28
Catatan Penulis: Aku akan menamatkan RCMJ hari ini! Jika RCMJ di Wattpadmu masih baru mencapai bab ini, segera refresh lagi.
Posting spree tiga bab, empat part. Akan diakhiri dengan part curhat.
Selamat membaca!
***
[DELAPAN HARI SETELAH ISOLASI.]
TIDAK PERLU MAKAN waktu lama bagiku untuk segera mencerna bentuk Shiva dan Vishnu di tengah badai salju. Persis saat aku tiba, Shiva baru saja berhasil menindih Vishnu dengan Trishula dan pedangnya teracung—dan keadaan tampak sangat final.
Shiva akan menghabisi Vishnu.
Aku langsung menyerang.
Aku mengacungkan tangan kiriku ke depan dan melepaskan sebanyak mungkin sambaran petir yang kubisa pada Shiva. Seranganku yang mendadak ternyata masih sempat dirasakannya—mungkin karena gangguan gravitasi dari Bifröst—dan Shiva berkelit.
Namun serangan itu tetap saja nyaris berhasil, dan ternyata itu cukup untuk memberikan kesempatan bagi Vishnu untuk lepas dari mautnya—dia langsung mengayunkan gadanya, dan Shiva kembali harus berkelit. Vishnu memanfaatkan kesempatan itu untuk berdiri kembali.
Saat itulah Shiva sepertinya baru sadar sepenuhnya akan kehadiranku, dan dia cuma terkekeh kecil sambil segera melompat ke arahku.
Vidveider mengambil alih refleksku dan langsung mengayunkan lenganku pergi, memaksaku mengikutinya, dan aku berhasil terhindar dari injakan Shiva berkat itu—setelah dipikir-pikir, Dreyfengr pernah melakukan hal serupa untuk James di Punta Meliso dulu.
Urusanku belum selesai di sana—Shiva langsung kembali menapakkan kuda-kudanya dan berputar lincah. Sabetan pedang di sini, Trishula di sana—
Ada raungan dari arah lain, dan selagi aku menghindar dari irisan pedang Shiva, Vishnu kembali muncul dari langit seperti berusaha menghunjamkan senjatanya ke kepala Shiva.
Usaha itu sia-sia, karena tangan Shiva yang masih kosong segera mengangkat busurnya untuk menyambut serangan Vishnu.
Shiva menggeser lagi kuda-kudanya, memaksaku mundur dan memberi Vishnu tempat mendarat, tetapi dia langsung bergerak untuk menusukkan Trishula sebelum Vishnu bahkan sempat menyentuh tanah. Aku tidak sempat bereaksi, tetapi Vishnu sudah—cakramnya menangkap gerakan Trishula dan membelokkan arah tusukannya, sementara dia segera berputar menjauh dari Shiva.
Ayunan gada Vishnu bergerak secepat cakramnya tadi, tetapi Shiva masih bisa menyambutnya—satu gerak yang sangat bersih untuk mengadangnya dengan busurnya lagi, disusul satu tendangan keras. Begitu Shiva berhasil menendang Vishnu pergi, busurnya kembali sudah tertarik penuh tanpa anak panah.
Laser.
Tidak akan.
Aku memanfaatkan momen Shiva mengarahkan lasernya untuk segera melompat menyambut lengan Shiva yang menarik Pinaka dengan Vidveider teracung—tidak kali ini, Shiva.
Baru aku mendengar klik dari alat penarik busur Shiva, bilah pedangku berhasil mencapai talinya.
Busur itu mengeluarkan bunyi sentakan yang menyakitkan, dan erangan Shiva menyusul begitu aku kembali mendarat di atas salju. Begitu aku menoleh, aku baru sadar bahwa katrol di kedua ujung lengan busurnya memaksa talinya yang putus untuk berputar kencang, dan ternyata putaran itu menyabet lengan Shiva hingga terluka.
Di sisi lain, lasernya tetap berhasil tertembakkan—mungkin karena sentakan energi tadi—tetapi tidak terarahkan: Vishnu selamat sejengkal dari mautnya, secara harfiah.
"Bilah kratonium," geram Shiva sambil melempar Pinaka yang sudah rusak ke tanah. "Seperti pisau Brigid milik temanmu. Dari mana kaudapat sampah itu, hah?"
"Dari mautmu," geramku balik sambil kembali menerkam Shiva. Vidveider bergetar lebih kencang di tanganku, seakan menyetujui amarahku barusan, tetapi Shiva tidak sepakat denganku. Kuda-kudanya kembali berubah, dan baru saja pedangku terayun ke arahnya, Trishula kembali sudah teracung ke arahku.
Gangguan gravitasi.
Sinar.
Seberkas sinar memaksa arah hunjaman Trishula untuk menjauh dariku, dan berkat itu, tebasan pedangku berhasil membelah dada Shiva dengan bersih. Leluhur itu melangkah mundur sambil melenguh kesakitan sementara sebuah luka potong mulai mengeluarkan darah sepanjang torsonya, tetapi dia segera kembali mendapatkan kuda-kudanya.
Sementara itu, dari jembatan hyperspace berkilauan warna-warni di sebelahku, teman-temanku akhirnya muncul—sinar tadi adalah dari was Anubis, tembakan yang sangat presisi dari Tony. Shafira adalah yang pertama meneriakkan seruan perangnya, dan baru saja Shiva hendak melangkah ke arahku, Shafira meledakkan udara di depannya.
Shiva terpental mundur sementara aku berusaha mencari posisi yang pas untuk menerkamnya, dan ternyata Ray mendahuluiku dalam urusan itu—naga itu muncul menukik dari atas setelah terbang lurus dari arah Bifröst, dan langsung menghujani Shiva dengan tembakan-tembakan plasma beruntun khas gayanya. Seakan Shiva masih kurang tertekan, Will menyusul Ray dengan pisau teracung dan langsung menghunjamkannya sekuat tenaga ke dada Shiva yang masih terbaring di tanah.
Itu mengakhiri rantai serangannya—begitu Will kembali menarik pisaunya untuk tusukan yang kedua, Shiva sudah sadar bahwa dia tengah diserang dan berusaha menggapai Will. Bocah itu langsung melompat ke jembatan hyperspace di depannya dan menghilang ke sebelahku.
"Kami di sini," kata Will. "Kau tidak sendirian."
Shafira dan Tony juga mendekat dan langsung memasang kuda-kuda mereka. James akhirnya keluar, bergabung dengan kami dari Bifröst menggunakan Dreyfengr sebagai tumpuannya, tetapi matanya tidak berbohong—aku belum pernah melihat sebanyak itu determinasi dalam satu orang. Akhirnya, Ray mendarat di belakang kami dan membentangkan sayapnya lebar-lebar, seperti seekor binatang yang terancam dan berusaha membuat dirinya tampak lebih besar, sambil meraung ganas.
"Kami bersamamu," tegas Tony.
Shafira cuma menatapku dengan yakin. Kami akan membantumu sampai akhir.
Ayo habisi dia, Bos.
Aku mulai tersenyum. Lalu menyeringai.
Will benar. Aku tidak sendirian.
Aku memutar Vidveider di tangan dan merasakan getarannya meningkat sekilas di tengah putaran, seakan mengingatkanku pada manualnya di kepalaku—dia bisa melakukan lebih dari sekadar memotong dan menusuk.
Kalem, kataku padanya. Kita coba nanti satu-satu.
Pedangku suka ide itu.
Shiva bangkit lagi—kali ini dengan luka belahan panjang membentang miring di sepanjang torsonya dan sebuah luka tusukan pisau di sekitar tempat jantungnya mungkin berada. Dengan asumsi dia berjantung seperti kami, tentunya. Kedua luka segarnya itu masih meneteskan darah. Namun, selain itu, dia tidak tampak kenapa-kenapa—dan lukanya tampak mulai menyembuhkan diri.
Menyembuhkan diri....
... maksimal tiga kali.
Sekarang tinggal dua.
Sebagus-bagusnya kans kalian....
... lokal di lukanya....
"James, apa kau masih bisa menggunakan Dreyfengr?" tanyaku. Anak itu mengangguk.
"Aku cuma perlu Shiva cukup dekat dariku," katanya. "Dan ... yah, sebisanya, ada cara bagiku untuk menghindarinya setelah Dreyfengr beraksi."
Ray, kaudengar itu?
Siap, Bos.
Rencanaku langsung menyusun diri di kepalaku. Aku membiarkan Will dan Shafira merasakannya, bahkan Ray juga. Aku tidak perlu memberi tahu Tony—tugasnya sederhana, dan dia bisa melakukannya tanpa kuperintah sekalipun. Yang penting, dia cepat tanggap, dan sejauh ini, dia sudah begitu.
Aku masih ingat bagaimana was Anubis dan cakar Ray kesulitan menembus kulit Shiva, tetapi Dreyfengr, Vidveider, dan pisau Will bisa melakukannya dengan mudah. Shiva juga menyebutkan sesuatu soal bahan pedangku sama dengan bahan pisau Will ... apa, kratonium?
Mungkin Shiva tidak sekebal itu.
Yang berarti....
Sekarang, yang penting, Shiva bisa dipancing ke arah James dulu.
Vishnu ternyata juga telah menyadari kondisinya, dan langsung menerjang maju. Shiva menyambut serangan Vishnu masih dengan sama lincahnya, seakan-akan luka dariku dan Will tidak memengaruhinya sama sekali—yang tidak mengherankan—tetapi aku memanfaatkan momen itu untuk bergerak. Teman-temanku menangkap gerakan itu sebagai sinyal komando, dan kami semua menyerbu di saat bersamaan—Will segera muncul di punggung Shiva dan berusaha berpegangan di sana sambil terus menikam, sementara Vishnu memastikan keempat tangan Shiva sibuk semua; Shafira meledakkan tempat-tempat yang nyaris dipijak oleh Shiva untuk mengganggu kuda-kudanya, dan aku menerjang dengan Tony begitu Vishnu memberi kami celah.
Vishnu bahkan tidak perlu diajak bekerjasama—dia seakan sudah tahu rencanaku begitu saja, dan begitu dia bergerak menghindar dari Shiva dengan sangat cepat—memberiku celah—aku langsung memanfaatkan kesempatan itu untuk menembakkan lagi setombak petir ke arah luka Shiva. Sang Mahadeva mengerang kaget, melangkah mundur disambut ledakan Shafira di telapak kakinya, dan sementara dia berusaha mengayunkan Will pergi dari lehernya, sinar dari was Tony memaksanya untuk berlindung dulu menggunakan Trishula.
Kesibukan dadakan itu yang akhirnya dimanfaatkan Vishnu untuk mengayunkan gadanya, yang akhirnya—setelah entah sekian lama senjata mereka terus-menerus saling sambut—berhasil menghajar kepala Shiva dengan telak.
Will mengayun dengan sangat liar di leher Shiva seperti seekor monyet kesetanan, dan ternyata momentum geraknya cukup kuat untuk mengganggu arah jatuh Shiva—Leluhur itu jatuh ke arahku.
Aku melompat menyambutnya.
Bukannya menghindar, aku malah bergerak menuju Shiva dengan Vidveider dalam posisi siap di sisiku. Begitu tubuh Shiva melewati titik lompatanku, aku mengayunkan pedangku sekuat tenaga—memastikan bilahnya bertemu daging Shiva.
Aku mendarat, dan Shiva berdebum jatuh dengan luka iris memanjang baru lagi di tubuhnya.
Aku segera kembali berkumpul dengan Will, Tony, dan Shafira—dengan Vishnu melindungi di belakang kami—sementara Shiva kembali berusaha bangkit. Tebasanku yang barusan ternyata melewati garis tebasanku yang pertama, sehingga memaksa sebagian kecil lukanya yang sudah nyaris sembuh untuk kembali terbuka. Leher dan bahunya lecet-lecet bekas tusukan bertubi-tubi dari Will, sementara sebuah luka memar mulai tampak timbul di kepalanya—bekas hantaman gada dari Vishnu.
Aku menatap Shafira. Apakah ini cukup untuk membuatnya marah?
Gadis itu cuma mengangkat bahu. Semoga saja.
Shiva meraung ke arah kami dengan sangat keras, membuat nyaris setiap otot raksasanya menjadi tegang, sebelum melompat dengan sangat cepat ke arah kami hingga hanya Vishnu yang sempat menangkis serangannya.
Ya, lanjut Shafira panik di kepalaku seraya melemparkan serangkaian bola api ke arah Shiva, yang sepertinya berusaha menggulat Vishnu hingga jatuh. Itu cukup!
Bagus.
Aku menghindar dari pijakan dadakan Vishnu sementara Shafira kembali berusaha menjatuhkan Shiva, tetapi ternyata amarah bisa membuat Leluhur itu masa bodoh pada fakta bahwa kakinya seperti menginjak ranjau berkali-kali. Aku bisa melihat kakinya mengalami luka bakar serius, yang kembali menyembuhkan diri seperti lukanya yang lain, tetapi aku baru ingat bahwa dia juga menapak di salju. Mungkin itu yang membantunya.
Sementara itu, pergulatan raksasa Vishnu dan Shiva yang terus berputar-putar mempersulit gerakanku dan Tony. Will kembali muncul dari atas Shiva dan menikam dengan pisaunya, tetapi seperti terhadap serangan Shafira, Shiva juga tidak peduli padanya. Akhirnya Will menemukan jalan keluar—dia menusuk luka memar di kepala Shiva.
Leluhur itu meraung kesakitan dan membiarkan Vishnu berhasil mendorongnya, tetapi di tengah gerakan mendadak itu, tangannya akhirnya berhasil meraih Will yang tidak siap. Sementara dia berusaha mencari pijakan lagi, tangan Shiva yang mengayun liar melemparkan Will jauh ke arah James.
"James—!"
Orang itu belum sempat bereaksi, tetapi Will sempat—anak itu kembali menghilang ke dalam jembatan hyperspace dadakan dan muncul lagi di sebelah Shafira, tetap terbanting ke tanah seakan lemparan Shiva tetap berpengaruh.
Vishnu nyaris berhasil menindih Shiva, tetapi sang Mahadeva tidak berlama-lama kehilangan keseimbangan dan segera mengambil kuda-kuda memutar—sebuah ayunan bersih dengan pedangnya. Vishnu menyambut ayunan itu dengan ayunan bunga teratai besinya, sementara dia berusaha mengayunkan cakramnya ke leher Shiva—serangan yang ini pun digagalkan oleh Trishula.
Namun mataku menangkap gerakan lain—kedua tangan Shiva yang masih kosong bergerak ke quiver-nya, menarik beberapa anak panah.
"Tidak!"
Seakan dikuasai refleks, aku langsung melontarkan seberkas petir ke arah salah satu tangan Shiva—tembakan itu ternyata cukup mengejutkannya dan berhasil membuatnya menjatuhkan anak panah yang itu.
Namun tangannya yang satu lagi tak tersentuh, dan baru saja Vishnu sadar apa yang berusaha Shiva lakukan, Shiva sudah menikam perutnya dengan anak panahnya yang tersisa.
Vishnu melangkah mundur dengan terkejut. Shiva menyeringai dan langsung mendekat, Trishula terangkat, pedang teracung, anak panahnya yang masih meneteskan darah siap kembali menghunjam—
Akhirnya aku melakukan yang diminta Vidveider sejak tadi—aku mengacungkan pedangku ke arah Shiva, lalu mengerahkan seluruh tenagaku ke arah gagang di tanganku.
Rasanya seakan-akan listrik dariku mendesak keluar sesuatu dari Vidveider, tetapi tampaknya aku melakukan lebih dari itu—Vidveider segera mengumpulkan lagi lebih banyak energi dari sekelilingku hingga bilahnya tampak bercahaya, dan begitu lompatan-lompatan listrik menyelimutinya, petir menyambar.
Tidak hanya petir—bahkan suara guntur ikut lepas dari pedangku.
Dari ujung bilah Vidveider, aku melepaskan seberkas petir yang tampak seperti sebuah corong listrik—dan di ujungnya, targetnya, adalah Shiva.
Dia tidak menduga seranganku yang itu.
Tidak seperti petir-petirku sebelumnya, kali ini aku melihat ada yang berbeda—serangan petirku yang barusan meninggalkan luka. Sebuah lubang luka bakar sekarang bersarang di sisi perut Shiva, dan penyembuhannya tidak segera terjadi.
Tony adalah yang pertama menanggapi—seberkas sinar was segera mendarat di sana sebelum siapa pun sempat bereaksi.
Shiva menjerit, lalu berbalik dan berusaha menyerang Tony, tetapi gerakannya kalah cepat dengan Shafira, yang menembakkan lagi beberapa bola api ke luka itu sebelum mengakhirinya dengan meledakkan udara di depan Shiva.
Begitu Leluhur itu terpental mundur, Will segera muncul di depannya dan menghujani lagi luka itu dengan tusukan dari pisaunya.
Kali ini, pisaunya berhasil menembus sampai dalam.
Shiva akhirnya benar-benar menjerit kesakitan. Will kembali menghilang ke sebelah Shafira, dan Vishnu menutup rangkaian itu dengan cakramnya—sebuah tebasan keras ke arah luka yang kubuat.
Gagal.
Shiva segera mengangkat Trishula dan menancapkan pangkalnya ke tanah, membiarkan batangnya menjadi penahan serangan Vishnu, sementara—di sisi lainnya—pedangnya sudah mengayun ke arah penyerangnya. Lukanya memang sudah menjadi sangat parah, tetapi itu tidak terlalu menghalangi gerakannya, walaupun kini serangannya diikuti erangan pedih dan ujung bibir yang berkedut.
Vishnu kembali mundur. Shiva berusaha maju terus, mendesak kuda-kudanya. Tembakan dari Vidveider barusan cukup menguras tenagaku, sehingga sekarang aku hanya bisa bertahan menggunakan sambaran listrik yang biasa dariku.
Ayolah, jangan abaikan aku.
Shiva tidak patuh dan terus bergerak mendekati Vishnu. Aku butuh Shiva untuk mengikutiku ke arah James—
Dan, di luar dugaanku, Vishnu bergerak ke James. Shiva tampaknya tidak menyadari ini dan terus berfokus menyerang Vishnu habis-habisan dengan segala yang dia miliki, yang sebenarnya cukup mengerikan, tetapi Vishnu terus berkelit dan menangkis dengan sabar. Begitu melihat arah gerakan Vishnu, kami semua langsung mendekat lagi ke arah Shiva—rencanaku mulai berjalan, dan kesempatan ini tidak boleh sampai sia-sia.
Akhirnya, Vishnu melangkahi James.
Dia langsung menarik Shiva hingga jatuh.
Shiva memekik kaget.
James bahkan tidak perlu telepati dariku. Bunyi siulan Dreyfengr segera muncul. Anak itu segera berteriak sekuat tenaga, menghabiskan sisa udara di paru-parunya, dan menghunjamkan sisi tajam atgeir-nya ke arah Shiva—
Waktu kembali berhenti.
Ray—
Naga itu paham rencanaku dan langsung membawa James pergi dari bawah Shiva setelah menjaganya selama ini, dan kami menghabiskan segalanya kali ini—inilah rencanaku.
Sepuluh detik yang akan menentukan semuanya.
Kami langsung menyerbu—kami terutama berfokus pada luka Shiva, tetapi aku menyempatkan diri mencari bekas luka tusukan Will dan memperparahnya lagi. Bahan bilah senjata kami mungkin sama, tetapi Vidveider punya keunggulan dalam ukuran.
Itu, dan aku membuat beberapa lagi luka iris yang dalam di sekujur tubuh Shiva sebelum sepuluh detik kami akhirnya habis.
Dan sepuluh detik kami habis.
Shiva terjatuh ke salju, tidak menindih siapa-siapa, dengan satu seruan kaget. Begitu dia berbalik, aku langsung mengacungkan pedangku ke lehernya.
Dia bergeming. Dia tahu bahwa jika digunakan menusuk, bilahku bisa melewati kulitnya yang tebal dan benar-benar melukainya. Ketiga matanya menatapku dan teman-temanku secara bergantian, sebelum tiba di Vishnu. Lalu, perlahan, dia terkekeh.
"Apa, Shiva?" desis Vishnu. Leluhur di ujung pedangku malah tertawa.
"Lalu sekarang apa?" tanya Shiva, masih sambil tertawa dengan sangat geli seakan kami adalah sekumpulan orang-orang bodoh. "Tribunal Mahameru dengan Brahma? Atau hukuman ke Naraka?"
"Mungkin dua-duanya," kata Vishnu dengan dingin. Shiva tertawa semakin lebar.
"Yah, aku tidak akan melakukan itu," katanya dengan penuh kemenangan. "Dan kalian—kalian orang-orang bodoh. Untuk apa kalian melakukan ini, hah? Mencegah Ragnarok pecah? Menyelamatkan umat manusia? Kalian sia-sia."
"Mungkin kami bodoh, Shiva," kataku, "tetapi paling tidak kami akan mengakhiri Fimbulwinter."
"Lalu?" cemooh Shiva. "Lalu apa? Bagaimana dengan keluarga-keluarga yang sudah terlanjur rusak karena Fimbulwinter—yang saling bunuh dalam rumah, misalnya? Atau," dia menyeringai, "yang saling perkosa? Apa yang akan kaulakukan dengan mereka? Bahkan dengan Fimbulwinter usai sekalipun, dunia kalian sudah hancur. Tidak ada yang bisa kaulakukan soal itu."
Kalimat terakhir Shiva menghantamku seperti gelombang air bah. Dia ada benarnya.
Dunia kalian sudah hancur.
Apa yang akan kaulakukan dengan mereka?
Tidak ada yang bisa kaulakukan soal itu....
"Dengar, Shiva," kata James dengan tenang dari sebelahku setelah Ray mendaratkannya. "Dunia kami memang sudah hancur. Itu kami akui. Namun bukan berarti kami tidak bisa membangun kembali." James menatap Shiva lurus di matanya. "Dan kami akan membangun kembali. Umat manusia selalu begitu."
Shiva tetap tertawa. "Dan apa gunanya? Toh, kalian tetap akan hancur saat Ragnarok akhirnya pecah."
Jantungku mencelus. "Apa katamu?"
"Ragnarok tetap akan pecah!" kata Shiva, tertawa semakin geli. "Kaudengar? Ragnarok tetap akan pecah! Kalian mungkin berpikir bahwa Fimbulwinter adalah penyebab Ragnarok karena mereka terjadi satu setelah yang lainnya, tetapi mereka tidak ada hubungannya! James, aku yakin kau pernah dengar soal kesalahan logika bernama post hoc, ergo propter hoc. Ini persis seperti itu—Fimbulwinter dan Ragnarok tidak berhubungan. Mereka terjadi berurutan, tetapi mereka adalah dua peristiwa yang berbeda sama sekali. Kalian boleh saja mengakhiri Fimbulwinter hari ini, Myth Jumpers, tetapi kalian tidak bisa mencegah Ragnarok."
Shiva mengatakan myth jumpers dengan tekanan penuh kebencian, seakan menyindir fakta ironis bahwa semua kisah kami tidak berasal dari latar belakang mitologis yang sama—belum lagi, sepanjang perjalanan kami, kami juga bertemu berbagai tokoh dari berbagai mitologi yang berbeda.
Paling tidak, menurut para manusia kuno....
Dengan itu, tawa Shiva reda menjadi sebuah seringai—dan dia menghilang.
Aku mengerjap.
Dia menghilang. Dia benar-benar menghilang. Dalam sekejap mata, mendadak dia sudah tidak ada di ujung pedangku.
Aku tercengang. "Apa—?"
Kami semua langsung berbalik menatap Vishnu. Ekspresinya tidak lebih baik dari kami. "Itu—itu mustahil," katanya pelan.
"Seseorang tidak mungkin menghilang begitu saja," kata James, masih sama kagetnya. "Materi itu kekal ... dia pasti berpindah ke tempat lain atau semacamnya."
"Logikanya begitu," kata Vishnu, kedua matanya masih menatap salju tempat Shiva tadi terbaring. "Namun itu bukan kami. Itu bukan metode transportasi kami. Itu bukan jembatan hyperspace, aku yakin. Aku tidak tahu apa yang barusan terjadi."
"Yah, apa pun itu," kata Shafira menginterupsi, "sebaiknya kita matikan dulu Guci Pandora."
Will mengangguk. Baru saja aku berbalik, anak itu sudah masuk ke dalam jembatan hyperspace-nya dan menghilang. Dua detik kemudian, garis cahaya dari jantung Anomali Himalaya menghilang—perlahan, awan gelap dan badai salju di sekitar kami memudar.
Gemintang mulai muncul lagi di langit.
Aku bisa melihat bulan.
Aku memejamkan mata, merasakan sekelilingku. Angin ganas tidak lagi bertiup. Salju sekarang jatuh, bukan lagi beterbangan. Aku kedinginan, tetapi itu bukan masalah.
Seperti kata berita tentang Anomali Himalaya dulu, garis cahaya itu akhirnya menebarkan satu gaya dorong terakhir di langit sana—satu degup tenaga yang menyebar ke segala arah, membersihkan awan akibatnya dulu. Itu akan makan waktu yang cukup lama hingga bisa memengaruhi seluruh dunia, dan waktu yang lebih lama lagi hingga cuaca dunia benar-benar kembali normal ... tetapi itu bukan masalah.
Itu bukan masalah.
Fimbulwinter telah usai.
Will kembali di dekat kami dengan sebuah mesin berbentuk mirip guci berwarna kecokelatan di tangannya.
"Oke," katanya. "Berarti sekarang kita lapor soal ini ... dan soal pemberontakan kita."
Aku teringat satu mata Odin yang tampak sangat kalkulatif. Aku tahu dia tidak suka jika rencananya diganggu.
Jadi aku mengangguk.
Itu bukan masalah. Iya, 'kan?
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro