Bab. 1
Aku merinduimu setiap waktu
Bernapas dengan menyebut namamu
Ketika angin berembus kencang
Badai datang
Kaulah yang ada di benakku
Ingatkah kau tentang bunga yang mekar saat hujan turun
Tentang kehangatan yang kauberikan saat badai melanda
juga tentang cinta yang bersemi di udara
Mungkin bagimu aku cupu dan lugu
Perasaanku tulus
Bagaikan bulan yang rela dikata bayangan matahari, aku menemani malam
( Adit )
****
Monica melipat buku catatan di atas meja setelah sebelumnya menyelipkan kelopak bunga kaca piring yang hampir layu di dalamnya. Dia merasa wajahnya menghangat dari balik kacamata yang dia pakai. Hatinya terasa berbunga-bunga. Puisi ini entah yang keberapa kali yang dia tulis. Selalu saja, ada perasaan indah tersendiri saat menulisnya.
Adit, nama itu bagaikan mantra dalam kehidupan sekolahnya. Mantra yang membuat hari-harinya bahagia meski tanpa banyak teman. Mantra yang membuat dirinya bertahan dalam kesunyian, dia yang terlalu pendiam dan tergolong minder jika berhadapan dengan teman-teman sebaya. Dia tergolong murid biasa berbeda dengan Adit dan temna-temannya yang glamour.
Monica mengamati ruang kelas yang sepi. Dari tempat duduknya yang merupakan bangku paling belakang, dia dengan leluasa mamandang tingkah teman sekelas. Saat mereka tengah becanda maupun bertengkar. Terkadang ada tatapan manis untuk mereka yang jatuh cinta seperti Ana sang primadona kelas dan Doni yang terkenal dengan keenceran otaknya saat mereka bertukar senyum. Juga saat teman-temannya diam-diam berbagi contekan, Monica bisa melihat dengan jelas. Guru wali kelas mereka, Pak Harto adalah guru Bahasa Indonesia yang sangat penyabar. Monica dan kesendirian bagaikan debu dan karpet kata Rianti, sahabatnya. Perumpamaan paling konyol yang pernah dia ucapkan.
"Monica! Lo ngapain? buruan!"
Suara Rianti, sahabatnya, bergaung di kelas yang sunyi. Monica mendongak dari tempat duduknya. Terlihat Rianti berkacak pinggang di depan pintu masuk.
"Adit sedang tanding basket, buruan!" teriak Rianti sekali lagi dengan tidak sabar.
"Gue datang!" sahutnya.
Monica bangkit dari kursi, membetulkan letak kacamata dan berjalan cepat menghampiri Rianti yang sudah menunggu dengan tidak sabar.
"Lo dah tahu kalau Adit ada pertandingan hari ini, malah nglamun di kelas!" sungut Rianti sambil menyambar lengan Monica dan mengajaknya berlari.
"Gue lupa, keasyikan belajar," jawab Monica sambil terengah. Terus terang susah baginya menyamakan kecepatan lari Rianti yang biasa berolah raga dengannya yang malas bergerak.
"Belajar mlulu, akhirnya jadi telat kan?"
Monica meringis mendengar omelan sahabatnya. Biarpun mengomel namun dirinya tahu, Rianti selalu berusaha untuk menolongnya.
"Lawannya tim mana?" tanya Monica sambil mengelus dadanya yang sakit akibat berlari.
"Nggak tahu, kayaknya sih anak kelas tiga."
Saat mereka sampai di lapangan basket, suasana sangat ramai. Pinggiran lapangan sudah penuh oleh para cewek-cewek penggemar Adit. Suara mereka yang ceria memberi semangat dengan nyaring.
"Lihat, gue bilang apa. Penuh kan?" kata Rianti nggak sabar.
Monica celingak-celinguk memperhatikan sekeliling, dengan badannya yang kecil kurus bagaimana dia bisa menembus barisan penonton.
"Gimana ini, Rianti. Kagak kelihatan dari sini," kata Monica sambil meremas tangannya.
Rianti mendengkus, matanya melihat keadaan dengan nyalang. Seperti menemukan celah, Rianti mengapit lengan Monica dan membawanya merengsek ke dalam kerumunan.
"Permisi! Numpang lewat dong!" teriak Rianti di sela-sela langkahnya. Terdengar gerutuan di sana sini. Namun mereka tidak berani memaki saat melihat siapa yang lewat. Rianti, di kalangan anak perempuan terkenal sebagai preman galak. Selain karena tubuhnya yang tinggi besar juga karena dia atlit judo. Semua takut padanya. Dengan menggerutu, mereka membiarkan Rianti dan Monica maju ke barisan paling depan.
"Fuih, akhirnya bisa juga. Bagaimana? keren kan gue?" kata Rianti setelah mereka berhasil melewati rintangan dan berdiri dalam posisi paling depan.
"Iya, keren memang, Adit," jawab Monica ngawur. Matanya memandang Adit yang tengah berlari.
"Huft, gue ngomong apa, dia jawab apa." Rianti menggerutu namun detik itu juga matanya berealih ke pertandingan.
Monica mengawasi Adit yang sekarang tengah memegang bola. Sedetik kemudian, lapangan bergetar dalam teriakan saat Adit berhasil memasukkan bola dalam keranjang. Monica bertepuk tangan, kaca matanya melorot.
Adit terlihat gagah dalam balutan seragam olah raga biru. Tubuhnya yang tinggi, wajah rupawan dengan alis yang lebat seperti ulat bulu. Dia adalah idola bagi setiap cewek di sekolah. Monica menyukainya sejak dulu, dari semenjak Adit pindah ke sebelah rumahnya dan menjadi tidak hanya tetangga namun juga teman satu SMP. Hanya saja, Monica tidak pernah berani bertegur sapa dengannya. Dia terlalu malu dan takut dicueki jika menegur.
Rasa malunya berlanjut hingga mereka sekolah SMA. Monica hanya memperhatikan Adit dari jauh. Meski berbeda kelas namun dia tahu persis jam Adit berangkat sekolah. Paham betul apa makanan kesukaan Adit dan warna favoritenya. Memperhatikan bagaimana Adit berganti pacar seperti berganti baju. Yah, Adit karena ketampanan dan kepopulerannya terkenal sebagai playboy.
Peluit tanda pertandingan berakhir terdengar di seantero lapangan. Tim Adit menang dengan skor telak. Terdengar gumanan puas dari kerumunan yang mulai bubar. Monica melihat seorang cewek cantik berambut lurus sebahu berjalan menghampiri Adit dan menyodorkan handuk. Namanya Hana, pacar of the weeknya Adit menurut dirinya dan Rianti.
"Lihat itu, Hana. Kelihatan bangga sekali ya jadi pacar Adit?" sungut Rianti sambil memperhatikan Hana yang tengah tertawa di antara Adit dan teman-temannya.
"Iyalah, siapa yang tidak? secara Adit itu idol," jawab Hana penuh harap. Matanya menatap kelompok Adit dengan penuh minat.
Mendengar nada memuja dalam perkataan sahabatnya, membuat Rianti memutar bola mata dengan gemas. Ketertarikan Monica pada Adit yang telah berlangsung bertahun-tahun memang menggemaskan namun juga membuatnya tidak sabar.
"Kalau gitu, lo coba dekati dia?" usul Rianti.
Mata Monica terbelalak seketika, usul Rianti bagaikan suara cambukan di kepalanya. Sungguh mengerikan jika membayangkan dirinya, berjalan menghampiri Adit dan menyapanya. Bagaimana jika Adit tidak mengenalinya? memang mereka bertetangga tapi tidak pernah bertegur sapa. Bagiamana jika Adit menjawab, siapa lo?.
"Aduuh, sungguh mengerikan!" teriak Monica sambil menepuk-nepuk wajahnya untuk menghilangkan bayangan buruk.
Daripada menanggung malu, Monica memilih untuk membisu. Urusan perasaannya biar saja dirinya, Rianti dan Tuhan yang tahu. Dengan pandangan memuja sekali lagi, Monica mengapit lengan Rianti dan beranjak meninggalkan lapangan.
Kejutan menantinya saat dia dan Rianti tiba di kelas. Entah bagaimana puisi yang dia tulis untuk Adit, terpampang di papan tulis. Semua tertawa saat melihatnya masuk. Beberapa cowok bahkan berjingkrak-jingkrak menyebalkan. Sedangkan para cewek cekikian dengan lirikan mencemooh.
"Ciee, yang menjadi bulannya Adit!"
"Uhui, yang bernapas hanya untuk Adit, udah seperti oksigen saja."
Hiruk pikuk ejekan yang bercampur dengan cemooh, bersahutan dengan berbagai komentar menghina tentang dirinya dan puisi untuk Adit. Monica berjalan menuju bangkunya dengan wajah ditekuk. Merasa jika dunianya amblas seketika. Dia lupa menyimpan buku puisinya ke dalam tas dan sekarang dia dipermalukan karena puisi buatannya.
Rianti yang marah menyambar kertas puisi dari papan tulis, wajahnya memerah dan dia berkata lantang.
"Lo-lo semua emang banci! membuli orang beraninya ramai-ramai," teriaknya lantang. Tangan menuding semua yang ada di kelas, "puisi ini milik pribadi, Monica. Kalau sampai gue tahu siapa yang mengambil, lihat aja, gue akan hajar dia!"
Satu persatu mereka yang tadinya tertawa sekarang terdiam, bahkan beberapa ada yang duduk kembali ke kursinya. Para cowok bisa saja melawan Rianti, mereka tidak takut. Tapi akan aneh rasanya jika berkelahi dengan anak cewek meski dia terkenal sebagai jagoan judo. Apalagi jika sampai kalah, rasa malunya akan double.
Rianti meremas kertas di tangannya dan berjalan dengan geram menuju kursinya di samping Monica yang diam-diam menangis. Sungguh ini di luar perkiraan Monica. Dia yang tidak pernah mengganggu orang lain, kenapa mereka tega padanya. Apa salahnya? apakah tidak boleh menyukai Adit? ah ya, pasti Adit akan tahu masalah ini sebentar lagi. Mengingat Adit membuat Monica tersedu-sedu.
Setelah kejadian puisi di kelas. Makin hari Monica makin murung. Dia sekarang bahkan takut ke luar kelas hanya untuk sekedar ke kantin saat jam istirahat karena takut bertemu Adit. Dirinya tahu, meski tidak diucapkan tapi cemooh dari cewek-cewek baik teman sekelas maupun bukan terucap di balik punggungnya. Mereka tidak berani mengejeknya secara langsung karena takut dengan ancaman Rianti. Isu mengenai dirinya memuja Adit sudah menyebar ke seluruh sekolah jika dilihat dari tatapan mengejek orang yang berpapasan dengannya.
"Jangan murung gitu, udah berhari-hari lo nggak ke kantin saat jam istirahat," cetus Rianti saat melihat Monica menelungkup di atas mejanya.
"Gue malas, lo aja yang beli ya? gue nitip." Monica menjawab tanpa mengalihkan kepalanya dari atas meja.
Rianti mendesah, "Lo mah gitu,"
Namun bujukan bagaimana pun tidak membuat Monica beranjak dari tempatnya. Rianti menyerah dan ngeloyor ke kantin sendirian.
Monica memiringkan wajahnya menghadap jendela, di luar panas terik. Banyak murid berlalu lalang di jam istirahat. Tangannya memutar-mutar bunga kaca piring yang layu. Pikirannya mengembara pada kejadian beberapa tahun silam.
Sore itu hujan deras mendera, Monica yang baru saja kena pukul papanya memutuskan untuk pergi dari rumah dan menangis di taman yang sepi. Dia tidak peduli tubuhnya basah kuyup. Tempat bernaungnya adalah sebuah tanaman perdu yang akhirnya dia tahu adalah pohon bunga kaca piring.
"Jangan menangis, bertahanlah. Lihatlah, kucing ini bahkan tidak punya rumah apalagi ayah dan ibu untuk melindunginya." Seorang anak laki-laki menggendong kucing kecil yang basah kuyup datang menemaninya.
Entah bagaimana dia bisa bercerita banyak hal dengan anak laki-laki yang baru saja dia kenal. Sampai akhirnya mereka berpisah begitu hujan reda.
"Monica, jika kamu bersedih coba ingat tentang bunga kaca piring. Bukankah bunga itu yang melindungimu dari hujan saat kau bersedih. Bunga itu cantik meski tanpa duri, semangatlah!"
Setelah hari itu, Monica menanam bunga kaca piring di rumahnya. Hinggi kini dia dewasa namun sosok anak laki-laki itu kini telah menjelma menjadi orang lain.
Di rumah pun Monica lebih banyak di kamar, memperhatikan rumah Adit dari jendela kamarnya yang tertutup gorden. Terkadang melihat Adit keluar dijemput oleh teman-temannya. Terlihat begitu bahagia. Monica mengenali beberapa teman Adit karena mereka sama-sama duduk di kelas dua. Lalu dirinya? hanya mengamati dari jauh.
***
Suatu hari terjadi perampokan di rumah nomor sepuluh. Persis di sebelah rumah Adit. Kejadian berlansung dini hari saat anak perempuan satu-satunya di keluarga itu tengah tertidur pulas. Sedangkan kedua orang tua beserta adik laki-lakinya tengah menginap di rumah saudara mereka. Polisi yang menyelidiki mengatakan perampok yang berjumlah empat orang, datang menggasak rumah dan membunuh anak perempuan di rumah itu. Penduduk sekitar gempar karena tidak menyangka akan terjadi sesuatu yang sadis di lingkungan mereka.
Pagi itu Adit termenung menatap rumah bercat biru di hadapannya. Kondisi rumah sekarang sepi ditinggal penghuninya. Dia melihat tanaman perdu semacam bunga mawar putih tumbuh subur di dalam pot besar yang berjajar rapi di teras, meski tidak disiram sang pemilik. Adit menahan napas yang terasa berat karena rasa sedih. Pikirannya tertuju pada seorang gadis pendiam dengan rambut ikal sebahu. Mereka tidak pernah bicara karena gadis itu terlalu pemalu. Tapi Adit tahu persis gadis itu memperhatikannya, dia bahkan tahu apa makanan favoritenya. Terbukti keluarganya sering mendapat kiriman sop iga dari rumah nomor sepuluh.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro