7
Catatan Penulis: Bab ini agak unik, karena ini adalah salah satu Bab terpanjang sejauh ini (malah bisa jadi memang yang terpanjang, seingatku), tetapi Bab ini cuma berisi satu section seperti Bab lalu. Tapi sejujurnya aku tidak menemukan cara lain yang lebih cocok untuk menulis Bab ini, jadi aku harap ini baik-baik saja denganmu.
Lalu ... aku belum sempat berterima kasih pada vomment kalian semua yang membuat Ragnarökr Cycle: Myth Jumpers bisa mencapai posisi Top 20 di kategori Science Fiction. Aku berutang budi terlalu banyak pada kalian semua. Semoga Bab ini ke depan cukup untuk membayar kalian.
Oh, iya. Aku tidak bisa menjanjikan apa-apa, tapi bisa jadi ini adalah update terakhirku selama seminggu ke depan. Aku mau minta maaf soal itu ... dan doakan UTS-ku baik-baik saja. Hehehe.
Selamat menikmati.
***
[HARI ISOLASI.]
AKU CUMA PUNYA dua alasan untuk terlonjak kaget hari ini.
Pertama, saat aku akhirnya merasa cukup menganggur untuk memeriksa ponselku lagi yang sudah tidak digunakan selama beberapa hari, aku menemukan bahwa ternyata James dan Laura membalas SMS-ku.
SMS itu sudah berumur beberapa hari, tetapi aku memang tidak menyentuh ponselku sama sekali beberapa hari terakhir ini. Aku begitu sibuk mengulang sebuah rutin yang sebenarnya cukup mengerikan: aku akan ke kamar, memeriksa kondisi Claire, berusaha berbicara padanya dan berharap suaraku bisa menembus mimpi-mimpi demamnya, lalu aku akan keluar, membayangkan segala macam skenario—dari serbuan penjarah hingga episode agresif ibuku yang semakin tidak terkendali—dan berusaha memikirkan langkah-langkah yang tepat untuk menghadapinya.
Claire masih belum membaik. Malah, sebenarnya, dia bertambah parah. Aku tidak jarang mendapatinya mengigau. Awalnya, ia memang berbicara seakan sedang bermimpi. Ia menjawab orang-orang imajiner. Ia tertawa selama dua tarikan napas. Ia mengeluhkan hidupnya sebanyak lima kata sebelum berhenti tanpa aba-aba.
Tetapi lalu ia mulai membuat suara-suara tanpa makna. Kata-kata tanpa diksi. Ia mulai mengerang kesakitan. Ia mulai lebih sering mengerang, bahkan terkadang merintih kesakitan. Beberapa jam yang lalu, aku bahkan mendapati air mata mengalir di sisi wajahnya—dan aku tahu pasti itu air mata, bukan keringat.
Aku masih sering berusaha mengajaknya bicara. Sekali, aku menemukannya membelalak terbuka dengan seluruh tubuh kaku. Mulutnya terbuka sedikit—dan ia tidak merespon usahaku untuk bicara dengannya sedikit pun.
Aku takut bukan main saat itu. Aku mengira demamnya akhirnya cukup parah hingga mengganggu kerja otaknya. Aku bahkan tidak tahu apakah yang seperti itu bisa terjadi. Tetapi aku mengayunkan tangan di depan matanya, memanggil namanya, berusaha mengajaknya bicara, bahkan menggerakkan tangannya sekali—dan tidak ada respon sama sekali. Matanya tidak mengedip. Ia tidak menoleh kupanggil. Ia tidak menjawab kata-kataku. Tangannya tidak melawan gerakanku.
Yang berikutnya terjadi, aku terus berbicara padanya tanpa arah—aku mendapati diriku menceritakan kisah-kisah lucu dan pengalaman-pengalaman indah yang kami lalui bersama. Aku bahkan sempat menyindirnya beberapa kali seperti yang sering kulakukan. Aku menepuk kepalanya seperti menepuk kepala anjing. Akhirnya, setelah setengah jam yang tampak tanpa hasil, Claire mengerjap lemah.
Lalu ia menoleh ke arahku dan mengerang dengan sangat lemas, seperti berusaha menjawab apa yang kukatakan, tetapi hanya itu. Ia tidak mengeluarkan suara lagi. Ia cuma mengerjapkan mata dengan sangat pelan satu kali lagi, lalu memejamkan matanya lagi.
Tetapi pipinya berkedut lemah. Ia berusaha tersenyum kepadaku, tetapi tidak kuat.
Ayah dan Ibu masih memeriksa Claire sesekali, tetapi aku semakin jarang melihat mereka keluar dari kamar. Ayah sempat menarikku ke ruang keluarga sebentar untuk menjelaskan bahwa dia harus menjaga agar emosi ibuku tetap stabil, membantu menenangkan ibuku supaya episode agresif seperti dua hari lalu tidak terulang. Ayah juga bercerita bahwa Ibu sempat kelepasan kendali hingga dua kali lagi setelah itu, tetapi Ayah selalu ada untuk menanganinya sebelum aku bahkan tahu apa yang terjadi.
Karena itulah mereka jarang keluar kamar. Karena itulah Ayah selalu ada di sisi Ibu. Dan karena itulah muncul hobiku memutar skenario-skenario aneh.
Saat aku akhirnya memeriksa ponselku dan menemukan SMS balasan dari James dan Laura, aku baru saja membayangkan skenario di mana seorang penjarah menerobos masuk dari pintu depan dengan cara mendobraknya. Aku bahkan bisa mendengar suara dobrakan pintunya dengan jelas, dan aku langsung pergi dari ruang tamu ke ruang keluarga, mencari tempat Ayah menyediakan pisau tersembunyi. Aku bisa membayangkan Ayah keluar dari kamarnya, menanti dengan tangan di dalam saku, menggenggam brass knuckle-nya sambil bergerak ke ruang tamu, semakin dekat ke pintu depan. Sementara itu, aku mengeluarkan pisau dari balik bingkai lukisan dan merapat ke dinding jauh, tetap menanti di ruang keluarga.
Yah, aku tidak tahu cara menggunakan pisau. Aku cuma tahu paling tidak pisau bisa digunakan jadi senjata. Si penjarah akhirnya berhasil merobohkan pintu depan. Ayahku menyambutnya dengan sebuah pukulan telak ke wajahnya, dan si penjarah langsung jatuh dengan hidung patah. Seorang penjarah lain datang, kali ini dengan sebuah pisau jagal di tangan, dan Ayah berkelit dari serangannya sebelum melepaskan sebuah hantaman solid ke arah perutnya.
Si penjarah menunduk kesakitan dan Ayahku menyelesaikannya dengan sebuah pukulan ke kepala.
Dua penjarah berhasil dihabisi di pintu depan. Jeritan nyaring menandai datangnya satu penjarah lagi—tetapi kali ini bukan dari pintu depan.
Ada suara kaca pecah dari sangat dekat di sebelahku, dan aku baru sadar bahwa sebuah batu berat baru saja dilemparkan dari arah sana oleh si penjarah. Penjarah itu lalu menerobos masuk melewati pecahan jendela itu, mengabaikan bajunya yang terkoyak dan kulitnya yang tergores oleh pecahan kaca yang masih ada, dan menerjang masuk.
Aku menjerit dan melangkah menjauhinya, pisauku masih tergenggam rapat di tangan. Ayah mendengar keributan yang terjadi dan mundur ke ruang keluarga untuk menghadapi si penjarah baru—dan itu memberi celah bagi seorang penjarah lagi untuk masuk dari pintu depan.
Aku kembali memekik, dan kali ini, aku mengacungkan pisau tanpa tujuan ke arah si penjarah yang menyambut pekikanku dengan pekikannya sendiri.
Aku memejamkan mata.
Saat aku kembali membukanya, semua pemandangan tadi hilang.
Kaca jendela masih utuh. Tidak ada penjarah di depan. Tidak ada apa-apa. Aku cuma berkhayal—lagi.
Oh, ya ampun. Aku harus berhenti melakukan ini.
Aku tidak mendengar suara apa-apa yang berarti dari arah kamar Ayah, yang mungkin berarti Ibu tidak kenapa-kenapa. Tidak ada siluet atau apa pun dari arah luar jendela. Tidak ada gebukan di pintu, yang tidak jebol. Pisau di pigura lukisan masih tetap di tempat. Begitu pula semua senjata tersembunyi lainnya dan kloroform rahasia yang Ayah sembunyikan di seantero rumah.
Tidak ada penjarah. Tidak ada apa-apa. Kenapa aku begitu paranoid?
Mungkin karena itulah aku akhirnya pergi ke kamar, sekali lagi untuk memeriksa kondisi Claire untuk yang kesekian kalinya beberapa menit terakhir ini, seakan meninggalkannya untuk membayangkan serangan penjarah selama beberapa menit akan membuat keadaannya baikan. Oh, andaikan semua sesederhana itu.
Dan saat itulah mataku mendarat di ponselku. Apa benda sialan itu bahkan masih hidup?
Iseng, aku menekan tombol power-nya. Layarnya menyala lembut; indikator baterainya mengatakan bahwa aku masih punya sekitar sebelas persen tenaga baterai yang tersisa. Dan lockscreen notifications-nya mengatakan aku punya banyak SMS.
Satu dari James, banyak dari Laura.
Jantungku mencelus.
Aku menggeser layar redupku dengan ringan pada notifikasi itu, yang langsung membawaku ke SMS James.
James Osbourne
15.01 Bro, makasih banyak tip soal minyak dulu. Sangat berguna.
SMS itu berumur empat hari. James memang sering mengakhiri SMS ataupun pesan singkat elektronik lainnya dengan tanda titik yang khas, jadi aku tahu pasti bahwa itu memang James—di samping fakta bahwa tidak mungkin juga seorang penjarah iseng bisa tahu bahwa aku memberi James tip soal listrik padam—dan aku harap, itu artinya paling tidak hingga empat hari yang lalu, James masih baik-baik saja.
Aku ragu sejenak untuk membalasnya, dan keraguanku ternyata menelan satu persen tenaga baterai ponselku. Akhirnya aku memutuskan untuk menjawab.
Lucas Andrews
16.42 Gimana keadaan sekarang? Keluarga? Perampok? Ada apa?
Aku tidak akan bohong—mengesampingkan dulu posisi James sebagai sahabatku, bisa jadi ini adalah satu-satunya intelku untuk mengetahui keadaan di rumah-rumah lain. Aku menekan Send, dan SMS-ku mulai menyeberangi dunia maya.
Progress bar SMS-ku bergerak sangat lambat, dan mendadak aku sadar bahwa sinyal tampak jelek. Semoga saja operator ini masih bekerja.
Minus satu persen lagi. Kenapa ponsel pintar selalu cepat kehabisan baterai?
Terkirim.
Akhirnya aku beralih ke thread SMS Laura.
Laura Walter
03.40 Luke
03.40 Luke, tolonglah
03.41 Luke
03.42 Aku mohon balas
03.42 Aku butuh kamu
03.42 Aku tidak tahu lagi harus bicara pada siapa. Aku mohon
03.45 Luke, tolong
03.45 Luke
03.46 L
03.46 L
03.46 L
03.47 Luke
Lalu SMS-nya berhenti di situ. Aku langsung merasakan perutku bergejolak sendiri—tidak seperti James, Laura jauh lebih ekspresif dalam berkomunikasi lewat media elektronik. Dan dari sekian banyak SMS-nya kali ini, tidak ada satu pun yang menggunakan emoticon.
Belum lagi nadanya mencariku....
SMS terakhirnya baru berumur sehari jika dilihat dari tanggalnya. Jantungku mulai berlari seakan tembakan start baru saja dilepaskan. Baru lewat dua puluh empat—tunggu, mungkin tepatnya sedikit kurang dari tiga puluh tujuh—jam yang lalu, Laura mengalami masalah. Aku langsung melayangkan jariku untuk membalas, dan begitu jariku menyentuh keyboard ponselku, bateraiku berkurang lagi satu persen.
Lucas Andrews
16.44 Laura, HP-mu masih aktif? Ada apa?
Send. Aku menanti progress bar di sebelah pesan teksku merayap pelan, berbanding terbalik dengan jantungku yang semakin terpacu.
Baru tiga puluh tujuh jam yang lalu, Laura mengalami masalah.
Laura tidak pernah tidak menggunakan emoticon saat sedang mengobrol denganku secara elektronik, seberat apa pun masalahnya. Tidak menggunakan emoticon adalah bagianku dan James. Bagian Laura adalah tampil bersahabat pada semua orang. Ia tidak akan berbohong padaku, karena ia sudah tahu bahwa aku pasti langsung tahu jika ia bohong. Kami sedekat itu. Tetapi jika ia sedang ada masalah, ia akan tetap lari kepadaku ... dengan obrolan yang dihiasi emoticon, hanya dengan alasan karena ia merasa lebih nyaman jika menggunakannya.
Tetapi kali ini ia memanggilku tanpa satu emoticon pun.
Dan itu cuma bisa berarti satu hal: ini sesuatu yang sama sekali berbeda.
Minus satu persen lagi. Apa yang bisa kulakukan dengan tujuh persen baterai ponsel?
Klontang.
Aku menoleh ke arah kusen pintuku. Suara itu terdengar agak jauh, di luar kamar, tetapi sangat jelas bahwa asalnya ada di sekitar rumah ini. Sial, apa lagi itu? Aku kembali mengunci ponselku dan membongkar satu batu dari kotak tisu pemberian Ayah. Claire mengerang kecil sebelum menoleh ke arah lain dan kembali terlelap. Aku mengendap keluar kamar.
"Yah?" panggilku di koridor. "Apa Ayah dengar yang barusan?"
Tidak ada jawaban dari kamar Ayah. Jantungku yang sudah berdegup kencang karena Laura sekarang berdetak semakin liar lagi, seakan sedang dikendalikan oleh seorang drummer yang kerasukan. Begitu mencapai ruang keluarga, aku menoleh ke arah ruang tamu—gawat.
Suaranya dari arah sana.
Yang berarti asalnya dari luar pintu depan.
"Yah?" panggilku lagi. "Sepertinya ada sesuatu di luar!"
Masih tidak ada jawaban. Aku mengendap perlahan mundur, menempelkan punggungku ke dinding, perlahan bergeser ke arah pigura berpisau yang Ayah siapkan. Mendadak skenario yang habis kumainkan kembali muncul di kepalaku—bagaimana jika serangannya datang dari arah jendela?
Aku melirik ke arah jendela. Tidak ada apa-apa. Atau, tepatnya tidak terlihat apa-apa. Badai salju di luar tidak berhenti juga hingga sekarang, dan masalah hujan es hanya tinggal menanti jam. Untung saat ini sedang tidak ada hujan es—aku tidak butuh distraksi suara yang dihasilkan es yang jatuh berkelotakan di atap rumahku.
Klontang.
Jantungku lompat sampai ke leher.
Suara itu semakin keras, dan aku tidak ragu lagi—asalnya memang dari pintu depan. Tanganku yang bebas bergerak panik ke balik lukisan di sebelahku, berusaha menggapai gagang pisau di sana, tetapi malah berujung tidak sengaja menyenggolnya hingga jatuh. Pisau itu berdenting di lantai, dan aku berjengit karena refleks. Luke, tolonglah.
Aku memungut pisau itu di lantai, dan baru sadar bahwa tanganku gemetaran. Luar biasa. Persis yang kubutuhkan saat ini.
Klon-TANG.
Aku melompat mundur. Mendadak aku sadar itu adalah bunyi yang familier....
Linggis.
Seseorang berusaha melakukan sesuatu pada pintu depan kami dengan sebatang linggis.
Napasku mulai memburu sementara suara logam tadi menghilang sejenak, digantikan suara derit yang awalnya sangat lembut. Mataku berlari ke sana kemari, mendata berbagai hal di ruangan ini—Ayah. Ayah harus tahu soal ini—
Klon-TANG.
"Ayah!" seruku sambil menggedor pintu kamarnya. "Ayah, ada ora—"
Pintu kamar Ayah terbuka sedikit, dan aku bisa melihat wajah Ayah mengintip dari situ. "Tunggu sebentar."
"Tapi—"
Pintu itu kembali menutup. Aku cuma bisa menatap pintu itu dengan putus asa, sebutir batu dan sebilah pisau dapur masih di tanganku tanpa ada gunanya. Pandanganku kembali beralih ke pintu depan—
Klon-TANG.
Derit kayu yang tadi sempat muncul kini terasa lebih keras. Mendadak aku sadar apa yang ingin mereka lakukan.
Dan pintu kamar Ayah kembali mengayun terbuka.
Kali ini, dengan lebar.
"Ayah dengar," katanya sambil menutup pintu dan bergerak cepat ke arah pintu depan. "Tunggu di sini dan tetap siaga!"
Ayah menyeberangi ruang keluarga dan ruang tamu dalam hitungan detik, sementara aku masih terpaku di depan kamar Ibu yang kini sudah kembali ditutup. Tidak ada suara dari dalam kamar, yang semoga saja berarti Ibu baik-baik saja.
Tapi jelas banyak suara dari luar.
Ayah tidak menanti pintu depan kami jebol. Dengan satu gerakan bersih, dia membuka kunci pintu depan dan langsung membuka daunnya. Ada bayang seseorang di luar—seorang penjarah.
Dan yang ini bukan khayalanku.
Aku cuma punya dua alasan untuk terlonjak kaget hari ini. Dan inilah alasan keduanya.
Aku mengambil selangkah mundur sambil memekik kaget, tetapi ayahku berhasil menjaga fokusnya dan langsung melayangkan sebuah tinju bersih ke arah lengan penjarah itu dengan brass knuckle-nya. Penjarah itu baru saja berusaha mengayunkan linggisnya ke Ayah, dan pukulan Ayah menghasilkan bunyi krak yang sangat keras hingga aku sendiri risih mendengarnya. Penjarah itu mengerang kesakitan. Aku mundur selangkah lagi, mataku terbelalak terbuka.
Si penjarah ternyata belum menyerah. Linggisnya masih utuh di tangannya yang satu lagi, dan dia membuat ayunan berputar tepat ke arah kepala Ayah.
Tetapi untungnya Ayah tidak bodoh. Ayah cuma berjengit sedikit, karena ternyata ayunan si penjarah terlalu lebar—linggisnya menggempur kusen pintu dan tersangkut di situ.
Ayah langsung melayangkan tinju besinya ke siku si penjarah, yang segera melepaskan linggisnya sambil mengerang kesakitan.
Ayah tidak menyia-nyiakan kesempatan. Dia mengambil selangkah maju ke arah si penjarah, dan baru saja si penjarah menengok kaget, Ayah meninju keras perutnya—masih dengan tangannya yang dihiasi brass knuckle.
Si penjarah terjatuh ke depan, mendarat di lututnya, dan bertahan sesaat di posisi itu, berusaha menelan bulat-bulat sakit dari kedua lengannya yang patah dan perutnya yang pasti mengalami pendarahan dalam. Tetapi Ayah sedang tidak ingin basa-basi dan langsung melayangkan sebuah tendangan keras ke dagunya.
Si penjarah terpental pergi, jauh dari teras kami, menghilang menuju badai salju di luar, dan tidak kembali lagi.
Sunyi sesaat. Aku tercengang. Aku belum pernah melihat Ayah bertarung, tetapi aku harus akui fokusnya luar biasa. Dia tidak tampak terganggu oleh apa pun—entah itu keadaan lawannya, entah itu serangan balik ... dan setiap serangannya seperti sudah dihitung.
Aku mendadak sadar bahwa aku masih gemetaran di tempat, menggenggam sebilah pisau dan sebutir batu berat tanpa ada gunanya. Ayah menebar pandangan ke arah luar sesaat, memindai kondisi di luar teras, tetapi ternyata tidak menemukan apa-apa karena dia lalu mencabut linggis si penjarah dari kusen pintu kami dan kembali masuk sambil mengunci pintunya lagi.
"Ayah harus cari tempat untuk ini," katanya tenang sambil melaluiku ke arah dapur. "Apa di sini saja? Hmm. Sepertinya bisa."
Ayah membuka salah satu laci di bawah kompor dan meletakkan linggis si penjarah di situ. Jantungku masih berdetak kencang, tetapi sepertinya Ayah tidak menyadari itu. Dia lalu mendekat ke arahku, menepuk bahuku, dan kembali masuk ke dalam kamarnya tanpa kata-kata.
Yang tadi itu penjarah sungguhan.
Penjarah. Sungguhan.
Bukan khayalan.
Aku menelan ludah sambil kembali mengingat bagaimana caranya mengedip dan bernapas. Lalu akhirnya otakku bisa kembali berpikir cukup jernih untuk menyuruhku mengembalikan pisau di tanganku ke belakang lukisan lagi—aku tidak tahu apakah akan terjadi serangan penjarah lagi, dan melihat yang barusan, aku akan sangat bersyukur jika aku punya senjata.
Yang tadi itu penjarah sungguhan.
Penjarah. Sungguhan.
Bukan khayalan....
Omong-omong khayalan, aku jadi teringat ponselku. Apakah Laura membalas SMS-ku? Apakah ponselnya bahkan masih aktif selama lebih dari satu setengah hari aku tidak membalasnya?
Aku mengulang lagi pikiran soal Laura di kepalaku, dan perlahan shock dari serangan si penjarah mulai memudar. Laura. Aku harus memeriksa keadaan Laura. Periksa ponsel. Ya, periksa ponsel untuk balasan.
Jadi aku kembali ke kamarku, batu dari kotak tisu Ayah masih di genggamanku. Claire tampak terlelap dengan tenang. Ponselku masih beristirahat di atas kepalanya. Aku mendekat, mengelus rambut Claire sekali—kepalanya masih terasa sepanas batu bara—dan akhirnya meraih ponselku.
Satu persen baterai.
Dan ada balasan SMS dari Laura di lockscreen notifications-ku.
Laura Walter
Masih. Um. Begini. Aku ... (slide to read)
Aku menggeser notifikasi itu, dan ponselku langsung meluncurkan aplikasi SMS.
Awalnya layarku menggelap sebentar sementara aplikasi SMS-ku memuat diri.
Tetapi layarku tidak kembali menjadi terang.
Aku menanti. Sedetik. Dua detik. Tiga detik. Layarku masih tidak kembali hidup.
Tunggu.
Aku menekan tombol kunci ponselku sekali untuk mengunci layar, lalu menekannya lagi untuk mengaktifkannya kembali.
Layarku masih tidak kembali hidup.
Oh, tidak.
Satu persen baterai—itu adalah satu persen terakhir baterai ponselku.
Aku terduduk di sisi ranjangku, ponselku masih di tangan. Tidak mungkin. Tidak. Ini tidak mungkin. Aku sudah bisa menduga bahwa suatu hari ini akan terjadi, tapi ... tidak. Tidak mungkin.
Ponselku akhirnya mati juga. Sekarang aku tidak mungkin bisa menghubungi siapa-siapa lagi. Aku tidak mungkin bisa tahu kabar di luar lagi. Aku tidak mungkin bisa mengharapkan pertolongan lagi, atau bahkan sekadar teman untuk diajak bicara. Ayah harus mengurus Ibu. Aku harus mengurus Claire yang sekarang tidak bisa lagi bicara sama sekali. Ibuku bisa saja mendadak meletup dengan agresi tanpa alasan seperti dua hari lalu.
Ponselku akhirnya mati juga. Dan aku tahu apa artinya—tidak ada cara lagi bagi kami untuk berhubungan dengan dunia luar. Kami terisolasi dari satu sama lain.
Dan aku bahkan belum sempat membaca SMS terakhir Laura.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro