Bab.11c
Setelah kejadian siang itu, Monica kembali akur bersama Adit. Setiap hari dia kembali berada di samping Adit, baik di sekolah maupun di rumah. Bahkan Adit nyaris tidak lagi memedulikan pandangan orang jika mendapatinya tertawa sendiri. Alex dan Rianti membuntuti kemanapun Monica pergi. Jika Rianti demi Monica entah apa motif Alex. Saat Rianti menanyakan apa maksud Alex mengekor Adit dan Monica, dia hanya mengangkat bahu.
Sudah bukan rahasia umum, hubungan Adit dan Hana memburuk. Nyaris seminggu mereka tidak bertegur sapa meski hanya sebuah pesan. Mereka juga tidak terlihat bersama saat makan siang atau pun saat Adit latihan. Banyak yang berspekulasi atas hubungan mereka. Beberapa cewek di kelas Rianti menggosipkan bagaimana Hana terlihat makin lama makin murung sementara Adit terlihat lebih bahagia.
"Gua akan maju lebih dulu kalau Hana sama Adit putus," teriak Tiwi, teman mereka yang terkenal centil.
Terdengar suara 'huu' karena masing-masing punya keinginan sendiri jika menyangkut Adit yang mereka anggap adalah milik bersama.
"Jangan GR dulu Tiwi, ingat sama Ana ya? kembang kelas kita, meski terlihat sedang PDKT sama Doni tapi kalau Adit terlihat jomlo pasti dia mau."
Apa yang mereka perkirakan menjadi kenyataan. Siang itu, Adit meminta Monica menemani Rianti sementara dia pergi mencari Hana di kelasnya. Awalnya Hana pura-pura cemberut saat melihat kedatangan Adit. Hatinya luluh seketika saat Adit mengeluarkan sekotak coklat dari dalam tasnya. Menganggp Adit sedang menyesali perbuatannya, Hana menerima coklat dengan senang hati dan sengaja memamerkannya di hadapan teman-temannya. Ini sekaligus untuk membungkam banyak omongan tak enak mengenai Adit dan dirinya. Hana ingin mereka tahu jika Adit masih sayang padanya dan meminta untuk berbaikan lebih dulu.
"Kita keluar, Han. Gue mau ngomong," ajak Adit.
Hana mengangguk dengan senang. Dia berjalan mengikuti Adit dengan wajah berseri-seri. Mereka tiba di taman yang sepi karena banyak murid sedang istirahat makan siang di kantin. Meski ada beberapa orang di sana namun tidak ada yang mengusik.
"Kenapa mendadak kita kemari, ada apa, Dit?" tanya Hana sambil mengibaskan rambutnya ke belakang.
Mereka duduk di bangku kayu di bawah pohon akasia yang berdaun lebat. Angin bertiup lembut menerpa wajah mereka. Adit merapikan tasnya dan duduk santai. Hana memperhatikan semut yang berbaris rapi di sebatang pohon kayu lapuk di hadapn mereka. Mungkin karena memang cuaca mendung ataukah karena mereka duduk di bawah naungan pohon yang rindang tapi siang ini cenderung sejuk.
"Adit, koq diam saja?" desak Hana.
"Hana, kita berapa lama sudah saling mengenal?"
"Satu tahun kurang lebih dan berpacaran enam bulan mungkin," jawan Hana pelan. "ada apakah?" dari nada suaranya sepertinya Hana terdengar was-was.
"Selama kita bersama, gue sangat bahagia. Pertama lo bantu gue mengerjakan semua tugas sekolah dengan brilliant," ucap Adit lembut, wajahnya terlihat malu. "jika diingat lagi gue sungguh nggak tahu malu karena selalu merepotkan lo."
"Tapi gue rela sih?" jawab Hana sambil tersenyum. "meski akhir-akhir ini lo nggak pernah minta tolong gue lagi."
"Karena gue belajar untuk rajin menulis, sekarang."
Mereka berpandangan lalu Hana menunduk. Dia tidak tahan karena merasa tatapan Adit padanya menjadi lain.
"Hana, kita nggak bisa bersama lagi. Kita putus ...."
"TIDAK!"
Hana menyangkal dengan keras. Bangkin dari duduknya dan berdiri menghadapi Adit. Dia tidak menangis namun matanya memerah.
"Gue akan lakukan apa pun yang lo mau, Adit? asal jangan putus sama gue?"
Adit menggeleng, meraih tangan Hana dan menggenggamnya lembut. "Maaf Hana tapi ini pastinya yang terbaik buat kita.
"NO, yang terbaik buat gue itu kita tetap bersama Adit bukan berpisah. Plaese, kalau memang perbuatan gue yang kemarin bikin lo malu. Gue janji nggak akan mengulangi. Gue akan jadi Hana yang baik buat lo banggain?"
Penyangkalan dan permohonan Hana yang bertubi-tubi tidak membuat Adit tergerak. Dia hanya menarik napas panjang masih dengan posisi menggenggam tangan Hana. Matanya memandang Hana yang terlihat memelas dengan wajah merah dan air mata di ujung matanya.
"Jangan menangis Hana, malu kalau ada yang lihat," tegurnya pelan.
"Biarin, gue mau nangis yang keras biar semua tahu kalau lo mutusin gue," ancamnya.
"Kalau gitu bakalan bikin lo nggak punya harga diri lagi. Kemana perginya Hana yang manis sang primadona sekolah? masa iya, gara-gara Adit, dia menangis?"
Penjelasan Adit membuat air mata Hana turun perlahan.
"Plaese, Adit, Tidak bisakah kita memulai semuanya dari awal? gue janji akan bersikap baik dan nggak cemburuan."
Tangan Adit terulur, mengapus air mata Hana dengan punggung tangannya. Dia merasa kasiha pada gadis cantik yang sedang menangis memohon cintanya tapi keputusan sudah diambil dan dia tidak akan berubah pikiran. Untunglah tidak banyak orang di sekita mereka hingga Adit tidak perku kuatir akan mempermalukan Hana.
"Maaf, Hana. Gue nggak bisa. Coba carilah pacar lain yang menyayangi lo sepenuh hati karena gue bukan orang yang cocok buat lo."
Hana menggeleng-gelengkan kepalanya yang cantik, menutup mata dengan kedua tangan dan kembali duduk di samping Adit dengan tersedu-sedu. Adit merasa treyuh, membelai punggung Hana untuk menenangkannya.
"Sudah, jangan menangis. Nanti ada yang melihat?"
"Biarin!" sentak Hana dari sela tangisnya, "kalau Adit nggak peduli lagi sama gue, buat apa gue peduli sama omongan orang."
"Jangan begitu, kita masih bisa berteman tapi sebagai cewek cantik dan primadona sekolah, tentunya lo nggak mau kalau orang lain tahu masalah ini kan?" nasihat Adit sambil berusaha menenangkan tangis Hana.
Siang itu Hana terus menangis dan menangis sementara Adit menungguinya dengan sabar. Mereka duduk berdua tak beranjak bahkan saat angin bertiup makin kencang dan menerbangkan debu-debu jalanan. Di lubuk hatinya yang paling dalam Hana tahu jika Adit tidak mungkin membatalkan keputusannya untuk berpisah, tapi Hana masih menyimpan harapan bahwa Adit berubah pikiran. Meski nyatanya tidak.
Siang itu mereka berpisah, sebelum Hana pergi meninggalkan Adit dia memohon pada Adit untuk satu permintaan. Bahwa dia yang akan mengatakan pada mereka yang bertanya, kalau dia yang memutuskan hubungan bukan Adit. Dengan tersenyum, Adit mengabulkannya.
Adit terdiam di tempatnya, memandang kepergian Hana yang berjalan dengan menunduk. Ini bukan pertama kalinya dia memutuskan cewek dan masih tidak menyenangkan rasanya. Mereka, para cewek selalu tertarik mengejarnya dan bersedia melakukan apa pun yang Adit minta. Untuk satu syarat yang tidak bisa digugat jika ingin menjadi pacarnya adalah cewek itu harus pintar da mempunyai tulisan yang rapi. Itu Adit yang dulu, dirinya yang sekarang tidak ingin mengulangi hal yang sama. Tidak akan bermain-main lagi dengan perasaan cewek mana pun.
Adit yang sedang menunduk sedih, merasakan usapan dingin di pundaknya. Dia mendongak dan melihat Monica berdiri di sampingnya. Meski Monica bukan manusia tapi Adit merasakan bahagia saat di sisinya. Seperti saat ini, separuh bagian hatinya bersedih untuk Han namun separuh lagi merasa bahagia karena kehadiran Monica.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro