yang tak terlihat oleh Adit.

Adit terperangah, panik, berusaha mengerem motornya. Monica yang ketakutan bergerak secepat angin, menghadang laju motor Adit.

"ADIIIIT! AWAAAS!" Monica melemparkan tubuhnya ke arah Adit.

Benturan tetap tidak dapat dihindari. Suara mesin beradu terdengar nyaring menghentak jalanan. Asap mengepul, jerit ketakutan. Sore itu di perempatan jalan, tubuh Adit tergeletak bersimbah darah. Orang-orang berdatangan untuk menolong. Pengemudi mobil yang ternyata seorang wanita, menangis gemetar di balik kemudinya. Tidak lama kemudian ambulan datang, membawa Adit menuju rumah sakit.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro