5
Catatan Penulis: Sebenarnya harusnya aku menahan part ini sampai sekitar besok atau besok lusa, tetapi aku yang tidak tahan. Aku tidak bisa menahan diri menahan part.
Hehe. Aku suka permainan kata barusan.
Jadi ini dia. Mungkin Bab 6 juga akan kurilis dalam waktu dekat. Kita lihat saja nanti.
Selamat menikmati!
ps. Catatan tambahan 22 Oktober 2015, terima kasih banyak pada kaefitzmag yang membuatku meriset hukum kepemilikan brass knuckles di seantero US. Hehehe. Ada beberapa perbaikan di bawah sana. Terima kasih!
***
[SEMINGGU HINGGA ISOLASI.]
"ELLIE, LUKE, CLAIRE, sembunyi! Sekarang!"
Komando Ayah berdering di seluruh ruang keluarga, dan aku—yang saat itu sedang bercengkerama dengan ibu dan adikku—langsung melompat berdiri dengan panik. Suara Ayah tidak main-main. Ekspresinya yang tampak seperti baru saja menyaksikan sebuah medan perang dan wajahnya yang merah sepertinya juga tidak. Ibuku langsung bereaksi dan menggamit lengan adikku, yang mengusap ingus dengan punggung tangannya.
"Claire," tegur ibuku, tetapi Claire sepertinya lebih berfokus ke mematuhi Ayah daripada memusingkan soal ujung lengan sweternya yang jadi kotor dengan ingus dan melangkah cepat ke arah pintu kamar Ibu—kamar terdekat dari tempat kami saat itu. Sementara itu, aku sudah siap di pintu kamar Ibu.
"Ayo," kataku sambil menunggu Claire dan Ibu masuk. "Ayah, siap!"
"Bagus. Jangan bersuara lagi!" balas Ayahku, disusul dengan suara pintu depan ditutup.
Ayah bahkan tidak menyebutkan ada apa, tapi kami tidak banyak bertanya lebih lanjut. Belakangan ini, Ayah sering kembali pulang dengan tangan berdarah—dan aku kenal Ayah terlalu baik untuk tahu bahwa itu bukan karena dia orang jahat.
Semuanya bermula setelah Winter Action akhirnya usai. Satu hari terakhir yang seharusnya menjadi kesempatan terakhir bagi warga untuk mendapatkan persediaan berubah menjadi perang sepanjang dua puluh empat jam lewat yang pecah di seantero negara. Keadaan menjadi sangat genting di posko-posko hingga mempertahankan diri dengan otorisasi hanya sebatas shoot-to-neutralize malah menjadi sebuah beban.
Sehingga akhirnya turun izin baru: shoot to kill.
Gelombang perang langsung berbalik arah.
Pistol-pistol pihak militer yang awalnya hanya terarah ke bawah kini terangkat. Penjarah-penjarah sipil sudah menarget pihak militer dengan serangan-serangan yang dimaksudkan untuk membunuh dari sejak usai berita tentang dibatalkannya sisa durasi kebijakan Winter Action, sehingga pada awalnya, lebih banyak korban nyawa yang jatuh pada pihak militer dan kepolisian. Tetapi itu segera berubah. Ujung-ujung laras senapan kini tidak lagi terarah ke kaki. Sekarang setiap tembakan diarahkan ke jantung dan kepala. Dan keuntungan ada pada pihak militer: mereka praktis terlatih untuk ini.
Jatuhnya korban nyawa pada pihak sipil meningkat drastis. Claire yang rajin memantau linimasa global di semua media sosial memastikan aku mendapat semua beritanya dan menunjukkan banyak tweet ataupun post dari media sosial lainnya yang menunjukkan orang-orang pulang dalam keadaan luka-luka parah sambil membawa anggota keluarga yang tidak bisa diselamatkan lagi. Begitu otorisasi shoot-to-kill diturunkan, pihak militer benar-benar tidak lagi menahan balik serangan bertahan mereka.
Mereka tidak bisa disalahkan. Mereka memang tengah diserang, taruhannya memang nyawa mereka, dan mereka memang ditugasi menjaga persediaan yang diembankan pada mereka agar dapat dibagi secara adil dan merata, sesuai visi kebijakan Winter Action aslinya. Tetapi tindakan ini ada konsekuensinya. Kini kondisinya adalah pihak militer dan paramiliter melawan rakyat yang merasa dirugikan. Rakyat memang menyulut api duluan dengan serangan ricuh yang pertama, tetapi lalu pihak militer yang tidak menyia-nyiakan otorisasi shoot-to-kill memperkuat persepsi masyarakat bahwa kini perang tengah pecah antara pihak militer dengan rakyat.
Kisruh itu terus berlanjut. Masih banyak yang merasa dirugikan atau belum mendapatkan jatah persediaan dari Winter Action. Dua jam setelah otorisasi shoot-to-kill turun, warga sipil malah bukannya menjadi tertib seperti dulu. Sekarang jelas bahwa tujuan mereka bukan lagi perebutan persediaan. Ini adalah perang. Militer dan paramiliter adalah musuh. Bagi mereka, masalahnya sesimpel itu.
Banyak orang yang kemudian bergerilya ke luar, sementara pihak militer mempertebal pertahanan mereka. Banyak personil yang meninggalkan posko demi ikut menjaga persediaan Winter Action. Mereka tetap bermain defensif karena tugas mereka bukan membantai siapa-siapa, tetapi tidak ada yang bisa memungkiri bahwa nyawa mereka berada dalam bahaya.
Video amatir pertama terbang menuju seantero dunia maya dalam hitungan jam. Seseorang menyempatkan diri mengunggah sebuah video penyerangan ke posko Winter Action di Oakland. Video-video lain segera menyusul. Beberapa sindikat teratur membentuk kerjasama yang rapuh dan berhasil merebut posko Winter Action di Memphis. Detroit pecah menjadi medan perang. Buffalo tidak jauh lebih baik.
Di beberapa video, serangan dari pihak sipil berhasil dipukul balik—Los Angeles, contohnya. Portland. Odessa juga. Tetapi tidak banyak video seperti ini. Kebanyakan video menunjukkan posko-posko yang dikuasai pihak sipil. Terkadang pihak militer membuat janji damai dan mengadakan gencatan senjata dengan pihak sipil, tetapi ini jarang.
Keributan ini berlanjut terus hingga akhirnya tenggat waktu Winter Action tiba. Kebijakan itu akhirnya usai. Para personil militer dan kepolisian yang masih bertugas kembali pulang. Mereka yang selamat dari serbuan sipil memperketat lagi penjagaan mereka pada persediaan yang mereka bawa selama jalan kembali ke markas mereka masing-masing. Posko-posko yang sudah diambil alih punya cerita yang berbeda-beda. Beberapa membiarkan personil militernya pulang dengan tangan kosong. Beberapa menghabisi personil militer yang sudah ditaklukkan. Yang pasti, persediaan tetap dibawa pulang oleh penguasa posko.
Segalanya lalu jadi menarik selepas titik itu—banyak gerilyawan yang tidak pulang, terutama mereka yang menguasai posko-posko Winter Action di daerah perkotaan. Mereka tetap berkeliaran. Mereka tetap berburu persediaan, bukannya bergantung pada apa yang mereka punya (atau tidak punya) di rumah. Mereka mulai menjarah.
Aku baru tahu tentang tren ini saat ayahku pulang dengan buku-buku jari berlapis darah untuk pertama kalinya. Saat itu, Ayah sedang keluar sebentar—tanpa memberi tahu aku ataupun Claire—untuk mencari suku cadang untuk generator darurat kami. Ternyata, di tengah jalan, mobil Ayah dicegat.
Ayah tahu ada yang salah, karena saat itu, Winter Action sudah tidak berlaku lagi. Mereka yang mencegat Ayah adalah warga sipil.
Dan mereka membawa senjata.
Ayahku ternyata diam-diam adalah seorang petinju yang handal—sumpah, aku juga baru tahu gara-gara peristiwa ini—dan, semenjak musim dingin ini anehnya menjadi keterlaluan, selalu membawa brass knuckle, semacam alat pelapis jemari dari berbagai logam padat yang bisa membuat sebuah pukulan biasa jadi cukup berat untuk mematahkan tulang, di dalam kantong jaketnya jika bepergian keluar. Senjata itu memang ilegal di sini, tetapi catatan kriminal Ayah bersih, jadi bahkan jika ditangani polisi sekalipun, kemungkinan besar Ayah cuma akan menghadapi penyitaan dan akan dilepaskan lagi.
Lagi pula, pada titik ini, semua polisi sudah tidak berpatroli lagi. Jadi Ayah pura-pura patuh pada para pembajak itu, keluar dari mobil, dan saat mereka mendekat untuk masuk, dia beraksi.
Aku tidak tahu detail peristiwanya, tetapi pokoknya Ayah berhasil mendapatkan suku cadang yang kami butuhkan, dan dia pulang dengan buku-buku jari berlumur darah—dan itu bukan darahnya.
Selama sisa hari hingga sekarang, Ayah masih sering keluar-masuk rumah, dan sesekali, akan kembali dengan buku-buku jari berdarah. Aku tidak pernah bertanya padanya. Dia juga tidak cerita padaku. Aku tidak mempermasalahkan itu.
Bagaimanapun juga, peringatan Ayah kali ini adalah hal yang baru. Aku tidak ingat pernah melihatnya kembali pulang dengan panik seperti tadi sepanjang musim dingin ini—dan percayalah, ini musim dingin yang sangat panjang.
Panik saja tidak pernah, apalagi sampai menyuruh kami semua sembunyi. Ada apa—?
Saat itulah aku mendengar jeritan nyaring.
Jeritan itu terdengar seperti suara yang akan dikeluarkan oleh seorang pria saat akan menyambut nasib buruk yang tidak bisa dihindari lagi—semacam jatuh ke dalam jurang. Lalu ada suara keras yang terdengar seperti sebuah batu remuk, dan jeritan itu berhenti mendadak.
Sunyi kembali. Aku menatap Ibu dan Claire—Ibu tampak agak pucat, dan memeluk Claire. Sementara itu, ekspresi adikku tidak bisa ditebak. Matanya menemukan mataku, dan mendadak aku merasa seperti ia sedang sangat ingin bicara padaku, tetapi ia sendiri juga tidak tahu soal apa. Lalu ia menghela napas. "Apa itu barusan?"
"Entahlah, Sayang," kata ibuku sambil mengelus rambutnya. "Berharaplah ayahmu baik-baik saja."
Keluargaku tidak bisa digambarkan sebagai keluarga yang religius, tetapi kali ini, aku tahu kami semua mengulang harapan Ibu dalam hati.
Lalu pintu depan menjeblak terbuka.
Jantungku membeku sebentar. Aku cuma mendengar suaranya, tetapi kami semua langsung mengenali suara itu. Aku langsung merapat ke dinding di samping kusen pintu kamar Ibu, menahan napasku. Ibu menarik Claire ke tempat yang lebih aman di sisi lain ranjangnya, yang lebih jauh dari pintu.
Lalu kami menunggu. Ada suara langkah lembut bergerak mendekat. Kakiku sudah siap berlari, tetapi di satu sisi, aku sadar bahwa bisa jadi aku satu-satunya yang bisa mencurikan waktu bagi Ibu dan Claire untuk melindungi diri jika terjadi apa-apa. Masalahnya, jantungku tidak bisa diajak berkompromi.
Suara langkah di luar semakin mendekat lagi ke arah kusen pintu. Aku bisa merasakan kakiku gemetar—aku harus bergerak. Aku terlatih di parkour, bukan bela diri. Aku pelari. Aku ahli kabur. Bukan petarung. Seluruh tubuhku memberi perintah agar aku pergi, tetapi aku memohon dengan sangat pada otakku sendiri untuk tidak berkhianat saat ini.
Aku harus melindungi keluargaku.
Suara langkah di luar berhenti persis di depan kusen kamar.
Kami menunggu sedetik.
Dua.
Tiga....
Lalu muncul suara lain: "Luke?"
Aku menghela napas lega seraya keluar dari persembunyian. Itu suara ayahku. "Ayah tidak apa-apa?" tanyaku. Ayah sudah menanti di luar kamar, terselimuti salju tebal, napasnya mengeluarkan kabut embun tipis. Tetapi ekspresinya tampak lega, dan dia mengangguk.
"Tapi Ayah punya berita buruk," katanya. "Ellie ... ada air hangat?"
"Sebentar," jawab ibuku sambil beranjak ke kamar mandi yang ada di dalam kamar mereka. Claire mendekat.
"Apa Ayah habis menghajar orang lagi?"
"Semacam itu," kata ayahku sambil mengangkat bahu dan melepas jaketnya. "Mungkin sebaiknya kau mulai mengajari Ayah sedikit trik judomu."
Claire tersenyum kecil. "Dan Ayah harus mengajari aku tinju."
Ada suara lembut kran air dinyalakan dari dalam kamar mandi, dan ibuku keluar membawa handuk. Ia langsung bergerak mengeringkan salju dari Ayah yang masih tampak berusaha menahan diri dari menggigil.
"Jadi, Yah—ada apa?" tanyaku. Claire melemparkan tatapan tajam kepadaku, seperti menyuruhku diam, tetapi Ayah mengangguk.
"Pertama, Ayah mau minta maaf karena mengagetkan kalian seperti tadi. Itu belum pernah terjadi sebelumnya. Luke, Ayah bangga kau masih bisa berjaga di kusen pintu seperti tadi. Pertahankan itu. Lindungi terus keluargamu." Ayah tersenyum sedih kepadaku. "Lalu, yang kedua ... ada situasi baru."
Ayah berhenti sebentar, mengatur napasnya. Ibuku mulai mengusap wajah Ayah dari sisi lainnya.
"Kalian masih memantau berita?" tanya Ayah. Aku dan Claire mengangguk kecil.
"Sesekali," aku Claire. Ayah mengangguk setuju.
"Tidak apa-apa. Berarti kalian tahu bahwa banyak orang yang tidak pulang bahkan setelah perang Winter Action selesai, 'kan?"
Aku dan Claire mengangguk. Ayahku menebar pandangan sebentar.
"Orang-orang ini ... sebut saja, mereka beralih profesi," kata Ayah akhirnya. "Itulah yang terjadi. Mereka mungkin kehabisan persediaan di daerah perkotaan, Ayah juga tidak tahu. Tapi sekarang mereka mulai berani menjarah perumahan juga. Daerah tinggal sipil. Ingat rumah Pak Richardson?"
Aku mengangguk. "Yang kosong sepanjang musim dingin?"
"Ya. Mereka membobol masuk ke rumah itu dan menjarah semua isinya. Rumah itu kosong, jadi mereka cenderung aman. Tapi ternyata tadi mereka mencoba menjarah tetangga sebelah kita. Ayah kebetulan sedang di luar, jadi Ayah bisa langsung membantu—tapi Ayah tahu konsekuensinya jika mereka sampai tahu dari mana Ayah datang."
"Karena itulah Ayah minta kami bersembunyi," tebak Claire. Ayah mengangguk lagi.
"Untuk sementara, paling tidak para penjarah akan berpikir dua kali sebelum coba macam-macam dengan rumah kita. Sebut saja, Ayah tahu Ayah berhasil membuat mereka cukup jera dengan peristiwa kali ini. Tapi Ayah tidak tahu berapa lama ini akan berlangsung."
"Jadi intinya ... sekarang kita juga harus berhati-hati terhadap para penjarah?" tanyaku. Ayah menghela napas. Selama beberapa detik, kesunyian menemani kami. Ayah bertukar pandang sebentar dengan Ibu. Ibu masih diam. Akhirnya Ayah memutuskan untuk menatap kami kembali, persis di mata. Tatapannya tampak sangat pahit.
"Benar," katanya berat. "Dan kita harus selalu mengunci pintu dan jendela. Jaga jarak dari akses keluar, karena setiap jalan keluar adalah jalan masuk. Kita tidak tahu apa yang akan terjadi. Hal terbaik yang bisa kita lakukan saat ini adalah berlindung dan berjaga-jaga."
***
Berita buruk berikutnya datang dengan sangat mendadak.
Atas perintah Ayah, kami menyalakan lampu ruang tamu dan kamar-kamar karena mereka punya jendela yang menghadap luar. Untuk berjaga-jaga jika ada penjarah lewat supaya mereka memikirkan dua kali soal berusaha merampok rumah ini, karena lampu yang nyala berarti rumah ini masih berpenghuni.
Sementara itu, Ayah mulai menyebarkan senjata di beberapa ruang untuk jaga-jaga. Ada pisau di balik lukisan, batu di dalam kotak tisu, dan berbagai hal lainnya. Ayah bahkan menyimpan brass knuckle-nya dalam saku celana pendeknya.
"Begini," kata Ayah sambil menunjukkan tempat pisau disangkutkan di belakang lukisan di ruang keluarga. "Titik ini masih agak jauh dari pintu mana pun, jadi jika terjadi apa-apa selama kalian di ruangan ini, segera lari ke sini. Ambil pisaunya seperti ini."
Ayah menyelipkan tangan ke bawah lukisan dan menarik keluar sebuah gagang pisau.
"Cukup mudah? Atau perlu Ayah carikan tempat lain?"
"Cukup mudah," kata Claire mantap. Ayah mengangguk.
"Bagus. Lalu bawa ini ke kamar kalian."
Ayah menyerahkan sebuah kotak tisu padaku. "Apa ini—whoah."
Kotak itu sangat berat. Bahkan aku nyaris menjatuhkannya saat pertama menerimanya. "Ayah mengisikan batu ke dalam sana. Jika terjadi apa-apa, pukul saja kepala mereka dengan itu. Kalian juga bisa melemparkannya sebagai pengalih perhatian. Atau mungkin kalian keluarkan batunya dan dijadikan amunisi. Itu terserah kalian. Ayah percaya pada kalian," kata Ayah. "Oh, dan, Claire?"
Adikku mendongak.
"Jangan ragu untuk memanfaatkan ilmumu. Banting mereka jika perlu."
Claire mengangguk, disusul dengan bersin sekali.
"Pilekmu kambuh lagi?" tanya Ayah. Claire mengangguk kecil.
"Padahal obatku habis," katanya. "Oh. Sial. Apa kita punya tisu? Yang tidak berisi batu, maksudku."
"Di kamarku masih ada," kataku. Claire mengangguk kecil.
"Kalau begitu aku mau tidur dulu," katanya. "Aku minta tisumu. Trims, Yah."
Pada akhirnya, Claire berbaring lagi di kasurku setelah mengambil tisu dan kami malah menghabiskan waktu bermain ponsel di kamarku. Berita tentang para penjarah di luar sana segera jadi pasti—Claire memantau lagi linimasa sosial media, sementara aku mencari laman-laman berita. Tetapi satu hal sudah pasti: jumlah penggunanya turun drastis. Sekarang berita tidak muncul secekatan dulu.
"Tidak hanya di sini," kata Claire. "Penjarah di mana-mana juga sudah mulai berani masuk ke daerah perumahan. Temanku mendengar rumah tetangganya dijarah dua jam lalu."
"Temanmu?"
"Iya. Dia tinggal di Cincinnati."
"Sejak kapan kaupunya teman di Ohio?"
Claire memutar bola matanya. "Sejak ada media sosial, Kakakku Tersayang. Apa kau tidak pernah dengar istilah online friends?"
"Aku cuma tahu online acquaintances."
"Kau payah dalam mencari teman."
"Memang."
Claire mengambil tisuku lagi dan membuang ingus sebelum melanjutkan browsing di ponselnya. Tetapi lalu muncul bunyi besi keras dari arah luar.
Aku dan Claire bertukar pandang sesaat—suara itu datang dari arah generator kami.
"Apa yang ...," mulai Claire.
"Jangan bilang ...," kataku.
Krak-krak-krak-BRAK.
Lampu kami mati saat itu juga.
Aku dan Claire bertukar pandang lagi tanpa suara. Ponsel kami berdua serempak mengeluarkan nada notifikasi yang menyatakan bahwa charger mereka berhenti bekerja. Layar ponsel kami meredup dalam sunyi kami. Claire memeriksa ponselnya.
"Wi-fi mati," katanya. "Gawat."
Aku membuka kotak tisu dari Ayah, menggenggam salah satu batu di dalamnya, lalu beranjak dari kasur. "Tunggu di sini."
"Tapi kau tidak bisa—hatchuh!"
Aku mengernyitkan dahi padanya. "Apa tidak ada hal lain yang bisa kaulakukan?"
Claire memelototiku. "Oke. Terserah. Aku akan berjaga di jendela sini dan siap membanting orang yang mencoba menerobos masuk."
"Bagus. Tunggu di sini."
Aku menggenggam erat-erat batuku dan melangkah keluar, menuju ke kamar Ayah dan Ibu. Lampu di ruang tamu juga mati—rumahku sedang mati listrik total.
Ternyata, Ayah juga punya rencana keluar dari kamar. Kami bertemu dengan agak canggung di koridor menuju kamarnya. "Kalian tidak apa-apa?" tanyanya. Aku mengangguk.
"Ada apa?"
"Ayah harus memeriksa dulu generatornya untuk bisa pasti," katanya. "Kembalilah ke kamarmu. Nanti Ayah kabari lagi."
Aku mengangkat bahu dan berbalik. Claire tidak bisa dibilang sepenuhnya menepati janji karena ternyata ia cuma duduk di sisi ranjang, tetapi paling tidak kamar kami masih bebas penjarah.
"Bagaimana?" tanyanya begitu aku masuk.
"Ayah mau memeriksa dulu generatornya," kataku. Claire membuka mulut, tetapi aku ternyata cukup kenal padanya untuk tahu ia mau bilang apa. "Sebelum kau memprotes dan bilang sebaiknya aku mengikutinya, aku disuruh kembali ke kamar."
Claire menghela napas dan bergeser dengan tidak nyaman. "Firasatku tidak enak soal ini."
Aku menatap sebentar lampu kamar kami yang mati. Lalu aku melihat ke arah jendela kami yang tertutup. Akhirnya aku duduk di sebelah Claire.
"Aku juga," akuku.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro