Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab.2

Bintang berpijar di antara panas matahari

Debu jalanan berpacu bersama angin

Rasa malas

Kejijikan

Rasanya jiwa terenggut musnah

****

"Adit!"

Adit mendengar suara yang feminim memanggilnya dari kejauhan. Dia menghentikan langkah, menunggu pemilik suara datang menghampiri. Tidak berapa lama serbuan wewangian menyergap penciumannya, disemprot sedikit agak banyak dan cukup mengganggu.

Seraut wajah jelita, dengan mata bulat dan wajah tirus. Rambut hitam panjang sebahu membuat penampilannya makin terlihat cantik. Hana, seperti namanya yang berarti bunga, gadis di hadapannya memang secantik bunga.

"Adit, lo jalan kaki?" tanya Hana dengan wajah berseri-seri.

Adit mengangguk, "Diantar sama kakak barusan," jawabnya singkat.

Matanya memperhatikan halaman sekolah sudah mulai ramai. Beberapa orang di antaranya menyapa ramah. Ada juga cewek-cewek yang memanggilnya untuk menggoda. Hana yang melihat merasa tidak senang. Wajahnya mengerut sebal.

"Lo ngapain sih nanggepin mereka? emang nggak cukup ya punya gue?"

Adit mengerutkan kening, persoalan cemburu-cemburuan macam gini yang membuatnya gerah. Dia mengangkat ranselnya ke punggung dan berkata dengan sedikit malas pada Hana.

"Gue masuk kelas dulu!"

Hana terbelalak, tidak menyangka Adit akan meninggalkannya, "Adit, gue belum selesai ngomong!"

Adit melambai, "Ntar siang dilanjut." Lalu bergegas melangkah menuju kelasnya. Dia tidak menoleh lagi untuk melihat apakah Hana masih di tempatnya berdiri atau tidak. Tidak ingin merusak mood paginya dengan pertengkaran yang tak perlu.

"Adit, lo jadi ikut kami nggak?" Brian, teman sekelas sekaligus kapten tim basket menghampiri dan menepuk punggungnya.

"Mau kemana?"

"Tanding dengan SMA Tujuh."

Adit yang tengah membongkar isi tas dan memasukkan sebagian buku ke dala laci terdiam tidak menjawab. Tidak lama datang Farhan dan Seno, duo gila di kelompok mereka.

"Adit sedang sibuk menyemai cinta, tak usalah kau ganggu dia?" kata Seno dengan logat Bataknya yang fasih. Duduk di meja Adit dan langsung berdiri karena Adit menyentak badannya.

"Gendut, lo bikin meja gue ambruk!" sungut Adit.

"Jangan PMS pagi-pagi, tidak baik untuk kesehatan," ujar Farhan sambil mengelus rambutnya yang licin karena minyak. Di antara mereka, Farhan terkenal sebagai pesolek. Cita-citanya ingin menjadi foto model, entah model untuk apa.

"Brian, gue pikir dulu masalah tanding, terus terang kurang mood," ucapnya pada Brian, "minggat lo berdua, berisik!" usir Adit pada Seno dan Farhan.

Dengan bersungut-sungut kelompok itu bubar. Adit membuka buku catatan, merasakan handphonenya bergetar. Nama Safitri tertera di layar. Dia membuka pesan dengan enggan dan merasakan sentakan kemalasan seketika. Selalu sama, cewek-cewek itu mengirim pesan untuk berbasa-basi, bertanya soal, sedang apa sekarang? sudah makan belum? apakah tidak bisa mengganti dengan pertanyaan yang lain? pesan barusan juga sama. Tidak berminat membalas pesan, Adit mematikan handphone, berkonsetrasi pada lembar catatan di tangannya.

Pikirannya teralihkan ketika penciumannya menangkap aroma wangi semerbak. Dia bingung, tidak ada yang lewat tapi kenapa mendadak wangi sekali? lalu sekejap wangi menguar di udara. Adit merasa dirinya salah membaui sesuatu.

****

Monica mengerjap dari tidurnya, dia masih memakai pakaian yang sama dengan yang dia kenakan tadi malam. Waah, jam berapa sekarang? pikirnya kalut. Melihat jam di dinding menunjukkan pukul enam tiga puluh pagi. Buru-buru dia bangkit dari ranjang dan setengah berlari ke arah kamar mandi.

Rumah sepi, Monica ingat keluarganya pamit untuk menginap di rumah adik Mamanya yang tinggal luar kota. Mereka berharap dia ikut tapi rasa enggan menghinggapinya. Terus terang, dia tidak terlalu suka berkumpul dengan keluarga Sang Mama, mereka kaku dan kolot menurutnya. Walau dengan berat hati mereka meninggalkannya sendiri di rumah. Tentu saja setelah perdebatan panjang antara dia dengan sang papa.

Untunglah angkot banyak yang lewat, Monica terburu-buru naik ke angkot yang lumayan ramai. Sedikit kesal karena sopir tidak mendengar teriakannya saat ingin turun dari mobil, membuat dia terpaksa berhenti agak jauh dari sekolah. Sopir juga tidak mau menerima uang yang dia sodorkan, dengan bingung Monica melemparkan uang ke kursi samping sopir.

Jam pelajaran rupanya sudah berlangsung, Monica berhasil melewati pagar depan tanpa Satpam melihatnya. Ini sebuah kemajuan karena satpam gerbang depan hampir tidak pernah meninggalkan pos jaga. Dengan bergegas menuju kelas, merasa bersyukur guru sedang tidak ada di tempat. Tergesa-gesa menuju bangkunya, semua teman sedang sibuk mengerjakan soal hingga tidak peduli kedatangannya.

Dia tersenyum pada Rianti yang menunduk di atas bukunya. Rianti terdiam tidak membalas sapaannya, Monica memaklumi sahabatnya sedang sibuk menulis. Dia mengambil catatan dari dalam tas dan mulai mengerjakan soal yang tertulis di papan. Mengeluarkan kelopak bunga kaca piring yang dia petik barusan dan menaruhnya di atas meja.

"Monica ... bau bunga kaca piring." Mendadak Rianti berkata dengan lirih. Raut wajahnya terlihat sedih.

"Iyalah, gue yang bawa bunganya," sahut Monica sambil tertawa.

Suasana kelas yang hening mendadak riuh ketika Pak Dadang, guru matematika berteriak agar mereka mengumpulkan pekerjaan. Monica yang enggan ke depan, meletakkan bukunya di atas buku Rianti dan membiarkan sahabatnya yang maju ke depan. Seperti biasanya, Monica lebih suka menjadi pengamat. Duduk di bagian belakang dan mengamati kelas dengan penuh minat.

Siang yang terik. Matahari membakar ubun-ubun. Monica merasa badannya panas sekali, entah kenapa sinar matahari yang terik membuatnya tidak nyaman. Perasaan seperti terbakar merayap di kulitnya. Mungkin karena panas terlalu menyengat. Pikirnya.

Kantin terlalu penuh, membuat Monica dan Rianti dan satu teman mereka bernama Lasmi enggan masuk. Rianti yang akhirnya berinisiatif membeli jajanan dan es lalu membawanya ke bangku di bawah pohon sambil mengamati sekelompok cowok-cowok yang sedang berkumpul di seberang tempat mereka.

"Koq beli minuman banyak amat, bukannya lo nggak suka minuman jeruk?" tanya Lasmi heran.

Rianti mengangkat bahunya, "Kebiasaan, Monica suka soalnya," jawabnya lirih.

Monica tersenyum, menatap sahabatnya dengan sayang, "Lo tahu aja gue suka jus jeruk tapi entah kenapa lagi nggak pingin minum. Badan gue panas sekali."

"Matahari terlalu menyengat, bikin nggak nyaman," ucap Lasmi.

"Memang!" jawab Rianti dan Monica bersamaan.

Monica melihat sekelompok cowok berjalan mendekat ke arah mereka. Hatinya berdebar tak terkira. Bukankah itu Adit? dia asyik bercanda. Terlihat begitu bahagia. Secara reflek Monica mundur dan duduk membelakangi jalan agar tidak dilihat Adit.

"Lihat, Adit and the gang," kata Lasmi sambil makan kacang asin di tangannya. Mengamati penuh minat cowok-cowok yang bergerak menuju tempat mereka.

"Monica selalu ngumpet kalau papasan jalan sama Adit. Malu katanya," ujar Rianti sambil tertawa lirih.

"Biarin, lo dah tahu gue pemalu," sungut Monica.

"Ini dia sang pacar, apa mereka masih bersama?"

Ucapan Lasmi membuat Monica menoleh ingin tahu. Adit dan Hana bertemu di persimpangan jalan, persis di depan mereka. Masing-masing dengan teman-teman satu gengnya. Monica membalikkan badan memunggungi mereka namun masih bisa mendengar percakapan dengan jelas.

"Adit, lo nggak sibukkan? bisa kita bicara sekarang?" tuntut Hana.

Adit mengangkat bahunya, "Bukannya kita janjian mau ngobrol nanti pulang sekolah?" jawab Adit.

Teman-teman mereka saling nyengir untuk bertegur sapa. Jika dilihat adegan mereka ketemu seperti dalam film remaja pada umumnya. Tidak terduga namun romantis, pikir Monica sedih. Matanya mencuri-curi pandang karena penasaran.

"Nggak bisa sekarang, ya? penting ini!" Nada bicara Hana seperti tidak sabar.

"Tidak bisa, gue mau latihan basket. Daah!" Adit bergegas meninggalkan Hana yang cemberut. Salah seorang temannya yang berambut klimis mendadak berteriak ke arah Rianti.

"Hai, cewek jago judo. Kapan-kapan kencan ama gue ya? gue suka cewek perkasa!"

Ucapannya membuat Rianti kesal, dengan geram dia balas berteriak, "Urus aja rambut lo biar makin klimis, ribet!"

Seketika suara tawa pecah di antara kelompok Adit. Terlihat Si Klimis beberapa kali kena pukul dan ejekan dari teman-temannya. Setelah suara mereka menghilang di balik tembok, Monica memberanikan diri duduk di tempatnya semula. Hana dan teman-temannya masih belum beranjak dari tempat mereka berdiri.

Tanpa disangka Hana berjalan mendekati mereka, tangannya bersendekap dan mulutnya cemberut. Meski begitu tidak mengurangi kecantikannya.

"Jangan GR ya, yang barusan teriak itu Farhan, bukan Adit!" terang Hana.

Rianti bangkit dari duduknya dan berjalan mendekati Hana. Posturnya yang tinggi dan tegap mengintimidasi Hana. Secara tidak sadar gadis itu mundur beberapa langkah.

"Gue tahu, tadi itu siapa. Tidak perlu lo jelasin. Kalau mau cemburu bukan di sini tempatnya, lo salah orang!"

Hana mendengkus, mengibaskan rambut ke belakang dan memberi tanda pada teman-temannya untuk pergi. Tusukan kejengkelan terasa di hati Monica. Sebelum dia sempat bicara, Lasmi sudah protes lebih dulu.

"Sok kecakepan dan posesif sekali sama Adit. Udah kayak orang menikah aja."

"Emang tuh! tapi aku mau juga jadi pacar, Adit." Monica berkata sambil meraba wajahnya yang memanas.

"Sudah nggak usah dipikir," ucap Rianti. Keringat mengalir di wajahnya. "ayo ke kelas lagi. Di sini terlalu panas."

Monica memeluk sahabatnya dengan sayang, hanya Riantilah yang paling mengerti perasaannya selama ini. Mimpi-mimpinya tentang Adit dan juga rasa kesal pada keluarganya, terutama Sang Mama. Heran, kenapa gue kesal sama Mama? ada apa ya? Pikir Monica bingung.

Mendadak Rianti berhenti melangkah, meraba seluruh lengannya.

"Kenapa, Lo?" tanya Lasmi heran.

"Gue merinding, lihat!" Rianti menunjuk bulu kuduknya yang berdiri.

Monica tertawa renyah, mencubit pipi Rianti dengan sayang. "Tentu saja merinding, gue peluk lo terlalu kencang kayaknya. Udah jalan sendiri-sendiri saja, biar lo nggak merinding."

Monica melangkah cepat menuju ruang kelas, meninggalkan Rianti yang masih mengusap-usap lengannya. Di luar terlampau panas, Monica senang udara di dalam kelas cukup sejuk dan membuatnya mengantuk. Meletakkan kepala di atas meja, Monica mulai terlelap.

***

Pagi itu ada yang berbeda bagi Monica, kali ini dia tidak terlambat bangun. Rupanya semalam dia tidur cukup nyenyak hingga lupa mematikan lampu ruang tamu. Untunglah sedang tidak ada Mama di rumah, kalau tidak dia akan mengomel panjang lebar dan mengatakan Monica tidak bisa diajak berhemat.

Saat sedang menutup gorden jendela depan, Monica melihat Adit sedang termangu menatap teras rumahnya. Untunglah kaca jendelanya terbuat dari kaca riben. Monica bisa melihatnya dari dalam tapi Adit tidak bisa melihat bagian dalam rumah. Setelah termangu agak lama, Adit bergegas naik ke dalam mobil papanya yang berhenti tepat di depan pagar rumah Monica.

"Wow, apa itu tadi. Adit sedang apa? untung dia nggak bisa melihat gue?" Monica menepuk-nepuk wajahnya. Menyambar tas yang tergeletak di atas sofa dan mencangklongkan tas di bahu. Setelah mengunci pintu, tangannya terulur mengambil sekuntum bunga kaca piring. Menyelipkannya ke dalam saku dan melanjutkan langkahnya menuju sekolah.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro