Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

3

[SATU BULAN HINGGA ISOLASI.]


SALJU MASIH BELUM berhenti turun—padahal puncak musim dingin harusnya sudah lewat lebih dari seminggu yang lalu.

Semua bermula seminggu setelah kedatangan James dan Laura waktu itu—langit mulai gelap dan awan bergulung dari sejak tengah malam, lalu hingga siang muncul, masih belum ada tanda bahwa matahari akan tampak lagi.

Saat itu udara dingin mulai menyeruak melewati kami yang sudah terbiasa dengan cuaca yang sedikit lebih hangat saat matahari sedang tinggi, jadi kami agak terkejut. Tapi keesokan harinya, matahari masih belum tampak.

Dan begitu pula keesokan harinya.

Dan keesokannya.

Dan keesokannya lagi.

Dan salju mulai turun. Terus, terus, dan terus.

Aku sudah merasa ada yang salah soal itu, tapi secara khusus, aku tahu ada yang salah ketika ayahku tiba-tiba kembali pulang saat matahari baru saja melewati titik teratas kepalaku—paling tidak, menurut jam tangan tersayangku yang tidak pernah kulepaskan. Aku jelas tidak tahu apa matahari benar sedang tinggi di atas sana, karena jika iya sekalipun, awan gelap tanpa ujung di langit meniadakan perbedaannya sama sekali.

"Ada apa?" ibuku langsung menyambutnya saat masuk ke dalam rumah. Mata ayahku—yang warna cokelat kenarinya turun ke Claire—berbinar gelisah.

"Semua karyawan dipulangkan," katanya berat. "Banyak yang mengkhawatirkan keadaan keluarga karena keadaan di jalan menjadi genting, dan atasan sepakat agar kami semua dipulangkan."

Aku sedang duduk di sofa depan TV bersama Claire dan tidak berniat mencuri dengar. Sungguh. Tetapi aku tahu ayahku benar—pertama, beberapa saluran TV juga mengurangi jam tayang mereka karena mereka harus memulangkan sebagian karyawan mereka untuk alasan yang sama. Akibatnya, beberapa acara harus ditunda hingga ada kejelasan cuaca. Memaksakan jam kerja yang dianggap tidak manusiawi akan memunculkan protes, jadi semakin hari semakin banyak saluran TV yang memilih jalan ini. Kedua, dari beberapa saluran TV yang masih menyiarkan berita, tidak jarang aku mendengar berita bahwa jumlah kecelakaan di jalan meningkat drastis dengan turunnya salju tanpa henti belakangan ini. Sejauh yang aku tahu, ayahku bisa saja menjadi salah satu korbannya di tengah berjam-jam jalan pulangnya tadi.

Ibuku memeluk Ayah. "Tetaplah di sini," bisiknya. Ayahku memeluknya balik dan membisikkan sesuatu yang tidak bisa aku dengar. Aku kembali mengalihkan perhatian ke ponselku supaya situasi tidak canggung.

"Luke," bisik Claire dari sebelahku. "Apa kata Ayah? Aku tidak dengar."

Aku pura-pura cemberut. "Mencuri dengar itu tidak baik."

"Kau sendiri mencuri dengar!"

"Aku tidak mencuri dengar. Pembicaraan mereka saja yang terdengar olehku."

Claire mendelik dengan tatapan yang aku kenal. "Jika kaucoba mengelak lagi—"

Aku sedang tidak mau dibanting dengan jurus judo oleh adikku, jadi aku langsung menjawab. "Tempat kerja Ayah memulangkan semua karyawannya."

Mata Claire melebar. "Serius?"

"Tidak heran," kataku. "Sudah menyalakan pemanasnya? Ayah pasti kedinginan."

"Sudah," kata Claire, masih agak tercengang. "Sejak tadi pagi. Tapi—tapi bukannya Ayah bekerja di instalasi pembangkit listrik?"

Aku mengangguk. Ekspresi Claire tidak berubah, dan ia menghirup napas tajam.

"Lalu apa itu ... apa itu berarti...?"

Aku memandangi TV yang sedang menyala menunjukkan program-program yang sangat terbatas. "Listrik tidak akan bertahan."

Di samping TV, mendadak aku baru menyadari akibat lainnya jika listrik tidak akan bertahan: charger ponsel. Lampu. Pemanas ruangan. Pemanas air. Modem. Router. Telepon. Semua barang elektronik akan mati—lalu bagaimana kami akan bertahan?

"Luke, Claire," mendadak Ayah memanggil kami. Awalnya aku agak kaget—mungkin karena aku masih merasa agak bersalah telah tidak sengaja mendengar pembicaraannya dengan Ibu—tetapi aku langsung mematikan TV dan mendatangi Ayah, disusul oleh Claire. Ayah mengajak kami duduk di ruang tamu. Ada kecemasan di matanya yang berusaha dia sembunyikan.

"Ada apa, Yah?" tanya Claire segera sambil duduk. Ayahku menghela napas.

"Apa kalian punya barang-barang bekas yang masih bisa digunakan oleh orang lain, mungkin dijual?" tanyanya. Aku dan Claire mengangguk kecil. Ayahku menatap kami di mata dalam-dalam—keriputnya mendadak menjadi semakin ketara. "Aku akan butuh kalian untuk mengumpulkan semuanya."

"Kenapa?" tanya Claire pelan. Ayahku mempertimbangkan kata-katanya sesaat.

"Kita punya generator cadangan," mulainya. "Listrik tidak akan bertahan lama jika situasi seperti ini berlangsung terus. Tapi kita masih bisa menggunakan generator kita. Masalahnya, generator kita butuh minyak untuk bisa menyala. Ayah ingin menukar barang-barang bekas kita dengan minyak atau uang untuk membeli minyak. Hanya untuk jaga-jaga jika situasi ini berlangsung dalam jangka agak panjang sampai kita menemukan jalan keluar lain."

Kami jatuh terdiam. Aku mengangkat tangan dengan canggung. "Jalan keluar lain ... seperti apa?"

"Itu juga yang Ayah dan Ibu sedang pikirkan," kata Ayah dengan sabar. "Karena itulah kita butuh mencuri waktu. Berita tentang listrik ini akan segera menyebar. Kita harus cekatan. Untuk sementara ini, kita butuh minyak untuk menjaga agar listrik di sini tetap menyala. Kita pikirkan langkah berikutnya nanti. Bagaimana?"

Aku dan Claire bertukar pandang. Aku sudah lebih dari tahu apa yang sedang Claire pikirkan dan aku tahu ia rela memberikan segalanya demi keluarga ini, tetapi ia tampak seperti meminta persetujuan dariku. Aku mengangguk kecil padanya. Kami sepakat tanpa kata.

"Aku bongkar kamarku dulu," kata Claire.

"Aku juga," kataku.

Kami segera beranjak ke kamar masing-masing, dan ayahku mengangguk berterima kasih kepada kami.

Dugaanku dan Claire benar. Listrik tidak akan bertahan lama. Dan entah apa yang akan bisa kami lakukan tanpa listrik—paling tidak, untuk sementara ini.

Dan ayahku benar. Berita ini akan menyebar. Kami harus cekatan.

Mendadak detik-detik di jamku terasa bergerak lebih cepat.

***

Saat aku bersandar ke jok tengah mobilku, Claire memukul lengan atasku.

"Ow!" protesku. "Apa-apaan?"

"Aku sedang panik," gumamnya. "Aku harus—srup—memukul sesuatu."

Aku sudah mulai terbiasa dengan kebiasaan buruknya itu, jadi aku tidak berkomentar. Lagi pula, Claire tahu betul seberapa keras harus memukulku supaya tidak terjadi apa-apa, jadi aku percaya padanya. "Pilekmu kambuh lagi?" tanyaku. Claire tidak menjawab dan mengusap hidungnya.

"Sial. Obatku sudah nyaris habis," katanya. "Oh, dan suaraku mulai sumbang lagi. Ini tidak bagus."

Aku mengangkat bahu. "Sepertinya aku akan harus sering-sering membuatkan lagi minuman hangat."

Claire mengerang dengan suara pileknya. "Mau cokelat."

"Stoknya mau habis, Adik Kecil."

"Semua baik-baik saja di belakang?" tanya Ayah. Aku dan Claire menjawab serempak, Claire disusul dengan bersin sekali.

"Aku benci flu," protesnya dengan hidung tersumbat sementara Ayah mulai menyetir keluar dari carport rumah kami.

Ayah bilang, dia punya seorang kenalan yang dia tahu mungkin masih mau membeli sebagian besar barang bekas yang sudah kami siapkan. Bagasi kami penuh dengan tas-tas berisi barang-barang yang aku kira sudah tidak lagi kumiliki. Ayah bahkan menemukan TV bekas di gudang, dan aku menemukan konsol permainan legendaris yang rasanya seperti sudah sangat antik. Sementara itu ternyata Claire cukup berbaik hati untuk menyerahkan sebagian besar bonekanya.

"Aku sudah empat belas tahun," katanya mantap saat menyerahkan boneka-boneka itu pada Ayah yang tampak sama terkejutnya denganku. "Mereka dulu menemaniku. Sekarang waktunya mereka menemani anak-anak lain. Aku cuma tidak sempat-sempat saja mengirim mereka ke yayasan. Sekarang paling tidak mereka bisa berguna."

Aku, Ayah, dan Ibu selalu mengira bahwa Claire punya koneksi sentimental dengan boneka-bonekanya, dan kami kira karena itulah mereka masih menghiasi kamarnya. Sekarang hanya ada dua boneka di kamarnya—satu teddy bear dari Ayah dan Ibu, boneka pertamanya, dan satu lagi boneka anak anjing golden retriever dariku yang kubelikan (via Ibu) saat ia sedang sangat ingin punya anjing peliharaan, bertahun-tahun yang lalu di masa prasejarah kami yang saking memalukannya tidak pantas diceritakan lagi.

Ekspresi Claire agak mengeras waktu Ayah masuk ke gigi tiga di jalanan. Melihat kanan-kiri, mendadak aku paham kenapa banyak perusahaan yang mengizinkan cuti untuk karyawannya hingga jangka waktu tak jelas—salju di jalan sangat, sangat, parah. Untung ayahku sudah bersikeras untuk memasang snow spikes—semacam pelapis ban mobil berbentuk duri-duri lembut yang bisa mencengkeram tanah bersalju—di ban mobil kami sejak awal musim dingin lalu.

Ayah terus menyetir, wiper di kaca depan mobil kami terus menyala untuk menyingkirkan salju yang menimbun, sementara beberapa mobil lain melintas sesekali di sisi kami. Perlahan perumahan menipis dan digantikan toko-toko—kami mulai masuk ke tengah kota.

Ternyata tempat ini cukup ramai. Paling tidak, jika dibandingkan dengan kawasan perumahan. Banyak orang yang masih di luar, di jalanan, berlalu-lalang di sini....

Dan semua orang sedang berlari ke arah kami.

Atau, lebih tepatnya, ke arah belakang kami. Jeritan histris mereka teredam oleh jendela mobilku, tetapi aku bisa merasakan panik yang sedang menjalar.

Mereka menjauhi sesuatu jauh di depan sana.

"Ada apa ini?" tanya ibuku. Ayahku segera memindai sekelilingnya. Aku melirik ke Claire—napasnya mulai memburu. Lautan manusia di sekeliling kami tidak kunjung menipis.

"Kunci mobilnya," kata ayahku singkat sambil keluar dari mobil.

"Tunggu, Abner—" ibuku baru mulai memanggilnya, tetapi Ayah sudah keluar duluan dan menutup pintu di belakangnya. Akhirnya Ibu cuma bisa mematuhi perintah Ayah dan mengunci pintu mobil kembali.

Di luar, Ayah menembus lautan manusia yang terus bergerak itu seperti ikan yang sedang melawan arus. Tapi dia tidak pergi jauh-jauh dari kami. Dia berusaha mencegat orang setiap beberapa detik, dan akhirnya ada yang cukup baik hati untuk berhenti dan menjawab pertanyaannya sejenak.

Mereka berbicara selama lima detik. Ekspresi Ayah berubah dari serius menjadi ngeri. Aku berani sumpah aku melihatnya memucat. Ayah akhirnya membiarkan orang itu lanjut berlari dan segera menghampiri mobil, mengetuk jendelanya dengan cepat. Claire segera menanggapinya dan membukakan kunci pintunya.

Ayah memelesat masuk dan langsung duduk, mengganti gigi mobil menjadi atret dan langsung menyetir mundur.

"Abner, ada apa?" tanya ibuku panik. Napas Ayah masih memburu. Begitu dia menemukan tempat berbalik, dia langsung menyetir ke arah situ, kembali mengganti gigi, dan langsung memijak gas dan mengantar kami pergi searah dengan larinya orang-orang lain di luar mobil.

Perlahan, kami berhasil menjauh dari lautan manusia tadi.

"Maaf," kata Ayahku sambil terengah-engah. "Tadi ... yah, orang tadi menceritakan kenapa jadi ramai begini."

"Memangnya ada apa?" tanya Ibu—disusul pekikan Claire.

"AYAH AWAS—"

Bunyi klakson. Ayahku langsung membanting setir ke kanan, menghindari mobil dari arah depan yang tidak menyalakan lampunya. Aku bisa mendengar bunyi gesekan keras bumper mobilku dengan mobil SUV tadi, tapi tidak ada luka tambahan selain itu. Semoga saja.

Mobil kami tergelincir sedikit karena gerak dadakan itu—sedikit, tapi cukup untuk menabrakkan kami ke trotoar.

Refleks dari latihan parkourku langsung bereaksi dan aku melempar tangan lurus ke depan, ke jok ibuku, dengan kedua telapakku berdekatan. Begitu sentakannya tiba dan telapakku menapak ke jok di depan, kedua lenganku kulipat perlahan-lahan seperti per agar kepalaku tidak langsung terantuk ke depan dengan keras. Claire, sementara itu, langsung menutup kepalanya dengan kedua lengan sebagai perisai saat terantuk ke depan.

Kami terdiam sesaat. "Semuanya baik-baik saja?" tanya Ayah. Aku mengangguk, disusul erangan Claire. "Maaf. Sebentar."

Ayah menyalakan lagi mesin mobil yang mendadak mati, mundur, dan kembali menyetir. Sunyi masih belum melepaskan cengkeramannya dari kami.

"Sayang, tolong, ada apa?" tanya Ibu akhirnya. Ayah menghela napas.

"Kerusuhan," jawabnya setelah dua detik. "Beberapa orang panik dan memaksakan diri merebut persediaan. Orang-orang lain mengikuti mereka. Ricuh. Berantakan. Semua orang jadi perampok dadakan. Orang-orang lain tadi menyelamatkan diri sebelum—"

DHUAR.

Kilatan cahaya dari belakang mengejutkan kami. Sontak, kami semua menunduk sedikit untuk melindungi diri dan langsung menengok ke arah belakang. Tidak salah lagi, suaranya datang dari arah sana—ada ledakan dari arah kota, disusul jeritan keras dari orang-orang yang masih ada di sana.

Padahal mobilku tadi bisa nyaris kedap suara.

"Sebelum hal semacam itu terjadi," lanjut ayahku dengan muram. "Begini. Berhubung kota sedang kacau, aku akan mengambil jalur memutar untuk ke Derrick ... tapi ini akan agak makan waktu. Bagaimana menurut kalian?"

"Aku tidak masalah," jawabku dengan suara mencicit. Claire mengangguk kecil.

"Aku juga. Yang penting kita bisa dapat minyak."

Sementara itu, ibuku cuma bisa menyentuh bahu ayahku yang tegang sebagai jawaban. Ayahku mengangguk.

"Terima kasih. Pegangan."

Dia menginjak gas, dan kami melaju cepat.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro