Bab.13a
"Adit, tolong. Berhenti bermain-main dengan kami, para orang tua. Jangan melakukan hal yang konyol demi membodohi kami."
Ucapan Pak Ageng memecah kesunyian di ruang tamu. Adit tertunduk lesu, jika papa Monica tidak percaya bahwa anak gadis yang paling dicintainya ada di sini, entah bagaimana dia harus meyakinkan mereka. Adit menatap Monica, mengabaikan pandangan Pak Ageng dan istrinya.
"Papa dan Mamamu tidak percaya jika kamu di sini, aku harus bagaimana lagi, Monica?" tanya Adit pelan.
Monica menatapnya dengan pandangan aneh, bergerak duduk di samping Adit. Sementara Pak Ageng memandang Adit dengan tatapan prihatin. Mungkin dia merasa, Adit sudah gila karena menganggap orang yang sudah mati ada di sampingnya dan berbicara denganya tapi Adit tidak peduli. Kedatangannya kemari akan sia-sia jika Monica tidak membawa penjelasan yang dia inginkan.
"Kamu minta tolong mereka untuk menjelaskan tentang kemana perginya ibu kandungku. Jika mereka tetap tidak mau, kita pulang saja," ucap Monica.
"Selain tentang permen berbungkus merah, adakah hal lain yang kamu ingat soal masa lalumu?" tanya Adit. Mencoba mencari celah untuk membantu Monica.
Gelengan lemah dari kepala Monica membuat Adit tertunduk kembali.
"Kilasan itu datang begitu saja, Adit."
"Aku paham, hanya saja kupikir jika kamu mengatakan sedikit banyak tentang hal yang terjadi di masa lalu, Papa dan Mamaku tidak menganggapku pembohong."
Ruang tamu kembali sunyi, Adit mengusap wajahnya. Dia harusnya sudah menduga hal ini sebelum datang kemari jika orangtua Monica tidak akan begitu saja percaya padanya. Tetap saja, ketidakpercayaan mereka membuatnya sedih.
"Pak Ageng, saya akan pergi setelah Bapak menceritkan pada kami perihal ibu kandung Monica." Melihat reaksi Pak Ageng yang melotot tidak suka, Adit buru-buru memberikan tambahan penjelasan.
"Begini, Pak. Monica sekarang dalam kondisi tidak normal. Dia berada di dunia di mana tempatnya harusnya tidak di sini. Kami menduga, maksud saya dan Monica bahwa ketidaknormalan dia karena dia lupa dengan masa lalunya. Selama beberapa bulan ini yang dia ingat hanya Papa dan keluarganya sedang ke rumah saudara untuk menginap. Jadi saya mohon, tanpa bermaksud ingin ikut campur, bisakah Bapak memberikan sedikit penjelasan padanya?" Adit mengakhiri perkataannya sambil menunjuk Monica yang duduk di sampingnya.
Wajah Pak Ageng mengernyit, seperti berperang antara logika dan juga perasaan lain saat melihat Adit memohon dengan sungguh-sungguh. Sementara di sampingnya, Bu Ageng menguatkan suaminya dengan menggenggam tangannya dan menepuk pelan.
"Cerita saja, Pa. Nggak apa-apa, anggap saja Monica ada di sini dan kita berhutang penjelasan padanya," ucapnya pelan.
Sang suami mengangguk, memijit pelipisnya sejenak adan mendongak memandang Adit.
"Kami akan cerita, anggap saja memang ada Monica di sini." Pak Ageng menutup matanya, sebelum melanjutkan perkataannya.
"Peristiwa bermula saat Monica berumur sembilan tahun, istriku saat itu yang adalah ibu kandung Monica memutuskan untuk meninggalkan rumah. Itu mungkin pertekangkaran terburuk dalam pernikahan kami, jika Monica mengingatnya pasti dia tahu bagaimana kami sering bertengkar hanya untuk hal kecil. Ibu Monica mengatakan sangat terkekang menikah denganku, dia ingin bekerja dan mencapai karirnya. Aku menolak idenya dan dia pergi meninggalkanku, tengah malam saat aku dan Monica sedang terlelap."
Pak Ageng memejamkan matanya kuat-kuat, berusaha mengingat peristiwa yang membuat hidunya hancur kala itu.
"Aku marah memang, sangat marah tapi juda sedih. Bagaimana wanita yang aku cintai tega meninggalkan darah dagingnya sendiri. Saat aku kerepotan antara menjaga Monica dan urusan pekerjaan, kebetulan Dewi yang sekarang adalah istriku, datang membantuku."
Bu Ageng tersenyum lembut, mengelus lengan suaminya. Tidak ada yang ingin menyela cerita Pak Ageng, Adit membisu dengan Monica di sampingnya tak bergerak bagai batu. Tapi semua bisa merasakan aura kesedihan yang menjalar dari cerita Pak Ageng.
"Dewi dulunya adalah sahabat Mama Monica. Dia sering datang ke rumah kami untuk bermain. Saat Mama Monica pergi, Dewi yang membantuku mengurus rumah dan menjaga Monica. Putriku tidak pernah tahu jika Mamanya pergi meninggalkannya karena aku selalu mengatakan Mamanya pergi bekerja dan suatu saat akan kembali. Ketidak jujuranku yang akhirnya malah membawa petaka untuk kami. Saat aku dan Dewi memutuskan untuk menikah, Monicalah yang menjadi penentang pertama. Kami berusaha membujuknya bahkan terakhir aku berbuat salah dengan mengancam dan memukulnya. Kebohongan kami sebenarnya untuk melindungi perasaan Monica tapi nyatanya justru membuat dia menjauhi kami."
Pak Ageng menarik napas panjang dan menutup matanya, Adit melihat sebutir air mata turun di pipinya yang kecoklatan karena terpaan sinar matahari. Bu Ageng yang sekarang Adit ketahui bernama Dewi, diam-diam ikut menangis segugukan. Adit melirik Monica yang masih tak bergerak, raut wajah Monica terap tak berubah. Mungkin saja dia sedang mencoba mengingat masa lalunya atau apa pun itu, dia tidak ingin mengusiknya.
"Aku mencintai Monica seperti anakku sendiri, menyayanginya sepenuh hati. Bahkan saat Dede lahir dan kebencian Monica bertambah padaku, aku tetap cinta," tutur Bu Ageng di sela tangisannya, "Aku punya impian suatu saat kami bisa menjadi keluarga bahagia, Monica menerima kehadiranku. Bermimpi kami akan memakai baju dengan corak yang sama dengan wajah Monica berseri-seri menatapku. Belum sempat kami melakukan itu, dia sudah pergi."
Tangisan Bu Ageng tidak dapat dibendung. Dia segugukan dengan hebat, bahunya naik turun menahan tangis. Pak Ageng mengelus bahu istrinya. Adit sendiri merasakan kesedihan di hatinya. Rasanya menyakitkan harus memaksa orang tua di hadapannya bercerita tentang masa lalu yang menyakitkan bagi mereka. Jika bisa memilih, dia akan memilih untuk diam dan secepatnya pergi. Demi Monica dia tetap duduk di tempatnya, menyaksikan kesedihan paling menyayat hati yang pernah dia tahu.
Bu Ageng menegakkan tubuhnya, mengusap air mata yang membanjiri pipinya. Dengan suara serak dia kembali bercerita. "Kedatanganku ke rumah mereka membuat Monica menjadi gadis yang murung dan tidak suka bergaul. Meski aku tahu, diam-diam dia selalu memperhatikanmu, Adit." Mulut Bu Ageng melengkung, membentuk senyuman kecil.
"Rasanya menyenangkan melihat gadis kecil kami mulai jatuh cinta dan akan lebih menyengakan jika dia bisa terbuka, sayangnya itu tidak pernah terjadi."
Bu Ageng menutup ceritanya dengan desahan napas panjang. Kelelahan dan kesedihan nampak di wajahnya. Pak Ageng bergerak dari tempatnya, tangannya terulur ke arah toples yang terbuka dan mengambil sebutir permen karamel untuk Adit dan untuk dirinya sendiri. Adit menerima permen karamel yang disodorkan Pak Ageng dan membuka bungkusnya, mulai mengunyah untuk menghilangkan rasa tercekat di tenggorokan.
"Monica, kamu sudah dengar semua cerita dari Papa dan Mamamu. Apakah kamu sudah mengerti sekarang?" tanya Adit di sela kunyahannya.
Monica melirik Adit dan berbisik padanya, "Adit, tolong bilang pada Mamaku jika aku masih menyimpan gaun biru senada dengan miliknya. Jika tidak salah ingat, kami memakainya bersama-sama saat perpisahaan sekolahku, SMP."
Adit terbelalak, menatap Monica tak percaya, "Kamu mengingatnya?"
Monica mengangguk, "Iya, juga tentang Papa yang menangis bahagia saat aku berhasil di SMA yang sama denganmu. Bilang sama mereka, aku sangat berterima kasih dan meminta maaf atas sikapku yang tidak baik selama aku menjadi anak mereka."
Adit menutup matanya, merasa senang. Dia duduk menghadap Pak Ageng dan istrinya yang menatapnya. Bagi mereka berdua, tidak aneh lagi melihat Adit berbicara sendiri. Adit tahu mereka tidak percaya padanya tapi ini layak dicoba.
"Begini, Pak Ageng. Monica mengatakan ...." Selanjutnya adalah jeritan dan tangisan haru dari Bu Ageng yang membuat Adit terhenyak. Wanita itu berdiri dan memeluknya kuat-kuat. Adit menaruh harapan mereka akhirnya percaya padanya.
"Adit, apakah dia di sini sekarang? di mana dia Adit?" Bu Ageng bertanya dengan suara bergetar.
Adit menunjuk Monica yang sekarang berdiri menatap mamamya yang menangis dan papanya yang terbelalak.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro