9
Catatan Penulis: Ini adalah awal November, dan seperti yang dibuktikan oleh keadaanku sekarang yang sedang terlambat berangkat ke rapat, kesibukan sedang gila-gilanya mengejar. Sabtu dan Minggu nanti, aku harus mengurus proker debat psikologi skala nasional. Lalu ada perlombaan internal jurusan dari tanggal 6 hingga 10. Lalu ada Olimpiade Psikologi tanggal 14 (doakan aku, ya!). Akhirnya semua akan mencapai klimaks pada proker ulang tahun prodi tanggal 28 nanti (omong-omong, ini perayaan yang akan dibuka untuk umum. Jika ada yang kebetulan sedang di Malang tanggal 28 November nanti, silakan saja datang, dekorasinya sangat manis lho. Hehehe). Jadi, ada kemungkinan besar bahwa ini akan jadi update terakhirku bulan ini dan baru akan bisa disambung Desember nanti.
Anggap saja Bab ini sebagai permintaan maafku karena kemungkinan di atas. Berhubung Part 1: The Winter akan selesai di Bab 10, jadi aku akan mengusahakan mencuri waktu untuk satu update lagi, tapi aku tidak berani menjamin apa-apa. Berharaplah saja semuanya akan berjalan dengan lancar.
Jadi maaf, terima kasih, dan selamat menikmati.
***
[SEMINGGU SETELAH ISOLASI.]
APAKAH AKU BISA dikatakan melanggar janjiku pada Ayah jika aku meninggalkan Claire di kamar sendirian sementara aku duduk di ruang tamu, menghadap pintu, memeluk lutut, dan berharap Ayah akan kembali?
Karena setelah dua hari, tidak ada kabar sama sekali dari Ayah.
Aku menggigit bibirku dengan getir. Tidak akan makan beberapa jam, kok. Tidak, Yah. Tidak mungkin. Tidak bisa. Pasti akan makan berjam-jam, itu juga jika Ayah beruntung.
Aku ingat tempat apotek terdekat di perkotaan, karena keluargaku memang berlangganan pergi ke tempat itu setiap ada kebutuhan medis. Biasanya hanya obat-obatan rumah tangga sederhana, seperti obat flu, peringan demam, obat migrain, salep, perban—hal-hal standar. Tetapi ingatan soal perkotaan juga menyentakku kembali ke ingatan saat kami perlu membeli minyak, jauh sebelum isolasi dulu. Kericuhan itu. Lautan manusia di sekitar kami. Mobil yang nyaris menabrak kami.
Claire.
James dan Laura.
Aku menggeleng kecil. Aku tidak bisa benar-benar yakin—terutama karena pintu dan jendela selalu kami tutup dan kunci rapat-rapat—tetapi sepertinya badai di luar bertambah parah. Bahkan aku harus selalu mengenakan jaket dan kaus kaki saat di dalam rumah sekarang. Embusan semilir udara dingin semakin rajin masuk ke dalam; siulan angin dingin di luar semakin keras.
Serius, aku mendengar anginnya bersiul, bukan lagi sekadar berdersik. Terkadang aku mendengar tawa samar-samar, tapi seperti tentang segala hal di luar rumah, aku tidak bisa yakin. Terkadang aku mendengar suara obrolan bersahabat. Sepertinya para penjarah jadi mulai saling membangun koneksi. Yang bisa jadi berarti masih ada beberapa di antara mereka yang saling bekerjasama. Yang berarti mereka punya jumlah dalam kelompok. Yang berarti mungkin, mungkin saja, suatu saat nanti, mereka akan punya cukup nyali untuk menyerang.
Ya, itu mungkin saja. Itu, atau kepalaku sedang mengerjaiku.
Aku menatap keremangan ruangan yang gelap di depanku, terpantul oleh pintu depan yang bergeming kelam. Semakin kami jarang keluar dari kamar—yang berarti semenjak Claire harus bed-rest di kamarku dan sejak episode agresif ibuku menjadi lepas kendali—semakin perapian jadi ikut jarang dinyalakan. Penghangatan diri turun ke level jaket, selimut, dan apa pun yang bisa kami temukan untuk menghangatkan diri.
Semakin tidak ada kebutuhan bagi kami di luar kamar. Aku cuma perlu menghirup napas di luar kesesakan kamar dan semua pilu melihat wajah Claire yang terkerut kesakitan. Dan mungkin sesekali memainkan skenario-skenario tidak masuk akal (yang menjadi semakin sering sejak ada penjarah yang benar-benar menyerang dengan linggis waktu itu).
Awalnya, ayahku terkadang keluar untuk mengambil beberapa barang dari gudang dalam atau dari dapur. Sebelum ibuku jadi tidak terduga, ibuku juga masih keluar sesekali untuk merebus air atau semacamnya. Kami dulu makan dari makanan instan kalengan.
Dan aku baru sadar bahwa aku tidak makan selama lebih dari sehari. Sial. Aku sudah tidak makan dari sejak aku tidak lapar, lapar, hingga aku tidak lapar lagi. Aku pernah baca soal ini, tapi aku lupa apa persisnya. Sesuatu soal metabolisme sekunder atau apa namanya. James akan bisa menjelaskan dengan lebih baik.
James ... Laura. Sumpah, Laura. Aku tidak akan berbohong, aku menghabiskan beberapa jam setiap harinya selama seminggu ini memutar-mutar segala macam kemungkinan di kepalaku. Apa isi SMS terakhirnya? Apa yang berusaha ia sampaikan kepadaku? Ia sempat mengatakan sesuatu soal tidak tahu harus bicara pada siapa lagi selain padaku. Apa yang kira-kira tidak bisa ia bagi lagi pada orang lain? Pada James, mungkin? Maksudku, jika ia juga bicara pada James, pasti 1) ia tidak akan sepanik itu mencariku, dan 2) ia tidak akan repot-repot menjawab SMS-ku lagi, karena logikanya, masalahnya sudah lewat.
Aku menghela napas. Di salah satu hari saat aku sedang memikirkan soal SMS Laura, aku juga menyadari bahwa 'tidak tahu harus bicara pada siapa lagi' bisa jadi berarti ia memilih untuk tidak bicara pada orang tuanya. Padahal setahuku, Laura akrab dengan orang tuanya. Sangat akrab, malah. Ibunya sangat asyik diajak bercanda, dan ayahnya nyaris sama senang bertingkahnya dengan anaknya. Orang tua memang bukan rencana favorit Laura, tetapi aku cukup kenal padanya untuk tahu bahwa dalam kondisi seperti ini—dengan kami semua nyaris terisolasi saat itu—Laura akan memilih bercerita pada keluarganya.
Tapi apa iya? Bahkan aku lebih banyak bercerita pada Claire daripada orang tuaku. Walaupun memang ada faktor berharap di situ, karena Claire juga sedang sakit parah dan sangat mungkin tidak bisa mendengarku sama sekali. Sebelum dua hari lalu saat Claire siuman selama semenit, pembicaraan kami selalu berlangsung searah. Begitu pula setelahnya. Aku cuma akan berbicara padanya, meracau tidak jelas, dan pergi lagi keluar setelah diam selama sepuluh menit penuh karena aku tidak tahu apa lagi yang akan kukatakan dan harus menarik napas dulu. Biasanya, aku lalu keluar dan terbayang berbagai hal. Lalu aku masuk lagi ke kamar dan mulai kembali meracau pada Claire. Menyedihkan.
Apakah aku bisa dikatakan melanggar janjiku pada Ayah jika aku meninggalkan Claire di kamar sendirian sementara aku duduk di ruang tamu, menghadap pintu, memeluk lutut, dan berharap Ayah akan kembali? Aku harap tidak. Karena aku benci melanggar janji, dan sekarang aku praktis tidak punya siapa-siapa lagi. Di satu cara, aku sudah kehilangan Claire. Aku telah kehilangan ibuku. Dan aku bisa jadi telah kehilangan ayahku.
Aku jelas tidak mau ayahku pergi membawa pengkhianatanku.
Aku jadi teringat bahwa Laura adalah seorang anak tunggal. Laura tidak mungkin bisa bercerita pada siapa pun lagi di rumahnya selain pada orang tuanya. Dan Laura memilih bercerita kepadaku....
Apakah sesuatu terjadi pada orang tuanya?
Ataukah malah ini semua tentang orang tuanya?
Apakah sesuatu terjadi pada orang tuanya, seperti sesuatu terjadi pada orang tuaku?
Aku terus menatap pintu. Ayah, kapan kau akan kembali? Kami membutuhkanmu.
Sangat, sangat membutuhkanmu.
***
Ternyata aku tidak salah dengar—memang ada suara orang berbincang dan tertawa di luar sana.
Saat itu adalah sepuluh menit diamku di kamar setelah bicara satu-arah pada Claire, sebelum pergi ke ruang tengah lagi untuk mulai berkhayal. Aku diam. Perhatianku sepenuhnya tersita pada napas Claire yang agak pendek-pendek seakan sedang tercekik ringan di tengah mimpinya sendiri, miripnya dengan napasku yang terengah-engah sehabis bercerita padanya soal saat aku pertama kali kencan dengan Laura. Yah, tidak bisa dibilang kencan juga, karena waktu itu kami cuma menunggu James dan dua orang lagi teman kami untuk kerja kelompok, tapi saat itu baru aku dan Laura yang tiba di kafe itu dan akhirnya kami malah mengobrol berdua menyeruput minuman hangat kami masing-masing—aku coklat dan Laura cappuccino—selama satu jam. Benar-benar hanya berdua, soal topik yang tidak mungkin kami bicarakan dengan orang lain lagi. Soal kami. Soal segalanya.
Aku sudah sadar bahwa aku suka pada Laura dari sejak jauh sebelum itu, tetapi saat itu punya arti tersendiri untukku.
Jadi, untuk suatu alasan yang aku sendiri tidak paham, aku menceritakan panjang lebar tentang hari itu pada Claire. Claire cuma tahu bahwa aku pergi untuk kerja kelompok waktu itu, dan ia memang tidak pernah terlalu peduli pada detail kehidupan kakaknya ini. Terkadang penasarannya bukan main, tapi di lain waktu, ia bahkan tidak akan repot-repot bertanya.
Karena ini adalah satu dari beberapa hal tentangku yang belum pernah ia tahu, aku memilih untuk bercerita soal ini. Jadi setelah ceritaku usai, aku cuma bisa terengah-engah sendiri.
Claire, apa kau bahkan dengar apa yang kuceritakan padamu?
Apa kau bahkan dengar apa pun yang telah kuracaukan padamu selama ini?
Apa kau bahkan masih bisa mendengar?
Aku memerhatikan Claire lagi. Walaupun napas kami seragam, tetapi aku tahu bahwa napasku akan membaik. Napas Claire tidak. Belum tentu. Demamnya juga begitu. Tiba-tiba aku teringat bahwa James pernah mengatakan sesuatu soal demam ... sesuatu soal tubuh sengaja merusak diri. Auto—auto sesuatu...?
Aku mengalihkan pandangan sebentar. Sistem kekebalan tubuh ... imunitas.
Autoimun. Aku menjentikkan jari. Itu kata James. Sistem autoimun—kekebalan diri—kita sengaja membuat tubuh kita menjadi tempat yang tidak cocok bagi siapa pun penyusup yang masuk ke tubuh kita untuk melindungi diri. Seperti kita, makhluk-makhluk itu juga tidak suka tempat yang tidak enak untuk ditinggali. Jadi tubuh kita sengaja memanaskan diri hingga—harapannya—jauh di atas selera penyakit-penyakit itu. Cuma supaya mereka mati. Dan karena itulah kita menderita demam saat sakit.
Tetapi demam Claire sangat parah, dan tidak reda hingga sekarang.
Separah apakah penyakitnya?
Belum lagi ... memanaskan tubuh pasti sangat makan energi, dan dengan Claire tak kunjung bangun begini, ia belum makan selama beberapa hari. Jika ia bahkan masih bisa bangun, ia pasti sangat lemas nanti.
Sudah berapa banyak cadangan energi di tubuhnya yang tersita hanya untuk mengusir penyakit keras kepala ini?
Apa Claire masih bisa merasakan lapar di tengah mimpi-demamnya? Aku tidak ingat pernah merasa lapar waktu tidur, tetapi saat aku demam, garis batas antara mimpi dan kenyataan sangat buram sehingga aku sendiri masih sering ragu akan mana yang nyata dan mana yang tidak. Terkadang kenyataan bocor ke dalam mimpi saat aku demam. Apakah lapar Claire juga bocor ke dalam mimpinya? Atau apa dia juga sudah masuk ke fase yang sama denganku—saat lapar tak kunjung terpuaskan dan akhirnya hilang sendiri?
Di tengah sunyi itulah aku mendengar samar-samar suara dari luar: gelak tawa.
Awalnya, aku ragu. Perhatianku saat itu nyaris sepenuhnya tercurahkan pada Claire. Tetapi begitu suara itu muncul, aku langsung beralih perhatian.
Ya, tidak salah lagi. Itu suara gelak tawa. Ada suara orang-orang berbincang.
Orang-orang. Dua? Tiga?
Aku menggeleng. Empat.
Ada empat orang di luar sana yang sedang berbincang dan tertawa.
Gila.
Apa badai di luar tidak cukup dingin untuk mereka?
Jantungku mencelus. Bagaimana jika mereka sudah beradaptasi?
Bagaimana jika para penjarah sudah beradaptasi dengan keadaan ini?
Lalu, jika benar begitu—bagaimana jika mereka benar menyerang ke sini?
Aku memejamkan mata, teringat skenario-skenario mengerikan yang kumainkan setiap aku keluar dari kamar. Serangan para penjarah dari berbagai penjuru. Tidak. Tidak akan lagi. Jangan sampai. Serangan penjarah yang terakhir juga berkelebat di kepalaku. Cara Ayah menanggapi serangannya dengan sangat cekatan. Pukulan telak pematah tulang. Tendangan tanpa ampun. Ayahku terlatih dalam hal itu. Claire juga.
Tapi aku bisa apa?
Gelak tawa di luar semakin keras. Aku tidak bisa yakin karena suaranya ditandingi oleh siulan angin dingin dan embusan badai salju, tapi aku bisa menaksir bahwa jarak kelompok penjarah itu berada dalam radius sepuluh meter dari rumahku. Sepertinya mereka ada di daerah pintu depan, yang berarti mungkin mereka mengobrol di jalan raya.
Jangan mendekat, jangan mendekat—
Gelak tawa itu berubah.
Tiba-tiba muncul suara geraman yang sangat keras hingga membuat gendang telingaku serasa digetarkan mesin blender, dan keempat penjarah tadi menjerit sekuat tenaga. Aku bisa mendengar satu jeritan pria terhenti di tengah jalan dengan bunyi krak yang menyakitkan. Salah satu suara jeritan lain, seorang wanita, berlari menjauh.
Dua jeritan lagi, pria dua-duanya, berlari mendekat.
Sial—jangan—
Aku menyambar kotak tisu Ayah dan berlari ke ruang keluarga, mencari pisau di balik lukisan dengan tangan yang gemetaran tak terkendali. Suara jeritan kedua penjarah itu benar-benar dekat sekarang—mereka pasti sudah tiba di teras.
Pisauku baru saja berhasil kucabut keluar saat mendadak geraman tadi muncul lagi.
Nyaris secara refleks, aku melompat mundur, mendekat lagi ke arah kamar, sementara pintu depanku digedor keras-keras dari luar.
"Tolong kami!"
"Tolong!"
"TOLONG—"
Geraman itu berubah menjadi sebuah gonggongan yang bergaung keras di ruang tamuku.
Suara kedua penjarah itu diakhiri dengan bunyi raungan ganas, tulang patah, daging terkoyak, dan sepasang erangan pasrah.
Napasku yang sudah tersengal karena bercerita pada Claire sekarang bertambah parah. Jantungku yang sibuk berdebar kencang tidak membantu sama sekali. Aku baru sadar bahwa aku menggenggam pisauku dengan begitu keras hingga buku-buku jariku tampak pucat. Suara geraman di luar belum pergi.
Geraman itu melembut sedikit, nyaris menjadi bunyi seekor binatang mendengkur, tetapi belum hilang sepenuhnya. Aku tahu penggeram mistrius itu masih menanti di luar teras, entah apa yang dia lakukan.
Siapa dia? Atau, lebih tepatnya, apa dia? Apakah seekor serigala? Sejak kapan ada serigala di daerah pemukiman Chicago? Apakah semua salju ini mendorong serigala dari Alaska untuk berpetualang dan menjelajah lebih jauh? Atau—
Gonggongan itu muncul lagi dan—
BRAK!
Pintu depanku ambruk.
Ya, ambruk. Bukan dijeblak terbuka, tapi ambruk.
Beberapa hal terjadi di saat bersamaan: angin dingin dari luar langsung berembus masuk. Aku menjerit sekuat tenaga dan berjuang untuk berbalik lagi ke arah kamar, tapi sekujur tubuhku mendadak lupa caranya bergerak. Aku bisa mendengar Ibu memanggil-manggil namaku dengan panik dari dalam kamarnya. Lalu aku bisa melihat si penggeram menyeruak masuk.
Aku benar. Dia seekor serigala.
Namun ada dua hal yang salah.
Pertama, sejak kapan serigala berburu sendirian?
Jeritanku masih belum berhenti, dan saat itulah aku baru menyadari hal salah kedua—hal yang lebih salah lagi: sejak kapan ada serigala sebesar badak?
Aku tidak bohong—makhluk itu berbentuk persis seperti seekor serigala yang berbulu sangat lebat, kehitaman; matanya tajam dan memantulkan cahaya remang-remang yang ada seperti batu-batu obsidian berisi roh-roh jahat, dan, terutama, panjangnya sekitar tiga meter.
Kepala raksasanya mengendus ke sana kemari sebentar, tetapi lalu matanya terpaku padaku.
Dia menyeringai, menunjukkan sederetan taring-taring raksasa berlumuran darah.
Aku berhenti menjerit dan menelan ludah.
Dia mengambil selangkah maju. Lalu dia menggonggong.
Dia menerkam.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro