Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

30-R

Catatan Penulis: Ini adalah Bab 30 yang akan kugunakan dalam naskah finalku nanti. Judulnya adalah 30-R karena ini adalah bab revisi (makanya namanya adalah 30-Revised). Separuh lebih dari bab ini kutulis ulang dari versi aslinya. Aku tetap memertahankan versi aslinya dengan judul 30 saja, tetapi itu lebih karena sentimen. Aku pribadi tidak menyarankan kau membaca yang itu karena masalah kontinuitas dan mood--mood di bagian yang sana kurang sesuai dengan yang kumau--tetapi jika kau tetap ingin membaca yang itu, entah karena sudah pernah baca yang itu atau karena penasaran, silakan saja. Namun, dalam sekuel-sekuel Ragnarok Cycle berikutnya, ending yang kuanggap canon adalah yang ini.

Selamat menikmati!

***

[DELAPAN HARI SETELAH ISOLASI.]


SEJUJURNYA, AKU BERHARAP ceritaku tidak seperti Orpheus. Mitos orang itu tidak berakhir dengan baik—atas bujukan Persephone, istri Hades, dewa itu akhirnya mengizinkan Orpheus untuk mengambil kembali roh Eurydice—istrinya—kembali ke dunia makhluk hidup. Syaratnya hanya satu: sepanjang jalan kembali menuju dunia makhluk hidup, Orpheus tidak boleh melihat wajah istrinya.

Sayangnya, di tengah jalan naik, Orpheus begitu senang akan keberhasilannya, dan begitu rindu akan cintanya, hingga dia tidak punya pilihan selain menengok ke belakang.

Dia berhasil menatap istrinya sekali lagi, tentu.

Namun saat itu juga, istrinya langsung lepas dari tangannya, dari tuntunannya, dan tersentak kembali menuju Dunia Bawah—kali ini tanpa harapan bisa diselamatkan.

Aku masih ingin menyelamatkan Laura.

Jadi, ketika Zeus menuntunku dan James menuju Olympus, aku berani mengatakan ini tanpa malu: aku takut.

Bahkan dengan teknologi setara level para Leluhur sekalipun, yang seharusnya sudah bisa membuat para ilmuwan di Bumi menggaruk kepala dengan frustrasi karena banyaknya hukum fisika yang sepertinya bisa mereka langgar, bermain dengan kematian tidak terdengar seperti ide yang bagus. Oke, sejujurnya, aku sendiri baru sekali bertemu dengan Leluhur yang dulu dianggap Dewa Kematian, dan Leluhur itu menyeramkan (ya, aku bicara soal Anubis).

Masalahnya, nyaris tidak ada lagi yang kuketahui tentang Anubis selain bahwa dia dulu letnan di Mata Ra, kemungkinan mantan agen intelijen bagi Duat, dan dia memilih membelot untuk mencari Wedjat. Aku masih tidak tahu hubungannya dengan dunia maut sama sekali.

Kami berangkat menuju planet Olympus dengan menggunakan portal antarbintang yang, anehnya, alih-alih terlihat seperti lubang, malah lebih tampak seperti berbentuk bola kristal atau lensa. Kami harus meninggalkan Asgard ke luar angkasa dulu sebelum bisa membuka portal itu. Menembus bola itu, aku bisa melihat gemintang yang tampak tidak cocok dengan yang kulihat dari sini—dan jika aku menelengkan kepala sedikit, aku bahkan bisa melihat planet yang tidak ada di sini. Rasanya seperti mengintip dari sebuah lensa teleskop raksasa.

"Lipatan ruangwaktu," kata Zeus seraya kami mendekati bola itu. "Kalian di Bumi mungkin lebih mengenalnya dengan nama wormhole. Makan banyak energi, dan perjalanannya lebih lama beberapa detik, tetapi jauh lebih reliabel daripada jembatan hyperspace untuk skala kendaraan kami."

Aku pernah dengar tentang wormhole—banyak film dan buku fiksi ilmiah yang menggunakan wormhole sebagai jalan pintas dalam perjalanan antarbintang, atau bahkan terkadang antarwaktu ke masa depan atau masa lalu.

Menurut Einstein, bintang yang baru saja mati meledak bisa tertarik kembali oleh massanya sendiri dan memadat menjadi sesuatu yang sangat kecil, namun memiliki gravitasi sangat kuat. Benda ini biasa disebut lubang hitam, karena bahkan cahaya pun tertarik oleh gravitasinya dan tidak bisa lepas—seakan-akan benda itu 'menyedot' cahaya.

Apabila ada dua lubang hitam di tempat yang berbeda yang memiliki gravitasi cukup besar, secara teori, mereka bisa 'menyobek' kenyataan itu sendiri: membentuk sebuah jalur melewati ruang dan waktu, dari tempat lubang hitam yang satu ke yang lainnya. 'Lubang' ini biasa disebut wormhole, lubang cacing.

Biasanya, wormhole yang terbentuk secara alami akan langsung mengalami kolaps dan hancur lagi begitu wormhole itu baru terbentuk, karena mereka sangat tidak stabil.

Bagaimanapun juga, cukup jelas bahwa wormhole yang sedang kami tuju bukan sebuah wormhole alami.

"Bersiap," kata Zeus. "Guncangannya agak kuat."

Dan dia benar. Awalnya, rasanya nyaris seakan-akan kami tidak pernah mendekat ke wormhole itu hingga aku mulai bertanya-tanya apa yang sebenarnya sedang kami lakukan. Namun, tanpa aba-aba, mendadak wormhole itu sudah di depan kami—pesawat kami segera menukik, seperti sebuah pesawat yang berusaha menghindari jatuh lurus ke arah Bumi, dan pembengkokan cahaya di wormhole itu menjadi semakin gila—sekarang rasanya bukan lagi melihat menembus lensa. Rasanya seakan alam semesta di sekitar kami terpencar cahayanya oleh semacam kaleidoskop.

Lalu guncangan itu mulai muncul. Aku tahu dari Athena bahwa pesawat ulang-alik yang kami gunakan sekarang telah didesain untuk entah bagaimana meredam g-force khas perjalanan antarbintang, tetapi itu pun ternyata tidak cukup untuk mengurangi guncangan keras dari wormhole yang kami masuki.

Aku dan James berbagi tatapan panik. Will ikut bersama kami karena Hermes harus pulang—sepertinya pembicaraan mereka belum selesai—dan Tony bersama Shafira memilih ikut juga. Jasad Laura dibawa, dan karena itu, Beth juga ikut. Yang berarti Ray juga ikut. Pesawat ini terasa agak sesak karena itu. Untungnya, Odin dan Thor tidak memutuskan ikut juga. Mereka cuma mengharapkan keberuntunganku, dan Thor akhirnya mengatakan bahwa dia bangga padaku seraya memberikan padaku sarung pedang untuk menyimpan Vidveider. Aku menarik lagi semua pikiran burukku tentangnya dulu—aku tidak jadi kesal padanya.

"Sebentar lagi," kata Zeus mengumumkan. Seakan merespon pengumuman itu, guncangan di sekeliling kami berhenti. Dan saat kami menatap keluar jendela, kami melihatnya—sebuah planet mirip Bumi, yang tampaknya lebih dominan warna hijau daratan daripada biru lautan.

Tunggu—tidak tepat. Sisi yang kami datangi memiliki sebuah daratan yang sangat luas, sementara lautan sepertinya mendominasi sisi sebaliknya. Aku teringat sekilas pelajaran geografi lamaku: Bumi dulu juga seperti ini. Semua daratan dulu adalah satu, sebuah superbenua bernama Pangaea (dari kata pan dan gaea, yang artinya seluruh bumi), sebelum pergeseran benua memecahnya menjadi seperti sekarang.

"Ini dia," kata Zeus. "Selamat datang di planet Olympus."

Dia bahkan tidak perlu berlagak pilot—pesawat ini segera mengatur sendiri kecepatannya, sudut masuknya, dan kami mulai berguncang lagi sedikit begitu kami memasuki atmosfer planet mirip-Bumi itu. Namun, itu tidak lama. Dalam hitungan menit, kami bisa melihat selapis awan. Dalam hitungan detik, kami menembus awan itu dan melihat daratan.

Jika warna hijau daratan tadi membuat kesan seakan Olympus adalah planet yang terbelakang, kesan itu salah. Aku bisa melihat banyak bangunan pencakar langit di bawah sana, tetapi ada yang menarik—banyak pepohonan yang menghiasi kotanya. Seakan-akan bukan pohon itu yang diletakkan di dalam kota, namun kotanya yang dibangun di tengah suatu hutan. Berbeda dengan Asgard yang menata kota-kota mereka dalam bentuk spiral, Olympus menata kota-kota mereka dalam petak-petak yang rapi.

Sementara pesawat ini mulai bergerak untuk mendarat, akhirnya Will angkat bicara. "Kenapa kita tidak gunakan saja jembatan hyperspace?"

"Jembatan hyperspace Olympus bernama Omichlion," kata Zeus. Dia menyebutnya seperti oh-mikh-ley-on. "Seperti Bifröst, jembatan ini terhubung langsung, dan hanya, ke Bumi."

"Bagaimana dengan yang bebas-jangkar?"

Zeus dan Hermes berbagi tatapan sebentar sebelum melanjutkan. "Ada regulasi untuk penggunaan teknologi seperti itu," terang Zeus. "Penggunaanmu hanya dari dan ke Bumi, jadi kami membiarkanmu menggunakannya. Namun bagi Leluhur untuk menggunakan jembatan hyperspace ke sistem Leluhur lain ... itu seperti memaksa pintu rumah orang dibuka dan menerobos masuk."

Itu menjelaskan beberapa hal—seperti, misalnya, kenapa mitologi-mitologi dunia sepertinya tetap eksklusif terhadap satu sama lain, bahkan walaupun ada elemen yang serupa seperti penciptaan manusia dan Banjir Besar.

Dan kami akhirnya mendarat. Zeus memimpin kami semua turun. "Kita tidak akan ke Istana," katanya. "Athena, Hermes, antarkan James ke Asclepius. Berikan otorisasi dariku. Aku dan Artemis akan mengantarkan Lucas ke Gerbang Orpheus." Zeus berhenti sejenak dan menoleh kepada teman-temanku. "Ada baiknya kalian tidak ikut dengan kami."

Will, tentunya, memilih ikut ayahnya dan pergi bersama James. Tony sepertinya tidak keberatan. Shafira berhenti dulu sebentar dan menatapku dalam-dalam. Kau tidak apa-apa?

Aku mengangguk. Aku akan baik-baik saja.

Shafira menarik napas dalam sebelum mengangguk balik. Hati-hatilah.

Pasti.

Zeus menarik kapsul Laura di belakang kami. Beth tidak mau meninggalkan Laura, dan Ray tidak mau meninggalkanku. Zeus tidak tampak mau repot-repot mengusir mereka, dan aku juga tidak mau, jadi mereka ikut bersama kami.

"Sepertinya kalian naik naga saja," kata Zeus sambil memautkan sebuah pelana ke punggung Beth dan mengaitkannya dengan kapsul Laura. "Tunggu sebentar."

Dia memejamkan mata sesaat, dan aku bisa melihat sebuah titik bergerak turun dari langit. Titik itu segera membesar, dan aku baru sadar bahwa ternyata itu adalah sebuah pesawat.

Tunggu. Bukan. Bukan sebuah pesawat. Bentuknya mirip seekor burung, lengkap dengan paruh dan kaki, tetapi mereka tampak seakan sekujur tubuh mereka terbuat dari besi.

"Burung Stymphalia," kata Zeus kalem sementara kedua robotnya mendarat dengan mulus di depan kami. "Automaton semi-organik. Kami dulu salah membawa mereka ke Bumi, tetapi paling tidak mereka tetap transportasi yang praktis. Tunggangi nagamu dan ikuti kami."

Zeus segera menaiki burung Stympahlianya, diikuti oleh Artemis di atas tunggangannya sendiri, sementara aku menaiki Ray. Beth bergerak bersama dengan Ray, jadi Laura otomatis ikut bersama kami.

Aku tidak yakin berapa lama dan berapa jauh kami terbang. Pemandangan di Olympus, ajaibnya, tampak cukup bersahaja untuk peradaban yang sangat maju. Kebanyakan bangunannya hanya sedikit menggunakan logam, seperti di Bumi. Kebanyakan warganya juga berkendara dengan menggunakan semacam kubus transparan mirip akuarium yang mengambang di atas tanah, yang semua pergerakannya sepertinya dikendalikan oleh sebuah komputer besar karena semuanya bergerak dengan sangat tertata seperti diatur oleh satu otak. Tidak ada kemacetan atau perebutan jalan. Semua gerakannya benar-benar efisien dan cepat.

Perlahan, kami menjauh dari pemukiman dan mulai melewati wilayah hutan. Aku bisa menangkap beberapa perbedaan antara pohon di sini dengan di Bumi—misalnya, kebanyakan pohon di sini tampak memiliki elemen garis lengkung—tetapi selain pengamatan sekilas seperti itu, kecepatan terbang kami tidak mengizinkanku melihat lebih banyak.

Pada suatu titik, Artemis memperlambat terbangnya hingga sejajar denganku. "Hei," sapanya. "Kau tidak apa-apa?"

"Yeah," jawabku. "Sepertinya. Entahlah. Aku tegang."

Ia tertawa kecil. "Yah, itu wajar. Bermain dengan kematian biasanya membuat orang merasa seperti itu."

Aku terdiam sejenak. "Aku masih bingung," kataku. "Maksudku ... bagaimana cara kalian bisa 'bermain dengan kematian'? Bukankah kalau begitu berarti masyarakat kalian efektif tidak bisa mati?"

"Oh, bukan begitu," jawab Artemis dengan santai. "Jika itu kasusnya, Leluhur Asgard dan Vanaheim tidak mungkin takut pada Ragnarok. Tidak, bukan begitu. Begini—kautahu bahwa energi itu kekal, 'kan?"

Aku mengangguk. Artemis mengangguk balik.

"Jadi, supaya seseorang bisa dihidupkan lagi, dia akan butuh energi. Pertama, tubuhnya harus cukup utuh untuk bisa menopang kehidupan dengan optimal lagi. Itu makan energi. Kedua, harus ada cukup energi yang bisa memaksa lagi organ tubuhnya untuk kembali bekerja. Itu juga makan energi."

"Kesimpulannya, akan butuh banyak energi untuk bisa menghidupkan orang lagi?"

Artemis mengangguk. "Persis. Masalahnya, pertama, menggunakan energi sebanyak itu agak riskan. Kami bisa jadi tanpa sadar mematikan sementara fungsi di pemukiman, dan seperti yang kau sudah lihat, jika pemukiman sampai mengalami error, itu tidak lucu. Kedua, entah kenapa ... energi yang digunakan untuk hidup berbeda dengan energi lain pada umumnya."

Aku mengernyit. "Maksudnya?"

"Hidup punya bentuk energi sendiri," jawab Artemis. "Aku juga tidak paham cara kerjanya dan kenapa begitu, tetapi sembarangan mengisi tubuh dengan energi tidak akan cukup untuk menghidupkannya lagi. Harus ada energi yang disumbangkan dari makhluk hidup lainnya agar tubuh itu bisa hidup kembali—lalu barulah energi yang biasa bisa disalurkan ke tubuh itu untuk menutup kekurangannya. Kami menyebut energi aneh itu lifeforce."

Aku tercengang sesaat. "Tunggu. Jadi maksudmu, supaya ada tubuh yang bisa dihidupkan ... harus ada yang mati?"

"Dulu? Ya," kata Artemis. "Namun sekarang tidak. Kami hanya perlu menarik sebagian lifeforce dari orang yang masih hidup saja—hanya secukupnya hingga tubuh yang ditarget bisa hidup kembali—lalu, seperti yang kubilang, mengisi sisa kebutuhan energinya dengan energi biasa. Jadi pihak yang menyumbangkan lifeforce belum tentu harus mati."

Saat itu, Zeus mulai bergerak turun, dan kami mengikuti. Kami melewati apa yang tampak seperti sebuah lapangan, penuh dengan tubuh-tubuh Leluhur di sana-sini ... dan aku baru sadar bahwa mereka semua hidup, tetapi bertampang bingung dan berkulit pucat.

Jantungku mencelus. "Apakah itu—?"

"Ya," jawab Artemis cepat. "Percobaan awal kami dulu menghidupkan tubuh lagi tanpa lifeforce. Selamat datang di Padang Asphodel."

Aku menatap mayat-mayat hidup (yang, secara harfiah, memang mayat hidup) di bawahku, tatapan kosong mereka, gerak lesu mereka ... aku bergidik ngeri membayangkan Laura seperti itu.

Kami akhirnya tiba di depan sebuah bangunan yang tampak seperti kastil kuno berbahan granit hitam yang masih bertahan melewati ujian zaman. Beberapa bagiannya tampak jelas masih baru dan hasil penambahan atau renovasi, seperti bebatuan yang lebih bersih atau sederetan senjata yang berdengung dengan energi, tetapi selain itu, aku nyaris bisa merasakan bahwa kastil ini berhantu. Dan aku bahkan tidak percaya hantu. Wow.

"Kastil Hades," kata Zeus seraya mendarat di depannya. "Kalian ikuti aku, tetapi saat kuminta kalian menunggu, kalian tunggu. Paham?"

"Paman Hades tidak terlalu suka pada Ayah dan lebih tidak suka lagi bergaul," bisik Artemis padaku dengan cengiran usil sambil turun dari tunggangannya. Aku sendiri turun dari Ray dan menuntunnya, sementara Beth menyeret kapsul Laura bersamanya. "Jadi sebaiknya kali ini kita menurut saja."

Aku mengangguk. Zeus menuntun kami ke gerbang kastil itu, yang langsung membuka diri. Itu membuatnya menarik napas dengan gelisah.

"Baiklah," katanya. "Ayo masuk."

***

Zeus membuat kami menunggu di sebuah ruangan yang sangat besar yang berdinding batu seperti sisa kastil ini, lalu masuk ke dalam ruangan berikutnya seorang diri. Artemis memilih bersandar ke dinding di belakangnya, sementara Beth dan Ray berbaring dengan bosan. Ray tidak bisa neko-neko di sini, jadi aku tidak bisa menyalahkannya juga.

Aku memikirkan lagi tentang penjelasan Artemis, tentang lifeforce, tentang mayat-mayat di Asphodel ... dan tentang cerita Orpheus. "Apakah prosesnya bisa gagal?"

"Hmm?" sahut Artemis.

"Pemindahan lifeforce," kataku. Kegagalan Orpheus berkelibat di kepalaku. "Apakah prosesnya bisa gagal?"

Artemis menatapku iba. "Bisa," katanya berat. "Tidak semua orang kuat melalui pemindahan lifeforce, dan berbeda tubuhnya, berbeda pula jumlah lifeforce yang dia miliki. Belum lagi dari sudut pandang penerimanya—berbeda tubuhnya, berbeda pula jumlah lifeforce yang dia butuhkan. Dulu, kegagalan menyebabkan kematian pada pihak donor. Namun sekarang, sistem pengaman baru sudah didesain—apabila donor lifeforce tidak kuat lagi melanjutkan dan nyawanya terancam, proses itu akan segera dihentikan dan energi yang ada akan dialirkan kepada sang donor."

"Dengan kata lain ... pembangkitannya akan gagal."

"Yup."

Oke. Itu menjelaskan kegagalan Orpheus. Namun itu belum menjelaskan segalanya. "Bagaimana dengan cerita soal Orpheus menarik roh istrinya?"

Artemis mengayunkan tangannya seperti mengusir lalat. "Cuma penglihatan selama transfer lifeforce. Semacam mimpi. Beda orang, beda budaya, beda mimpi."

Aku mengangkat alis. "Oke, itu seram."

"Kenapa?"

"Aku agnostik-ateis. Sepertinya aku tidak akan melihat neraka."

Ada dua dimensi kepercayaan seseorang terhadap keberadaan Tuhan—dimensi keyakinan dan dimensi kepercayaan. Seseorang bisa percaya Tuhan dan yakin bahwa Dia benar-benar ada, bisa juga cenderung percaya namun tidak tahu pasti apakah Dia benar ada; sebaliknya, seseorang juga bisa tidak percaya Tuhan dan yakin bahwa Dia benar-benar tidak ada, dan bisa juga cenderung tidak percaya namun tidak tahu pasti apakah Dia benar-benar tidak ada.

Aku adalah kategori terakhir. Karena aku merasa tidak tahu pasti, aku disebut agnostik; dan karena aku tidak percaya Dia ada, berarti aku ateis. Agnostik-ateis. Kebalikan langsungnya adalah gnostik-teis, yaitu yang percaya bahwa Tuhan ada dan merasa tahu pasti bahwa Dia memang ada.

Artemis tertawa. "Yah, yang pasti kau akan melihat sesuatu mirip itu. Sepertinya itu memang efek dari otakmu merasa terancam oleh pengambilan lifeforce, jadi otakmu akan membuatmu merasa sedang dalam bahaya dan melihat yang tidak-tidak."

Saat itulah Zeus akhirnya kembali menghampiri kami. "Ayo," katanya singkat. Kami langsung mengikutinya menuju ruangan tempatnya tadi berada.

Pemandangannya luar biasa. Ruangan itu sangat besar, mungkin sebesar hangar pesawat, dan tampak seperti ruang istana yang klasik; tetapi berbagai sentuhan juga membuatnya tampak mewah dan canggih di saat bersamaan. Itu, dan agak menyeramkan. Banyak dekorasi berbentuk tulang atau tengkorak Leluhur di sana-sini. Desainer ruangan ini mungkin perlu diperiksa keadaan mentalnya.

Zeus membawa kami ke sisi jauh ruangan itu, tempat dua singgasana berwarna hitam berkilau seperti obsidian berada. Di atas salah satu singgasana, duduk seorang pria yang tampak sangat mirip dengan Zeus—kecuali untuk warna jenggotnya yang hitam dan warna matanya yang sama hitamnya. Di sebelahnya, duduk seorang Leluhur wanita yang sepertinya sebaya dengan Artemis. Leluhur itu cantik dengan caranya sendiri—tidak karena tampak muda dan menyenangkan seperti Artemis, tetapi elegan dan menawan di saat bersamaan. Ia berambut hitam legam lurus yang disampirkan melewati kedua bahunya, dan matanya berwarna hijau rumput.

Kedua Leluhur itu mengenakan pakaian royal dengan nuansa merah dan hitam di sana-sini. Agak menyeramkan, sebenarnya, tetapi mengingat tempat ini, aku tidak heran.

Aku berani bertaruh mereka Hades dan Persephone.

"Ah," kata Hades. Suaranya dalam seperti Zeus, tetapi gaya bicaranya sangat berbeda—tidak seperti Zeus yang menggeram, dia berbicara dengan sangat lembut. "Jadi ini Orpheus berikutnya."

"Ya," kata Zeus dengan kikuk. "Hades, aku mohon."

Hades tersenyum sesaat dan mengamatiku. Aku tidak berani menatap matanya.

"Baik," kata Hades pelan. "Persilakan saja. Kau sudah tahu di mana aku meletakkan Gerbang Orpheus, 'kan?"

"Ya," kata Zeus lagi, masih dengan sama kikuknya. "Terima kasih, Hades."

"Sama-sama, Kak."

Zeus segera berbalik dan berjalan ke arah sisi kiri ruangan. Aku memutuskan untuk membungkuk dengan sopan dulu kepada Hades dan Persephone sebelum mengikuti Zeus, dan untuk itu, aku mendapatkan senyum terheran dari sang Raja dan Ratu Dunia Bawah.

"Hei, Manusia," kata Hades sesaat sebelum Zeus menghilang di balik salah satu pintu. "Jangan sampai mati. Oke?"

Aku mengangguk gugup dan segera mengikuti Zeus.

Raja Olympus itu ternyata memasuki sebuah ruangan yang agak sempit, mungkin hanya berukuran enam meter kali enam meter, dengan dua buah pembaringan seukuran Leluhur di tengahnya: di antara kedua ranjang itu, ada sebuah cincin logam besar yang memisahkan mereka. Kedua naga di belakang kami tidak muat masuk, jadi Zeus melepaskan kapsul Laura dari Beth dan membawa sendiri kapsul itu masuk.

"Ini dia," kata Zeus. "Gerbang Orpheus. Kau berbaring di sini, dan kita baringkan Laura di sana. Mesin ini yang akan memperbaiki tubuh Laura dan memindahkan lifeforce-mu padanya. Um, lifeforce adalah—"

Artemis menyela halus. "Aku sudah menjelaskan padanya, Ayah."

Zeus menatapku sesaat sebelum mengangguk. "Baiklah, kalau begitu. Silakan berbaring dan pejamkan matamu. Buat dirimu senyaman mungkin. Ini mungkin akan membuatmu pusing, jadi semakin cepat kaujatuh tertidur, semakin baik."

Aku menatap Artemis, yang cuma mengangguk padaku dengan senyum yang meyakinkan. Zeus lalu menggendong Laura dan meletakkannya di salah satu pembaringan; jadi aku melepas Vidveider, meletakkannya di kapsul Laura, dan berbaring di kasur yang satu lagi.

Kami hanya terpisahkan cincin logam saat ini. Itu, dan batas antara hidup dan mati, tentu saja.

Namun jika ini berhasil, itu akan segera berubah.

"Oke," kata Zeus tegang. "Aku benci bagian ini. Pejamkan matamu. Aku akan mulai menyalakan Gerbangnya."

"Baik," gumamku. Artemis mendekati sisi kasurku sebentar.

"Bertahanlah," katanya lembut, "dan segera tidur."

Aku mengangguk kecil. "Oke. Hei, terima kasih untuk semuanya."

Artemis tertawa kecil. "Sama-sama. Sampai jumpa lagi."

Cincin di antara kasurku dan kasur Laura mulai berdengung. Artemis meninggalkan sisi kasurku. Aku menoleh ke arah Laura sejenak, memastikan bahwa ia masih di sebelahku ... lalu memejamkan mata.

Laura, siap atau tidak, aku datang untukmu.

Kesadaranku menyelip pergi.

***

Mataku kembali terbuka, dan aku mendapati diriku masih di kastil Hades.

Tunggu. Apakah prosedurnya gagal?

Aku berusaha melihat tanganku. Tanganku masih utuh. Pakaianku masih sama dengan saat aku tiba di sini.

Ruang Singgasana sedang kosong, tetapi ada gema-gema aneh yang bergaung terus di sekeliling ruangan ini. Tawa. Canda. Tangis. Jerit. Aku tidak yakin bisa menyebutkan satu per satu, tetapi aku cukup yakin bahwa pada suatu titik, aku pernah mendengar semua suara itu.

Namun kapan?

"Luke."

Jantungku serasa membeku mendengar suara itu. Perlahan, aku berbalik.

Itu adalah Laura.

Tubuhku kaku di tempat. Aku tidak yakin bagaimana harus bereaksi. Itu benar-benar Laura—mengenakan kaus favoritnya dulu, kaus biru muda berlengan pendek bergambarkan seekor serigala—dengan rambut hitamnya yang diurai dan mata cokelat gelapnya yang entah sudah berapa lama tidak kulihat lagi. Ia tampak ... baik-baik saja.

Ia tersenyum. "Aku merindukanmu."

Mulutku terbuka. Lalu menutup. Lalu terbuka, seperti ikan keluar dari air. Aku mengeluarkan suara seperti katak terinjak sesaat sebelum akhirnya bisa berdehem dan mulai berbicara. "L-Laura?"

Gadis itu tertawa geli melihat kedunguanku. Astaga, itu adalah tawanya sungguhan. Kapan terakhir aku mendengarnya tertawa selepas itu? "Ya, Luke, ini aku. Bagaimana kabarmu?"

"A-aku...." Bagaimana kabarku? Entahlah, Laura, aku tidak tahu. Aku juga rindu padamu. "Aku baik-baik saja. Kurasa. Entahlah."

Laura tersenyum kepadaku. Manis sekali. "Baguslah, kalau begitu. Kenapa kamu di sini?"

"Aku...." Kenapa aku di sini? Aku menelan ludah. "Aku ingin membawamu pulang."

Laura menelengkan kepalanya. "Pulang ke mana?"

Aku ingat—Laura jelas tidak mau pulang ke rumahnya lagi. Namun, untungnya, itu memang bukan jawabanku sejak awal. "Kepadaku."

Jika kau merasa jawaban itu payah, sama. Aku langsung mengutuk diri sendiri. Luke, sumpah, kau payah.

Laura menatapku dalam-dalam. Senyumnya tidak memudar sama sekali.

"Ah. Ya. Kepadamu. Itu terdengar bagus."

"Apa kamu mau ikut?"

Laura mengangguk kecil, lalu mengajukan tangannya padaku. "Tapi ingat," katanya. "Apa pun yang terjadi nanti, jangan lepas tanganku, dan jangan menoleh ke arahku. Paham?"

"Paham," beoku sambil meraih tangannya.

Tangannya hangat.

Ini benar-benar Laura.

Aku mulai memandu jalannya keluar dari kastil Hades, bergerak lurus terus melewati koridor-koridor yang tadi kulalui. Begitu kami mendekati pintu gerbang kastilnya, Laura melambat sedikit.

"Ada apa?" tanyaku. Laura tampak gelisah.

"Begitu keluar dari gerbang ini, kamu harus ingat aturanku tadi. Bahkan jika aku memanggil sekalipun, jangan menoleh."

Aku menatap wajahnya lekat-lekat. "Janji."

Ia menarik napas. "Ayo keluar dari sini."

Jadi aku kembali menoleh ke arah gerbang—dan gerbang itu menghilang begitu saja.

Aku melangkah keluar.

Aku langsung mendengar jeritan.

Aku nyaris menoleh karena refleks—tetapi aku berhasil menahan diri di saat terakhir. Jeritan itu bukan jeritan Laura—itu jeritan dari Padang Asphodel. Aku berjalan terus, memandu Laura. Langit tampak gelap, tetapi ada cahaya di ujung bukit sana. Aku harus mencapainya.

"Luke," panggil Laura.

"Hmm?" jawabku sambil tetap menatap ke depan.

"Apa?"

"Hah?" tanyaku bingung.

"Kamu menjawab siapa?"

Tunggu. "Bukannya kamu memanggilku barusan?"

"Tidak."

Aku menghela napas. Sial. Kalau begitu siapa yang memanggilku?

Jeritan lagi dari arah Asphodel—kali ini sepasang jeritan. Aku tetap tidak menoleh. Kami melewati seperempat jalan menuju cahaya itu dengan mudah, tetapi mendadak aku merasa tangan Laura menggenggamku dengan lebih kencang.

"Luke," panggil Laura lagi.

"Ya?"

"Hah?"

Aku terdiam. Tipuan lagikah? "Kenapa kamu menggenggam tanganku lebih kencang?"

"Aku takut."

Aku menarik napas sedalam yang kubisa untuk menenangkan diri. "Bertahanlah. Aku di sini."

Kami berjalan lagi tanpa bicara. Jeritan dari Asphodel semakin banyak, seakan semakin dekat kami bergerak ke arah cahaya di atas bukit itu, semakin banyak orang di sana yang tersiksa.

Lagi-lagi tangan Laura menggenggam lebih kencang—tetapi kali ini ia juga agak menarik.

"Laura," panggilku.

"Hmm?"

"Anu ... tolong jangan menarikku."

"Siapa yang menarikmu?"

Jantungku mencelus. Oke, apa-apaan ini? "Bukankah kamu barusan—?"

"Luke."

"Ya?"

"Apa?"

"Hah?"

"Hah?"

Aku terdiam. Sesuatu benar-benar salah.

Entah berapa lama kemudian, kami akhirnya berhasil melewati paling tidak setengah jalan menuju cahaya itu. Jeritan dari Asphodel semakin keras—bahkan terkadang diselingi tangisan.

Laura menarik tanganku lagi. Aku menarik balik.

Laura menarik lagi. "Apa?" tanyaku.

"Hah?"

Oke. Ini sangat tidak lucu. "Apa kamu menarik tanganku?"

"Tidak."

"Sungguh?"

"Aku tidak—aaaah!!"

Aku langsung menole—apa pun yang terjadi nanti....

Kata-kata Laura segera bergaung kembali di kepalaku, dan aku menahan leherku sambil memejamkan mata. Jeritan itu berlanjut lagi selama beberapa detik, dan aku harus berjuang mati-matian menahan diri agar tidak menoleh. "L-Laura?"

"Ya?"

Suara Laura terdengar tenang—seakan ia tidak habis menjerit tadi. Oke, sesuatu pasti sedang mengerjaiku. "Bicaralah padaku."

"Tentang apa?"

"Apa pun," kataku putus asa. Kami baru lewat setengah jalan, Asphodel sudah memenuhi cakrawala pendengaranku, dan ada Laura palsu di belakangku yang berusaha menggagalkan upayaku menyelamatkan Laura. "Apa pun. Aku rindu suaramu."

Laura terdiam sejenak. "Ingat kafe waktu itu?"

Aku tertawa kecil, terus menuntun Laura berjalan. "Yeah."

"Kalau boleh jujur, aku sudah ingin memegang tanganmu waktu itu."

"Oh ya?"

"Yep. Namun lalu James datang. Lalu Meredith. Lalu Kathryn. Jadi kubatalkan."

Aku tertawa getir. "Yah, paling tidak aku bisa memegang tanganmu beberapa kali setelah itu, 'kan?"

"Luke."

"Hmm?"

"Yeah, paling tidak begitu."

"Laura?"

"Ya?"

"Luke."

Aku terdiam. Yang memanggil namaku itu bukan Laura, tetapi suaranya sama persis. "Kenapa aku tidak boleh menoleh ke arahmu?"

"Karena itu akan menggagalkanmu."

"Iya, aku tahu. Maksudku—"

"Luke!"

"—kenapa harus dalam bentuk menoleh? Kenapa tidak—"

"Luke! Tolong aku!"

Aku memicingkan mata dengan risau. "—misalnya dengan, entahlah—"

Jeritan dari Asphodel semakin keras di telingaku. Tangisnya juga. Lalu aku mendengar hal lain—erangan.

Erangan dari yang sudah mati, seakan menarik Laura kembali ke ranah mereka.

Aku bisa merasakan Laura agak menarikku lagi—bedanya, kali ini ia tidak hanya menarik sedikit.

Ia berusaha menahan.

Aku meronta sedikit dan berusaha terus menarik Laura.

"—apa, ya? Menggendong, begitu?"

Laura menjerit—dan Laura tertawa. Di saat bersamaan. Kedua suaranya saling tumpang-tindih. "Kamu tidak perlu pamer bahwa kamu kuat menggendongku, tahu."

Cahaya itu sudah semakin dekat, tetapi suara-suara dari Asphodel juga. Jeritan Laura memekakkan telingaku, memaksa kepalaku untuk menahan pusing—aku nyaris melepaskan pegangan tanganku dari Laura untuk menutup telinga, tetapi aku terus teringat syaratnya.

"LUKE TOLONG AKU—"

"Laura!" panggilku keras, berusaha mengalahkan jeritan pedih dari Asphodel dan pekikan kesakitan Laura Palsu.

"Ya?"

Ada. Suaranya masih ada. Suaranya masih bisa terdengar di balik semua tipuan Wilayah Hades.

Tangan Laura kini berusaha menarikku ke arah berlawanan. Aku tetap mempertahankan genggamanku padanya, berusaha menariknya menuju cahaya, tetapi Laura sudah seperti medan magnet yang berkutub sama dengan cahaya itu—semakin aku menariknya mendekat, semakin kuat ia melawan.

"Laura!" panggilku lagi.

"Apa?" jawabnya di balik suara teriakannya sendiri.

Jeritan Laura.

Seruan siksa Asphodel.

Tangan yang menarikku kembali ke kastil Hades—

Apa pun yang terjadi....

Akhirnya aku cuma bisa menjeritkan satu hal terakhir untuk membungkam semua keributan dari belakangku: "Aku mencintaimu!"

Tanganku menyentuh cahaya itu, dan segalanya menjadi gelap.

***

Ketika mataku terbuka lagi, semua masih sama gelapnya. Kunang-kunang berseliweran sejenak di ruang pandangku, dan akhirnya mataku menyesuaikan diri—aku tengah menatap lurus ke wajah Artemis yang tampak sangat cemas.

"A—" suaraku benar-benar serak seakan aku tidak berbicara selama beberapa bulan. "Apa—apa yang—?"

"Dia sudah sadar," kata Artemis—lebih kepada dirinya sendiri daripada padaku. "Ayah, dia sudah sadar!"

"Selamatkah?"

"Apa kaubisa bernapas?" tanya Artemis lagi padaku sambil mendekatkan jari ke hidungku. Aku berusaha mengangguk sekali. Pusing.

"Aduh," kataku sambil memijat kening. "Ya. Ya, kurasa begitu."

"Ya!" seru Artemis lagi kepada Zeus. Leluhur yang bersangkutan masuk ke dalam jangkauan pandangku.

"Apa kaumau bangun?" tanya Zeus ragu. Aku tidak kuat mengangguk lagi.

"Ya," kataku pelan. Artemis mengangguk dan berusaha membantuku bangun selembut mungkin. Perlahan, punggungku meninggalkan pembaringan dan aku bisa duduk.

Sekujur tubuhku terasa sangat lemas.

"Apa prosesnya selalu semelelahkan ini?" tanyaku sambil memejamkan mata, berusaha mengusir pusing yang berpusar menguasai kepalaku.

"Kadang iya, kadang tidak," kata Artemis. "Tergantung jumlah lifeforce yang kaukeluarkan."

Lifeforce.... Jantungku mencelus. "Apa aku berhasil?"

Artemis tidak menjawab dan hanya menatapku dengan cemas sebelum akhirnya menoleh ke arah belakang.

Dan, di sana, berdirilah Laura.

Aku melongo.

Laura juga melongo.

Selama sedetik, rasanya seakan-akan kami baru pertama kali melihat satu sama lain. Detik berikutnya, Laura menghambur ke pelukanku.

Bajunya masih sobek, tetapi lukanya sudah tidak ada.

Aku balas memeluknya. Tubuhku masih benar-benar lemas, jadi aku tidak bisa memeluknya dengan erat, tetapi aku memeluknya sebisaku. Bau ini. Hangat ini.

Ya. Ini benar-benar Laura.

Laura, panggilku secara telepatis.

Ia tidak menjawab, tetapi mengendurkan pelukannya dan menatapku. Wajahnya persis berada di sebelahku.

Kedua mata itu—ya. Ini benar-benar Laura.

Jadi aku hanya melakukan satu-satunya hal yang masuk akal: aku maju dan menciumnya.

Mataku terpejam, jantungku berhenti berdetak sama sekali, dan waktu membeku saat itu juga. James pernah mengatakan bahwa waktu melambat seiring naiknya massa dan gravitasi, yang mungkin berarti sekarang aku dan Laura adalah sepasang lubang hitam karena aku nyaris berani bersumpah bahwa waktu benar-benar membeku.

Aku menelan semuanya—bau kastil Hades, rasa bibir Laura di bibirku, hangat napasnya dari hidungnya di pipiku, pelukannya di punggungku ... semuanya.

Enam tahun berturut-turut jatuh cinta setengah mati kepadanya, dan baru sekarang aku berani menyatakan itu padanya.

Dan ia balik menciumku.

Aku tidak tahu berapa lama kami bertahan dalam ciuman itu hingga akhirnya, entah siapa dari kami yang duluan mengambil langkah, bibir kami memisahkan diri. Aku menelan ludah sebelum membuka mata, dan aku disambut oleh pemandangan matanya—kedua mata cokelat gelapnya. Aku bisa tenggelam di sana selamanya.

"Hai," bisik Laura. Aku tersenyum. Ia tersenyum balik.

"Hai."

"Kamu tampak sehat."

"Kamu juga."

Senyumnya melebar. Senyumku juga. Semakin lebar lagi. Dan lagi. Dan akhirnya kami berdua lepas tertawa, dahi kami bertemu, pelukan kami tetap tidak lepas. Satu ciuman lagi di tengah tawa kami, dan aku akhirnya tahu dengan pasti.

Ya. Zeus telah mengabulkan permintaanku.

Laura telah kembali.

***

Mereka bilang bahagia itu sederhana. Aku setuju dengan itu. Paling tidak itu yang menjadi latar belakangku saat terus tersenyum berseri-seri begitu keluar dari Kastil Hades. Sang Raja Dunia Bawah hanya terkekeh melihat ekspresiku yang seperti orang tolol.

"Selamat," katanya. "Aku turut senang untukmu."

Persephone menggenggam tangannya setelah Hades mengatakan itu. Zeus tampak risau. Artemis memutar bola mata. Aku cuma menunduk sopan, tetap tersenyum bodoh, dan berterima kasih padanya soal Gerbang Orpheus.

Bahkan saat kami semua terbang melewati Padang Asphodel—yang ternyata tidak sengeri di mimpi burukku—aku masih tetap tidak merasa tergoyahkan. Ray sepertinya ikut tertular perasaanku dan sesekali terbang memutar dengan cepat, seperti ingin mengerjaiku. Aku cuma tertawa sambil menepuk kepalanya.

Artemis kembali memperlambat terbangnya sesaat untuk menjajariku. "Kau beruntung, tahu," katanya. Aku mengangkat alis.

"Karena lifeforce-ku ternyata cukup kuat?"

"Bukan. Ini soal Laura," jawabnya sambil melirik ke Laura yang terbang bersama Beth di belakang kami. "Tubuhnya masih cukup utuh untuk bisa diperbaiki dengan mudah dan dibangkitkan kembali. Jika saja saat itu kau tidak memberinya sari ambrosia, ia tidak mungkin bisa bangun lagi."

"Whoa. Bukankah Gerbang Orpheus juga memperbaiki tubuhnya?"

"Iya. Namun bayangkan saja jika tubuhnya tercacah-cacah. Gerbang Orpheus bisa apa? Jika bisa apa-apa sekalipun, sangat banyak kerusakan yang harus diperbaikinya, yang berarti sangat banyak energi yang dibutuhkan. Yah, semua ada batasnya."

"Dan Laura tidak melanggar batas itu, 'kan?"

"Nyaris. Namun belum. Tubuhnya terawetkan dengan sangat baik. Aku turut senang untukmu," kata Artemis sambil tersenyum tulus. Aku tersenyum balik, dan Leluhur gadis itu akhirnya kembali menyusul ayahnya.

Mereka bilang bahagia itu sederhana. Aku setuju dengan itu.

Sayangnya, mereka juga bilang bahagia itu tidak selamanya.

Dan, sayangnya, aku juga terpaksa setuju dengan itu.

Laura menyusulku dengan Beth, dan aku meminta Ray melambat sedikit untuk menyamai kecepatannya. "Ada apa?" tanyaku. Ekspresinya tampak risau.

"Aku tidak bisa menghubungimu," kata Laura. "Telepati. Aku juga tidak bisa menghubungi Beth. Aku hanya menyetir terbangnya dengan mengubah posisi duduk."

Senyumku memudar. "Tunggu—apa?"

"Coba hubungi aku lewat telepati."

Laura.

Sunyi. Laura masih menatapku dengan sama gelisahnya. Jantungku mencelus.

Ia tidak menjawab.

"Lihat?" katanya. "Aku ... astaga, apa yang terjadi?"

Laura. Aku teringat kembali saat Laura baru saja bangkit kembali—persis sebelum kami berciuman untuk pertama kali. Ia juga tidak menjawab telepatiku saat itu. Aku mengernyit. Laura menatapku dengan nelangsa.

Bagaimana bisa telepatinya terputus begitu saja?

Indra-Thorku bangun tanpa disuruh, dan mendadak aku menyadari satu hal—masih ada suara Laura di sana.

Lemah, dan semakin lemah, tapi masih ada.

Aku menyelaminya. Bukan, bukan suara. Rentetan peristiwa. Rasanya nyaris seperti saat aku mengikatkan telepati, tapi dengan sangat berantakan—semuanya berkedip begitu cepat.

Telepati Laura akhirnya pudar sama sekali. Waktunya benar-benar sudah habis....

Aku menggeleng, sama risaunya dengan Laura. Apakah pudar telepati Laura saat itu adalah yang mengakhiri semuanya? Apakah telepatinya tidak hanya pudar padaku—tapi juga pada Beth? Atau, malah, dengan siapa pun lagi yang punya hubungan telepatis dengannya?

Saat itulah aku baru terpikir implikasi lainnya. Apa lagi yang diubah oleh kematian Laura? Jika telepati bisa terpengaruh—yang berarti pasti ada pengaruh pada otak dan jaringan sarafnya—apa lagi yang terpengaruh?

Apakah ada ingatannya yang berubah?

Perasaannya soal suatu hal?

Atau mungkin hal lain yang lebih mendasar lagi?

Laura menatapku prihatin. Sepertinya aku memilih waktu yang salah untuk jatuh terdiam. "Luke?"

Aku baru menoleh padanya dengan kaget. "Hmm?"

"Kau tidak apa-apa?"

"Aku—aku tidak apa-apa," jawabku segera. "Anu ... aku cuma jadi terpikir beberapa hal. Nanti saja setelah kita mendarat, oke?"

Laura mengangguk. "Maafkan aku."

"Hah? Kenapa?"

"Jika aku ... membuatmu khawatir."

Aku nyaris menahan napas saat aku menatapnya lagi. Yah, aku baru teringat bahwa ia sama sepertiku—kami sudah sangat paham satu sama lain. Namun tetap saja.... "Kita sudah sepakat impas soal ini, 'kan? Tidak apa-apa, kok," kataku, berusaha sebisa mungkin terdengar tenang. Aku tahu Laura bisa merasakan bahwa aku tidak tidak apa-apa, tetapi aku juga tidak merasa siap menjelaskan segala yang lewat di pikiranku.

Sejahat apa aku jika mengingatkannya pada kematiannya sendiri?

Kami terdiam lagi sepanjang sisa perjalanan hingga perkotaan tempat kami mendarat tadi akhirnya terlihat juga. Zeus dan Artemis menurunkan tunggangan mereka secara teratur, aku mengikuti, dan Beth mengikuti tuntunan Ray. Kami mendarat di tempat kami berangkat, walaupun pesawat ulang-alik yang tadi kami pakai sudah tidak di sana. Mungkin diparkir atau apa, entahlah. Yang pasti lapangannya jadi terasa lebih luas.

"Sekarang kita tunggu teman-temanmu kembali dari Asclepius," kata Zeus seraya turun dari burung Stymphalianya. "Dia biasanya terlalu baik, mungkin semua teman-temanmu akan disembuhkannya dulu. Itu mungkin agak makan waktu."

"Tidak apa-apa, Fimbulwinter sudah selesai," kataku.

Fimbulwinter sudah selesai.

Mendadak ingatanku terbang kembali ke Bumi—ke tengah Anomali Himalaya yang masih meraung dengan ganasnya di sekitar kami, ke arah Shiva yang sedang terbaring di tanah, nyawanya berada di ujung Vidveider. Ragnarok tetap akan pecah!

Jika kalian bertemu Odin....

Aku langsung menepuk dahi. "Ah, sial."

"Ada apa?" tanya Laura. Aku menatapnya—aku sekilas ingat bahwa ia tidak di Anomali Himalaya bersama kami saat itu.

"Aku harus memberitahu Odin sesuatu," kataku. "Tapi ... berhubung kita sedang di Olympus...."

"Tidak bisakah kita ke Asgard nanti?"

"Whoa, ada yang menyebut Asgard?" tanya Artemis. "Ada apa?"

Laura menatapku minta tolong, seperti meminta persetujuan untuk menjawab. Kata-kata Shiva terus bergaung di kepalaku—Ragnarok tetap akan pecah!

Aku mengangguk kecil. Laura melanjutkan sisanya. "Kami perlu ke Asgard lagi."

"Ada apakah? Um, maaf jika terkesan penasaran, tapi dalam keadaan begini, aku kira kalian akan lebih memilih pulang dulu."

"Luke perlu memberitahu Odin sesuatu."

Artemis mengangkat alis padaku. Aku mengatupkan rahang sejenak. "Kau sudah melihat isi kepalaku, 'kan?"

"Sudah. Bagian mana yang mau kau...?"

"Vishnu. Sebelum kami mengembalikan Guci Pandora."

Artemis mengernyit sebentar, seperti berusaha mengingat-ingat, sebelum lalu melebarkan matanya. "Oh. Ah. Ah, sial. Ya. Oke. Berita ini harus cepat-cepat sampai ke Odin."

"Berita apa?" sahut Zeus. Artemis menoleh kepadaku dengan ragu sejenak sebelum akhirnya menghadap ayahnya.

"Shiva memberikan peringatan."

Mata Zeus langsung berubah waspada. "Bagaimana bisa?"

"Sebelum dia menghilang, maksudnya." Zeus sepertinya tidak tampak kaget dengan kata 'menghilang'. Mungkin dia cuma mengira Shiva kabur dan kembali lepas dari radar. Apakah perlu kuberitahu...? Ah, lain kali saja. "Dia bilang ... dia bilang, Ragnarok tetap akan pecah."

Reaksi Zeus sama sekali di luar dugaan. Matanya melebar dengan teror hingga seluruh irisnya terlihat, pupilnya mengecil, dan suaranya yang menggeram—tidak salah lagi—gemetaran. "Apa?"

"Shiva bilang, Ragnarok tetap akan pecah," ulang Artemis. Zeus memandangnya, lalu memandangku, lalu kembali pada putrinya, lalu padaku lagi, secara bergantian.

"Jangan-jangan ... tapi masa...? Bagaimana bisa? Bukannya kalian sudah menghentikan Fimbulwinter?"

"Shiva bilang mereka tidak ada hubungannya," jawabku. "Entahlah, sesuatu soal post hoc, apa-apa...?"

"Post hoc, ergo propter hoc," simpul Zeus, harapan terakhir amblas di matanya. "Sebuah cacat logika. Jika terjadi sesudahnya, berarti dia akibatnya. Kesimpulan cacat ketika dua hal terjadi berurutan, sehingga kita mengira yang awal menyebabkan hal berikutnya; padahal mereka tidak berhubungan sama sekali. Sial. Harusnya aku sudah tahu."

"Jadi, selama dua ribu tahun Bumi, kita semua tidak sadar melakukan cacat logika yang seperti itu?" tanya Artemis sambil memicingkan mata.

"Ya," jawab Zeus. "Dan sekarang kita akan membayar harganya."

"Tunggu," potongku. "Kita? Bukannya Ragnarok cuma diramalkan akan memengaruhi Leluhur Nordik?"

"Akan terjadi perang bintang yang melibatkan para monster, raksasa, kurcaci, elf, elf gelap, bahkan mungkin umat manusia, dan musuh publik nomor satu paling dibenci di Asgard. Menurutmu, apakah Leluhur Asgard benar-benar akan diam saja? Kami semua pasti akan dilibatkan, dan jika kami tidak mau sekalipun, dengan satu cara atau yang lain, kami pasti akan tetap terlibat juga." Zeus merinding sejenak. "Apalagi jika para Putra Muspell terlibat. Mereka tidak akan berhenti sampai kami semua hancur atau di bawah kuasa mereka."

Putra Muspell—Heimdall pernah menyebut mereka dulu, saat aku pertama kali tiba di Himinbjörg. "Mereka siapa?"

"Sejenis raksasa dari planet Muspelheim di ujung jauh nebula kami dulu. Berevolusi di lingkungan sangat panas, jadi kebanyakan senjata panas kami tidak mempan pada mereka ... dan sejauh ini, nyaris semua senjata kami bergantung pada panas. Laser, plasma, flamethrower, peledak ... bahkan petirku tidak bisa menghanguskan mereka. Mereka semua kebal terhadap yang begitu. Sangat merepotkan."

Petirku. Zeus secara spesifik menyebut petirnya, yang katanya adalah senjata yang paling kuat di seantero mitologi Yunani—yang, kalau klaim itu benar, berarti seharusnya juga merupakan senjata terkuat di planet Olympus. Paling tidak, jika mereka tidak membuat yang lebih kuat lagi dalam dua ribu tahun terakhir.

Dan jika petir Zeus tidak bisa apa-apa, aku tidak yakin senjata apa lagi yang akan bisa menghabisi mereka.

"Apa hubungan mereka dengan Heimdall?" tanyaku.

"Vala menduga mereka akan menghancurkan Bifröst saat Ragnarok pecah. Tugas Heimdall adalah menjaga Bifröst. Jelas Heimdall tidak mau mereka berada di dekat-dekat jembatan itu."

Saat Ragnarok pecah ... yang berarti dalam waktu dekat. Awas kau, Shiva.

Dan apa maksudnya menghancurkan Bifröst?

Laura menggigit bibirnya dengan gugup, sementara Artemis bertukar pandangan cemas dengan ayahnya. Aku mengelus gagang Vidveider di pinggangku tanpa sadar. Aku tidak yakin jembatan hyperspace bisa dihancurkan sesederhana itu, tetapi jika Vala bisa memprediksi sesuatu seperti Fimbulwinter dengan akurat, sepertinya bukan tempatku untuk mempertanyakannya.

"Kita harus segera menghubungi Odin," simpul Zeus. Aku mengangguk kecil.

"Kita tunggu yang lainnya kembali?"

"Ya. Aku sudah meminta Hermes untuk kembali mengurus hubungan darurat ke Asgard. Mereka harus tahu soal ini." Zeus memejamkan mata sejenak. "Ah, mereka sebentar lagi tiba."

Kami kembali jatuh terdiam. Laura menggenggam tanganku, seperti berusaha menghiburku, tetapi—di luar dugaanku—itu malah membuatku semakin risau. Tanpa telepati kami, Laura tertinggal agak banyak. Terutama soal Shiva. Masih banyak sekali yang harus kuurus dengannya ... dan aku tidak yakin akan kuat menghadapi pengikatan telepati dengannya sekali lagi. Tidak dengan memorinya soal kematian. Tidak sekarang. Tidak dalam keadaan seperti ini.

Belum lagi, soal otaknya....

Bagaimanapun juga, aku tetap menggenggam balik tangannya. Sedikit-banyak aku berharap, entahlah, mungkin aku bisa tetap menemukan ketenangan di sana. Seperti selalu.

Apakah Fimbulwinter akhirnya benar-benar telah merenggut sesuatu dariku?

***

Berita buruk segera menyusul kami begitu yang lainnya tiba—paling tidak, jika fakta bahwa bahu James sudah lebih baik dan jaketku sudah dicucikan bisa dikesampingkan. Teman-temanku yang lain juga terlihat lebih segar. Will tampaknya sudah berbaikan dengan ayah kandungnya, dan awalnya, dia melotot melihat Laura yang hidup lagi hingga matanya nyaris copot. Shafira juga sama kagetnya, sebelum dia lalu menyentuh dadanya dan mulai menggumamkan doa entah apa. Tony cuma mengangguk seakan sudah pernah melihat orang mati bangkit lagi sebelumnya.

Aku tidak tahu apa yang Asclepius berikan pada mereka hingga mereka semua tampak—dan merasa, menilai dari telepatiku dengan mereka—segar-bugar lagi, tetapi sepertinya mereka butuh itu untuk menghadapi berita yang segera kuteruskan soal pesan Vishnu.

James menepuk dahinya, seperti aku.

Kami akhirnya menghubungi Odin dari Istana Takhta Olympus, dan ternyata istana itu besar. Apabila daerah peradaban Olympus tadi terlihat canggih dan bersahaja, maka tidak ada kesan bersahaja sama sekali di Istana Takhta. Tempat ini terlihat mewah, mirip dengan Parthenon di Yunani—lengkap dengan pilar-pilar raksasanya—tetapi dengan lebih banyak ruangan dan bangunan yang bentuknya jelas bukan cuma persegi. Secara garis besar, rasanya gedung ini seperti kawin-silang antara Parthenon dengan Gedung Putih di Washington, D.C., tetapi dengan proporsi ukuran untuk penghuni sebesar para Leluhur.

Dan ternyata mereka punya satu ruang khusus untuk melakukan panggilan darurat. Ruang itu kosong, berdinding merah magenta, nyaris kedap suara, dan salah satu dindingnya adalah sebuah layar raksasa.

"Koneksi di sini berbasis hyperspace," jelas Athena. "Jadi seharusnya tidak ada gangguan sinyal, ke mana pun panggilannya."

Hermes sudah membuat panggilan darurat itu dari sejak menyusul kami di lapangan parkir pesawat ulang-alik, dan akhirnya Odin bisa memanggil kami balik lewat ruangan itu. Berhubung ruangan ini tidak dipasangi holografik bebas-medium seperti di Valaskjalf, kami menerima panggilannya dalam bentuk video-call raksasa.

Odin segera menerima pesan Hermes dari Hlidskjalf, dan dari laporan baliknya, dia akan membawa beberapa Leluhur dan sepasukan einherjar ke Vala untuk kembali berkonsultasi. Dia sudah tidak mengunjungi Vala lagi sejak lebih dari dua ribu tahun yang lalu, jadi aku tidak yakin apa yang akan dia dapatkan nanti. Nada bicara Odin sendiri tidak seoptimis itu.

"Kita lihat saja nanti," kata Odin.

"Ini," gumam Artemis, "benar-benar panggilan yang menyenangkan."

Odin belum selesai. "Tunggu sebentar. Lucas?"

Semua mata tertuju kepadaku. Aku masih benar-benar harus membiasakan diri dengan ini. "Ya?"

"Kapan kau akan ke Bumi?"

"Um," aku menebar pandangan ke teman-temanku. "Sepertinya setelah ini. Kenapa?"

"Aku mendapat beberapa berita. Kau harus bersiap lagi—tugas lain akan segera menyusulmu."

Aku mengernyit. "Tugas lain?"

"Lucas, kalau kau belum sadar, kalian sekarang praktis menjadi perpanjangan tangan kami di Bumi. Kalian tidak sendirian, tentu, karena tiap sistem memiliki perpanjangan tangan mereka masing-masing—" Odin memberi tatapan penuh arti pada Zeus saat mengatakan tiap sistem, "—tetapi yang saat ini dapat kucapai dengan mudah adalah kau dan teman-temanmu, dan keberhasilan kalian sejauh ini adalah yang paling gemilang. Jika informasi yang kudapatkan ternyata benar, kalian akan segera sibuk dalam waktu singkat ... mungkin hanya dalam sekitar seminggu."

Perpanjangan tangan para Leluhur—oke, aku tidak terlalu heran, berhubung misi kami menghentikan Fimbulwinter (yang diberikan oleh Odin) juga ditunggangi oleh kepercayaan dari Naga Merah, Neith, dan Hermes. Ayah Shafira sendiri pernah menjadi perpanjangan tangan bagi Ra, jika aku ingat ceritanya dengan benar. Tony sepertinya punya sejarah dengan para Leluhur Duat juga, menilai keakrabannya dengan Neith dan fakta bahwa was Anubis tidak menolaknya. Bahkan Will ternyata adalah seorang demigod—yang berarti para Leluhur mungkin masih aktif beranak-pinak dengan umat manusia, bahkan di masa kini.

Yang menarik perhatianku adalah kata-kata Odin—kalian tidak sendirian. Di sepanjang perjalananku dengan Laura, kami bertemu dengan Shafira, Tony, dan Will. Mereka semua sepertinya punya sejarah panjang dengan dunia para Leluhur. Apakah Odin baru saja menekankan bahwa ada lagi selain mereka yang sama terlibatnya, atau bahkan lebih terlibat lagi?

Bahwa setiap sistem juga punya perpanjangan tangan yang seperti mereka?

"Seminggu itu waktu yang lama," kata Will.

"Betul," kata Odin. "Namun itu bukan alasan untuk tidak bersiap-siap. Kami akan membutuhkan kalian di Bumi ... umat manusia akan membutuhkan kalian di Bumi."

Jika Odin benar, umat manusia secara resmi berutang banyak pada kami. Dengan asumsi kami berhasil lagi, paling tidak. Aku menghela napas resah. "Oke," kataku akhirnya. "Kalau itu masalahnya, kami akan segera pulang dan bersiap."

"Bagus," kata Odin. "Baiklah. Terima kasih untuk peringatannya, Lucas. Kami akan berterima kasih juga ke Vishnu nanti begitu sempat. Kalian semua, tetaplah waspada. Over and out."

Panggilan itu terputus. Zeus mengerang gelisah. "Aku tidak suka ini," geramnya.

"Aku juga," kata Athena. "Apa kita perlu bersiap untuk perang?"

"Aku akan segera mengabari kalian jika aku mendapatkan info apa pun soal itu," timpal Hermes. "Dan kita tahu Ares juga akan segera mengabari kalian jika dia mendapat info sejenis. Untuk sementara ini, tidak ada gunanya membuat warga panik. Kita pertahankan dulu informasi ini di lingkaran Olympian saja. Setelah kita punya data yang lebih lengkap, kita segera buat keputusan."

"Namun, Hermes...." Hermes, Zeus, dan Athena segera melingkar dan berdiskusi sendiri dengan bisik-bisik, sementara Artemis ternyata lebih tertarik mendatangi kami.

"Hei," panggilnya sambil mengayunkan tangan. "Sini, aku punya sesuatu untuk kalian."

Teman-temanku segera mendekat. Zeus ternyata punya aturan soal tidak memperbolehkan binatang masuk Istana, jadi Ray dan Beth tidak ikut masuk ke sini. Artemis sempat cemberut, karena sepertinya ia sangat suka naga, tetapi ekspresi dingin Athena membungkamnya dalam hitungan detik.

"Laura, ini untukmu," katanya sambil mengeluarkan sebuah kantong berwarna cokelat tanah. "Aku tahu dari memori Luke bahwa kau sempat belajar panahan setahun lalu, walaupun cuma dua minggu ... tetapi menurutku itu cukup."

Laura memberinya tatapan penuh tanda tanya sebelum membuka sendiri kantong itu dan mengeluarkan sebatang emas. Mungkin persisnya bukan batang—benda itu terlihat seperti dipotong melintang dari kolam emas cair yang sedang bergelombang. Bagian tengahnya tampak seperti gagang, dan bagian atas dan bawahnya agak meliuk dan berlubang. Laura menggenggam gagangnya—mendadak sepasang lengan busur mencuat dari atas dan bawahnya, lengkap dengan tali sudah terpasang.

"Whoa," gumam Laura. Genggamannya agak berubah—dari genggaman penuh menjadi genggaman renggang dengan hanya telunjuk, jari tengah, dan jempol—dan aku mendadak sadar satu hal: senjata ini adalah relik Leluhur, dan Laura baru saja mengunduh antarmukanya. "Keren!"

"Apa kausuka?"

"Sangat," jawab Laura, matanya masih terpaku pada busur emasnya. Artemis sepertinya benar-benar tersentuh oleh jawabannya.

"Namanya Chrysos," katanya. "Artinya emas. Aku sengaja merancangnya seukuran manusia untuk jaga-jaga jika aku butuh perpanjangan tangan di Bumi, dan kurasa aku sudah menemukan pengguna yang cocok. Bisa kupercayakan Chrysos padamu?"

Laura akhirnya mendongak untuk menatap Artemis. Senyum kecil merekah di wajahnya. "Bisa," katanya pasti. "Terima kasih, Yang Mulia."

Artemis memutar bola mata. "Artemis saja, tolong."

Laura menyentak Chrysos lagi, dan kedua lengan dan tali busur itu segera kembali melipat diri. Ternyata kantong Chrysos juga didesain untuk manusia, seperti isinya, dan Laura menyampirkan talinya di bahu setelah menyimpan busur barunya di sana.

"Lalu, urusan kedua," kata Artemis. "Aku tahu dari Luke bahwa kau sudah diikatkan dengan telepati kepada nagamu dan kepada Luke. Setahuku, lewat delapan menit setelah kematian, pembangkitan ulang dengan Gerbang Orpheus tidak akan bisa menyelamatkan hubungan telepati seperti ini."

Ekspresi Laura mengeras—Artemis telah melewati garis yang kubuat untuk diriku sendiri. Ia telah membahas kematian Laura dan kebangkitannya lagi. Aku menahan napas.

Seperti apa reaksi Laura nanti?

Artemis sepertinya tidak mempermasalahkan itu. "Jadi," lanjutnya, "aku akan membantumu mengatasi itu. Aku tidak biasanya melakukan ini, tetapi bukan berarti aku tidak bisa. Bersiaplah, aku akan mengaitkan ulang telepatimu."

"Tunggu—"

Protesku kalah cepat dengan reaksi Artemis. Sekali lagi, kehidupan Laura berlalu di depan mataku.

Bedanya, kali ini aku merasakan satu memori baru: Punta Meliso.

Dadaku kembali terasa nyeri ketika Trishula menembus dada Laura.

Aku ingat melihat hidup Laura sebagai sebuah slideshow mundur—tetapi aku tidak ingat Laura merasakan sakit sepedih ini selama slideshow itu berlangsung di kepalanya.

Aku sudah membuka mulut. Aku sudah hendak menjerit. Mungkin aku sudah menjerit. Aku tidak tahu. Saat aku membuka mataku lagi, para Leluhur di seberang ruangan ini tidak sedang menatapku. Shafira menatapku cemas, dan aku bahkan tidak perlu telepatiku untuk tahu bahwa ia benar-benar khawatir. Artemis menatapku dan Laura bergantian dengan penuh perhatian.

Diriku akhirnya kembali berada di ruang panggilan darurat Istana Takhta Olympus sepenuhnya, dan aku baru sadar bahwa aku tengah membungkuk sambil menahan diriku dengan berpegangan ke lutut.

"A-apa aku menjerit?" desisku sambil berusaha menarik napas. Dadaku masih terasa agak kaku, seakan Trishula belum dicabut dari dada Laura saat telepati kami masih terikat. Artemis menggeleng.

"Kau semakin mampu mengendalikan telepatimu. Aku kagum. Bagaimana, kalian sudah terikat rapi?"

Laura?

Aku dengar.

Aku menatap Artemis dan mengangguk kecil sambil berusaha menegakkan berdiriku. Artemis mengangguk balik padaku.

"Oke. Sekarang kepada Beth."

"Bukankah Beth sedang tidak di sini?" tanya Laura. Ekspresinya tampak agak lelah, seakan-akan memoriku yang dilihatnya tadi menguras tenaganya. Aku tidak yakin memori yang mana.

"Tidak masalah. Aku masih bisa menginderanya dengan alatku. Bersiaplah."

Laura menarik napas dengan tajam. Lalu matanya terpejam keras. Ia mengeluarkan satu erangan kecil—yang sebenarnya lebih terdengar seperti rengekan karena kaget—sebelum kembali membuka matanya.

"Rapi?"

Sunyi sesaat. Laura tampak seperti berpikir sebentar. "Rapi."

"Bagus. Sepertinya Zeus akan memanggil lingkar Olympian untuk berunding dulu," kata Artemis. "Dan rapat kami biasanya agak lama ... sebaiknya kuantarkan kalian pulang. Paling tidak, untuk bersiap seperti kata Odin. Bagaimana?"

Aku kembali menatap teman-temanku satu per satu. Aku tidak yakin ke mana Shafira, Tony, dan Will akan pulang. Shafira dan Will hidup sendiri semenjak Fimbulwinter menyerang, dan Zeus menyebutkan bahwa Kairo berisi kenangan buruk bagi Tony.

Lalu bagaimana dengan Laura dan James?

Sepertinya kemampuan telepatiku belum sehebat yang dipuji Artemis, karena aku cukup yakin Shafira baru saja tidak sengaja mendengar pikiranku.

Jangan khawatir, katanya di kepalaku. Kita pikirkan nanti saja di Bumi.

Aku menghela napas. "Apabila teman-temanku setuju, aku setuju."

Shafira adalah yang pertama menyuarakan persetujuannya. Tony menyusulnya. James dan Will tampak ragu, tetapi mereka segera mengikuti. Laura menatapku ragu.

Aku akan menemanimu, kataku. Ia menarik napas tajam.

"Oke," katanya.

Artemis tidak menjawab. Ia segera menghampiri Zeus dan kedua menterinya, berbicara sebentar dengan mereka, sebelum lalu memberi kami sinyal untuk mengikutinya pergi keluar ruangan ini.

"Kita jemput naga kalian, lalu ke Omikhlion," katanya. "Jadi, ke mana tujuan pertama kalian?"

***

Tujuan pertama itu adalah rumah Shafira, karena ia adalah yang pertama mengatakan 'iya'. Lalu, sementara kami di Mesir, tujuan berikutnya adalah tempat Tony menyimpan suplainya. Giza dan Alun-Alun Tahrir memang terpisah jauh, tetapi paling tidak sekarang kami punya jembatan hyperspace juga dalam bentuk Subtalaria. Will lebih dari rela memberi kami tumpangan berkeliling dunia ke tempat kami masing-masing. Setelah Shafira dan Tony siap sedia, kami semua menemaninya ke kabinnya untuk bersiap.

Kami tidak tahu harus mempersiapkan diri untuk berapa lama, tetapi berhubung Odin sudah menyebutkan bahwa ancaman akan datang dalam waktu seminggu, kami memutuskan untuk bersiap menghabiskan paling tidak seminggu di luar rumah. Karena persiapan untuk seminggu akan makan sangat banyak suplai dan tas yang cukup besar, kami berusaha menjaga segalanya ringan dan hanya membawa pakaian untuk tiga hari. Setelah tiap hari kedua, kami akan harus mencuci pakaian.

Berhubung seharusnya Fimbulwinter sudah selesai dan air akan mulai bisa mengalir lagi dalam waktu dekat, seharusnya tidak sesulit itu.

"Baik," kata Will, keluar dengan sebuah ransel lusuh. Ranselnya tidak lebih baik daripada tas kain Tony—yang dia akui dia dapatkan dari menjarah—tetapi paling tidak kedua tas mereka tampak kokoh. Ransel biru gelap Shafira juga tidak tampak mencolok. "Sekarang kita ke mana?"

Aku menatap James dan Laura. Aku tidak tahu apa saja yang terjadi pada James—astaga, aku tidak tahu apa saja yang terjadi pada James—tetapi aku tahu pasti Laura pasti kesulitan pulang. Jika ayahnya masih hidup, bahkan jika ayahnya sudah lepas dari penyakit akibat Fimbulwinter sekalipun, dan—asumsikan saja—dia menyesal akan apa yang sudah diperbuatnya, itu tetap tidak akan banyak menolong Laura. Luka seperti yang dialaminya adalah luka yang akan membekas seumur hidup.

Di sisi lain, aku mendadak baru sadar. Aku akan pulang. Aku akan bertemu lagi dengan orang tuaku ... dengan Claire.

Harus apa aku nanti?

"James?" tanyaku. "Gunting-kertas-batu. Kita ke rumah pemenangnya duluan."

Anak itu menatapku dengan ragu sesaat, lalu akhirnya mengangkat kepalannya. Satu. Dua. Tiga.

Aku mengeluarkan gunting. James mengeluarkan batu.

Baiklah, kalau begitu.

"Will," kataku. "Perhatikan baik-baik."

Aku mengirimkannya lokasi rumah James via telepati, dan anak itu mengangguk. "Bersiaplah."

Dia membuka jembatannya. Kami semua melompat masuk.

Aku tidak bisa menebak ekspresi James.

***

Rumah James sepi bukan main.

Aku mengernyit saat James berkutat membuka gemboknya yang beku. Jika aku tidak salah tangkap, anak itu bahkan tampak gugup.

Ada apa dengannya?

"Biar kubantu," kata Shafira sambil maju. James mundur sedikit, dan Shafira melelehkan es di gembok itu. Begitu bersih, James kembali berusaha memasukkan kuncinya.

Klik.

James menarik napas dalam-dalam. Lalu dia langsung membuka gagang pintunya.

Tunggu.

James selalu mengetuk pintu saat masuk rumah. Satu-satunya alasannya tidak selalu melakukan itu di rumahku adalah karena orang tuaku sudah memperbolehkannya sendiri, dan walaupun kebiasaan itu tetap ada, dia tetap tidak akan repot-repot mengetuk pintuku jika pintu itu dalam keadaan terbuka.

Namun, kasusnya berbeda dengan rumahnya sendiri.

James selalu mengetuk dulu, dan menanti ada yang membukakan.

Bahkan di rumahnya sendiri.

Namun James masuk begitu saja, tanpa berkata-kata. Dia berusaha menyalakan lampu—tidak bisa. Akhir Fimbulwinter bukan berarti listrik sudah kembali mengalir begitu saja.

Aku membuat lompatan-lompatan listrik yang cepat dan ramai di jemariku hingga tanganku bercahaya seperti lentera, sementara Shafira menjentikkan jari dan api muncul di atas tangannya. Dengan sumber cahaya dari kami, James memandu kami masuk. Setelah menyeberangi ruang tamu ke ruang keluarga, James berbelok ke salah satu koridor.

Lalu, bau.

Aku mengembuskan napas keras-keras sebelum terbatuk kaget. "Whoa, bau apa itu?"

"Itu," kata James, berhenti berjalan di depan sebuah pintu yang terbuka tanpa menoleh padaku, "adalah ibuku."

Jantungku mencelus.

Ruangan yang sedang James tatap adalah kamar orang tuanya, dan di sana, sebujur tubuh tergantung di tengah ruangan.

Tubuh seorang wanita.

James menatap tubuh itu terus selama entah berapa lama, tanpa bergerak sama sekali, hingga aku memutuskan untuk mematikan lentera listrik kecilku dan menyentuh pundaknya. Saat itulah akhirnya isakannya terdengar, dan dia akhirnya pecah menangis. Aku langsung merangsek maju dan memeluknya, diikuti oleh Laura.

"Kami ikut berduka," bisik Laura. James mengangguk kecil, tetapi tangisnya tidak benar-benar reda.

Kami akhirnya memutuskan untuk membawa James keluar saja, dan sementara Laura menghibur James, aku kembali masuk dan menyiapkan perbekalannya. Shafira bersikeras ikut masuk untuk menjagaku, dan mengingat bahwa kami baru bertemu jasad ibu James, belum ayahnya—mengesampingkan kegelapan rumahnya dengan pencahayaan minim di tangan kami yang sebenarnya membuat rumah James jadi terasa tidak berbeda jauh dengan latar beberapa film horor yang pernah kulihat—aku setuju-setuju saja.

Setelah tasnya siap—untunglah aku sudah cukup sering menginap di rumah James untuk tahu di mana saja barang-barangnya, walaupun kamarnya tampak lebih berantakan dari biasa—dan dengan melawan merinding luar biasa, aku dan Shafira akhirnya keluar dengan ransel perbekalan James. Aku sempat mencium bau bangkai lagi saat melewati pintu ruang bawah tanah James, dan aku memutuskan untuk tidak menyelidiki lebih lanjut.

Aku juga tidak berniat bertanya pada James soal itu.

Tanpa ditanya sekalipun, James akhirnya menceritakan segalanya pada kami. Info darurat minyak dariku menyelamatkan keluarganya untuk beberapa lama, seperti Laura. Lalu, seperti Laura—dan sepertiku—akhirnya Fimbulwinter memengaruhi orang tuanya. Bahkan, sebenarnya, James sendiri juga terpengaruhi. Ibu James menjadi sakit (seperti Claire, walaupun tidak separah itu), sementara James menjadi agresif (seperti ibuku, ayah Laura, dan ibu Will). Ayahnya—satu-satunya yang selamat—menjadi takut pada anaknya sendiri. Takut setengah mati. Jadi dia mengunci diri di ruang kerjanya di bawah tanah. Awalnya, dia masih naik sesekali. Pada suatu titik, dia tidak berani lagi keluar dari sana kecuali jika istrinya yang berusaha masuk.

Suatu hari, ibu James mengetuk dan tidak mendapati balasan. James tidak bisa membuka pintu itu secara paksa, tetapi karena dia tidak sedang berada di tengah episode agresifnya, dia bisa berpikir lebih jernih dan membantu ibunya. Dia tahu ayahnya tidak akan suka mengetahui bahwa tempat amannya bisa dibobol, tetapi niat James hanya untuk membantu ibunya. Tidak lebih.

Yang pertama menyambut mereka adalah bau kotoran.

Awalnya, James tidak curiga. Toh, ayahnya juga tidak pergi dari ruang bawah tanah mereka lagi, yang berarti seharusnya dia sudah menemukan cara-cara lain untuk menangani buang airnya. Jadi dia turun....

... dan menemukan jasad ayahnya.

Ibunya tidak langsung bereaksi. Mereka memeriksa tanda-tanda vitalnya dulu. Tidak bernapas. Tidak ada detak jantung. Ayah James meninggal dengan posisi terduduk di sebuah kursi yang terjungkir di lantai, dengan mata melotot.

James menduga ayahnya tewas kelaparan.

Akhirnya fakta itu menghajar James dan ibunya keras-keras: Henry Osbourne, suami dari Elizabeth Osbourne, ayah dari James Osbourne, sudah meninggal.

Ibu James tidak kuat dengan tekanan dari kehilangan itu, ditambah episode agresif anaknya yang tidak jelas dan penyakitnya sendiri yang tak kunjung sembuh, dan akhirnya memilih untuk mengakhiri semuanya sendiri.

Dalam hitungan jam setelah James menemukan jasad ibunya, Odin menjemputnya ke Asgard dan memberinya Restunya. Keadaan James segera membaik lagi, tetapi itu tidak mengubah apa-apa mengenai orang tuanya.

Kami semua mendengarkan ceritanya yang disertai dengan suara sumbang dan diselingi isakan, sementara salju mulai meleleh di sekeliling kami. Awan di atas sana mulai membersihkan diri, seakan efek dari hilangnya Anomali Himalaya mulai mencapai tempat ini. Sebagian dari awan gelap itu menipis, memberi celah bagi secercah sinar matahari untuk turun menyinari kami. Lalu secercah lain. Lalu secercah lain.

Matahari sedang bersinar di atas sana.

Setelah memberikan hening sejenak bagi James, kami akhirnya memutuskan untuk melanjutkan.

Tujuan berikutnya: rumahku.

***

Aku bergerak enggan menuju ke rumahku. Di setiap langkahku, aku teringat satu per satu detail mengenai bagaimana keadaan keluargaku saat aku meninggalkan mereka demi memenuhi janjiku pada Thor. Ibuku baru saja disembuhkan oleh obat Idunn. Demam Claire baru saja sembuh dengan ajaib berkat racikan dewi—Leluhur—yang sama. Ruang keluarga hancur lebur gara-gara serangan warg. Pintu depanku rusak karena makhluk yang sama. Ruang tamuku tidak lebih baik, dan ada darah warg di lantainya. Kamar ibuku lebih lengang di tengah, dan ada tali di setiap pojok ranjangnya. Kamar Claire berantakan semenjak Claire de facto pindah ke kamarku.

Saat aku pergi, Claire dan ibuku masih berada di kamarku. Claire terbaring di kasurku. Ibuku terduduk di sisi ranjang.

Lalu ... ayahku terjebak di kota, menggigil dan meringkuk, bersembunyi, sendirian. Hanya masih cukup hidup.

Aku terus melangkah, dan pertanyaan-pertanyaan mulai muncul. Secara teknis, aku cuma pergi selama sehari. Bagaimanapun juga, dalam sehari itu, aku mengalami sangat banyak hal—dan jika Odin dan Thor menepati janji mereka, keluargaku seharusnya juga mengalami beberapa hal lain.

Wight ... orang-orang Nordik kuno mengira wight adalah roh, makhluk halus, entitas tak kasatmata. Nyatanya wight ternyata cuma sekumpulan nanorobot. Aku jadi penasaran: apabila Odin dan Thor sudah mengirimkan wight untuk menolong ayahku dan memperbaiki rumahku, seperti apa reaksi mereka? Aku tahu ayahku ateis yang cukup skeptis, dan walaupun ibuku tidak bisa dibilang taat, ia mengidentifikasi diri sebagai seorang Yahudi. Apakah bertemu dengan wight akan mengubah itu?

Lalu bagaimana dengan Claire? Apakah ia sudah bangun? Ia pasti lapar sekali setelah berhari-hari demam dan tidak bangun. Astaga, pencernaannya bisa bermasalah sendiri. Apa mead Idunn sudah mengatasi itu? Jika iya sekalipun, apakah kira-kira ibuku bisa menangani shock dari segala yang terjadi semenjak ia sembuh dan membantu Claire? Mungkin membuatkan makanan?

Aku juga jadi terpikir—apakah Claire sudah bisa bergerak sendiri dan tidak lemas terbaring lagi? Apakah ia sempat melihat rumahku hancur sebelum diperbaiki wight? Dengan asumsi Odin dan Thor menepati janji mereka, tentunya. Namun, jika mengingat kata-kata Zeus sebelum meminjamiku Gerbang Orpheus, sepertinya mereka menepatinya. Semoga saja.

Jika sempat, seperti apa reaksinya?

Pertanyaan-pertanyaan di kepalaku tidak kunjung berkurang, dan langkahku semakin dekat kepada rumahku.

Apa yang harus kukatakan pada orang tuaku jika mereka selamat?

Apa yang harus kukatakan pada Claire?

Rumahku sudah tampak di depan mata. Tidak ada kerusakan di kusen pintu. Malah, sebenarnya, pintu depanku tampak kokoh di dalam kusennya. Sepertinya wight kiriman Odin dan Thor sudah menyelesaikan tugas mereka.

Apa yang harus kukatakan pada—?

Aku melirik ke belakang. Laura sedang memeluk dirinya sendiri, seakan sadar bahwa setelah ini adalah gilirannya. Ia menatapku cemas. Aku berusaha memaksa diri tersenyum padanya, tetapi bahkan tanpa telepati sekalipun, aku tahu ia bisa melihat bahwa senyum itu dibuat-buat.

Ketika aku akhirnya berjalan naik ke terasku, berhadapan langsung dengan pintu depanku, mendadak aku menyadari satu hal: aku tidak siap.

Apa yang harus kujelaskan pada orang tuaku tentang kembaliku yang mendadak, dengan sebilah pedang tersarung di pinggang, dan fakta bahwa aku harus segera pergi lagi?

Jika informasi yang kudapatkan ternyata benar, kalian akan segera sibuk dalam waktu singkat ... mungkin hanya dalam sekitar seminggu.

Kami sudah sadar betul bahwa ini bukan berarti kami akan punya waktu seminggu untuk bersantai. Belum lagi, jika Odin benar-benar yakin soal kami menjadi perpanjangan tangan para Leluhur di Bumi, firasatku mengatakan seminggu yang kami miliki sebelum ancaman besar berikutnya ini akan sangat sibuk.

Apa yang harus kukatakan?

Tanganku sudah terangkat untuk mengetuk pintu, tetapi kesiapanku tetap tidak berubah. Sama sekali. Aku tidak bisa membawa diri untuk bertemu dengan orang tuaku. Aku tidak bisa menghadapi mereka.

Perlahan, tanganku kembali turun ke sisi tubuhku. Aku cuma berdiri termenung di depan pintu.

Mungkin waktunya aku pergi saja. Berbalik, melupakan kehidupan lamaku. Mungkin aku bisa langsung pergi ke dalam kamarku saja untuk bersiap-siap dengan bantuan—

Kamarku.

Tunggu.

Kamarku....

Aku tidak bisa pergi—tidak sekarang.

Masih ada satu urusan yang belum kuselesaikan di sini.

Aku tetap berbalik, meninggalkan terasku, tetapi aku tidak pergi. Aku mengambil langkah mengitari rumahku, ke sisi bangunan itu hingga aku melihat jendela yang sudah kukenal dengan sangat baik. Dengan sedikit berjinjit, aku mengintip ke dalam.

Ini adalah kamarku.

Claire sedang terduduk di atas kasurku.

Aku menebar pandangan cepat. Orang tuaku tidak ada di sini, sejauh mata memandang. Claire sedang menyandarkan punggungnya pada dinding di sisi kasurku—tempatku dulu terjebak ketika ia berusaha memelukku—mendekap lututnya dengan kedua lengannya hingga separuh wajahnya tersembunyi.

Matanya tampak basah.

Saat itu juga, untuk pertama kalinya, aku merasakan emosiku bercampur aduk.

Pemandangan itu tampak sangat menyakitkan, hingga rasanya aku ingin memecah jendela ini dan segera masuk untuk menghibur Claire. Entahlah, hal itu sudah tertanam dalam naluriku.

Di sisi lain, aku senang bukan main.

Claire telah terbangun.

Claire telah terbangun....

Akhirnya, aku melakukan satu-satunya hal yang masuk akal: menelan dulu semua emosiku dan mengendalikan tanganku yang gemetar, aku mengetuk jendelaku.

Claire menoleh.

Mata kami bertemu.

Matanya membelalak dan mulutnya segera membuka, seakan ingin menyerukan namaku, tetapi aku langsung meletakkan telunjukku ke mulut. Claire menelan kembali seruannya, dan aku menunjuk ke arah pintu depan. Ia mengangguk, berdiri, dan segera menghilang dari kamarku.

Sekarang, atau tidak sama sekali.

Aku berlari kembali ke teras depan, tiba di depan pintu bersamaan dengan saat Claire membukanya.

Aku bahkan tidak sempat melihat wajahnya. Ia segera menenggelamkan diri dalam pelukanku, dan aku padanya.

Tangisannya belum berhenti—biasanya, aku akan sangat heran, karena Claire bukan jenis gadis yang suka menangis. Fimbulwinter mengubah banyak hal.

"Sialan," bisiknya. "Sialan. Sialan! Ke mana saja kau, hah? Kakak macam apa kau ini? Aku menangis seharian, dan kau—Ibu bilang—Ibu bilang kau—"

"Pergi, yeah," bisikku balik, mengelus punggungnya. Astaga, siapa yang tahu sehari bisa terasa sangat lama? "Dan aku akan harus pergi lagi."

Claire tetap tidak melepas pelukannya. "Kenapa?"

Aku sadar betul bahwa ia tidak menanyakan ke mana, kapan, atau bagaimana. "Itu ... ah, ceritanya sangat panjang. Bagaimana keadaanmu? Apa saja yang terjadi selama aku tidak di rumah?"

"Banyak hal aneh," jawab Claire. Pelukannya akhirnya mengendur, tetapi tetap tidak lepas. "Entahlah. Aku terbangun, sangat lapar, di pelukan Ibu. Ibu menangis keras dan tidak mau menjelaskan kenapa. Ia menyebut namamu terus." Claire berhenti sejenak, mengatur napasnya, terisak sekali, dan akhirnya menurunkan pelukannya dan bersandar ke dadaku. "Setelah beberapa lama, barulah Ibu mau membuatkan makanan dan menceritakan semuanya padaku. Aku ... aku kira aku tidak akan pernah bertemu denganmu lagi."

"Hei, aku kembali, 'kan?" jawabku sambil menepuk kepalanya. Aku bisa merasakannya memejamkan mata.

"Ayah datang beberapa jam kemudian. Sangat lemas, luka di sana-sini. Dia datang tepat saat rumah yang berantakan tiba-tiba menata diri. S-seakan ada hantu di rumah. Aku juga tidak tahu. Aku kira aku jadi gila, tetapi Ibu dan Ayah ternyata juga melihatnya. Kami semua tercengang. Sekarang Ayah masih beristirahat. Tidur, ditemani Ibu. Ayah sudah makan. Sepertinya Ayah masih sulit menelan semua yang terjadi."

Claire tidak perlu melanjutkan. Aku tahu ia juga sama kesulitannya.

"Claire, aku tidak akan bisa di sini lama-lama," kataku. "Aku benar-benar minta maaf aku pergi. Itu bukan kemauanku."

Claire tidak menjawab. Napasnya mulai memelan, lebih tenang, lebih teratur. "Aku tahu," katanya akhirnya. "Kenapa kau memintaku tenang tadi?"

"Aku ... aku tidak yakin siap menghadapi Ayah dan ibu," akuku. "Entahlah. Ibu baru saja sembuh, dan aku tahu Ayah melalui banyak hal selama dua hari dia di luar rumah."

"Dua hari?"

Aku menelan ludah. "Ceritanya panjang."

"Apa kau benar-benar tidak akan sempat menceritakannya padaku?"

"Jika aku ceritakan semuanya sekalipun, kau tidak akan percaya."

"Coba dulu."

"Kau akan mengira bahwa kau gila," kataku. Claire cuma mengangkat alis, seperti mengingatkanku bahwa ia telah melihat wight bekerja dan mengira hal yang sama. "Pegangan kuat-kuat, dan jangan heboh."

"Kenapa?"

Ray, kemarilah.

Naga sahabatku itu segera tiba di depan teras. Claire mendadak mencengkeram lenganku dan menarik napas tajam.

"Luke—"

"Aku tahu," kataku. "Perkenalkan—namanya Ray."

Dalam keadaan normal, ekspresi Claire pasti sudah kufoto dan kupakai untuk mengganggunya seumur hidupnya. Sayangnya, aku tidak membawa ponselku, jadi aku cuma bisa tertawa kecil.

"Semengejutkan itu?" tanyaku.

"Apa—" Claire menelan ludah. "Apa itu naga?"

"Yup."

"Apa aku sudah gila?"

"Semoga belum."

"Apa berarti aku dan Ayah dan Ibu benar-benar melihat hantu?"

"Mmm, tidak tepat. Anggap saja begitu."

"Apa kau nyata?"

Kali ini, aku tertawa lepas. Cengkeraman Claire mulai melemas. "Sepertinya kita memang kompak. Aku sempat memikirkan hal semacam itu waktu aku pertama terlibat ke dunia ini."

"Dunia ... para naga?"

"Yeah. Dan lain-lain lagi. Karena itulah aku harus memperingatkanmu—dalam sekitar seminggu lagi, kemungkinan akan terjadi sesuatu yang besar. Aku juga tidak tahu apa, tetapi aku harus bersiap menghadapinya."

Saat itulah Claire akhirnya melemaskan tangannya hingga turun, dan untuk pertama kalinya, ia mendadak sadar bahwa ada sebilah pedang di pinggangku. "Apa ini pedang sungguhan?"

"Mm-hmm."

"Wow." Claire menatapku tidak percaya. "Sejak kapan kaubisa memakai pedang?"

"Seperti kubilang, ceritanya panjang. Temani aku berkemas?"

Ia menatapku lagi. Tidak seperti biasanya, aku tidak bisa menebak ekspresinya kali ini. "Apa kau benar-benar harus pergi?"

Aku menatap matanya dalam-dalam. Ekspresinya tetap tidak tertebak, dan itu agak menggangguku. "Yah ... iya."

Pandangan mata kami masih tetap tidak terpecah. Akhirnya, setelah sekitar dua menit penuh hanya saling bertatapan, Claire mengangguk kecil. "Baik. Ayo berkemas. Apa tadi kaubilang seminggu?"

Dengan itu, seluruh rumahku menjadi kabur. Hal berikutnya yang kutahu, aku sudah berada di kamarku lagi dan mulai mengemasi pakaianku. Aku sudah meminta Ray untuk kembali pada teman-temanku dan menunggu, dan aku tahu sebaiknya aku tidak berlama-lama.

Pakaian untuk tiga hari. Camilan ... tidak, tidak perlu. Keluargaku lebih memerlukan semua suplai makanan yang bisa mereka miliki saat ini. Paling tidak, sampai makanan untuk publik kembali tersedia. Aku bukan jenis orang yang suka keluar dan berkemah, tetapi itu bukan berarti aku tidak pernah. Alat mandi? Aku tidak yakin akan menginap di hotel nanti. Lebih baik siap daripada celaka.

Claire tetap menungguiku di kusen pintu kamarku. "Apa yang kaumau kubilang pada Ayah dan Ibu nanti?"

"Tidak usah bilang apa-apa," jawabku. "Apa mereka sudah mengira aku mati?"

Claire tampak berjuang menjawabnya. "Iya."

Saat aku menutup tasku, nada Claire mendadak membuatku sadar: ia juga mengira aku sudah mati. Suaranya gemetar. Aku masih ingat seperti apa keadaan Claire saat aku kembali. Ia tidak kembali ke kamarnya setelah bangun, bahkan setelah Ayah pulang. Ia tetap bertahan di kamarku.

Aku berusaha menelan balik gumpalan entah apa yang menyekat tenggorokanku. "Bagus," ujarku parau. "Kita jaga seperti itu untuk sementara ini. Aku tidak yakin bagaimana harus menjelaskan pada mereka tentang ... semuanya."

"Oke."

"Hei, kautahu? Jangan khawatir," lanjutku. "Jika aku selamat, dan ternyata ada waktu, aku akan langsung mengunjungimu. Aku janji."

Claire tidak menjawab. Aku akhirnya mengenakan tasku dan bangkit untuk berjalan keluar—tetapi Claire menghadangku. "Tunggu."

Aku mengangkat alis padanya. Ia menatapku dalam-dalam sesaat dengan ekspresi tak tertebak seperti tadi, sebelum akhirnya menghela napas.

"Aku menarik balik perkataanku."

"Yang mana?"

Claire menunduk sedikit. "Semuanya. Setiap waktu aku membuatmu kesal, marah, sedih, frustrasi. Setiap kali aku membuatmu sakit hati atau mempertanyakan kenapa kau mendapatkan adik yang sepertiku. Setiap waktu aku merepotkanmu. Setiap hal yang membuatmu mau pergi. Jangan ... jangan berkemas. Aku menarik lagi kata-kataku. Jangan berkemas. Aku mohon." Mata Claire mulai berkaca-kaca. "Jangan pergi."

Aku menyentuh bahunya. Aku separo-berharap Claire akan memukulku—seperti biasanya—dan mungkin menyalurkan semuanya sambil memukuliku, tetapi alih-alih memukul, Claire malah merangsek maju dan memelukku lagi. Bahkan lebih erat daripada tadi.

"Jangan pergi," bisiknya lagi. "Jangan pergi. Jangan pergi."

Ia terus membisikkannya seperti mantra. Pada akhirnya, bisikannya melebur menjadi isakan. Ia terus menekan wajahnya ke dadaku.

Isakannya menjadi tangisan.

"Jangan pergi. Aku membutuhkanmu. Jangan pergi...."

Aku memeluknya kembali—seperti yang kulakukan tadi. Seperti yang kulakukan sebelum Fimbulwinter menyerang. Seperti yang kulakukan saat Claire menjebakku dulu. Seperti yang kulakukan padanya sejak kami masih kecil.

Claire sudah tumbuh, tetapi ia tetap adikku.

Aku mengelus rambutnya perlahan. Aku tidak pernah benar-benar jago dengan kata-kata, tetapi aku juga butuh agar ia mengerti.

Aku tidak punya pilihan. Aku harus pergi. "Claire," kataku pelan, semenenangkan mungkin. "Dengarkan aku. Aku tahu kau membutuhkanku. Tapi aku lebih butuh kau selamat. Aku butuh kau baik-baik saja ... dan itu tidak akan bisa terjadi jika aku tetap tinggal di sini." Aku berhenti sejenak, mencium pelipisnya. "Sekarang, tidak hanya kau yang membutuhkanku. Aku punya tanggung jawab yang tidak bisa kutinggal. Dan, sebenci-bencinya aku, aku tetap harus mengisi tanggung jawab itu."

Claire sudah berhenti membisikkan mantranya. Sekarang ia hanya menangis sejadi-jadinya.

Aku cuma bisa memeluknya.

***

Aku sempat terpikir soal mengikat telepati dengan Claire agar kami bisa tetap berkomunikasi. Selain itu, kami bisa bertukar pengalaman. Aku bisa membuatnya mengerti dengan sangat cepat, seperti dengan Will dulu.

Masalahnya, setega apa aku membuat Claire mengalami apa yang kualami selama ia tidak sadar?

Claire masih tidak bisa melepasku pergi, tetapi ia juga sama pahamnya bahwa aku tidak bisa tinggal. Ia masih sesenggukan ketika akhirnya mengantarku ke pintu depan dengan langkah yang sangat gontai, disusul dengan akhirnya mengatakan, "Aku menyayangimu."

Aku tersenyum pahit padanya. "Aku juga menyayangimu, Claire."

Lalu aku pergi tanpa menoleh belakang. Sama sekali. Aku tahu aku tidak akan kuat melangkah jika aku menoleh belakang bahkan sekali saja.

Akhirnya, tujuan terakhir kami: rumah Laura.

Aku tahu bagian ini akan menantang, jadi aku segera mendekati Laura lagi begitu kami kembali berjalan. Ia sadar betul akan usahaku.

Aku tidak mau bertemu ayahku, bisiknya padaku. Aku mengangguk.

Aku minta bantuan Will. Bagaimana?

Laura menggigit bibirnya dengan gugup. Tunggu. Bukan gugup.

Ia ketakutan.

Perlahan, ia mengangguk kecil. Baik.

Tunggu sebentar, oke? Aku mengalihkan fokusku pada Will. Will, boleh minta tolong?

Ada apa?

Laura sedang tidak ingin bertemu keluarganya.

Aku menoleh kepada Will. Anak itu mengangkat alis padaku, tetapi lalu mengangkat bahu. Oke.

Ini kamarnya.

Aku mengirimkan info soal lokasi rumah Laura dan posisi kamarnya, dan Will mengangguk padaku. Siap.

"Laura," ujarku pelan. "Kalau kaumau, kaubisa berangkat dari sini saja."

Rumah Laura masih belum tampak, tetapi aku tahu itu tidak masalah. Toh, Will juga sempat mengirimkan Shiva ke lautan entah di mana dari puncak Everest.

Laura menatapku ragu sesaat. "Temani aku?" pintanya.

Aku menggenggam tangannya, dan Will paham bahwa itu tanda yang dia butuhkan. Saat itu juga, jembatan hyperspace ungu dari Subtalaria muncul.

Aku dan Laura melangkah masuk tanpa berkata-kata lagi.

Kami segera tembus ke dalam kamar Laura, yang langsung mulai mengambil beberapa baju dan packing dalam diam. Aku menebar indra-Thorku ke seluruh rumahnya—aku masih bisa mendeteksi dua manusia di sisi lain rumah ini. Mereka tidak bergerak, tetapi mereka masih hidup. Mungkin sedang tidur. Sepertinya itu kedua orang tua Laura ... yang berarti sebaiknya kami tidak berisik di sini.

Aku cuma memerhatikan Laura berkemas, hingga akhirnya, ia mengenakan juga ranselnya dan berdiri kembali menghadapku.

"Sekarang, bagaimana kita keluar?" bisiknya.

Will?

Siap kapan pun kau siap.

"Will sudah siap. Kamu?" tanyaku pelan. Laura menatap mataku sesaat.

Tidak. Aku tahu ia belum siap.

"Entahlah," katanya akhirnya. "Aku masih ingin membersihkan tempat ini dari kenangan buruk itu. Tapi aku tidak yakin akan bisa."

Aku tahu Laura ingin lebih dari itu. Ia ingin bisa melepas semua kenangan buruk di rumah ini—tetapi menghapus kenangan itu dari kamarnya saja, ia tidak mampu. Dan peristiwa itu bahkan bukan terjadi di kamarnya.

Aku tidak tahu apa yang kulakukan, tetapi lalu aku menggenggam tangannya. Kedua tangannya. Pelan-pelan saja. Lalu, masih dengan perlahan, aku mengangkat tangan kanannya dan merangkul punggung kirinya. Ia menatapku heran.

"Luke?"

"Sssh. Dansa denganku?"

Aku sudah lama ingin mengatakan itu. Tidak dengan latar yang seperti ini, tentu, tetapi paling tidak akhirnya aku bisa mengatakan itu pada Laura. Ia menatapku, menimbang sesaat, lalu akhirnya mulai bergerak pelan-pelan.

Kami nyaris tidak meninggalkan tempat sama sekali, hanya menggoyangkan badan kami ke kanan dan ke kiri dengan irama yang sangat pelan. Ada musik waltz tak terdengar yang menuntun gerakan kami, dan pada satu titik, Laura ternyata bisa merasa cukup aman untuk menutup matanya dan menyandarkan kepalanya ke dadaku.

"Baik," bisiknya beberapa menit kemudian. "Kamu menang."

"Hmm?"

"Kamu menang." Kami masih tetap berdansa. "Aku merasa lebih tenang di sini sekarang."

Aku tersenyum. "Siap kembali?"

Ia mendongak menatapku, menatap wajahku lekat-lekat selama beberapa detik. Dansa kami berhenti. Ia mendaratkan satu ciuman singkat di bibirku. "Siap."

Will.

Aku dengar.

Dan kami kembali keluar.

***

Kami kebingungan mencari tujuan selama beberapa saat. Orang-orang belum berani keluar rumah, atau mungkin belum sadar bahwa matahari sudah muncul lagi di langit, bahwa awan sudah menipis, bahwa salju sudah berhenti turun. Mungkin mereka sudah sadar, tetapi jalannya terhambat oleh salju tebal di luar. Entahlah. Pokoknya, kami akhirnya memutuskan untuk berhenti di salah satu pohon yang cukup rindang di dekat taman daerah kami.

Pemandangan Ray dan Beth sepertinya cukup untuk menakut-nakuti para penjarah yang ada, karena kami tidak bertemu dengan satu pun selama di jalan. Ketika kami akhirnya duduk dan berteduh, kami semua cuma jatuh terdiam.

Sekarang apa?

Dari mana kami harus memulai?

Ketika kami dulu mendapatkan tugas untuk menghentikan Fimbulwinter dan menghentikan Kur, garis besar tugas kami cukup jelas—dan jangka waktu tugas kami juga jelas.

Namun, yang seperti ini?

Selamat siang, kata sebuah suara di kepalaku.

Dari ekspresi teman-temanku, sepertinya mereka mendapatkannya juga.

Itu suara Odin.

"Apa kalian...?" aku mengernyit, dan teman-temanku menjawab dengan anggukan masing-masing.

Sekarang setelah kalian berkemas, kita bisa mulai masuk ke dalam apa yang perlu kalian siapkan.

Aku memerhatikan sekelilingku sebentar. Tidak ada siapa-siapa lagi.

Pertama, aku memeriksa kembali laporan dari pasukan Deathbringers—para Leluhur yang menjaga sistem penjara antarbintang kami di Niflheim dan satelit-satelitnya—dan aku mendapatkan konfirmasi duluan. Ini berhubungan dengan darurat yang kusebutkan saat kalian di Olympus. Salah satu tahanan paling berbahaya di sana telah berhasil kabur, dan kemungkinan besar, dia akan pergi ke Bumi dulu sebagai tempat transit sebelum ke sistem lain. Bukan karena Bumi lebih dekat, tetapi karena Bumi adalah wilayah yang relatif bebas-Leluhur semenjak Peringatan.

"Apa sih, Peringatan itu?" tanyaku akhirnya. "Anubis menyebutkannya, Shiva menyebutkannya. Shiva bilang semua Leluhur pasti tahu soal itu."

Oh, kami tahu, tentu, jawab Odin dengan nada gelisah. Kita bicarakan itu lain kali saja. Aku yakin sistem lain sekarang sudah mendapatkan notifikasi mengenai tahanan itu. Aku memprediksikan bahwa dia akan tiba di Bumi sekitar seminggu lagi. Aku akan memeriksakannya nanti saat ke Vala.

"Kenapa kau tidak memperingatkan sistem lain saja saat sempat?" tanya James. "Saat telepon di Olympus tadi, misalnya?"

Jawabannya akan sangat makan waktu, jawab Odin dengan lebih gelisah lagi—aku tahu persis bahwa dia sedang menyembunyikan sesuatu kali ini. Pokoknya, kalian harus bersiap. Begitu mendapatkan prediksi lengkapnya dari Vala, aku akan segera mengabari kalian apa saja yang perlu dipersiapkan. Sementara itu, sebaiknya kalian bersiap-siap kembali ke Nu. Horus sudah menghubungiku, meminta agar Tony dan Shafira bisa dibawa menghadap mereka mengenai Mata Ra dan Wedjat.

Aku menepuk dahi, dan di saat bersamaan, ekspresi Tony dan Shafira mengeras. Mata Ra dan Wedjat. Mereka ditugasi menjaga kedua amulet itu, dan pada saat ini, kedua amulet itu sudah hancur karena Shiva.

Dengan kata lain, mereka praktis gagal dalam tugas mereka.

Tentu, ada banyak faktor lain yang terlibat—seperti saran dari Hermes, misalnya—tetapi sepertinya itu tetap bukan alasan.

Apa yang harus Tony dan Shafira hadapi nanti?

Tony sudah diberikan otorisasi untuk menggunakan Gerbang Duat, jadi kalian bisa langsung berangkat ke sana begitu kalian siap. Lalu, masih mengenai Mata Ra dan Wedjat, sebaiknya kita segera menemukan Shiva, di mana pun dia berada. Aku masih tidak menemukan alasan bagus mengapa dia ingin menghancurkan kedua amulet itu. Apa kalian ada ide?

"Dari aku, tidak," akuku. Aku memerhatikan dulu ekspresi teman-temanku sambil mencoba menggali isi kepala mereka via telepati—paling tidak bagi yang terhubung denganku—untuk memastikan apakah mereka punya sesuatu untuk dikatakan. Tidak ada. Teman-temanku juga sama buntunya. "Dia cuma mengatakan bahwa dia ingin mencegah Bumi dari mendapatkan Peringatan, dan ada tujuan lain yang lebih besar dari itu yang tidak akan kami mengerti. Aku tidak bisa membayangkan di mana kedua amulet itu muat di gambaran itu."

Odin tidak langsung menjawab, seperti mempertimbangkan dulu jawabanku. Baik, terima kasih. Itu memberiku beberapa ide. Aku akan coba membicarakannya nanti dengan para Leluhur lainnya. Lalu, masalah terakhir adalah ... Laura.

Aku menarik napas dalam-dalam. Laura menatap udara di hadapannya dengan kosong. "Ya?"

Dengan segala yang telah terjadi—dan akan terjadi, dalam hal itu—aku sadar bahwa hidup kita semua tidak akan lagi sama. Manusia, agen Leluhur, bahkan para Leluhur sendiri ... nyaris semua yang kita telah pegang lama-lama sebagai tatanan hidup kita yang dulu tidak akan berlaku lagi. Oleh karena itu, kurasa ada baiknya kautahu beberapa hal tentang dirimu sendiri.

Laura mengernyit. "Tunggu, apa maksudmu?"

Apa kau tidak bertanya-tanya sendiri kenapa kau tidak memerlukan Restu untuk bisa bertahan di Asgard?

Jantungku mencelus. Aku teringat sekilas terpikir mengenai ini saat Hermes mengungkit soal Laura, tetapi aku belum sempat memikirkannya lebih dalam lagi. Selain bertahan di Asgard, Laura juga bisa melihat di kegelapan saat kami di Radnor. Laura juga kebal terhadap sinar dari was Anubis ... dan ia tidak membawa Restu sama sekali.

Laura, kami tahu beberapa hal mengenaimu yang kau sendiri sepertinya belum tahu, kata Odin. Kami berusaha menjaganya seketat yang kami bisa ... tetapi, dengan keadaan yang seperti ini, menurutku sudah waktunya kautahu. Jadi, setelah kalian usai dengan urusan di Nu nanti, segeralah ke Asgard. Kita perlu bicara sebelum badai menerjang.

Dengan itu, aku merasakan Odin meninggalkan kepalaku. Seperti saat James memegang Hlidskjalf dulu. Pemberitaan Odin hanya sampai sana.

"Berarti ...," mulai Will dengan kikuk. "Nu?"

"Tunggu sebentar," bisik Shafira. "Maaf, tapi aku ... aku tidak merasa siap."

Ia menarik napas dalam-dalam, lalu melepasnya pelan-pelan. Aku tidak menyalahkannya. Aku tidak tahu bagaimana para Leluhur Kebangsawanan Duat akan menangani kasusnya, terutama karena, toh, Shafira sendiri awalnya masih mengira mereka semua dewa dan dewi, bahkan selama beberapa saat setelah kami berhubungan telepatis. Maksudku, ia belum sepenuhnya terlibat dalam dunia mereka ... tetapi ia sudah ditugasi menjaga sesuatu sepenting Mata Ra.

Sebenarnya, malah, jika aku tidak salah ingat, yang dititipi Mata Ra adalah ayahnya, yang juga membawa Restu Ra yang dibawanya sekarang.

Namun ayahnya sudah meninggal. Orang mati tidak bisa dihukum.

Lalu ... masih ada masalah Tony.

Bagaimana ceritanya hingga dia dibebani tugas menjaga Wedjat?

Apa sejarahnya?

Zeus sempat mengatakan bahwa dia tidak punya masa lalu, tetapi dia juga berkata bahwa Kairo penuh dengan kenangan buruk bagi Tony.

Lalu ada juga soal ketidakterkejutannya melihat Laura yang bangkit lagi dari kematian....

Aku mengernyit risau sebelum menggeleng kecil. Sepertinya aku tidak sengaja mengirimkan pikiranku ke Shafira lagi, karena aku cukup yakin ia mencuri lirik padaku dengan ekspresi semacam, maafkan aku.

Aku bahkan tidak tahu ia minta maaf soal apa. Karena?

Malah merepotkan kalian sekarang. Seharusnya misi kita selesai dengan bersih jika aku bisa menjaga Mata Ra waktu itu dan segera memintanya lagi dari Laura. Aku ceroboh.

Aku melunak. Itu bukan salahmu. Kautahu itu.

Bagaimanapun juga, pikiranku tetap berputar di kepala Shafira. Ia bahkan malah mulai berfokus pada pendapatku soal ayahnya ... dan ingatannya bergejolak. Ia mengenang lagi ayahnya. Bagaimana ayahnya tersenyum padanya, menuntunnya, menggenggam tangannya.

Apakah ini waktu yang salah?

"A-aku mau mengajukan hening sejenak," kata Laura tiba-tiba. Ia tampak gugup, seakan ia merasa gagasan ini adalah ide yang buruk, tetapi harus dilakukan.

Sepertinya aku tidak sengaja meneruskan nostalgia Shafira ke Laura ... hmm, sepertinya telepatiku dengannya masih belum serapi yang kukira.

"Untuk semuanya," lanjut Laura. "Semua yang berubah. Semua yang hancur ... semua yang hilang atau rusak karena Fimbulwinter. Musim dingin ini sudah selesai sekarang. Aku tidak tahu lagi cara melepas mereka dengan lebih damai atau lebih baik, dan aku tidak terpikir waktu yang lebih tepat."

Melepas.

Will menatap tanah. Aku bisa merasakannya berpikir mengenai kabar keluarganya yang belum jelas. Kabar ibu Shafira juga belum jelas ... tetapi dari jaringanku dengan mereka, aku tahu bahwa mereka perlahan tiba pada keputusan yang sama dengan Laura.

Jelas atau tidak, mereka tidak bisa terus berkabung di sana.

Mereka harus bisa melepasnya.

Tony menghela napas. "Baik."

"Oke," sambung James.

Dan, begitu saja, kami semua terdiam.

Shafira tetap memikirkan tentang kabar ibunya. Sepertinya ia berusaha membatasi aksesku ke kepalanya, karena aku tidak bisa melihat memorinya dengan jelas, tetapi aku tetap bisa merasakan bahwa itu tentang ibunya. Will sedang mengenang adiknya ... dan itu mengingatkanku pada Claire.

Aku meninggalkan Claire dalam keadaan menangis, seperti keadaanku saat pulang dan menemukannya—hanya beberapa menit sebelumnya.

Aku membebaninya dengan pengetahuan bahwa aku masih hidup, dan tidak akan bisa pulang untuk sementara waktu. Mungkin tidak akan pernah.

Ia akan harus berpura-pura tidak tahu soal itu dan membiarkan Ayah dan Ibu mengira aku sudah mati atau hilang, entah berapa lama.

Jantungku mencelus.

Ia tidak akan tahu jika aku mati di tengah jalan.

Ia akan terus mengira bahwa aku masih di luar sana, melakukan entah apa ... dan akan kembali lagi, entah kapan. Dan selama aku belum kembali, berarti aku hanya belum sempat. Ia mungkin akan sempat terpikir bahwa aku benar-benar sudah mati, tetapi aku tahu bahwa ia tidak akan mau memikirkan hal itu.

Ia tidak akan tahu jika aku mati di tengah jalan.

Itu memaksaku memejamkan mata. Claire, apa yang telah kulakukan padamu?

Laura, sementara itu, terpikir hal serupa denganku—ia membiarkan orang tuanya mengira bahwa ia sudah mati.

Kami berusaha membebaskan diri dari beban khawatir mengenai mereka, dan membebaskan mereka dari beban khawatir mengenai kami.

Di sisi lain, kami malah mencekik mereka dengan kecemasan yang berusaha kami hapus.

Apakah kami membuat keputusan yang benar?

Aku sangat ingin menggenggam tangan Laura, mungkin mengingatkannya bahwa ia tidak sendirian dalam hal ini, bahwa aku mengerti sedikit-sedikit apa yang ia rasakan. Namun aku tidak berani bergerak sama sekali.

Laura sedang mengurung diri dalam kepalanya, dan tidak ingin disentuh.

Kami tetap terdiam, entah selama berapa lama. Hal berikutnya yang kami tahu, Shafira sedang menangis tersedu-sedu, Laura menitikkan air mata dengan Beth mengeluskan kepala pada punggung Laura untuk menghiburnya, James tampak seperti mati-matian menahan tangis, dan Will menangkup wajah. Tony tetap tidak berekspresi sama sekali.

Aku baru sadar bahwa tanganku gemetaran, dan Ray berusaha menghiburku juga. Kau tidak apa-apa, Bos?

Aku menarik napas tajam. Udara dingin mengisi paru-paruku, dan untuk sementara, kepalaku benar-benar kosong dari pikiran apa pun. Perlahan, aku melepaskan napasku.

Bersamanya, aku melepaskan segala hal. Semua beban, semua cemas.

Semuanya antara sudah berlalu, atau belum terjadi.

Pada saat ini, persis saat ini, aku tidak punya apa pun untuk dikhawatirkan.

Napasku habis, dan saat aku menarik napas lagi, kepalaku terasa lebih ringan.

Lagi.

Aku melepaskan semuanya lagi dengan napas berikutnya.

Dan lagi.

Napasku terasa seperti angin sejuk musim gugur yang menarik pelan-pelan setiap dedaunan di pohon-pohon besar hingga jatuh berguguran.

Aku perlu menelanjangi pikiranku.

Pada saat ini, persis saat ini ... aku tidak punya apa pun untuk dikhawatirkan.

Semuanya antara sudah berlalu, atau belum terjadi.

Maka aku menarik satu napas lagi. Lalu, perlahan, dengan setenang mungkin, aku membelai kepala Ray di sisiku. Ya, Kawan, jawabku. Aku baik-baik saja. Terima kasih.

Aku bernapas lagi, berusaha menarik segalanya saat menghirup udara, dan melepaskan semuanya bersamaan dengan embusannya. Menyadari setiap tarikan dan embusan napas yang kulakukan. Setiap hal yang terpikir, terasakan. Memastikan bahwa aku sadar pada dan akan diriku sendiri.

Aku menanti hingga teman-temanku merasa lebih baik. Will akhirnya mengusap kedua matanya. Shafira sudah berhenti terisak-isak, dan ada kesan yang lebih tenang dari Laura, seakan ia tersadar hal yang serupa denganku. James sudah melepaskan tangisnya, dan tampak sedikit lebih lega.

"Hei, kalian tahu?" kata Will dengan sumbang, disusul kekehan kecil. "Sekarang kita akan melakukan semuanya bersama-sama, 'kan? Paling tidak, hingga ancaman yang Odin bilang akan datang?"

Aku mengangkat bahu. Rasanya lebih ringan sekarang. "Yeah, kurasa begitu."

"Jadi, apa, kita semacam pasukan superhero sekarang?"

Itu berhasil menarik kekehan lembut dariku dan senyum kecil dari James. "Aku tidak yakin kita bisa masuk kategori superhero," kata James. "Kita bahkan tidak punya nama super sendiri. Belum lagi nama pasukannya."

"Apa, ya? Semacam Liga, begitu?"

"Hei, sudah ada tim superhero lain yang menggunakan istilah itu."

Laura terkikik. "Berarti kau mengakui bahwa kita ini semacam superhero?"

"Jika bukan sekalipun, menurutku kita tetap bisa jadi keren," kata Will. Suaranya masih sumbang, tetapi aku tahu dia sedang berusaha menaikkan mood kami. Anak baik. "Entahlah, semacam lima orang berkostum ketat warna-warni itu, aku lupa nama mereka."

"Kaumau kita semua berkostum ketat?" tanya James nelangsa. Kali ini, aku dan Laura tertawa, sementara Shafira terkekeh. Bahkan Tony tersenyum sedikit. Will tampak agak salah tingkah.

"T-tidak juga, sih," katanya sambil menggaruk dagu. "Tapi, coba pikir-pikir lagi, sepertinya punya nama geng begitu keren juga."

Shafira memutar bola mata. "Jangan beri nama yang bodoh."

"Aku nyaris menyarankan Pahlawan-Pahlawan Mitologi."

Aku tersedak sendiri. "Kau tidak mungkin serius."

"Lalu apa, dong? Demigod Club? Ergh, tidak semua dari kita adalah demigod. Maksudku, kita berenam dan multitalenta. Aku ingin menamai kita Argonauts II, tetapi yang berasal dari latar belakang Yunani cuma aku. Ayolah, pasti ada sesuatu yang bisa—"

"Myth Jumpers," kataku. Itu menyita semua perhatian kepadaku. "Shiva sudah mengatakannya. Kita semua pelompat mitos. Tugas kita melompati berbagai mitologi yang berbeda-beda. Latar belakang kita juga berbeda-beda."

"Myth Jumpers." Laura tertawa kecil. "Itu terdengar seperti semacam judul buku."

"Atau film," imbuh James.

Will tampak berpikir sejenak. "Myth Jumpers ya ... oke, aku suka itu."

"Persis kata Shiva, ya?" kata Shafira.

Persis kata Shiva, ya?

Teman-temanku merespon itu dengan anggukan setuju—mungkin dengan maksud menyetujui bahwa penjelasanku soal kata-kata Shiva tadi itu benar, seperti bahwa kami memang 'melompati' berbagai mitologi sepanjang misi kami, dan sepertinya ini akan tetap terus terjadi nanti—tetapi pikiranku malah melompat ke arah lain.

Persis kata Shiva, ya?

Ragnarok tetap akan pecah!

Aku masih tidak menemukan alasan bagus mengapa dia ingin menghancurkan kedua amulet itu.

Kita bicarakan itu lain kali saja.

Kita perlu bicara sebelum badai menerjang....

Saat itu juga, tawa kami berhenti—seakan suatu penyadaran mencengkeram kami mendadak di saat bersamaan.

Shiva memang benar.

Persis kata Shiva, ya?

Ya. Persis kata Shiva. Persis seperti dia telah mengobrak-abrik pikiran kami, persis seperti ide-idenya yang belum terungkap, persis seperti ulahnya yang menjungkirbalikkan dunia manusia dan para Leluhur ... persis seperti peringatannya yang mengubah segalanya.

Dan sekarang, jika kami akhirnya menyebut diri Myth Jumpers, mendadak aku sadar satu hal: dia menang.

Shiva benar, dan kami secara tidak langsung menyepakati itu.

Kami menyepakati ironi yang dia sampaikan dengan nama itu.

Shiva telah dikalahkan, untuk saat ini, dan telah menghilang.

Namun dia telah berhasil mencengkeram kami semua—dan bahkan seluruh Bumi, dan para Leluhur—di tangannya.

Kami baru saja membuktikan itu dengan nama kami.

Aku menelan ludah dengan tidak nyaman. Aku baru teringat bahwa urusan kami masih panjang ... dan berkubang di pikiran yang seperti ini tidak terdengar seperti ide yang bagus. Sebaiknya kami bergerak terus.

Tujuan berikutnya, kalau begitu. Aku menghela napas. "Tony, coba buka Gerbang Duatnya."

Tony memejamkan mata sambil mengelus was Anubis, dan ajaibnya, Gerbang Duat benar-benar terbuka di dekat kami. Aku menatap ke arah jembatan jingga membara itu dengan ragu selama beberapa saat.

Tujuan berikutnya, kalau begitu.

"Baiklah, Myth Jumpers," kataku. Pojok mataku berkedut risau sedikit ketika aku menyebut Myth Jumpers. "Ayo pergi."

***

Catatan Penulis: Baiklah, RCMJ sekarang benar-benar resmi tamat! Aku akan membuat part khusus untuk changelog yang berisi perubahan dan tambahan-tambahan dari rilis revisi mayor kali ini.

Oh, iya, saat aku upload revisi tadi, aku menemukan salah satu catatan penulis di Bab 17 yang nyaris memberikan spoiler ... yang kusenggol lagi di sini lewat pesan Odin. Hehehe.

Aku juga mungkin akan membuat part khusus untuk daftar soundtrack yang kumau atau terbayang saat adegan-adegan tertentu. Semacam album soundtrack untuk RCMJ. Kita lihat nanti.

Terima kasih telah bertahan hingga sejauh ini, dan jangan lupa nikmati juga konten-konten bonus yang ada selagi menunggu buku kedua Ragnarok Cycle terbit!

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro