Bab.13b
Adit menunjuk Monica yang sekarang berdiri menatap mamamya yang menangis dan papanya yang terbelalak.
"Monica, bisa kamu agak mendekat?" perintah Adit.
Monica mengangguk, berdiri tegak tepat di hadapan mamanya, "Katakan padanya, aku bangga dan bahagia memiliki Mama sepertinya, Adit."
Saat Adit mengatakan pesan Monica, tangan Bu Ageng bergerak menggapai udara kosong di hadapannya, "Mama mencintaimu, Sayang. Maaf jika selama ini Mama memperlakukanmu dengan tidak baik. Semoga semua penjelasan hari ini bisa membantumu."
Bu Ageng berbicara seakan-akan Monica benar-benar ada di hadapannya. Monica tersenyum, mengulurkan tangan untuk menyentuh wajah mamanya. Hatinya terasa terpilin melihat orang yang selama hidup dia benci ternyata begitu menyayanginya. Jika dia masih manusia tentu air mata kesedihan dan penyesalan akan membanjiri pipinya sekarang.
Pak Ageng berdiri dari tempat duduknya dan berdiri di samping istrinya, untuk sejenak dia ragu-ragu. Wajahnya menoleh pada Adit.
"Apakah dia ada di hadapan kami sekarang, Adit?"
Adit menagngguk, "Sedang membelai wajah Bu Ageng dengan sayang."
Bu Ageng menutup matanya dan membiarkan air mata menuruni pipinya. Pak Ageng tersenyum di samping istrinya yang menangis.
"Anggap saja Adit membohongi kami. Anggap saja kami gila karena mempercayai Adit tapi jika benar kamu di sini, Sayang? Papa meminta maaf padamu." Suara Pak Ageng tersendat.
Monica mengusap wajah papanya dan senyuman kecil tercipta di wajahnya yang pucat. Adit ikutan berdiri dari tempatnya dan mendekat pada keluarga kecil di hadapannya.
Belum sempat dia mengatakan sesuatu, pintu depan menjeplak terbuka. Dede masuk ke dalam ruang tamu dan berteriak kencang sekali.
"Mamaaaaa! Dede mau mandi." Dia berlari menubruk mamanya.
"Iya, nanti kita mandi. Tapi kamu melakukan satu hal dulu untuk Mama," ucap Bu Ageng sambil mengelus rambut puteranya.
"Mama mau apa?" tanya Dede kecil.
"Coba kamu katakana sama Kakakmu, apa yang Dede hapalin tiap malam buat Kakak Monica?"
Dede mengangguk lalu berucap dengan suaranya yang lantang, "Kak Monica, Dede sayang dan kangen pada Kak Monica. Sudah Ma," ucapnya kepada Bu Ageng.
Monica benar-benar tertawa sekarang, dia mengusap rambut adikknya, "Bocah nakal," ucapnya dengan sayang.
Sore itu, Adit meninggalkan rumah keluarga Monica dengan perasaan senang. Pak Ageng dan istrinya menatap kepergian Adit dengan berat. Meski secara logika mereka menolak namun dalam hati mereka tahu bahwa keberadaan Monica benar adanya. Pak Ageng bahkan berpesan untuk membawa Monica datang kembali lain kali. Setidaknya sekarang mereka tahu jika putri kesayangannya tidak lagi menyimpan kemarahan dan dendam pada mereka.
"Semoga Monica menemukan jalannya untuk tenang, Adit. Bapak menitipkannya padamu." Pesan terakhir Pak Ageng membuat Adit termenung sepanjang perjalanan pulang.
Mungkin inilah jalan bagi Monica menemukan jalannya untuk pulang. Penjelasan tentang masa lalu dan keluarganya tidak lagi menjadi beban di hatinya. Ada perasaan sedih terbersit di hatinya mengingat Monica yang akan pergi namun dia tepis kuat-kuat. Melewati jalanan yang mulai sepi dengan Monica duduk di belakangnya, Adit memacu motornya menembus malam yang mulai turun menyelimuti bumi.
****
Monica melayang bahagia, kali ini benar-benar melayang bukan secara harfiah. Dia berpindah cepat dari jendela ke pintu lalu mendadak duduk di ranjang Adit. Sepanjang malam dia berceloteh tentang kenangan masa kecil yang dia mulai ingat. Adit hanya mendengarkan dia bicara sementara tangannya sibuk mengerjakan PR.
Monica tidak hanya bercerita namun juga bernyanyi bahkan kadang menari. Melihatnya begitu bahagia tanpa sadar Adit tertawa.
"Adit, aku dulu pernah latihan balet loh?" kata Monica sambil berdiri dengan kaki berjinjit, "tapi tidak lama karena bosan. Aku masih ingat gerakannya, lihat."
Monica berjungkat-jungkin di tempatnya. Adit menaikkan sebelah alis melihat tingkahnya. Adakah yang lebih aneh dari hidupnya dari pada melihat hantu menari balet? bukankah Monica terlihat cantik meski berwajah pucat dan transparan? bukankah dia terlihat menggemaskan saat memeragakan diri sedang menari? Adit merasa aneh dengan hatinya.
"Sepertinya aku pernah melihatmu menari, dulu," ucapnya tiba-tiba.
Monica menghentikan gerakannya, melayang cepat menghampiri Adit, "Benarkah? di mana?"
Adit mengernyitkan keningnya, mencoba mengingat, "Sepertinya saat SMP. Di tempat latihan menari . Kamu menari dengan sangat bagus yang sepertinya di persiapkan untuk acara tertentu."
Monica menelengkan kepalanya ke kanan dan ke kiri, tangannya berkacak pinggang. Sepertinya dia berusaha keras untuk mengingat sesuatu.
"Ahai, " teriaknya. Membuat Adit terlonjak di tempatnya, "aku sebenarya mau ikut acara perpisahan bagi kelas tiga tapi saat audisi aku dikalahkan sama pacarmu," cibirnya pada Adit.
"Pacarku, siapa?" Adit balik bertanya.
Monica meleletakan lidahnya, tingkahnya yang lucu membuat Adit tertawa. Mana mungkin hantu bisa begitu lucu. Pasti pandangannya yang salah.
"Sandrina, ingat nggak? pacarmu di SMP kelas dua."
Adit tertawa lebih kerasa lagi, "Kamu mengingat semua cewek yang dekat sama aku ya? kenapa? karena naksir ya?"
Pertanyaan Adit tidak dijawab oleh Monica, dia melayang ke arah jendela dan meninggalkan Adit yang masih tertawa. Dia tidak harus menjawab pertanyaan yang sudah jelas jawabannya. Sahabatnya bahkan keluarganya tahu jika dia naksir Adit jadi apa yang harus dia tutupi lagi. Tidak ada selalin rasa malu yang diam-diam merayapinya.
Pintu menjeplak terbuka, Andra masuk dengan hanya mengenakan handuk yang dililit di pinggang. Monica buru-buru menolehkan wajahnya untuk menghindari tatapannya ke arah tubuh Andra yang basah. Air bahkan masih menetes di rambutnya yang basah.
"Kak, apa-apan sih? kebiasaan masuk sembarangan nggak pakai ngetuk pintu." gerutu Adit. Dia melonjak dari tempat duduknya saat melihat Monica melengos dengan jengah.
Adit berdiri tepat di antara Andra dan tempat Monica. Sengaja untuk menutupi pandangan Monica dari tubuh abangnya yang hanya melilitkan handuk di pinggangnya.
"Adit, gue ngrasa kayaknya lo perlu periksa ke dokter," ucap Andra serius. Matanya menatap Adit seakan-akan Adit menderita suatu penyakit yang berat.
"Apaan, emang gue kenapa?" tanya Adit bingung.
"Gini, sebelum gue masuk kamar mandi, sekilas dari depan pintu kamar lo, gue dengar lo ketawa. Lalu pas gue keluar dari kamar mandi dan lewat lagi depan kamar lo, suara tawa malah makin kencang."
"Emang gue nggak boleh ketawa?" sanggah Adit.
Andra mengibas-ibaskan rambutnya yang basah hingga memercik ke segala arah. Adit mendelik kesal pada tingkah abangnya yang membuat lantai kamarnya menjadi basah.
"Boleh ketawa kalau ada temannya tapi gue lihat lo sendirian. Tadinya gue pikir lo lagi ngobrol di handphone makanya gue masuk buat mengecek. Ternyata, lo malah ketawa sindirian sambil menghadap jendela. Lo beneran dah gila!" tuduh Andra.
Terdengar tawa Monica dari depan jendela. Adit mencibir omongan kakaknya dengan tenang, "Iye, gue dah gila. Sekarang bisa nggak lo tinggalin kamar gue?"
Andra beranjak dari tempatnya, berjalan bukan ke arah pintu akan tetapi menuju jendela di mana Monica berdiri diam. Adit bergerak cepat menahan langkah Andra.
"Stop, Kak. Ngapain mau ke sana?"
Andra memandang adiknya dengan heran, "Gue mau lihat ada apa di jendela itu. Kadang lo ketawa sendiri tapi kadang teriak-teriak di sana. Jangan-jangan ada hantunya."
Ucapan Andra membuat Monica tertawa keras sekarang. Adit melihat ke arah Monica dengan sebal. Lalu kembali menatap kakaknya.
"Jangan ngaco, Kak. Sebaiknya simpan teori lo yang gila itu dan keluar dari kamar gue. Lihat, lantai jadi basah dan licin."
"Tapi, gue beneran mau periksa jendela lo?"
"Jendela gue baik-baik saja. Kalau ada yang rusak biar tukang yang benerin," desak Adit sambil memaksa kakaknya pergi.
Menggunakan ke dua tangan dia mendorong tubuh Andra yang basah. Andra masih menggerutu tentang kegilaan Adit, hantu dan jendela hingga tak sadar sudah di depan pintu dan ketika berbalik, Adit menutup pintu kamarnya dengan mata mendelik tidak senang.
Adit berbalik memunggungi pintu dan memandang Monica yang masih terkikik. Sungguh hidupnya berubah menjadi aneh semenjak kehadiran Monica, tidak hanya dianggap gila oleh teman-temannya tapi juga oleh kakaknya sendiri. Sedangkan penyebab dia dianggap gila malah menertawakannya dengan keras. Sungguh suatu ironi. Adit melangkah menuju jendela sambil menggaruk-garuk kepalanya yang terasa gatal.
"Apa ketawanya tidak bisa dikecilkan sedikit?" pinta Adit dengan memelas.
Monica berusaha menutup mulutnya namun susah. Adit berdiri di depannya dengan pandangan aneh. Monica berdehem untuk menghentikan tertawanya.
"Maaf, Adit. Aku merasa Kakakmu itu lucu. Dia menganggap kamu gila hanya karena karena kamu tertawa sendiri?"
Tawa Monica kembali meledak. Adit menyunggingkan senyum tipis. Tangannya terulur, menyentuh rambut Monica terurai menutupi wajahnya. Dia tahu dia hanya akan menyentuh udara kosong tapi tetap saja dia ingin mencoba menyentuh Monica. Sungguh di luar dugaan, tangannya bisa menyentuh rambut Monica yang halus.
Monica berjengit saat merasakan tangan Adit di rambutnya. Tawanya terhenti seketika. Mereka bertatapan dengan jari-jari Adit di sela-sela rambutnya. Di dalam kamar tidak terdengar suara apa pun selain degup jantung Adit. Mengabaikan tubuhnya yang gemetar, Adit berkata pelan.
"Monica, kamu cantik sekali."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro