29
[DELAPAN HARI SETELAH ISOLASI.]
AKU TIDAK TAHU apa yang akan Heimdall katakan—atau lakukan, dalam hal itu—jika kami kembali ke Asgard. Masalahnya, Laura dan Beth masih di sana, dan kami tetap harus lapor kepada Odin bahwa misi kami sudah tuntas: Kur sudah mati, dan Fimbulwinter sudah dihentikan.
Jika dipikir dua kali, mungkin seharusnya Heimdall sudah bisa tahu bahwa misi kami berhasil, karena Anomali Himalaya sudah berhenti. Seharusnya Sumur Mimir sudah bisa mengakses puncak Everest dan melihat kami lagi, jadi jika ada yang menggunakan Hlidskjalf atau salinannya—seperti Heimdall—kami harusnya sudah terlihat.
Namun, minimal, kami harus mengembalikan dulu Guci Pandora ke para Leluhur Olympus. Heimdall sempat mengatakan bahwa Odin tengah bergerak ke Asgard bersama mereka, jadi kami bisa pergi ke Asgard saja untuk mengembalikan benda sialan ini.
Yang berarti, James harus membukakan lagi Bifröst untuk kami.
Vishnu memutuskan tidak ikut setelah mengambil Pinaka yang diterlantarkan pemiliknya—yang sebenarnya bukan salah Shiva juga; toh, aku memutuskan talinya. Vishnu sekarang tidak lagi berproporsi seperti Shiva-Rudra: dia sudah mengecil menjadi seukuran Leluhur biasa, walaupun tetap bertangan empat, dan warna kulitnya menjadi semakin kelabu, seakan ia tadi mengenakan cat biru dan catnya perlahan memudar. Melepas wujud Narayana, mungkin?
"Aku harus kembali ke Mahameru," katanya. "Pertama, jelas, merawat lukaku. Anak panah Shiva bukan mainan remeh, dan luka ini harus segera diobati, bahkan walaupun aku menerimanya saat dalam wujud Narayana. Lalu, di samping itu, masih banyak sekali hal yang harus kami bicarakan, berhubung Musim Dingin Besar ini sekarang sudah selesai dan Shiva ternyata pelakunya. Sebagian besar bahasan nanti soal Shiva, tentu ... dan beberapa hal lagi."
"Caranya menghilang tadi?" tawar Will. Vishnu mengangguk.
"Itu salah satunya. Aku curiga ... ah, nanti saja." Dia berhenti sejenak, seperti mempertimbangkan sesuatu dulu. "Jika kalian bertemu Odin, jangan lupa ceritakan soal itu padanya."
"Kenapa?"
"Karena caranya menghilang tadi itu familier bagiku," kata Vishnu berat. "Aku tidak yakin, dan tetap tidak tahu apa yang terjadi, tetapi aku curiga ... hmm, sudahlah. Ceritakan saja pada Odin, oke? Aku punya firasat kami akan butuh bantuan satu sama lain dalam waktu dekat."
Jantungku mencelus. Itu tidak terdengar bagus untuk berbagai alasan. "Oke."
"Dan, anu," kata Vishnu seraya membuka jembatan hyperspace berwarna putih keemasan di depannya, "semoga beruntung. Untuk seluruh umat manusia, maksudku. Banyak yang harus dibereskan karena ulah Shiva, dan itu tidak akan makan waktu singkat. Semoga kalian semua cepat pulih."
"Tentu," jawabku. "Terima kasih juga sudah menyelamatkan kami, Vishnu."
Vishnu mengangguk pada kami sebelum menghilang menuju jembatannya. James mengerang sedikit seraya berusaha mengaktifkan Bifröst.
Gangguan gravitasi yang sudah kukenal baik itu akhirnya muncul juga. Aku tahu aku tidak bisa berlama-lama, tetapi aku menyempatkan diri menebar pandangan. Sekali lagi, semuanya menatapku penuh harap.
Mendadak aku baru menyadari satu hal: mereka melihatku sebagai pemimpin di sini.
Entah itu hal bagus atau buruk.
Aku menghela napas, menggenggam Vidveider lebih kencang di tanganku. Jaketku yang kurang satu lapis sudah mulai terasa sangat dingin, jadi lebih cepat aku keluar dari sini, lebih baik. Vidveider bergetar seiring dengan genggamanku, seperti berusaha menyemangatiku. "Oke," kataku. "Ayo kita selesaikan semua ini."
Aku melangkah menuju Bifröst, dan aku bisa mendengar teman-temanku mengikuti.
***
Aku tidak tahu apa yang ada di pikiran Odin saat itu, tetapi sambutannya jelas bukan sambutan yang meriah.
Kami tiba di Himinbjörg dengan lancar dan tanpa hambatan, dan hal pertama yang kulihat adalah siluet: banyak siluet. Lalu kilau putih jembatan hyperspace melemah, dan aku mulai bisa mengenali beberapa wajah.
Yang pasti, pertama dan paling mencolok karena kulitnya yang sangat terang, adalah Heimdall. Dia masih tampak agak masam setelah aku blak-blakan menentang perintah Odin. Leluhur yang bersangkutan, omong-omong, ternyata juga berada di Himinbjörg saat itu, dan dia tampak sama tidak senangnya dengan Heimdall.
Tidak, ekspresinya tidak sekering Heimdall, tetapi dia juga tidak tampak setenang saat menugasiku, James, dan Laura untuk menghentikan Fimbulwinter.
Thor, di sebelah Odin, malah tampak sangat puas, seakan dia sehabis menghajar lega seseorang sampai babak-belur.
Selain itu, Himinbjörg disesaki beberapa wujud lain: seorang Leluhur bertombak keperakan yang tampak seperti Odin, dengan jenggot putih keriting yang sama, namun dengan postur yang lebih kekar; Hermes (aku langsung mengenalinya dengan mudah); dan dua orang Leluhur wanita berambut cokelat yang sangat cantik, yang satu dengan gaya bob sebahu mengenakan gaun emas dan yang satu lagi berambut panjang bergelombang diikat kuncir satu mengenakan gaun putih. Aku bisa menangkap sedikit kemiripan di wajah mereka, dan sepertinya mereka masih muda—mungkin sebaya dengan Heimdall.
Kapsul Laura masih berada di dekat dinding, dan Beth masih berbaring di dekat sana. Bedanya, kali ini kepala naga itu agak terangkat dan dia sedang menatap waspada gerombolan Leluhur di depannya.
Aku mengusap kepala Ray. Temani Beth, kataku. Naga itu tidak membalas dan langsung bergerak menuju rekan sesama naganya. Teman-temanku yang lain, sementara itu, membeku dengan canggung.
"Ah," kata si Leluhur-mirip-Odin. "Barang itu."
"Ya, Zeus, barang itu," jawab Odin. Aku tahu mereka sedang membicarakan Guci Pandora, tetapi mata Odin terkunci padaku. "Aku kira barang itu hilang saat Banjir Besar, benar?"
"Ya," jawab Hermes dari sebelah Zeus. "Barang itu hilang saat Banjir Besar."
"Namun ... ternyata Shiva bisa menemukannya."
"Aku juga tidak tahu bagaimana caranya, Odin," kata Zeus dingin—kedua matanya berwarna biru terang, seperti kilau listrik, dan tengah terpaku ke Guci Pandora di pelukan Will. Bocah itu menelan ludah dengan gugup di sebelahku. Tanpa sadar, aku agak bergerak ke arahnya, seperti untuk menghalangi Zeus darinya.
Odin terdiam sesaat, antara memikirkan kata-kata Zeus, memonitor gerakanku, atau dua-duanya, tetapi lalu tersenyum kecil. "Baiklah, kalau begitu. Kita tinggal bisa bersyukur Bumi baik-baik saja berkat mereka."
"Anu," sahut si Leluhur-berambut-dikuncir. "Sejujurnya, aku penasaran. Mereka bisa menangani masalah ini sendiri dalam kurang-lebih dua puluh empat jam waktu Bumi. Kita semua kecolongan selama tiga bulan waktu Bumi. Bagaimana bisa?"
"Belum lagi," jawab Leluhur wanita yang satunya sambil menebar pandangan kepada kami dengan tatapan penuh perhitungan, "mereka juga, jika laporan Hermes benar, bisa membunuh Kur. Aku ingin tahu bagaimana ini bisa terjadi."
"Semakin lama kau memerintah, Nak, semakin kau harusnya sadar bahwa memang ada orang-orang yang bertugas kerja lapangan," jawab Zeus dengan ketus, disambut tatapan tidak setuju dari Hermes. "Namun, yah, silakan saja."
"Jika ada yang mau bercerita, aku akan berhubungan telepati denganmu," kata si Rambut Dikuncir. Aku menatap matanya—warnanya kelabu terang, tetapi tidak seperti Zeus, mata Leluhur ini tampak lebih mirip bulan purnama. Leluhur itu juga menatapku. "Oh, kau? Baguslah. Aku dengar kau pemimpinnya."
"Aku tidak—"
Telepati.
Indra-Thorku yang memberitahuku apa yang sedang terjadi, karena jika tanpanya, aku tidak tahu bagaimana caranya menjelaskan apa yang sedang terjadi. Ingat rasanya dikirimkan informasi telepatis tentang tempat? Rasanya mirip seperti itu. Namun, alih-alih menerima informasi, rasanya seperti ada seseorang yang tengah mengorek sesuatu dari dalam kepalaku. Aku bahkan tidak bisa melawannya saat informasi itu mengambang begitu saja: semua yang sudah kualami, dari sejak awal musim dingin, tantangan gendongan Laura, James pulang dari Skandinavia, Claire sakit, serangan Ibu, isolasi, Ayah pergi, Thor, Valaskjalf, Radnor, Mesir, Nu, Geb, Kur, Kreta, Laut Ionia, Punta Meliso ... hingga Anomali Himalaya. Semuanya berkelebat sekilas, tidak cukup lama untuk kuresapi, tetapi cukup lama hingga aku tahu bahwa informasi itu baru saja dipanggil—rasanya seperti jika kau berusaha mengingat-ingat sesuatu.
Dan Leluhur itu mengedip. Semua informasi yang tadi diaksesnya langsung memudar, dan rasanya mirip dengan kelegaan yang biasa kaudapat jika kau berhasil mengingat sesuatu yang tersangkut di belakang kepalamu. Ekspresinya masih penasaran, tetapi sekarang ia menyelipkan sesuatu di kepalaku: halo. Namaku Artemis. Senang berkenalan denganmu.
Aku mengerjap. Halo juga. Aku Lucas Andrews.
Aku tahu. "Oke," kata Artemis pada Zeus. "Aku dapat semua yang kumau. Luke, apa kau keberatan jika Athena juga mengintip sedikit?"
"Tidak," jawabku. Baru saja aku mengatakan itu, Leluhur wanita yang satu lagi menatapku lurus di mata. Tidak seperti Artemis maupun Zeus yang matanya berwarna terang tajam, mata Athena berwarna lebih lembut. Cokelat terang. Tetap terang, tetapi tidak sekontras mata Zeus maupun Artemis.
Dan, lagi, aku merasakan memori yang sama dengan yang dipanggil Artemis bangkit secara mental. Sekerjap mata kemudian, Athena mengedip dan tersenyum kecil. "Terima kasih."
"Sama-sama."
"Aku lebih khawatir soal Guci Pandora," Thor akhirnya angkat bicara. "Kita tahu bahwa alat itu tidak cuma memanipulasi cuaca, tetapi juga bisa mengatur derajat kenormalan keadaan." Astaga, mendadak aku sadar. Menurut mitosnya, Guci Pandora melepaskan kekeringan, kejahatan, bencana, dan wabah—hanya meninggalkan harapan, atau elpis, di dalam guci itu sebelum Pandora menutupnya lagi. Apakah jangan-jangan penyakit Ibu, Claire, ibu Will, dan ayah Laura semua juga akibat Guci ini? "Bagaimana Shiva bisa menemukannya? Bagaimana jika yang seperti ini terjadi lagi?"
"Bencana ini tidak akan terjadi lagi, Thor, kupastikan itu," kata Zeus. Gaya bicaranya sangat unik—suaranya dalam, seakan-akan setiap kata yang dia ucapkan harus dia geramkan. "Aku sendiri yang akan menjaga guci itu."
"Ada baiknya guci itu tidak lagi keluar dari Olympus, sepakat?"
Zeus mengatupkan rahangnya. "Sepakat."
"Bagus." Thor tersenyum semakin puas, dan aku baru menyadari satu hal: yang barusan adalah tekanan diplomatis. Thor sadar penuh potensi Guci Pandora sebagai sebuah senjata mematikan yang bisa meluluhlantakkan seantero planet, dan dia tidak mau Asgard berhadapan dengan senjata semacam itu.
"Berarti sekarang, masalah kita tinggal satu ...," akhirnya semuanya mengikuti pandangan Odin yang tertuju padaku, "... mereka."
Jantungku mencelus. Aku tidak tahu apa yang para Leluhur ini pikirkan, dan aku juga tidak yakin apa yang akan menimpa kami. Jika kaupikir kami seharusnya merasa seperti pahlawan, yah, kau mungkin ada benarnya. Masalahnya, kau tidak sedang ditatap dengan sangat menghakimi oleh tujuh alien yang, saking canggihnya peradaban mereka, dulu dipuja sebagai dewa-dewi.
Serius, pada saat itu, semua pikiran mengenai jasa menyelamatkan umat manusia menguap begitu saja.
Heimdall menatap kami dengan getir. "Satu," katanya. "Menunda misi dari Odin."
Perhatianku langsung tersedot penuh ke arahnya. "Apa?"
"Misi dari Odin adalah menghentikan Fimbulwinter. Kalian menghabiskan sebagian besar waktu kalian menghadapi Kur."
Amarah yang sudah berhasil kusalurkan dengan melawan Shiva segera bangkit kembali. "Tunggu dulu—"
"Tuntutan dua," lanjut Heimdall, masih dengan sama masamnya. "Akses Bifröst tanpa otorisasi."
"Hei, tunggu sebentar," potong James, tetapi Heimdall memotong lagi.
"Tiga, melanggar perintah langsung dari Odin."
"Secara teknis, perintah itu tidak langsung," sahut Shafira.
"Dan terakhir, penggunaan senjata Asgard tanpa otorisasi," tutup Heimdall sambil memicingkan mata kepada Vidveider. Pedang itu berhenti bergetar sesaat di tanganku, entah apa artinya. "Silakan, Yang Mulia."
Odin menatap kami dengan ekspresi netral. "Anggap ini thing kecil-kecilan. Apa pembelaan kalian?"
Thing adalah semacam musyawarah rutin yang diadakan setiap akhir musim atau setiap ada situasi darurat oleh desa-desa Viking dulu, semacam pengadilan dan paguyuban jadi satu, dan biasanya diadakan untuk menyelesaikan masalah seperti sengketa keluarga dan membahas mengenai isu-isu musim itu untuk mencapai keputusan, dari pelayaran, panen, hingga pernikahan. Apabila diadakan thing di luar jadwal, berarti desa itu sedang ada masalah—dan biasanya ada nyawa yang terlibat.
Aku menatap Odin tidak percaya. Dia yang memilih kami, tiga orang anak enam belas tahun yang bukan siapa-siapa, dan menyuruh kami menghentikan Fimbulwinter, dan sekarang dia yang menghakimi kami?
Apa haknya?
Aku menelan lagi amarahku, menjaga agar diriku tidak bertindak bodoh. Odin, seperti Shiva, tidak bisa dihadapi dengan amarah belaka. "Terhadap tuntutan pertama," jawabku tegas. "Kami sudah mendiskusikan mengenai ancaman Kur dengan Anda sendiri, Yang Mulia."
Aku tidak bisa mencegah diriku dari sarkasme itu. Jika aku pulang nanti, aku harus menepuk kepala Claire dan minta maaf soal mengatainya setelah dia mengomentari betapa sarkastisnya aku.
"Belum lagi, kami tetap tidak membuang waktu dengan menghadapi ancaman Kur," tambah James. "Saya tetap mencari informasi mengenai Fimbulwinter dengan Hlidskjalf, yang Anda sendiri pinjamkan pada saya."
"Di samping itu, Kur tetap berhasil kami bunuh, dan Fimbulwinter tetap berhasil kami hentikan sebelum terlambat," simpul Shafira. "Saya memang bukan penerima misi dari Anda, tetapi saya berjuang bersama mereka. Tidak sedetik pun mereka sia-siakan dalam perjuangan menyelamatkan Bumi." Shafira mengakhiri itu dengan mendelik pada Heimdall.
"Oke," kata Odin, masih dengan ekspresi tidak tertebak. "Lalu, tuntutan kedua?"
"Akses Bifröst tersebut diberikan sendiri oleh Heimdall kepada saya," kata James. "Heimdall sempat mengatakan bahwa pemberian ini di luar otoritasnya, tetapi tetap memberikannya pada kami."
"Aku memberikan itu pada kalian hanya agar kalian bisa menemukan penyebab Fimbulwinter," balas Heimdall. "Bukankah aku sudah bilang, kita tidak akan mengambil risiko kalah?"
"Cukup," potong Odin. Himinbjörg kembali jatuh sepi, sementara James dan Heimdall saling melemparkan pisau dari tatapan mereka masing-masing. "Lanjutkan."
"Untuk tuntutan ketiga," lanjutku. Aku menghela napas. "Saya mengakui kesalahan. Saya memang melanggar perintah Anda. Namun itu juga demi menyelesaikan misi dari Anda secara langsung—perintah Anda saat itu turun dari Heimdall, sementara Anda menugaskan kami menghentikan Fimbulwinter secara langsung. Cukup jelas siapa yang lebih saya percayai."
Odin masih memberiku tatapan penuh perhitungan. "Lalu, untuk tuntutan keempat?"
"Biar aku yang jawab satu itu," sela Thor saat aku baru mau membuka mulut. Dia memberiku tatapan simpatetik sekali sebelum menoleh menghadap Odin dan Heimdall. "Dua jawaban. Pertama, kita sudah berjanji akan membukakan gudang senjata kita untuk mereka, Ayah."
Ekspresi Odin masih belum berubah. Thor mengangkat alis, lalu melanjutkan.
"Jadi, bisa dibilang, penggunaan senjata Asgard oleh anak-anak ini terhitung terotorisasi. Minimal, aku yang memberinya otorisasi. Dan kedua ... Vidveider tidak akan sembarangan masuk ke tangan seorang manusia."
Thor beralih ke arahku, lalu mengajukan tangannya yang terbuka.
"Luke, jika kau tidak keberatan, boleh kuambil kembali Restuku?"
Tanganku yang kosong otomatis melayang menggenggam bandul kalung di dadaku. "Bukankah gravitasi ekstra di sini nanti akan memengaruhiku?"
"Percayalah padaku."
Aku bertukar tatapan dengan Thor. Seperti saat menjemputku dulu, Leluhur itu memintaku untuk percaya padanya. Seperti saat menjemputku dulu, nyawaku adalah taruhannya.
Seperti saat menjemputku dulu, dia sedang berusaha menyelamatkanku.
Apakah aku percaya padanya?
Perlahan, aku melepas kalung Restunya. Begitu kalung itu melewati kepalaku, aku memejamkan mata dengan antisipatif. Entahlah, aku mengharapkan tubuhku untuk mendadak terasa lebih berat, seakan tanah menarikku lebih kuat, tetapi sensasi itu tidak kunjung tiba.
Mataku kembali terbuka, dan aku tercengang. Thor menerima lagi kalung Restunya dariku, dan menunjukkannya di hadapan semua Leluhur di ruangan ini.
"Lihat? Dia bisa tahan gravitasi Asgard, bahkan tanpa perlu bantuan kalung Restu."
"T-tapi...." Aku masih tercengang. "Bagaimana mungkin?"
"Sesuatu terjadi," kata Thor pelan. "Entah apa, yang membuat mutasi buatan dari Restu ini menjadi mutasi permanen di genmu. Epigenome-mu memperlakukan data dari DNA-ku sebagai mutasi lingkungan yang benar-benar perlu disesuaikan oleh genmu ... dengan kata lain, tanpa Restu sekalipun, DNA-mu telah beradaptasi untuk melibatkan DNA-ku dalam rangkaiannya. Entah bagaimana."
Tanpa Restu sekalipun, DNA-mu telah beradaptasi untuk melibatkan DNA-ku dalam rangkaiannya. Mendengar itu, aku sekilas teringat Naga Merah yang memanggilku putra Thor sebelum aku tiba di Himinbjörg untuk pertama kalinya ... sepertinya ini menjelaskan segalanya. Thor lalu menunjuk pedangku.
"Vidveider adalah astra yang dikunci kepadaku, namun biogenetic marker yang kugunakan sebagai penandanya seharusnya tidak terlibat dalam Restu," kata Thor. "Manusia juga memiliki marker itu, dan pada genku, marker itu bersifat resesif. Seharusnya Restuku tidak mengubah gen Luke di sana. Anehnya...."
"Vidveider datang kepadaku," sambungku. Thor mengangguk.
"Itu dia. Yang berarti, Vidveider sungguh-sungguh menganggap bahwa kau adalah aku. Dengan kata lain," dia menoleh ke Odin, "aku menganggap penggunaan Vidveider oleh Luke sesuatu yang sesuai izin. Toh, Vidveider tidak bisa digunakan begitu saja oleh orang selain aku."
Thor selesai menjelaskan dan kembali berdiri di tempatnya semula, menatapku dengan bangga seakan aku melebihi semua ekspektasinya terhadapku. Oke, jika diperhitungkan lagi, mungkin dia tidak salah. Saat kami pertama bertemu, aku cuma seorang pengecut—motifku mengikutinya adalah karena kesembuhan Claire dan ibuku, dan satu-satunya motivasiku untuk terus bergerak adalah Laura. Kini, aku sedang berdiri tegak, tidak gentar, di hadapan Raja Asgard yang menghakimiku, selesai menyelamatkan umat manusia bersama teman-temanku, sambil menggenggam pedang Thor yang mengira aku adalah pemilik aslinya.
Odin mengangguk sekali, dan akhirnya angkat bicara: "Tuntutan pertama Heimdall akan kuanulir. Aku setuju dengan poin yang dibawakan oleh Lucas, James, dan teman mereka. Terima kasih telah menyelamatkan Bumi dari Kur, dan terima kasih telah menyelamatkan kami dari kewajiban berusaha mencari cara membantai Wyvern Merepotkan itu."
Aku agak terkejut oleh fakta bahwa Odin menggunakan panggilan iseng Neith terhadap Kur. Odin menatapku usil sekilas, tetapi lalu melanjutkan.
"Untuk tuntutan kedua, kalian berdua sama-sama melakukan kesalahan. Heimdall—kau sudah tahu bahwa pemberian pelatuk Bifröst adalah di luar kuasamu, tetapi kau tetap memberikannya. James, salahmu adalah menerima hal yang seharusnya tidak kauterima. Untuk itu, sebagai hukuman, mulai sekarang, hanya aku yang akan membawa pelatuk Bifröst. Aku mencabut hak itu dari kalian berdua."
Dengan enggan, James berusaha melepas gelangnya, dan Heimdall merogoh saku-sakunya untuk mengeluarkan lagi beberapa gelang serupa. Odin menerimanya dan memasukkan semuanya ke dalam sakunya.
"Untuk tuntutan ketiga ... Luke, kau tidak bisa sembarangan melanggar perintah atasanmu," tegur Odin. Aku tetap menatapnya persis di mata. Seperti saat menghadapi Heimdall sebelum pemberontakanku, aku tidak takut. "Bersyukurlah misimu terpenuhi. Aku menganulir tuntutan ini."
James, Shafira, dan Will semua menarik napas lega, sementara aku mengangguk. Akhirnya, Odin memindahkan tumpuan tombaknya.
"Dan untuk tuntutan terakhir ... Thor benar. Semua penggunaan senjata Asgard oleh anak-anak ini kuotorisasi secara pribadi, dan jika aku boleh menambahkan," Odin melirik ke arahku sejenak, "sepertinya Vidveider juga telah menemukan tuan yang sesuai. Bagaimana menurutmu, Thor?"
"Oh, dia lebih baik dengan pedang itu daripada aku," jawab Thor sambil tersenyum lebar.
"Sementara itu, Dreyfengr sudah hilang dari sejak kematian Gunnar Hámondarson, dan aku tidak pernah berniat mengambilnya kembali. James, kau boleh membawanya sebagai milikmu sendiri."
James tampak seperti dia baru saja dihadiahi emas murni—yang berarti tampangnya mendadak terlihat seperti semua pengetahuannya menguap begitu saja—tetapi lalu dia menunduk kecil dengan sopan. "Terima kasih."
"Baiklah, kalau begitu," kata Odin. Heimdall menunduk dengan pasrah. Sebenarnya Leluhur ini kasihan juga—dia menerima kata-kata Odin, seluruhnya, sebagai hal yang mutlak baginya. "Zeus, mungkin kaumau menyampaikan sesuatu?"
"Oh, cuma sedikit," kata Zeus. Dia menatap kami satu per satu. Di sebelahnya, Hermes tersenyum ramah kepada Will, sementara Artemis tampak seperti berusaha menahan diri agar tidak terkikik dan memberiku senyum menyemangati. Athena tidak menunjukkan ekspresi apa-apa selain terlihat seperti sedang menghitung sesuatu. "Kalian telah berhasil menyelamatkan Bumi, mengalahkan pencuri Guci Pandora, dan mengembalikan alat ini pada kami. Aku ingin menghadiahi kalian."
Artemis akhirnya tidak bisa menahan diri lagi dan benar-benar terkikik. Athena memberinya tatapan menegur, tetapi Leluhur gadis itu tampak tidak peduli. Aku berbagi tatapan dengan teman-temanku. Mereka tampak agak kaget, dan Will bahkan tampak agak canggung—mungkin karena dia sekarang sudah tahu bahwa Hermes adalah ayah kandungnya—tetapi tidak ada yang bereaksi lebih dari itu.
"Jadi aku akan mulai dari ... Anthony." Zeus menatap lurus kepada Tony, dan kami semua mengikuti pandangannya. "Pembawa darah Anubis, pelindung Wedjat, dan seorang penjarah tanpa masa lalu."
Tatapan Tony tetap tampak dingin. Aku hendak bertanya tentang maksud Zeus mengatakan Tony tidak punya masa lalu, tetapi lalu mengurungkan niatku. Zeus melanjutkan lagi.
"Atas jasa-jasamu, aku akan bicara dengan para Leluhur Duat nanti. Akan kuusahakan agar kaubisa mengakses Gerbang Duat, sehingga kaubisa mengelilingi dunia dan tidak lagi terjebak di kota yang penuh dengan kenangan buruk itu."
Kairo. Aku ingat bahwa Neith membawa kami bertemu dengan Tony di Alun-Alun Tahrir, Kairo. Tony mengangguk kecil. "Terima kasih, Yang Mulia."
Zeus mengangguk setuju. "Shafira Abdul-Massih. Pembawa Restu Ra, penjaga Mata Ra, dan satu dari sedikit orang yang masih berani berharap bahwa dunia bisa bersatu dan menjadi damai. Atas jasa-jasamu, kami akan mencarikan ibumu dan menyembuhkannya jika belum terlambat ... serta memberi kalian perlindungan selama kalian di Bumi. Tentu, kami tidak bisa terlibat langsung karena batasan kami, tetapi kami akan carikan cara." Zeus menelengkan kepalanya pada Odin. "Dengan nanorobot seperti wight, misalnya."
Odin terkekeh. Shafira mengangguk dengan anggun. "Terima kasih, Yang Mulia."
Zeus mengangguk balik dan mengalihkan pandangan ke Will. "William Ioannis Goulielmakis. Putra Hermes, pembawa pisau Brigid, dan pemilik Subtalaria. Ada yang ingin kausampaikan, Hermes?"
"Ya," kata Hermes. "Banyak yang harus kubicarakan dengan Will. Namun pertama, kemarikan dulu guci di tanganmu itu, Nak. Kau pasti lelah membawanya terus dari tadi."
Will mengangguk canggung dan maju. Zeus menerima Guci Pandora dari tangannya, dan Hermes menuntun Will keluar dari Himinbjörg.
Tenanglah, kataku di kepalanya.
Aku bahkan tidak tahu mau merasa bagaimana, jawabnya gugup di kepalaku. Aku terkekeh sendiri.
"James Osbourne ... pembawa Restu Odin, pengamat dunia, pemilik Dreyfengr. Aku tidak yakin apa yang bisa kuberikan padamu, tapi aku tahu satu hal yang sangat kaubutuhkan saat ini—kesembuhan untuk bahumu. Anak panah Shiva bukan mainan yang remeh." Aku dan James berbagi tatapan dan tertawa kecil saat teringat Vishnu mengatakan hal yang sama. "Jadi aku akan atur agar kaubisa kubawa ke Asclepius atau Hestia. Odin?"
"Silakan," kata Odin. "James, kau tidak keberatan?"
"Sama sekali tidak," jawab James dengan pasti. "Terima kasih, Yang Mulia."
"Oh, omong-omong, itu belum semuanya," sahut Odin seakan baru mengingat sesuatu. "Aku tahu betapa alaminya kau menggunakan Hlidskjalf. Jadi, kupikir, mungkin kau akan suka ini."
Dia merogoh ke sakunya dan mengeluarkan sesuatu yang tampak seperti sebuah jam tangan. Aku menerimanya untuk James dan memakaikannya pada lengan yang James ajukan.
"Akses langsung ke Sumur Mimir," kata Odin. "Tidak bisa memprediksi seperti Vala atau Hlidskjalf, tetapi cukup untuk mencarikanmu informasi terkini. Kaubisa melacak siapa pun, melihat peristiwa apa pun, dan mencari data apa pun dengan itu. Aku punya satu untuk kubawa setiap sedang bepergian, dan kurasa kau pantas mendapatkan satu juga."
Mata James membelalak. Aku tahu dia suka membaca dan meneliti, jadi jam ini pasti lebih berharga dari harta karun baginya. "S-saya bahkan tidak tahu harus berkata apa lagi," gagap James. "Terima kasih, Yang Mulia."
Odin mengangguk, dan Zeus akhirnya berpaling ke arahku. "Dan ... Lucas Andrews. Mutan darah Thor, pembawa Vidveider ...," Zeus menatapku tajam sesaat. "... dan pemimpin dari sebuah kelompok yang seharusnya cukup ganjil. Entah bagaimana, kau berhasil membawa mereka semua menuju satu visi dan kalian semua berhasil menyelamatkan Bumi. Kau lebih berani dari yang kaukira, Lucas. Kau sudah memiliki DNA Thor, mendapatkan salah satu senjata terbaiknya, dan berteman dengan seekor naga. Aku bahkan tidak punya naga. Keluargamu juga sudah selamat. Aku benar-benar tidak yakin apa lagi yang bisa kuberikan untukmu."
Aku menatap kapsul Laura di sisi Himinbjörg, dan teringat peran Hermes dalam membantu mengawetkan jasadnya. Jika bukan karena sari ambrosia darinya, Laura tidak mungkin masih utuh begitu. Jangan-jangan...? "Sebenarnya, Yang Mulia, ada satu hal yang sangat saya inginkan ... namun mungkin hal ini sangat mustahil."
Zeus mengangguk paham. "Biar kutebak—kauingin kekasihmu kembali."
Aku menatapnya dengan berat hati, lalu mengangguk pelan. "Ya. Saya ingin Laura Walter kembali. Namun saya sadar bahwa itu mustahil ... maksud saya, kematian tidak mungkin dicurangi, 'kan?"
Aku sudah siap merelakan Laura. Aku baru sadar itu sekarang. Melihat wajah Laura yang setenang itu, aku tidak mungkin bisa mengharapkan lebih. Namun Zeus menatapku penuh pertimbangan sesaat sebelum akhirnya menjawab. "Apa kau pernah dengar soal Orpheus, Lucas?"
Aku mengerutkan dahi. "Ya."
Orpheus adalah pahlawan—atau tepatnya, seorang musisi—dari mitologi Yunani yang pernah berhasil menemukan jalan turun ke Dunia Bawah, tempat roh-roh mati bersemayam, dan bermain musik dengan sangat memukau hingga bahkan Hades, dewa yang menguasai Dunia Bawah, tersentuh olehnya.
Orpheus lalu meminta roh istrinya kembali.
Zeus menatapku penuh pengertian.
Orpheus....
Jantungku mencelus. "Maksud Yang Mulia—"
"Ya," jawab Zeus pelan. "Kami punya cara untuk mencurangi kematian, Lucas."
Aku menatap lagi ke arah kapsul Laura dengan tidak percaya. Memutar sebentar mitos Orpheus di kepalaku ... dan keputusanku segera mutlak. Getaran Vidveider di tanganku memberiku keberanian yang kucari untuk menjawab Zeus: "Apa harga yang harus saya bayar?"
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro