Bab.3a
Senja itu indah dengan jingganya
Tapi fajar menyingsing jauh lebih memesona
Semburat cahaya, elok terlihat mata
Bagaikan sejuta harapan pada cinta
Seperti aku, akan menjadi fajar untukmu
Adit
****
Monica menyusuri lorong sekolah yang sepi. Berjalan sendiri sambil bersenandung pelan. Rianti ada latihan judo, tidak bisa pulang bersamanya. Monica merasa hatinya berat, entah kenapa akhir-akhir ini Rianti bersikap acuh. Tidak lagi seakrab dulu. Rianti yang sekarang, seperti enggan menanggapi perkataannya. Bisa dikatakan seperti tidak melihat kehadirannya. Dia ingin bertanya ada masalah apa dengan sahabatnya tapi Rianti selalu menghindar.
Dia tidak peduli dengan teman sekelasnya yang lain. Dari dulu Monica sudah terbiasa dianggap tidak ada. Mereka boleh bersikap dingin padanya tapi tidak dengan Rianti. Tanpa sadar Monica mendesah sedih.
Angin bertiup semilir, menerbangkan daun bunga akasia yang tumbuh di halaman. Debu-debu beterbangan bagikan serpihan berlian, Monica melihat semua pemandangan di hadapannya dengan takjub. Pot-pot berisi bunga perdu atau tanaman hijau berjejer rapi di sepanjang teras kelas. Sesekali Monica melongok ke dalam kelas yang di lewatinya, sepi. Dia belum ingin pulang, toh di rumahnya juga tidak ada orang.
Sayup-sayup terdengar sorakan dari kejauhan. Monica menajamkan telinga, berusaha mencari sumber suara. Rupanya dari dalam lapangan basket. Jangan-jangan Adit sedang latihan basket. Pikir Monica gembira. Dia melangkah begitu cepat hingga nyaris seperti terbang.
Beberapa cewek terkikik saat melewatinya, dengan sigap dia menyingkir, merapatkan tubuhnya ke tembok. Dia kurang percaya diri berhadapan dengan penggemar Adit. Mereka terlalu berisik, terlalu bersemangat. Hal yang tidak dimiliki Monica. Sekilas dari omongan mereka Monica bisa mendengar sedikit percakapan soal Adit.
"Lihat nggak wajah Hana yang kesal saat Adit melambaikan tangan ke arah kita?" Seorang Cewek berkaca mata berkata pada temannya yang berambut keriting.
"Biar aja, sok kecakepan. Baru juga pacar, udah posesif banget."
"Gayanya itu loh, OMG! Hana berasa kayak artis yang pacaran sama bintang idola." Si Kaca Mata bicara dengan nada mengejek.
Pembicaraan mereka ditimpali dengan oleh lainnya. Gerutuan mereka hilang di kelokan. Monica yang masih bersandar pada tembok merasa lega saat mereka menghilang. Meraba dada berdebar, niatnya untuk melihat latihan Adit sekarang terlihat agak mengerikan.
"Jadi nonton nggak ya? kalau Adit lihat gue gimana?" guman Monica sambil menggigit bibir, "kalau lihat juga nggak apa-apa sih? pasti dia nggak kenal, ada banyak orang di dalam."
Monica melangkah ragu-ragu masuk ke lapangan. Di dalam orang lumayan ramai. Ada banyak cewek maupun cowok yang menonton latihan. Monica mencari tempat duduk yang tidak terlalu dekat dengan lapangan. Dia memutuskan menduduki kursi baris ke tiga. Matanya mengawasi lapangan dengan jernih, seakan-akan sedang berdiri di pinggir lapangan. Terkadang dia sendiri heran, kenapa akhir-akhir ini daya lihatnya bisa meningkat tajam. Dia bisa melihat lalat yang hinggap di atas meja dengan jelas seakan-akan lalat itu sebesar kecoa. Begitu juga pendengarannya, kemarin malam dia bisa mendengar Adit tengah menggoda kakaknya dari kamarnya. Sungguh aneh. Dia bahkan tidak memerlukan kacamata lagi.
Beberapa orang beranjak duduk di depannya. Mereka memandang Adit yang terlihat tampan bahkan saat berkeringat dan nampak gesit mengoper bola. Monica meraba dadanya yang berdesir, sesuatu tentang Adit membuatnya bahagia.
"Pertandingannya kapan sih?" tanya cewek di depannya pada cowok bertopi yang duduk di sampingnya.
"Hari minggu, di sini. Melawan SMA Tujuh."
"Asyik, kita nonton ya?" celetuk yang lainnya.
"Oke, jam sepuluh pagi standby ya."
Monica mencatat dalam hatinya, hari minggu jam sepuluh. Dia tidak boleh bangun kesiangan. Kapan lagi bisa melihat Adit bertanding. Apakah dia perlu menelepon Rianti? mengajaknya ikut nonton? tapi Monica kehilangan handphonenya. Alat komunikasi itu, hilang entah kemana.
Puas mengamati Adit berlatih, melihat juga bagaimana Hana setia menunggui kekasihnya. Monica merasa waktunya untuk pulang. Dia beranjak, meninggalkan hiruk pikuk di belakangnya. Perasaan kosong menyergapnya saat melihat senja memantul dari langit di atas gerbang sekolah. Jingga, menyilaukan namun membuat sedih. Bukankah semburat matahari terlihat indah? pikirnya. Tapi kenapa dia merasa sedih. Angin semilir menerpa rambutnya yang tergerai bebas. Orang-orang berjalan melewatinya seakan-akan tidak melihat dia sedang mematung di tengah jalan.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro