Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab.12c

"KENAPA MEMBAWA-BAWA MONICA, DIA SUDAH TENANG DI SANA!" Pak Ageng menggebrak meja membuat Adit dan Monica terlonjak.

Secepat kilat Monica bergerak, mengelus punggung papanya untuk menenangkannya.

"Adit, apakah Papaku menderita sakit jantung?" tanya Monica lirih.

Adit menggeleng, "Aku nggak tahu, Monica." Perkataannya ditujukan pada Monica tapi Pak Ageng yang mendengarnya meledak marah.

"Apa maksudmu, kamu nggak tahu Monica?" tanya Pak Ageng, "bukankah tadi kamu yang mengatakan bahwa kamu kemari demi Monica? dan sekarang kamu nggak tahu perihal Monica? jangan main-main denganku anak muda!"

"Pak Ageng, tolong tenang Pak. Monica kuatir jika Bapak terkena serangan jantung."

Adit berdiri lalu memberi tanda agar Monica menghampirinya. Keduanya berdiri berdampingan. Dalam keadaan genting seperti sekarang, Adit masih merasa lucu melihat Monica dan dirinya berdiri berdampingan seakan hendak meminta restu pada orang tua Monica.

"Semua yang saya lakukan demi Monica," jelas Adit pada kedua orang di hadapanhya yang saling memandang kebingungan, "terserah Bapak atau Ibu ingin percaya atau tidak tapi tolong bisa Anda berdua jelaskan apa yang terjadi sebelum malam naas malam itu. Karena semua cerita Bapak dan Ibu akan sangat membantu Monica."

Bu Ageng berdehem lalu berkata dengan serius, "Biar aku yang cerita, sepertinya Adit sengaja datang jauh-jauh hanya untuk ini bukan? dia tidak mungkin datang karena iseng ingin tahu. Iya kan, Adit?"

Adit mengangguk. Bu Ageng memberi tanda agar dia duduk di tempatnya semula. Adit menuruti perintahnya sedangkan Monica berdiri kaku di samping tempat duduknya.

"Siang itu kami semua harus pergi ke rumah saudaraku karena ada undangan pernikahan di sana. Kami diwajibkan menginap karena rumah mereka jauh. Monica dan Papanya bertengkar karena Monica menolak pergi dan Papanya menginginkan dia ikut." Suara Bu Ageng terdengar bergetar menahan perasaan. Sementara di sampingnya, Pak Ageng tertunduk.

"Itu adalah pertengkaran paling besar yang pernah aku lihat. Sebelumnya Monica memang sering menetang Papanya tapi tidak sedemikian hebat seperti siang itu. Papanya bahkan hampir kalap hendak memukulnya."

"Bukahkan dulu pernah terjadi?" sela Adit, "Pak Ageng memukul Monica dan membuat Monica lari bersembunyi di taman dalam keadaan hari berhujan?"

Keterkejutan mewarnai wajah Pak Ageng dan istrinya, mereka berpandangan dalam kebingungan, "Ba-bagaimana kamu tahu?" tanya Pak Ageng dengan suara gagap.

"Karena saya yang menemukan Monica bersembunyi dari hujan di bawah semak bunga. Kami berdua di sana sepanjang sore berhujan. Jika tidak salah ingat itu adalah hari-hari pertama saya pindah ke samping rumah kalian. Umur saya, sepuluh tahun waktu itu."

Pak Ageng mengusap-usap wajahnya merasa terteka. Sementara di sampingnya, Bu Ageng terlihat melamun.

"Itu adalah pertengkaran pertama mereka yang kemudian berlanjut dengan pertengkaran lainnya. Monica kecil yang penurut dan manja berubah menjadi gadis egois dank eras kepala." Kali ini Pak Ageng yang melanjutkan cerita istrinya.

"Apakah sebabnya?" desak Adit, "karena tidak mungkin ada perubahan tanpa sebab. Mungkin saya terdengar lancang tapi sekali lagi ini demi Monica."

"Apakah kami harus mengatakan rahasia keluarga kami padamu, Adit?" ketus Pak Ageng.

Adit menangkupkan kedua tangannya dan meminta maaf pelan. Dia bisa merasakan Monica berdiri gelisah di sampingnya. Gadis yang sekarang menjadi obyek pembicaraan mereka hanya terdiam tidak bicara. Bisa jadi dia malu atau justru kaget mengetahui hal-hal tentangnya yang diceritakan kedua orang tuanya.

"Jika Bapak dan Ibu berkenan membagi cerita pada saya."

"Baiklah, aku akan mengatakankannya Adit, Tapi setelah itu kamu harus keluar dari rumah kami. Sepertinya kamu sudah ikut campur terlalu banyak!" Perkataan yang keluar dari mulut Pak Ageng sambil menunjuk pintu yang terbuka membuat Adit terhenyak namun dia mengangguk pasrah.

"Saya berjanji akan keluar," ucapnya pelan.

"Sebenarnya kisah ini bermula saat aku memasuki pintu rumah mereka untuk pertama kali dan menjadi Ibu Tiri Monica." Ucapan Bu Ageng membuat Adit kaget.

Sementara Monica yang semula hanya menjadi pendengar kali ini nampak terkejut. Dia berpandangan dengan Adit.

"Monica tidak suka aku menjadi pengganti Mamanya. Kebenciannya padaku membuatnya menjadi gadis pembangkang. Hingga hampir setiap hari selalu terjadi pertengkaran antara dia dan Papanya," tutur Bu Ageng dengan kesedihan mendalam, "seandainya jika aku tidak menjadi ibunya mungkin Monica akan tetap menjadi gadis penurut dan mungkin dia masih akan hidup sampai sekarang."

"Mama! kamu bicara apa sih? itu takdir!" Bantah Pak Ageng pada istrinya.

Bu Ageng bangkit dari duduknya, berjalan ke arah jendela dan menatap halam melalu jendela kaca mereka.

"Kami bahkan menanam bunga kaca piring di halaman sebagai wujud rasa cinta kami pada Monica. Kami tahu hanya dengan cara itu kami mengenangnya sebagai anak gadis kami. Jika waktu bisa diubah, aku memilih untuk tidak datang ke rumah mereka agar Monica selamat!"

"Mama, cukup bicaranya. Jangan ngawur lagi!"

Terikan Pak Ageng membuat istrinya terdiam. Terdengar isak lirih dari Bu Ageng. Adit memandang Monica yang berdiri di sampingnya. Tanpa sadar bertanya dengan suara keras.

"Monica, apa kamu tahu jika Bu Ageng adalah mama tirimu?"

Monica menggeleng, "Aku sedang berusaha mengingatnya melalui pembicaraan mereka, Adit."

Adit mengangguk, dia menatap Pak Ageng dan istrinya yang menatapnya bingung.

"Monica ada di sini sekarang, Pak. Mungkin Bapak menganggap saya berhalusinasi namun itulah kenyataannya. Dia ada di sini bersama kita."

Keheningan menyusul pernyataan Adit. Monica terdiam di tempatnya memandang Sang Papa yang terlihat bingung. Sementara Bu Ageng kembali ke tempat duduknya. Adit tahu kedua orang tua di hadapanya pasti menganggapnya pembohong. Monica mengelus pundak Adit dan menunjuk toples yang tertutup di atas meja. Adit mengangguk paham.

"Monica akan membuka toples di atas meja sebagai tanda kehadirannya agar Pak Ageng dan Bu Ageng tidak menganggap saya pembual."

Monica menggerakkan tangannya, berkonsentrasi pada toples di depannya. Tiba-tiba toples bergetar dan tutupnya melayang terbuka lalu mendarat manis di samping toples.

"Bilang pada mereka, aku suka permen karamel yang ada di dalam toples. Terutama yang berbungkus merah," ucap Monica.

"Monica menyukai permen karamel yang berbungkus merah."

Ucapan Adit, toples yang terbuka dengan sendirinya juga maksud kedatangan Adit yang tiba-tiba seperti menyadarkan sesuatu dalam diri Pak Ageng dan istrinya. Keduanya duduk diam berpandanga, terlalu syok untuk bicara. Sementara dari kejauhan terdengar suara tangisan anak kecil yang jika Monica tidak salah menebak adalah tangisan adiknya. Mungkin dia sedang kehilangan sesuatu atau sedang bertengkar dengan temannya.Tidak ada yang peduli dan beranjak dari tempat duduk untuk mencari tahu.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro