Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

24

Catatan Penulis: Iya, aku rilis malam dadakan. Um. Maaf soal itu. Aku sedang di Bandung sekarang untuk lomba Cerdas Cermat di Psycompilation 2016 Universitas Kristen Maranatha (doakan aku!), dan besok adalah hari pertamanya. Aku tidak yakin akan sempat posting besok. Karena ini juga, aku belum yakin akan bisa comment-scouting, jadi jika ada komentar yang belum bisa kubalas, aku minta maaf dari sekarang. Aku akan segera membalasnya begitu bisa.

Lalu, anu, aku mengganti cover untuk RCMJ dan The Encyclopedia dan sepertinya belum akan kuganti lagi. Aku mau menarik suara teman-teman dulu. Apakah sebaiknya cover yang sekarang, atau yang dulu? Atau malah ada ide cover yang lain?

Itu dulu saja. Aku tidak akan menahan lama-lama.

Selamat membaca.

***

[DELAPAN HARI SETELAH ISOLASI.]


PIKIRANKU BUNTU SEPENUHNYA.

Itu adalah Laura.

Yang tengah terkulai di ujung tanjung sana adalah Laura.

Yang sedang terbaring, bersimbah darah, dengan sebuah trisula raksasa menembusnya, adalah Laura.

Itu adalah Laura.

Bahkan setelah sepuluh detik berlalu, aku tidak cukup sadar untuk bisa mencern—itu adalah Laura!

Berbagai hal muncul sekaligus di kepalaku. Aku ingin menjerit. Aku ingin menangis. Aku ingin membanting tanah. Aku ingin mati.

Namun di tengah saat itulah aku malah mendapat secercah kejernihan pikiran—bisa juga dipakai mengawetkan jenazah jika benar-benar diperlukan, selama pemberian segera dilakukan setelah peristiwa penyebab kematian.

Sari ambrosia.

... selama pemberian segera dilakukan....

Aku langsung berlari menghampiri Laura—kumohon, jangan terlambat, jangan—

Mata Laura masih membelalak. Tubuhnya sudah tidak mengejang lagi. Mulutnya masih membuka....

Kumohon, jangan terlambat....

Aku merogoh ke sakuku. Ada. Masih ada. Botol itu masih ada.

... juga dipakai mengawetkan....

Kenapa aku bahkan mau mengawetkan Laura?

Laura sudah....

Itu adalah Laura!

Indra-Thorku bangun tanpa disuruh, dan mendadak aku menyadari satu hal—masih ada suara Laura di sana.

Lemah, dan semakin lemah, tapi masih ada.

"Laura—"

Aku menyelaminya. Bukan, bukan suara. Rentetan peristiwa. Rasanya nyaris seperti saat aku mengikatkan telepati, tapi dengan sangat berantakan—semuanya berkedip begitu cepat.

Saat ia memelukku di Valaskjalf.

Saat aku menggendongnya.

Saat aku menghajar Wes untuk melindunginya.

Saat kami mengobrol berdua di kafe.

Kartu ulang tahun biru muda itu....

Itu bisa jadi adalah hal paling memalukan dalam hidupku. Oke, bukan paling memalukan, tapi aku malu bukan main. Aku ingat jelas bahwa saat itu ulang tahun Laura yang kesepuluh. Aku mencari segala hal yang aku tahu tentang Laura, segala hal yang ia sukai—semuanya—dan aku mencari foto-foto yang berhubungan dengan itu untuk membuat sebuah kliping, kolase potongan foto, yang kujejalkan dalam satu kartu ulang tahun kecil berwarna biru muda. Warna kesukaan Laura.

Satu kartu, berisi semua yang ia sukai, dari seseorang yang menyukainya.

Sementara itu, teman-teman Laura semua memberikan berbagai macam kado.

Aku ingat wajahku yang rasanya sangat panas waktu memberikan kartu itu pada Laura. Aku tidak bisa memberikan apa-apa lagi padanya.

Laura cuma menerima kartuku secara sopan.

Aku malu bukan main saat itu.

Namun lalu aku mengerjap. Memori Laura terus berkelip melewati mataku, tapi aku baru saja berhasil mencerna memorinya mengenai kartu itu.

Ia meletakkanya di kabinet kecil di sebelah kasurnya.

Semua kadonya perlahan terpakai, diberikan kepada orang lain, rusak, atau habis.

Namun kartuku masih di sana, dan tetap di sana.

Laura tidak memindahkannya enam tahun ini.

Kartuku masih tetap di sana.

Bahkan sampai sekarang.

SHLAP!

Mendadak trisula raksasa itu mencabut diri dari tubuh Laura. Aku terjengkang kaget—Laura masih bisa juga merasakan rasa sakitnya saat benda itu lepas dari tubuhnya. Trisula itu mengambang sesaat di atas Laura, berdenging seperti pertanda kedatangannya tadi, lalu mendadak terbang—seakan-akan ada yang melemparnya balik.

Dan trisula itu mendarat di sepasang tangan yang menangkapnya lagi.

Aku menggigit bibir, menahan isakan ketika kerjap memori terakhir Laura akhirnya menjadi gelap. Telepati Laura akhirnya pudar sama sekali. Waktunya benar-benar sudah habis.

Laura....

Persetan. Aku tidak memikirkan lagi apa akibatnya nanti. Aku membuka botol dari Hermes, dan menghabiskan seluruh isinya pada Laura.

"Ah," kata si pelempar trisula. Aku menahan geraman sembari berdiri. "Kalau begitu masalahku di sini seharusnya sudah selesai."

Sepasang tangannya masih menyangga trisulanya dengan malas—tunggu. Ralat. Dua pasang tangan.

Dari proporsi siluetnya, sudah jelas bahwa dia adalah seorang Leluhur. Bedanya, tidak seperti Leluhur lain yang sudah kutemui sejauh ini, dia memiliki empat tangan.

Aku bisa merasakan adrenalinku terpicu. Berbagai pikiran lewat di kepalaku sekaligus, tapi akhirnya semuanya sepakat untuk hanya menggemakan satu kalimat: dia membunuh Laura. Dia membunuh Laura. Dia membunuh Laura.

Aku tidak memikirkan apa pun lagi. Aku tidak peduli lagi bahwa aku cuma seorang anak kecil berumur enam belas tahun. Aku tidak peduli lagi bahwa masih ada tugas yang menantiku di sini. Aku tidak peduli lagi bahwa mungkin keluargaku masih menanti, berharap aku akan pulang. Aku tidak peduli lagi bahwa masih ada teman-temanku yang lain di sini.

Aku bahkan tidak peduli lagi ketika semua saluran telepatiku tidak lagi meredam. Semua batas-batas telepatis yang masih ada sudah terangkat pergi. Hilang. Musnah. Setiap pikiran yang ada di kepalaku, setiap perasaan yang bergemuruh di dalam sadarku, semuanya muncul dan membanjir. Mungkin aku terlalu membanjiri isi kepala Ray, Shafira, dan Will dengan semua yang kurasa.

Aku tidak peduli.

Aku mau mereka tahu.

Aku tidak sadar kapan napasku mendadak menjadi terasa sangat berat. Sang Leluhur bertangan empat masih mengelus trisulanya dengan malas sambil terkekeh sendiri. "Nah. Karena urusanku sudah selesai, aku akan undur diri dulu."

Tidak.

Tidak semudah itu, Bajingan.

Aku tidak peduli dia adalah seorang Leluhur. Aku menyerang.

Itu mungkin sambaran listrik paling kuat yang pernah kulepaskan dari tubuhku sendiri. Bahkan petir yang kutembakkan ke mata Kur tidak bisa mengimbangi serangan itu. Semua rambut halus di lenganku berdiri, rambutku bangkit berantakan, bulu kudukku merinding—dalam satu sentakan disertai seruan perang keras, aku merasakan ledakan besar dari arahku.

Dan semua tenaga itu terlepas lurus menuju si Leluhur.

Bahkan aku ikut terpental. Bukan, bukan hanya sampai mundur. Aku terpental ke udara seperti habis ditabrak mobil.

Badai elektrostatis yang kulepas perlahan melemah.

Dan dari arah Leluhur itu, hanya ada suara orang tertawa kecil.

"Wah," katanya. "Ternyata dia mau repot."

Dengingan.

Aku langsung mengenali dengingan itu dan berusaha bangun—

Trisula itu memelesat ke arahku.

Indra-Thor.

Aku merasakannya saat itu juga—seakan waktu berhenti, aku bisa mengenali setiap sirkuit elektronik yang ada di dalam trisula ini dalam sekejap mata.

Ini adalah astra.

Ini bukan trisula biasa.

Dan dia berbahan logam ... dan bergerak dengan listrik.

Elektromagnet.

Refleks, aku berusaha melepaskan listrikku dalam bentuk kumparan imajiner di udara.

Berhasil.

Medan magnet yang sangat besar menyeruak begitu saja di hadapanku, dan trisula itu terpental mundur—kembali ke pemiliknya, yang cuma menangkapnya dengan santai. Dia tertawa.

"Seharusnya kalian malah berterima kasih," katanya. "Namun jika kalian yakin diri benar dan mau ikut campur, sebaiknya siapkan dulu surat wasiat kalian."

Tanganku terkepal sementara aku berusaha berdiri lagi. Tembakan listrik yang tadi—diikuti dengan membuat medan magnet untuk menahan trisula itu—cukup menguras tenagaku. Namun paling tidak aku menyadari satu hal lain—asap mengepul dari tubuh Leluhur itu. Aku tetap berhasil menghanguskannya tadi.

Amarah lain mengisi kepalaku—datangnya dari arah Will. Hal berikutnya yang kutahu, anak itu sudah menapaki jalan lintas angkasa menuju Leluhur itu dengan pisau terhunus. Sang Leluhur bahkan tidak kaget—dia cuma memindahkan tumpuan trisulanya dan menyambut Will dengan satu tangan.

Tangan itu mendarat persis di leher Will. Panik mendadak membanjiri kepalanya, yang kuteruskan pada Shafira—tapi gadis itu menolak bertindak dari sini.

Will bisa menghalangi arah apiku, katanya. Bahaya.

Astaga.

Aku bahkan tidak terpikir hal itu.

Jika Leluhur ini sampai menggunakan Will sebagai tameng manusia....

Namun kami harus melakukan sesuatu—

Will mendapatkan ide saat itu juga. Dia langsung menusuk tangan Leluhur itu dengan pisaunya.

Dan yang mengagetkanku adalah: Leluhur itu mengaduh kesakitan sembari melepas Will. Begitu bocah itu lepas dari genggamannya, dia langsung membuka jembatan hyperspace di bawahnya dan muncul di sebelahku sambil terengah-engah—pisaunya berlumur darah.

"Brigid," geram sang Leluhur. "Huh. Sial. Aku tidak menduga itu."

Shafira tidak menanti. Ia langsung menyerang.

Serangan Shafira memulai sebuah rantai panjang—Tony menerjang, aku menerjang, Will kembali ikut menerjang ... bahkan Ray juga menyerang. Mungkin gambaran tepatnya bukan rantai. Shafira memulai sebuah serbuan.

Ini adalah perang.

Sebelum Tony bisa mencapai si Leluhur, aku berusaha menembakkan sebanyak mungkin sambaran petir yang kubisa. Mungkin aku mengejutkan diriku sendiri dengan jumlah yang berhasil kulepaskan. Aku tidak tahu. Aku tidak menghitung.

Aku cuma mau Leluhur itu mati.

Leluhur itu beberapa kali menangkis petirku dengan trisulanya, tapi dia hanya berhasil menangkal beberapa. Dia baru saja menangkal petirku yang terakhir ketika api Shafira dan plasma Ray memaksanya mengambil satu langkah mundur.

Itu ancang-ancang yang dicari oleh Tony. Penjarah itu segera melompat maju, was Anubis berputar di tangannya dengan sangat lincah seakan dia sudah membawanya bertahun-tahun, dan sebuah pukulan dengan kapak kecil di ujungnya mendarat di si Leluhur.

Terlambat. Leluhur itu sudah mengangkat trisulanya.

Tony segera menanggapi situasi itu dan memutar lagi was-nya lewat bawah, gerakan yang juga segera ditangkal oleh si Leluhur yang sekarang mulai menyeringai. Aku baru sadar bahwa gigi-giginya didominasi oleh taring.

Will membuka jembatan hyperspace dan menyerbu si Leluhur lewat belakang, tapi Leluhur itu ternyata masih bisa menanggapinya—dua dari empat tangannya tidak sibuk, dan si Leluhur dengan lihai mengganti kuda-kuda agar bisa menanggapi gerakan dari dua arah berlawanan sekaligus. Tony mulai bergerak dengan lincah dalam serangan-serangannya, melancarkan serbuan dari tempat-tempat yang dia harap akan membuat si Leluhur kesulitan, tapi Leluhur itu jauh lebih dari siap menangani itu. Dia bahkan lebih lincah dari Tony—gerakannya seakan membentuk sebuah tarian.

Dan karena posisi si Leluhur yang sangat terekspos itulah aku baru bisa mengamatinya.

Kulitnya berwarna keabuan, nyaris putih seperti salju, namun tanpa kesan berkilau. Malah, sebenarnya, kesannya seakan kulitnya malah menyerap cahaya dan bukan memantulkannya—walaupun aku tahu yang seperti itu tidak mungkin. Leluhur ini nyaris telanjang kecuali untuk secuil zirah yang dikenakannya menutupi pinggang dan paha—dan ada sabuk kain yang dia pakai. Entah untuk apa.

Keempat tangannya semua berujung pada kuku berbentuk cakar melengkung mengerikan yang panjangnya sekitar sejempolku. Rambut Leluhur ini berwarna legam dan panjang, dan dikepang. Ini adalah kali pertama aku bisa merasa terintimidasi oleh rambut yang dikepang.

Posturnya khas Leluhur. Namun, semakin mendekati kepalanya, semakin banyak hal seram yang bisa kulihat: kalungnya terdiri dari rangkaian tiga tengkorak berbeda-beda—satu tengkorak mirip anjing di tengah dan dua tengkorak manusia. Tunggu, ukurannya agak lebih besar dari kepala manusia....

Tengkorak Leluhur?

Giginya, seperti yang tadi kuamati, dominan taring. Dari gerakan bertarungnya yang sangat cepat, bahkan untuk proporsinya, aku tidak heran jika dia berevolusi sebagai predator. Dia mengenakan ikat kepala berbentuk bulan sabit yang terposisi seperti tanduk di dahinya.

Dan, soal dahinya: ada satu mata di situ.

Dia memiliki tiga mata.

Dalam satu sabetan yang sangat gesit, trisulanya berhasil memaksa Tony mengambil lompatan mundur dan, masih dengan sabetan yang sama, menghajar Will dengan telak di ulu hatinya. Bocah itu membuka jembatan hyperspace dan muncul kembali di dekatku.

Begitu Tony dan Will sudah bebas dari arah tembakan, aku kembali melepas petirku disusul dengan plasma Ray. Shafira menangkap ideku dan menyerang di saat bersamaan.

Kali ini, sepertinya si Leluhur akhirnya sudah paham betul formasi kami dan apa saja yang bisa kami lakukan. Jadi dia cuma menangkis serangan-serangan kami dengan trisulanya dengan dua tangan, sementara dia bergerak terus mendekati Tony.

Saat itu juga, rencananya mendadak masuk akal: dia akan menggunakan Tony sebagai tamengnya.

Tidak akan.

Aku kembali berusaha mengumpulkan sebanyak mungkin listrik yang bisa kutarik dari dalam diriku sendiri, membuat semua rambutku berdiri, dan melepas badai elektrostatis seperti tadi.

Aku kalah cepat.

Leluhur itu sudah menggapai Tony, yang tidak punya pilihan selain meleburkan tembakanku dengan was Anubis.

Bahkan dengan itu pun, sebagian seranganku masih berhasil mengenainya.

Aku berhenti saat itu juga, sementara Leluhur itu melempar Tony ke arah kami dalam satu ayunan. Si penjarah tinggal berguling di tanah, tapi aku bisa merasakan ada yang berbeda dengan si Leluhur.

Dia sudah siap bertempur.

"Aku jujur saja," katanya, masih dengan nada santai seperti tadi, walaupun sekarang aku bisa merasakan ada kesan mengancam di sana—seakan dia tahu bahwa kami ingin diladeni, dan dia akan meladeni kami. "Aku datang ke sini tanpa mengharapkan perlawanan. Aku cuma perlu menghancurkan kedua amulet itu sebelum segalanya jadi semakin kacau, lalu pergi. Namun aku tertarik pada kalian. Kalian ini ... tim yang aneh. Tidak umum. Jadi aku mau menonton sebentar. Sepertinya keputusanku salah." Dia menyeringai, memamerkan gigi-gigi runcingnya. "Sekarang aku jadi ingin membunuh orang lagi."

Lagi.

Aku paham maksudnya.

Dia sadar dia sudah membunuh satu orang di sini.

Saat itu juga, segalanya memuncak.

Aku sadar bahwa ada banyak hal yang tidak bisa kulakukan. Ada batas-batas yang tidak bisa kutembus. Restu Thor seakan datang dengan beberapa hal yang diblokir. Mungkin malah DNA-ku sendiri yang memblokirnya. Aku tidak tahu. Aku tidak peduli.

Yang kutahu, aku melepaskan segalanya.

Tanpa ada loncatan listrik yang terlihat, aku bisa merasakan semua rambutku berdiri. Aku bisa melihat rambut Shafira, Will, dan Tony ikut berdiri juga—bahkan bulu-bulu Ray.

Aku tahu ini tidak akan jadi badai elektrostatis biasa.

Namun ada hal lain lagi—aku tahu kali ini aku tidak hanya akan kelelahan.

Aku benar-benar mengerahkan semuanya.

Jika aku melepas ini, bisa jadi aku akan pingsan. Atau mati.

Aku tidak tahu.

Aku tidak peduli.

Leluhur itu menyeringai semakin lebar. Dari beberapa rambut lembut yang tidak terikat kepangannya, aku tahu dia juga merasakan medan listrik statisku.

Dia tahu aku akan melepaskan badai ini—

Luke, berhenti.

Itu bukan suaraku.

Saat itu juga, kesadaran lain membanjiri kepalaku. Aku bisa merasakan medan energi yang sangat besar datang dari arahku, seakan aku sedang berada di tubuh lain....

Shafira.

Kenapa? jawabku.

Sebelum pertarungan tangan, ada pertarungan pikiran, jawab Shafira. Kau mengerahkan terlalu banyak. Pikirkan baik-baik akibatnya.

Kesadaran Shafira kembali mengisi kepalaku, dan aku baru bisa melihat diriku sendiri dari sudut pandang lain—tanganku sedang terkepal sangat keras.

Aku bahkan tidak merasakan bahwa tanganku terkepal seperti itu.

Begitu saja, medan listrikku menghilang.

Aku baru menyadari diriku sendiri—aku sedang menggigil karena amarah, aku merasa dingin seperti jika wajahku sedang pucat, tanganku terkepal sangat kencang hingga jika telapakku berdarah aku tidak akan heran. Keadaanku tidak tampak bagus.

Aku menarik napas. Seringai Leluhur itu. Shafira benar. Kepalaku dikuasai oleh selain diriku.

Aku tahu amarahmu, kata Shafira. Aku tahu rasanya seperti apa.

Aku juga tahu, kata Will. Sumpah, kami tahu.

Luke, bertahanlah.

Jangan bertindak sembarangan.

Kau lebih kuat dari ini.

Bukan begini caranya.

Aku melepas napasku pelan-pelan. Shafira kehilangan ayahnya karena dia harus melindungi diri. Will kehilangan keluarganya karena ibunya jadi gila.

Bertahanlah.

Jangan bertindak sembarangan.

Kau lebih kuat dari ini.

Bukan begini caranya.

Aku meresapi lagi setiap kehilangan mereka—bahkan Ray, yang harus kehilangan seluruh keluarganya dalam satu hari.

Bertahanlah.

Jangan bertindak sembarangan.

Kau lebih kuat dari ini.

Bukan begini caranya....

Aku kembali memerhatikan si Leluhur baik-baik. Saat itulah aku baru sadar bahwa posisi tangannya di trisulanya tidak seperti genggaman biasa.

Trisula itu adalah astra.

Jantungku mencelus.

Itu adalah gestur perintah.

Entah perintah apa—tapi Leluhur itu sangat siap menghadapi seranganku.

Jika aku benar mati karena serangan barusan, seranganku akan sia-sia.

Aku bernapas lagi. Bukan begini caranya.

Dan si Leluhur tertawa.

"Wah!" katanya puas, seperti seorang presenter acara teve. "Wah, wah! Menarik! Oke, aku tidak jadi menyesali keputusanku menonton kalian dulu. Kalian memang aneh. Tidak umum. Menarik. Menarik, menarik."

Ya, kami menarik. Aku secara khusus sangat ingin menarik lehernya dan membanting kepalanya berkali-kali ke tanah Punta Meliso. Jangan bertindak sembarangan. Aku ingin menarik trisulanya dan menusuknya, lagi dan lagi, menyembuhkannya untuk menusuknya lagi. Kau lebih kuat dari ini. Aku ingin menghapus seringai congkak itu dari wajahnya, mencabuti taring-taringnya, dan menghancurkan seluruh tubuhnya. Bukan begini caranya.

Bukan begini caranya.

Leluhur itu menyeringai semakin lebar. Gangguan gravitasi. Jembatan hyperspace—kali ini warnanya putih bersih, muncul di belakangnya.

Dia akan kabur lagi.

Aku ingin menghentikannya, menghabisinya di tempat saat ini juga. Namun aku juga cukup sadar bahwa seaneh apa pun wujudnya, dia tetap seorang Leluhur.

Aku tidak akan bisa menakar penuh apa saja yang bisa dia lakukan.

Lagi pula, serangan-serangan kami tidak ada artinya. Dia bisa menangkal petirku. Dia bisa membubarkan api Shafira. Dia sepertinya kebal terhadap plasma Ray. Serangan Tony dan Will—yang membuat aku, Shafira, dan Ray harus menahan serangan dulu untuk sementara agar tidak mengenai mereka—juga bisa dihadapinya dengan sangat bersih dalam hitungan menit. Will bahkan sudah nyaris dibunuhnya, jika bukan karena pisau Will yang entah bagaimana bisa menembus lengan Leluhur itu.

Omong-omong, lukanya sudah sembuh sendiri.

Apa yang bisa kami lakukan?

Leluhur itu menunduk sedikit, seakan memberikan salam sindiran, sebelum melangkah menuju jembatan hyperspace itu.

Saat itulah gangguan gravitasi itu berubah.

Bukan—bukan berubah.

Ada jembatan hyperspace lain yang membuka.

Jembatan itu berwarna-warni.

Segalanya terjadi dalam sekejap mata—sekelibat bayangan memelesat keluar dari jembatan hyperspace berwarna-warni itu, sebuah bunyi siulan yang sangat keras memenuhi seluruh jangkauan pendengaranku, dan si Leluhur bertangan empat mendadak terpental mundur beserta dengan hilangnya jembatan hyperspace buatannya.

Jembatan hyperspace yang berwarna-warni itu adalah Bifröst.

Dan yang baru saja muncul—

Sang Leluhur terbanting ke tanah sambil mengerang. Ajaibnya, sebuah luka sobek besar menganga di dadanya, seakan seseorang menyabetkan sebilah pedang dengan sangat lancar di sebelah sana.

Dan orang yang muncul dari Bifröst sedang menatapku dengan serius dari balik kacamatanya. "Serang dia. Sekarang!"

Luka Leluhur itu tidak segera menutup diri.

Begitu kalimat James masuk akal bagiku—walaupun kagetku belum hilang sama sekali—aku kembali melepaskan tembakan-tembakan kecil: kali in aku mengarahkan setiap sambaranku ke arah luka Leluhur itu. Shafira, Tony, dan Ray semua menangkap komando itu lebih cepat dan mulai melepaskan serangan mereka masing-masing—semburan api, sinar dari was, dan tembakan plasma. Leluhur itu tidak jadi bangun, terdorong dan terpaksa jatuh lagi dari serangan bertubi-tubi kawanan remaja di sebelah sini.

Namun itu tidak berlangsung lama. Sepuluh detik kemudian, dia segera bangkit berdiri lagi dan mengangkat trisulanya untuk menghalau serangan kami. Ekspresinya tidak bisa ditebak.

"Kalian tahu?" katanya. "Seharusnya kalian berterima kasih."

"Atas musim dingin ini?" sahut James berang. "Terima kasih, Shiva; tapi tidak, terima kasih."

Ekspresi Leluhur itu—Shiva—langsung berubah dari ekspresi datarnya kembali menjadi seringai. "Aku duga kau James Osbourne, ya? Utusan Odin? Hebat juga kau. Bagaimana kaubisa tahu bahwa pelakunya adalah aku?"

"Satelit-satelit photo-imaging yang mengorbit Bumi," kata James ringan. "Banyak sekali sampah luar angkasa di atmosfer Bumi. Aku membajak semua saluran yang ada dan mencari yang kebetulan lewat di dekat puncak Gunung Everest sebelum Anomali Himalaya muncul—tepat saat rekaman Sumur Mimir terganggu. Aku cukup beruntung menemukan satu yang punya resolusi gambar cukup tinggi."

Shiva tertawa keras sambil membubarkan sisa serangan kami hingga berhenti sepenuhnya. "Cara manual! Boleh juga, bahkan para Leluhur tidak terpikir soal itu. Namun mana mungkin gambarnya cukup jernih untuk tahu bahwa itu adalah aku?"

"Memang tidak," jawab James. "Jadi aku juga melakukan cek-silang dengan data Leluhur-Leluhur yang dinyatakan hilang atau sedang dicari, memeriksa untuk ciri fisik yang bisa disamakan dengan foto yang kudapatkan ... dan menduga mana yang akan berurusan dengan Bumi. Kemungkinan pelakunya jadi dipersempit menjadi cuma tujuh. Uji kesamaan lagi, kupersempit jadi tiga—termasuk kau. Lalu aku memeriksa keadaan di Bumi lagi, dan ... ternyata kau ada di sini." James berhenti sebentar. "Membunuh temanku."

Seringai Shiva sekarang berubah menjadi senyum puas. "Urusanku cuma dengan kedua amulet yang ada di lehernya. Kebetulan dia yang membawanya. Masalahnya tidak lebih rumit dari itu, dan itu tidak rumit sama sekali."

"Akan jauh lebih sederhana lagi jika kau menyerah," tantang James. "Tombak ini namanya atgeir, Shiva. Pernah dengar?" James mengayunkan tombak di tangannya—bentuknya mirip dengan tombak glaive, sebuah tombak yang berujung dengan kapak kecil yang memanjang dan runcing ujungnya. "Ini adalah senjata Viking kuno dari Islandia—dan ternyata, khusus atgeir yang satu ini, adalah astra yang dikunci pada Odin."

"Sekilas dengar," kata Shiva cuek. "Dari bunyi siulannya, kuduga itu milik Gunnar Hámondarson. Pilihan bagus."

"Kalau begitu harusnya kautahu bahwa atgeir ini bisa membuat daerah hantamnya menjadi sangat masif sehingga waktu di sana sangat melambat secara lokal selama sepuluh detik," lanjut James. "Kau sendiri sudah merasakannya, 'kan?"

"Dan menikmatinya, ya. Usaha bagus, Osbourne, tapi tidak." Shiva masih tetap menyeringai. "Aku sudah bilang. Andai saja kalian tahu kenapa aku melakukan ini, kalian akan berterima kasih padaku."

"Yah, faktanya, kami tidak tahu," kata James. Kali ini aku menangkap bahwa dia melirik ke arahku sekilas. "Kami cuma tahu kau menyebabkan musim dingin yang merenggut segalanya dari kami. Rasanya cukup masuk akal jika kami ingin menghabisimu." James menghentakkan atgeir-nya lagi. "Dan dengan Dreyfengr, sepertinya itu cukup mungkin."

"Dreyfengr?" kata Shiva dengan tertarik. "Blood-catcher? Itu nama atgeir-mu?"

"Yup. Dan blood berikutnya yang akan ia catch adalah milikmu."

Shiva tertawa. "Yah. Apalah trisulaku yang namanya Trishula."

Dia melempar.

James bereaksi sangat cepat—malah, sebenarnya, sedikit terlalu cepat, seakan-akan Dreyfengr bergerak sebelum James sempat. Atgeir itu berdenging lagi—aku baru sadar bahwa bunyi mirip siulan yang tadi dikeluarkannya adalah bunyi denging mekanis—dan langsung menyambut trisula Shiva di udara dengan sisi tajamnya.

Trisula itu beku di tempat. James memutar Dreyfengr sekali sebelum menghantam Trishula dengan sisi tumpulnya, mendorong trisula itu kembali ke pemiliknya.

"Alatmu bagus," aku Shiva sambil menangkap lagi trisulanya. "Serius. Atgeir Gunnar Hámondarson sudah melegenda kekuatannya. Temanmu yang kecil itu juga cukup beruntung untuk memiliki pisau Brigid, entah dari mana. Namun kalian tidak ada apa-apanya jika kita bicara soal bertarung jarak dekat."

Aku mengepalkan tangan. Jika Dreyfengr benar sekuat yang sudah James tunjukkan, sehebat apa pun kemampuan bertarung Shiva di jarak dekat—seperti yang sudah ditunjukkannya saat melawan Tony dan Will di saat bersamaan, misalnya—seharusnya kami masih bisa menanganinya. Entah bagaimana dia bisa menahan plasma dari Ray dan petir dariku (walaupun Anubis tampaknya punya ketahanan yang sama), tapi seharusnya tidak jadi masalah dengan atgeir James, 'kan?

Sebaliknya, ternyata James malah berdiri diam dan tampak berhitung dalam hati. Seringai Shiva melebar lagi. "Pilihan bagus."

Dengan itu, Shiva membuat sebuah jembatan hyperspace di belakangnya—dengan darah masih menetes dari luka di dadanya bekas serangan bertubi-tubi kami tadi—dan pergi.

"James, kenapa kita tidak—?"

Aku baru saja hendak bertanya itu ketika James mengangkat tangannya. "Dia tahu batasan Dreyfengr," kata James tegang. "Aku tidak menyangka itu. Kekuatan Dreyfengr bergantung pada graviton, partikel pembawa gravitasi. Karena itulah dia bisa mengotak-atik massa benda lain. Masalahnya, graviton sangat sensitif, dan sumber daya Dreyfengr terbatas untuk mengaturnya. Aku tidak bisa menggunakan kekuatannya sering-sering, dan aku baru saja menggunakannya dua kali berturut-turut."

Aku menahan napas dengan geram. "Jadi sekarang bagaimana?"

"Kita ke Everest," kata James. "Aku tahu Shiva pergi ke sana untuk menyembuhkan diri. Langsung ke Anomali Himalaya. Hlidskjalf mungkin tidak bisa menembusnya karena data tentang tempat itu di Sumur Mimir rusak, seperti yang kau sudah lihat. Namun seharusnya Bifröst tidak terhalangi oleh itu, karena dia bergerak menembus sumbu dimensi lain. Sekarang kita ke Asgard dulu. Biar Heimdall yang mengirim kita ke Everest lewat Himinbjörg." James berhenti sebentar dan menatap kami semua. "Kalian harus benar-benar hati-hati. Pertama, kita akan ke puncak gunung es tertinggi di dunia—dihitung dari permukaan air laut—dan langsung ke jantung sebuah badai salju raksasa. Entah bagaimana kita bertarung di sana nanti. Kedua, lawan kita, Shiva, dikenal sebagai Dewa Penghancur dan Sang Mahadeva di kepercayaan Hindu. Kalian akan diuji sampai ke setiap batasan kalian ... bahkan mungkin sampai mati."

Aku tidak peduli lagi soal mati. "Dan apa artinya Mahadeva?"

James mengerjap. "Overgod. Maha-dewa."

Overgod. Dewa di atas segala dewa lain. Itu tidak terdengar menjanjikan untuk kami.

Aku menebar pandangan. James sudah membeberkan bahwa Shiva-lah pelaku di balik Fimbulwinter, entah bagaimana caranya melakukannya. Mengesampingkan dendam pribadiku, mengingat segala yang kami pertaruhkan di sini, Shiva tetap harus dihentikan.

Dan soal dendam pribadi.... "Bagaimana dengan Laura?"

James menoleh ke arah tubuh Laura yang masih terbaring lunglai agak jauh dari kami. Luka bekas tusukan Trishula masih terbuka lebar di dadanya. Mataku berkedut melihatnya. "Kita bawa ke Asgard. Biar Heimdall yang melindunginya. Jika kita cukup beruntung, kita bisa kembali kepadanya ... dan mungkin memikirkan sesuatu."

Sesuatu. Entah apa. James juga tahu bahwa nasib Laura sudah tiba di ujungnya. Aku menghela napas berat. "Dan Beth?"

"Aku tahu naga itu akan mengikuti Laura ke mana pun ia pergi."

Aku menebar pandangan pada semua yang ada di sini. James. Shafira. Will. Tony. Bahkan Ray. Mereka semua menatapku balik, seperti menungguku mengatakan sesuatu.

Jadi aku cuma melangkah ke jasad Laura dan berusaha menggendongnya. Darah masih menetes dari lukanya, tapi ajaibnya, tidak banyak. Mungkin sari ambrosia dari Hermes benar-benar berpengaruh. Entahlah.

Dan menyentuh Laura lagi setelah semua ini benar-benar memicu sesuatu yang rasanya agak menyekat di tenggorokanku. Aku menelan ludah sebelum akhirnya angkat bicara.

"Oke," kataku parau. "Berarti sekarang kita ke Himinbjörg ... lalu kita ke Everest dan bertarung mati-matian." Aku menebar pandangan lagi dan menghela napas. "Aku mau membunuh Shiva."

***

Catatan Penulis: Aku sudah melakukan beberapa revisi di versi Word dari RCMJ. Namun aku belum akan melakukan revisi itu di RCMJ online sini. Nanti saja sekalian ke semua bab, supaya praktis. Aku sudah memasukkan beberapa saran untuk ralat kalimat, walaupun ada beberapa yang kupertahankan just for the sake of the feel (karena aku egois dan pada akhirnya apabila saran itu tidak bisa diimplementasikan untuk feel yang kucari, aku akan mengutamakan feel-ku. Nanti saja apabila aku mengirimkan ini ke penerbit dan ternyata diterima, baru aku berdebat panjang lebar dengan editorku. Itu urusan nanti).

Aku tahu aku seharusnya mulai mengirimkan Character Covers dari bab lalu, tapi aku mengubah pikiranku. Mungkin lain kali saja, atau lewat media lain saja. Kita lihat saja nanti.

Sampai bertemu di bab berikut.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro