22
Catatan Penulis: Sedikit bonus multimedia untuk menggambarkan rute Kur seperti yang dijelaskan Hermes nanti.
Semoga membantu. Selamat menikmati!
***
[DELAPAN HARI SETELAH ISOLASI.]
AKU TERPAKU SELAMA paling tidak sepuluh detik sebelum kalimat terakhir Leluhur itu menembus kepalaku. Aku teringat Odin dan Neith—mereka pernah mengatakan hal serupa. Sesuatu soal batasan Leluhur di Bumi. Aku segera berusaha mengatur perilaku dan mengangguk sopan. "Ada apa?"
"Mengobrol di sini rasanya agak kurang pantas," katanya. "Bagaimana jika di luar? Kaubisa mengantongi saja pisau Will. Kau akan memerlukannya nanti."
Aku mengernyit. Nadanya mengatakan itu bukan mengajak. Dia memerintah. Entahlah, ada kesan penuh komando di keberadaannya kali ini. Aku ingat kisah-kisah lama tentang Hermes—dewa Yunani yang berperan sebagai pengantar pesan. Hermes juga terkenal sebagai Dewa Pencuri yang hiperaktif dan banyak akal. Rasanya aku selalu membayangkan Hermes sebagai wujud yang lebih kurus, atau dengan karisma sedikit kurang daripada ini. Mungkin dengan cengiran yang lebih jail. Namun Hermes yang ini terasa sangat ... berbahaya. Dan itu jelas bukan karena pakaiannya yang tampak jauh terlalu santai untuk standar Leluhur. Dia cuma mengenakan kain yang dililitkan di badan dengan gaya pakaian chiton berlengan Yunani Kuno, namun dengan sampiran bulu yang tampaknya cukup untuk menghangatkannya di tengah salju. Dia bahkan tidak tampak mengenakan atribut apa pun yang menghubungkannya dengan pertikaian ... dan dia tetap terasa berbahaya.
Neith terasa berbahaya, aku bisa paham. Ia sendiri mengatakan bahwa ia dulu dianggap Dewi Perang dan Perburuan, dan pakaiannya waktu itu mirip pakaian pasukan special operations versi ringkas. Anubis terasa berbahaya, tidak ada pertanyaan. Thor dan Odin juga. Toh, keduanya dulu sering dipuja saat bangsa Viking akan berangkat menjelajah atau berperang.
Namun Hermes?
Dan yang lebih ganjil lagi, dia sendiri yang mengatakan bahwa dia tidak punya banyak waktu ... tapi dia masih sempat bicara soal kepantasan. Hmm.
Pilihan apa yang kupunya?
Tidak banyak.
Aku tidak mengangguk, tapi aku membiarkan kakiku menuntun langkah; tanganku menyelipkan pisau Will ke dalam kantong jaketku. Hermeslah yang mengangguk, dan hal berikutnya yang kutahu, kami berdiri bersebelahan di luar pintu gubuk Will.
Gubuk itu ternyata tidak bisa disebut gubuk juga. Mungkin istilah yang lebih tepat adalah kabin, karena dinding kayunya tampak solid dan jelas jauh dari istilah sederhana. Bangunan ini memang didesain untuk menjadi tempat tinggal jangka panjang di tengah hutan, itu terlihat jelas. Mungkin itu juga menjelaskan bentuk ruangan tempat kami berada tadi yang bukan persegi atau persegi panjang, tapi memiliki beberapa jorokan ke arah luar—beberapanya adalah tempat berbaring teman-temanku.
"Jadi?" tanyaku, menatap kosong ke pepohonan di hadapanku.
"Aku punya beberapa berita untukmu," kata Hermes. Dari arah suaranya, aku tahu dia juga memutuskan menatap ke arah pepohonan di depan kami. "Pertama, aku akan mulai dari berita garis besarnya dulu—kalian butuh istirahat."
Aku kembali mengernyit. "Aku tidak tahu tertidur berapa lama tadi." Astaga, aku baru sadar. Sudah sejauh mana Kur pergi?
Hermes seakan membaca pikiranku. "Kau tidak perlu khawatir soal itu. Temanmu benar soal satu hal—gerak Kur tengah melambat. Dia sedang beristirahat sebentar di dekat Mystras. Setelah ini dia akan mengambil rute melalui Pyrgos, lalu bergerak dari pulau ke pulau—Zakynthos, Kephallonia, Leukada ... terus hingga ke Korkyra. Tujuan akhirnya, sementara ini, adalah Wales. Koloni Naga Merah. Kau sempat bertanya kenapa Kur tidak segera mencari makan? Salah. Dia mencari makan, Nak. Menghancurkan memang hobinya, tapi Naga Merah adalah mangsanya."
Jantungku mencelus. Dugaanku benar. Jika Kur tidak dihentikan, para naga benar-benar bakal mampus. Aku menggelengkan kepala. "Aku tidak tahu tempat-tempat itu ... kecuali mungkin Koloni Radnor."
"Mau kutunjukkan?"
"Apa kaupunya waktu?"
"Tidak akan makan waktu. Bersiap."
Aku paham maksudnya—telepati. Benar saja, tidak lama kemudian, aku merasa seperti sedang berada di sebuah ruangan, dan pulau-pulau memelesat melewatiku. Tanjung yang tadi ditunjukkan oleh James sudah lewat. Rute Kur bergerak agak ke arah Utara, menyusuri atas daratan, sebelum kemudian melompat ke sebuah pulau di sisi Barat daratan tadi—dan pulau itu hanya satu dari sebuah gugus kepulauan, semuanya menyusuri bagian Barat daratan utama.
"Bagaimana kautahu semua ini?" tanyaku. "Rute Kur, lokasi, tujuannya, dan lain-lain?"
Hermes menggaruk dagu. "Manusia memang tidak pernah cukup sensitif untuk menangkap soal ini, tapi kukira seharusnya kalian sudah lebih maju sekarang. Sepertinya kecenderungan kalian bertahan pada bukti keras agak menghambat di sini, karena moyang kalian di Yunani Kuno pasti belum paham, dan ... ah. Begini. Apa kautahu aku dianggap dewa apa dulu?"
"Pembawa pesan," jawabku. "Um, dan pencuri. Dan pengelana, kalau aku tidak salah ingat. Dan ... penyembuhan?"
Hermes mengerang kecil. "Ah, salah kaprah," katanya. "Aku bukan penyembuh. Itu Asclepius. Mungkin karena caduceus-ku bentuknya mirip dengan tongkatnya. Ah, sudahlah. Selain itu, jawabanmu tepat. Aku adalah pembawa pesan, pencuri, dan pengelana." Dia tidak terdengar tersinggung aku menyebutnya pencuri. "Oke, kesampingkan dulu mitosku mencuri ternak Apollo saat kami balita karena jelas-jelas seorang balita belum akan cukup cerdas untuk melakukan yang kulakukan saat itu—termasuk menciptakan lyra pertama di seantero Olympus dan Bumi untuk menyogok Apollo kecil. Lupakan kabar burung itu. Apa kaubisa menarik garis besar yang menghubungkan antara pembawa pesan, pencuri, dan pengelana?"
Aku terdiam. Garis besar antara pembawa pesan, pencuri ... dan pengelana? Pembawa pesan dan pengelana, itu masih masuk akal. Seorang pembawa pesan seringkali harus berkelana ke sana kemari. Pencuri dan pengelana ... agak dipaksakan, tapi masih masuk akal.
Namun pencuri dan pembawa pesan?
Belum lagi, aku baru menghubungkan dua-dua dengan cara itu.
Bagaimana aku menghubungkan semuanya?
"Tidak," akuku. Bukannya aku tidak mau mencoba berpikir lebih jauh lagi, tapi aku tidak mau menyia-nyiakan waktu Hermes di Bumi. "Tidak bisa."
Hermes menghela napas. "Biar kupermudah bagimu—pembawa pesan berarti aku berurusan dengan hal seputar informasi."
"Bagaimana aku menghubungkan informasi, pencuri, dan pengel—tunggu." Aku nyaris meminta jawaban langsung kepada Hermes ketika aku mendadak sadar—informasi dan pencuri bisa dihubungkan.
Dan semua itu bisa dihubungkan langsung dengan pengelana.
Informasi.
Pencuri.
Pengelana.
Semuanya masuk akal.
Aku menghirup napas dengan canggung. Hermes mengetahui berbagai hal mendadak jadi tidak terasa terlalu aneh. "Intel," simpulku sambil menoleh ke arahnya. "Kau agen intelijen."
Hermes tersenyum, masih tanpa memandangku. "Untuk Olympus," katanya. "Mungkin istilah setara direktur jauh lebih tepat, tapi ya. Aku juga salah satu agen lapangan terbaik mereka, jadi aku tidak akan protes pada kesimpulanmu. Intinya, aku punya cara-caraku—termasuk caraku bisa tahu James Osbourne sudah bicara apa saja denganmu ... dan sudah menemukan apa saja mengenai Fimbulwinter."
Aksen Hermes mengucapkan Fimbulwinter agak berbeda dengan aksen Asgard. Odin dan Thor menyebutnya dengan w agak didengung, mirip dengan v. Nyaris seperti v diayun, semacam fim-bul-vwin-takh. Aksennya seperti bahasa Jerman. Sementara itu, Hermes mengucapkannya dengan lebih polos. Fim-bul-uin-ter.
Namun kalimatnya tetap menyedot penuh perhatianku. "Dan?"
"Dia akan mengarahkanmu nanti," jawab Hermes. "Yang pasti, Kur akan bergerak dari Korkyra untuk menyeberang langsung ke Italia melalui Laut Ionia. Dia boleh saja tolol dalam banyak hal, tapi dia tidak sebodoh itu masalah navigasi. Jalur itu jauh lebih pendek daripada memutar melewati darat ke Slovenia, dan bahkan masih lebih pendek daripada ke arah Utara sedikit sebelum menyeberang ke Italia lewat Albania. Sekadar tahu saja, jarak Albania ke Italia lebih dekat daripada dari Korkyra ... tapi perjalanan ke Albania itu yang akan memakan waktunya. Dia tidak akan mengambil risiko itu. Aku yakin Kur akan ke Italia melalui pulau Korkyra. Dugaanku, Kur berusaha mencapai titik 'tumit' Italia—Santa Maria di Leuca, atau dikenal dengan nama Leuca saja."
Albania ... Albania terletak di Utara Yunani. Ya, jarak dari Albania ke Italia seingatku memang lebih dekat daripada Yunani ke Italia ... laut pemisahnya, Laut Adriatik, juga berbentuk memanjang dan sempit. Sementara itu, Yunani dan Italia dipisahkan oleh Laut Ionia—titik terdekat antara Albania dan Italia jauh lebih dekat daripada antara Yunani dan Italia.
Bagaimanapun juga, Hermes mungkin ada benarnya. Bergerak menyusuri darat dulu ke Albania mungkin cukup makan waktu, sehingga jika jaraknya dijumlahkan dengan selisih Albania dengan Italia, rute Kur bisa jadi malah lebih panjang daripada jika dia bergerak langsung ke Italia dari Yunani.
Tumit Italia—kalau ini, aku tahu. Garis perbatasan Italia berbentuk seperti kaki yang mengenakan sepatu hak tinggi. Provinsi Lecca adalah provinsi yang terletak di 'hak' sepatu ini, dan bentuknya adalah sebuah tanjung raksasa.
Yang berarti, jika Kur berusaha mencapai Santa Maria di Leuca, tempat itu adalah adalah tempat terujung dari provinsi ini.
Setelah itu, rute Kur ke Wales akan mudah—tinggal sebuah garis diagonal lurus, dengan hanya bertemu laut lagi sekali saat menyeberang ke Inggris. Selain itu, semuanya daratan.
"Lalu? Kenapa kau menyarankanku beristirahat dulu?" tanyaku. "Dan—astaga. Bagaimana aku akan menghadapi Kur tanpa nagaku?"
Dadaku kembali terasa sesak teringat Ray. Hermes tidak tampak terpengaruh.
"Kami," koreksinya. "Bagaimana kami akan menghadapi Kur. Luke, kau tidak sendirian. Kalian akan menghadapi Kur bersama-sama. Aku akan menjawab dulu pertanyaan terakhirmu karena itu berhubungan dengan berita keduaku untukmu—Ray dan Beth selamat."
Aku menghirup napas tajam. "Oke. Terima kasih."
Aku tidak perlu mendengar lebih. Mendengar bahwa mereka selamat sudah cukup untuk membuatku lega. Sayangnya, kelegaan bukan hal yang kucari. Setelah tahu rute gerak Kur dan fakta bahwa nagaku selamat, sekarang aku perlu strategi. "Mereka akan ke sini," kata Hermes. "Ray tadi tidak membalas telepatimu karena belum siuman. Namun mereka akan ke sini. Sementara itu, kalian menunggulah. Ingat berita pertama—kalian butuh istirahat."
"Berapa lama waktu yang kami punya untuk beristirahat?"
"Dan itu masuk ke berita ketiga untukmu. Cara menangani Kur. Begini. Kalian butuh istirahat sebanyak-banyaknya, sementara Kur akan terus bergerak. Dia mungkin sedang beristirahat sebentar dengan melambatkan terbangnya, tapi dia jelas akan mengeluarkan tenaga penuh saat menyeberangi Laut Ionia. Jadi aku menghitung titik optimal antara istirahat kalian dan menyerang Kur, dan di sinilah kesempatan kalian. Kalian tidak bisa menyerang Kur saat dia sedang di dekat daratan, karena dia masih bisa terjatuh dan kembali berdiri. Dia juga bisa memilih mendarat. Habislah kalian jika sampai begitu. Untungnya, Kur tidak bisa berenang." Hermes akhirnya mengerling jail kepadaku untuk pertama kalinya. "Kalian harus menghentikannya di tengah penerbangannya dari Korkyra ke Leuca. Persis di atas laut. Hanya dengan cara itu kalian bisa memaksanya jatuh tanpa khawatir dia akan bangkit lagi."
"Oke. Berarti berapa lama kami bisa beristirahat?"
"Dari sekarang hingga keberangkatan? Aku menaksir sekitar tiga setengah jam. Kalem. Waktu kalian banyak. Waktuku yang tidak. Nah, masih soal menghadapi Kur ... berita keempat. Temanmu Shafira tidak akan bisa mengisi ulang Mata Ra nanti."
Aku mendadak merasa seperti habis dipukul. "Apa?"
"Kautahu sendiri apa yang terjadi ketika hanya ada kau dan Tony untuk mengalihkan perhatian Kur," kata Hermes. "Kau akan butuh pengalih lainnya. Dan maaf saja, tapi posisi Laura jauh lebih ideal untuk mengisi ulang Mata Ra. Pertama, dia terbang tidak dengan tenaganya sendiri. Dia menunggangi Beth. Sementara itu, Shafira harus menggunakan tenaganya sendiri untuk terbang. Ia akan cepat lelah."
Hah? "Tunggu—Shafira bisa terbang?"
"Ya, tapi dia tidak akan cerita pada siapa pun, bahkan via telepati. Kedua, Laura tidak—" Hermes berhenti mendadak, lalu terbatuk dan berdehem singkat sebelum melanjutkan, "—tidak menunjukkan bakat ofensif seperti apa pun hingga sekarang. Shafira, dia sebaliknya. Shafira sangat sempurna untuk mengganggu Kur. Laura sangat sempurna untuk mengisi ulang Mata Ra."
Aku teringat Mata Ra—alat dan semua potensinya. "Tapi—tapi suhu Mata Ra bisa memanggang Laura hidup-hidup waktu ditembakkan!"
"Itu gunanya Wedjat, Lucas. Itu juga yang akan membantunya bernapas di ketinggiannya mengisi Mata Ra. Lagipula, ia tidak akan perlu lama-lama. Api Kur tadi membantu mengisi Mata Ra sedikit, dan Shafira sudah nyaris mengisinya penuh. Dan ketiga ... Shafira tidak bisa diakali dengan terbang bersama Beth. Beth hanya mau terbang dengan Laura, dan tanpa Beth, Laura juga tidak akan banyak membantu."
Aku terbungkam. Tidak, Laura sudah sangat banyak membantu. Malah, sebenarnya, aku beberapa kali teringat keganjilan. Laura bisa melihat di tengah kegelapan total di Radnor. Laura bisa selamat dari tembakan sinar Anubis....
Dan aku baru sadar bahwa aku tidak pernah mendengar seorang pun menyebutkan tentang Restu siapa yang Laura pakai.
Aku bahkan tidak ingat Laura mengenakan kalung Restu atau tidak.
Sayangnya, Hermes juga ada benarnya. Aku belum pernah melihat Laura menunjukkan kekuatan ekstra-manusia yang bisa dipakai untuk menyerang. Beth-lah yang punya kekuatan itu.
Dan Beth hanya mau terbang dengan Laura. Jika Shafira terlalu lemah untuk menjaga terbang setinggi itu lama-lama, dia masih bisa diakali dengan terbang bersama Laura dan Beth ... tapi distraksi untuk Kur dariku dan Tony saja tidak akan cukup—seperti sebelum ini. Yang berarti, jika aku ingin Shafira yang mengisi ulang Mata Ra, ia bakal harus terbang sendiri.
Dan di ketinggian seperti itu, Hermes sudah mengatakan bahwa ia tidak akan kuat.
Aku menghela napas berat. "Berarti ... Laura, Wedjat, dan Mata Ra."
"Ya."
"Shafira, terbang, membantuku dan Tony?"
"Ya. Jangan lupa, seperti untuk Tony, kau juga harus memberi tumpangan jika Shafira ingin beristirahat dari terbang sendiri. Dan masalah ini membawaku pada berita kelima." Hermes mengayunkan tangannya, dan mendadak aku merasakan gangguan gravitasi—sangat lemah, tapi ada. Sebuah jembatan hyperspace mini seukuran telapak tangan muncul, dan Hermes menerima sepasang sepatu sewarna kulit yang mendadak muncul dari dalam sana. "Berikan ini untuk Will. Ini adalah salinan dari sandalku, Talaria, tapi sudah kuatur supaya bisa menyesuaikan diri ke ukuran kakinya. Inilah cara kalian nanti mencegat Kur di Laut Ionia."
Hermes memberikan sepatu itu kepadaku, dan aku menerimanya. Sepatu itu agak berat—aku baru sadar solnya tidak terbuat dari karet. "Aku tidak paham."
"Talaria—dan sepatu ini, Subtalaria—punya dua kegunaan. Pertama, dia didesain untuk bisa mendorong partikel udara seperti kau mendorong air saat berenang. Dengan kata lain ... penggunanya bisa terbang." Seakan untuk membuktikan poinnya, Hermes menapak seperti menaiki satu anak tangga imajiner di udara—dan dia sungguhan mengambang di udara tanpa menjejak tanah. Hanya ada sedikit bunyi dengung lembut dari alas kakinya. Dia mengangkat alis sebelum turun lagi. "Kedua, dia bisa membuat jembatan hyperspace bebas-jangkar. Maksudnya, dia bisa digunakan untuk membuat jembatan hyperspace dari mana pun ... menuju mana pun."
Jembatan hyperspace dari mana pun menuju mana pun.... "Jadi dengan jembatan ini kami akan menyusul Kur?"
Hermes mengangguk. "Instruksinya sudah diatur supaya melakukan sinkronisasi neuron. Subtalaria masih terhitung astra walaupun didesain untuk manusia. Hanya Will yang bisa menggunakannya. Yang penting sekarang, Will bisa dibawa masuk ke dunia Leluhur ini. Aku sudah menandai kumpulan partikel Kur agar Subtalaria mudah melacaknya dan membuat jembatan ke sana. Sisanya gampang."
Aku kembali menatap sepasang sepatu pemberian Hermes itu—apa namanya, Subtalaria?—di tanganku sambil menimbangnya lagi sedikit, pelan. "Berarti, dalam tiga setengah jam, aku harus membuat Will percaya bahwa naga itu ada, para dewa-dewi kuno sebenarnya adalah alien, dan dia terlibat semua ini karena...." Kata-kata telepatis Hermes tadi terngiang di kepalaku. Putraku.... "... karena ayahnya sendiri adalah seorang Leluhur?"
Hermes tersenyum sedih ke arah kejauhan. "Ayah kandungnya," koreksinya. "Ceritanya panjang. Coba ikatkan telepatimu dengannya seperti kau mengikat Shafira. Kau akan paham. Dan, logikanya, dia juga."
Aku termenung. Ray dan Shafira memahamiku melalui cara yang sama. Aku bisa membantu Shafira mengejar ketertinggalannya di dunia Leluhur ini—yang sebenarnya tidak terlalu parah, jika menghitung sejarah Restunya—dengan telepati.
Mungkin aku bisa membantu Will....
Apa iya?
Hermes menepuk bahuku. "Tiga hal lagi," katanya. "Satu, kau beruntung. Restu Thor itu sangat ampuh untuk menyembuhkan luka. Pacarmu—eh, sudahkah? Yah, segerakan jika belum—juga beruntung. Darahnya juga cukup lihai menangani luka-luka fisik. Tony sama beruntungnya. Darah Anubis sudah menangani luka berkali-kali. Masalahnya, Shafira yang membawa Restu Ra...."
Dia tidak perlu melanjutkan. Aku bisa merasakannya sendiri—Shafira masih merasakan sakit di sana-sini. Progres penyembuhan Shafira tidak sebaik progresku. Dan, jika dibandingkan dengan penjelasan Hermes barusan, sepertinya juga tidak lebih baik dari progres yang lainnya. Seperti kata berita pertama Hermes—kami butuh beristirahat.
"Kedua, jangan lupa kembalikan pisau Will. Pisau itu sangat berarti untuknya."
Aku mendadak bisa merasakan beban pisau itu di kantongku. Aku bahkan baru ingat benda itu ada di sana. Jadi aku mengangguk. Hermes mengangguk balik.
"Ketiga, ini," kata Hermes sambil menyerahkan satu benda lagi—sebotol kecil cairan, mirip dengan botol obat Idunn yang dulu Thor berikan kepadaku. "Sari ambrosia. Obat. Akselerasi penyembuhan, fisik maupun mental. Bisa juga dipakai mengawetkan jenazah jika benar-benar diperlukan, selama pemberian segera dilakukan setelah peristiwa penyebab kematian. Aku sarankan kau hemat ini. Leluhur kami memang punya banyak ambrosia, tapi khusus sarinya yang satu ini, pembuatannya cukup merepotkan."
Aku menerimanya. Ada sekilas rasa familier di sana. Bau di dalamnya jelas tidak seperti mead, tapi lebih jernih. Nyaris seperti air. "Kenapa aku?"
"Hmm?"
"Kenapa aku?" ulangku. Hermes menghela napas dalam.
"Itu," katanya ragu, "adalah pertanyaan bagus. Aku harap kalian bisa menghentikan Kur dan Fimbulwinter ini, Lucas Andrews. Perjalanan kalian seharusnya masih sangat panjang."
Dengan itu, Hermes melangkah lagi ke langit, disambut oleh gangguan gravitasi yang familier dan jembatan hyperspace berwarna ungu terang untuk satu orang Leluhur. Dalam sekejap mata, dia sudah menghilang.
Cepat, ringkas, tanpa basa-basi. Seperti Anubis. Mantan letnan Pasukan Mata Ra ... hmm, sepertinya aku sekarang bisa menebak profesi Anubis dulu.
Aku menatap tanganku yang penuh. Obat Hermes. Subtalaria.
Will....
Aku tidak berlama-lama di luar kabin. Tugasku masih banyak, dan aku tidak yakin berapa lama dari tiga setengah jam yang Hermes jaminkan padaku yang masih tersisa.
***
Saat aku kembali masuk, Tony sudah duduk dan tampak seperti sedang berkontemplasi dalam-dalam. Will sudah mulai mengerang bangun dari lantai, sementara Laura masih mengusap mata. Shafira masih tampak tidur tenang ... yang berarti aku tidak bisa langsung membawakan rencana baru Hermes pada mereka semua. Tiga setengah jam. Mungkin Hermes benar. Mereka masih bisa beristirahat dulu.
Aku langsung menghampiri Will. "Ada hadiah untukmu."
Will tidak mau menatapku langsung di mata, dan begitu berhasil duduk, memilih untuk tetap menatap tanah sambil bersila. Aku meletakkan Subtalaria di depannya. Dia tidak tampak tertarik.
"Dan ini," kataku sambil menarik pisaunya keluar dari kantongku dan meletakkannya di sebelah Subtalaria. "Aku punya alasan untuk merasa ini penting untukmu."
Will menarik napas tajam, mengusap hidungnya dengan punggung lengan jaketnya, dan perlahan mengambil pisau itu. "Terima kasih," gumamnya.
"Sama-sama," jawabku. "Dan, hei—terima kasih sudah merawat kami semua. Kami berutang padamu."
"Bukan masalah."
Aku teringat kata-kata Hermes—ceritanya panjang. Coba ikatkan telepatimu dengannya seperti kau mengikat Shafira. Kau akan paham. Dan, logikanya, dia juga.
Aku masih harus memperkenalkan Will ke seluruh dunia Leluhur ini dan meyakinkannya untuk membantu kami. Masih panjang. Urusanku dengannya masih panjang. Namun untuk sekarang, sepertinya itu masih bisa menunggu.
Will nyaris bunuh diri. Hermes mengoreksiku saat aku menyebutnya ayah Will. Anak ini punya kemampuan keperawatan dan prognosis—menduga progres suatu penyakit di masa mendatang—yang ternyata lumayan ... dan dia sendirian di kabin ini. Ada banyak potongan cerita yang belum lengkap. Mungkin nanti. Untuk sekarang, sepertinya itu masih bisa menunggu.
Saat ini, bayangan lain baru saja muncul di kepalaku—sekilas detik sebelum aku kehilangan kesadaran.
Sebelum Laura kehilangan kesadaran.
Aku menghampiri gadis terkait. Di samping masih tampak lemas, luka-lukanya sepertinya sudah tidak ada lagi. Hermes benar. Ia cepat sembuh. Ia melirik malas ke arahku, masih sambil berbaring. "Hei."
Suaranya pun masih bisikan kasar. Paling tidak ia tidak kenapa-kenapa. "Hei."
"Apa kabar?"
Aku tersenyum. "Sudah bisa mondar-mandir. Kamu sendiri?"
"Fantastis." Laura mengerang kecil sesaat. "Um, boleh tolong bantu aku bangun...?"
"Siap-siap," kataku sambil melingkarkan lengan ke bahunya. Laura langsung berpegangan ke punggungku sementara aku membantunya duduk. Lalu kami diam beberapa detik. Aku enggan menarik lagi lenganku, dan sepertinya Laura juga masih enggan melepasku. Tubuh Laura terasa hangat. Semoga artinya ia memang sudah sembuh.
"Aku ...," Laura ragu sesaat, menghela napas, lalu melanjutkan. "Anu. Bagaimana soal Kur?"
"Kita punya waktu," jawabku, masih belum melepasnya. "Mungkin masih sekitar tiga jam. Kalau kamu masih butuh istirahat, tidak apa-apa. Shafira juga belum bangun."
Laura tampak canggung sejenak. "Boleh duduk di sampingku?"
"Tentu." Aku mematuhi permintaannya, masih belum melepasnya—tapi sekarang aku tidak seperti menopangnya lagi. Lebih seperti merangkul. Laura bergeser semakin dekat lagi sedikit.
"Jujur," katanya, "aku bahkan tidak tahu mau bicara apa lagi."
Aku mengelus bahunya. "Kita tidak harus bicara."
"Kamu yakin?"
"Ya. Maksudku, aku juga pasti tahu jika kamu kenapa-kenapa. Dan kamu baik-baik saja." Aku terdiam sebentar sebelum melanjutkan. "Dan asal kamu tahu saja, jika dipikir-pikir lagi—dengan semua yang kita pertaruhkan—sebenarnya mengetahui bahwa kamu baik-baik saja itu berita yang sangat bagus bagiku."
Aku merangkul Laura lebih erat, dan akhirnya ia bersandar di bahuku. Jantungku berhenti berdetak selama dua detik penuh. Kami memang dekat, dan terhitung dekat secara fisik juga, tapi Laura baru pernah bersandar di bahuku sekali sebelumnya. Mungkin dua, jika saat ia menangis dulu bisa dihitung. Yang sekali lagi, ia bahkan cuma jatuh tertidur saat duduk di bus dan kebetulan aku ada di sebelahnya.
Laura membisikkan sesuatu. "Hmm?" tanyaku sambil mendekat. Laura menggeleng lembut.
"Tidak apa-apa," bisiknya. "Aku senang kamu di sini, Luke. Terima kasih untuk semuanya."
"Aku belum membantumu apa-apa."
"Omong kosong."
"Aku berkali-kali menakutimu setengah mati."
Laura diam sejenak. "Tapi aku juga. Anggap saja kita impas."
Kami jatuh terdiam lagi. Kali ini kami sepakat nirkata untuk merasakan saja keberadaan satu sama lain selama yang kami bisa. Sejauh yang kutahu, toh, bisa saja kami mati di saat berikutnya. Kami tidak akan bisa tahu.
Musim dingin ini juga datang begitu saja, 'kan?
Kami tidak tahu persis berapa lama kami terdiam seperti itu—Laura bersandar kepadaku dan aku merangkulnya. Nyaris memeluknya, sebenarnya, tapi kami tidak mempermasalahkan itu. Namun, pada suatu titik, akhirnya aku merasakan kesadaran lain membanjiri kepalaku: kesadaran selain milikku. Shafira mulai bangun.
"Oke," kataku sambil meremas lagi bahu Laura untuk memberitahunya bahwa aku mau berdiri. "Semuanya kumpul sebentar. Aku ada berita soal Kur." Shafira, bangun, tambahku dalam hati.
Sebentar, jawab Shafira. Lemas.
Sudah sadar?
Sudah.
Enakan?
Ya.
Dengarkan saja suaraku jika kaubisa. Jika tidak, dengarkan kepalaku.
Oke.
Dengan itu, aku berdiri. Laura mengikutiku, dan Tony segera menyusul. Aku memilih duduk di dekat tempat Shafira masih terbaring. Jaga-jaga saja agar suaraku tetap terdengar olehnya. Will masih tidak beranjak dari tempatnya. Mengingat tugasku, sepertinya itu bukan pertanda bagus.
"Will," panggilku. "Kemarilah sebentar."
Anak itu tidak menoleh kepadaku dan menimbang pisaunya sebentar. Akhirnya dia beranjak juga, walaupun masih tidak mau menatap mataku. Dia memilih duduk di antara Tony dan Laura, persis di seberangku.
"Ini akan terasa aneh," kataku, "tapi sangat penting kau melakukan ini."
Barulah dia mendongak. "Melakukan apa—?"
Aku membangunkan indra-Thorku dan langsung mengaitkan diri dengan benaknya.
Kilau putih.
Lagi-lagi aku melihat sekelibat gambar acak: seorang wanita dan pria berpegangan tangan, seorang bayi perempuan, sebuah pertarungan di ruang gelap, kabin ini, seorang gadis, wanita tadi menangis histris sambil berusaha meraihku—
Tidak, pikirku saat kelibat itu melemah. Rapikan.
Restu Thorku patuh.
Gambar-gambar itu langsung menyusun diri, dan tiba-tiba aku berhasil meletakkan diriku di sudut pandang Will: aku—Will—sedang menemani seorang wanita, ibuku—ibunya—di sebuah tempat ramai. Sukarelawan bencana alam, aku tahu begitu saja. Hutan di Kreta rawan kebakaran, dan sebagai seorang perawat, ibuku—Will—merasa perlu turun tangan membantu orang-orang yang tinggal di dekat hutan. Ternyata ia—ibuku—ibu Will—malah mendapati diri berkenalan dengan seorang pria. Seorang pemburu. Bukan, bukan pemburu bersenapan. Bowhunter. Pemanah.
Aku—Will—segera akrab dengannya, walaupun perbedaan kami sangat banyak. Aku dibesarkan oleh seorang perawat. Dia seorang pemburu. Entah bagaimana ceritanya ibuku dan pria itu bisa jatuh cinta. Entah bagaimana ceritanya kami bisa dekat. Namun aku tidak mempermasalahkan itu. Aku tahu bahwa dia orang baik.
Saat itu berdekatan dengan kehamilan ibuku darinya, dan akhirnya mereka memutuskan menikah. Ibuku tampak sangat cantik mengenakan gaun putihnya saat itu, dan aku ingat tersenyum riang saat John akhirnya mencium ibuku setelah mereka resmi dinyatakan suami-istri.
Ibuku melahirkan seorang anak perempuan—namanya Anna. Gadis yang sangat manis. Jemari-jemari mungilnya sangat suka menggenggam telunjukku, dan ia selalu tersenyum dan tertawa setiap melihatku. Ada sesuatu soal hubungan kakak-adik yang tidak bisa dipahami bahkan oleh orang tua mereka sendiri, dan aku dan Anna memiliki hubungan itu. Bahkan walaupun kami saudara beda-ayah. Yah, aku tidak tahu ayahku. Ibuku selalu menolak membicarakan tentangnya, dan beban dari berkali-kali jaga malam sudah cukup menekan ibuku. Mungkin karena itu aku suka pada John. Aku belum pernah melihat Ibu sebahagia bersamanya.
Dan aku belum pernah sebahagia saat Anna sudah lahir. Gadis bodoh itu berhasil membuat sintesis sempurna dari kebiasaan John dan Ibu yang pemburu dan perawat—memanah dengan stetoskop. John dan Ibu menganggap itu aneh dan imut. Menurutku itu sangat masuk akal.
Saat Anna berumur empat tahunlah semuanya jungkir-balik.
Ada sebuah perjanjian tanpa kata di Kreta yang menyatakan bahwa nyaris setiap rumah harus memiliki pistol. Ini adalah masalah keamanan—persaudaraan dalam-geng di Kreta sangat kuat, dan tidak jarang, pecah konflik fisik di antara kelompok-kelompok ini. Dan ternyata ada satu geng yang menyimpan dendam pribadi pada keluarga John.
Aku tidak tahu geng apa. Aku cuma ingat terbangun di tengah malam pada suara kaca pecah.
Mataku langsung terbuka. Aku mengintip dari lubang kunciku—aku bisa mendengar John mengatakan sesuatu kepada ibuku sebelum keluar dari kamarnya. Pisaunya sudah berada di tangan, dan dia mengendap-endap ke ruang tamu.
Ada pekikan.
John tidak mengeluarkan suara apa pun saat menyambut penyerang itu. Dengan satu gerakan lihai, dia menghindari pisau jagal orang itu sambil menyambut serangan dari satu orang lagi yang tidak bisa kulihat karena terhalang dinding. Satu lagi gerakan luwes menghindari serangan, dan pisau John mendarat di punggung si pembawa pisau jagal. Baru saja orang itu melenguh kesakitan, John sudah menarik lagi pisaunya untuk menghadapi penyerang yang masih tersisa.
Di film-film, seseorang yang baru saja ditusuk pisau akan langsung jatuh mati.
Nyatanya, mereka masih sangat mampu bergerak—apalagi jika mereka belum ditusuk di organ fatal dan sedang banjir adrenalin.
Tusukan yang cuma menyentuh satu paru-paru tidak akan cukup untuk langsung membunuh seseorang begitu saja.
Dan dia menoleh ke arah kamarku.
Aku berani bertaruh nyawa—dia melihat mataku di lubang pintu.
Saat itu juga, pikiranku cuma dipenuhi oleh satu hal: Anna.
Gadis itu tidur sekamar denganku.
Aku tidak boleh membiarkan apa pun terjadi padanya.
Jadi aku mengambil busur mainan yang dibelikan John untuk Anna—percaya atau tidak, gadis itu jauh lebih berbakat daripadaku soal memanah—sekantong anak panah, dan mulai kelabakan berusaha memasang nock—pangkal—sebatang anak panah ke tali busurku.
Begitu anak panahku siap, aku menarik napas. Anna. Aku harus melindunginya.
Jadi aku membuka pintu dan bergerak keluar dari kamarku.
Baru beberapa langkah ke arah ruang tamu, aku terhenti oleh sebuah siluet yang menjulang tinggi di atasku.
Si pembawa pisau jagal sudah berdiri di situ, pisau besarnya terangkat.
Aku membeku saat itu juga—bahkan tidak sempat terpikir soal melepaskan tembakan.
Lalu segalanya menjadi kabur. Namun aku tahu satu hal—John kalap. Dia melihatku dalam bahaya. Dia hanya menyerukan namaku sekali sebelum akhirnya melepaskan segala yang dia tahu soal bertempur. Dia melindungiku.
Dia membunuh si pembawa pisau jagal.
Sialnya, teman si pembawa pisau jagal berhasil kabur. John tahu kemungkinannya: jika orang itu melapor ke polisi, mungkin orang itu bisa terkena hukuman pidana karena penerobosan.
John akan terkena hukuman pidana karena pembunuhan.
John tidak sedang diserang oleh orang itu.
John menyerang orang itu.
Dia tidak akan bisa berlindung di balik perisai pertahanan diri di tuntutan nanti.
Jadi John akhirnya membuat pilihan yang paling aman. Dia bisa memilih untuk kabur, meninggalkan keluargaku, dan menjadi buronan seorang diri. Namun kami tidak akan aman. Polisi akan mewawancarai kami, dan bisa jadi, geng yang tadi menyerang John akan melakukan serangan balasan ke keluarga John—lebih parah lagi, ke kami. Dan tanpa John, kami tidak akan bisa melindungi diri.
Jadi alternatifnya tinggal satu: kami semua ikut pergi bersama John. Kami bersembunyi bersama. Paling tidak, jika terjadi apa-apa, kami tetap bisa saling melindungi.
John sudah lama membangun kabin di hutan di sekitar Madares, atau Lefka Ori, salah satu gunung tertinggi di Kreta. Bahkan keluarganya pun tidak tahu soal kabin ini. Ini adalah tempat John menyendiri saat sedang musim berburu.
Dan kini, ini adalah tempat tinggal kami.
Saat itu adalah momen-momen tersulit hidup kami. Kami tidak meninggalkan apa pun yang bisa merujuk ke sini—bahkan jejak kaki sekalipun. Kami berangkat membawa seadanya: hanya peralatan yang kira-kira diperlukan untuk bertahan hidup. Keluarga kami nyaris hancur. Tidak ada hubungan ke dunia luar. Malah, kami secara aktif menghindari berhubungan dengan dunia luar.
Kami menghilang. Begitu saja, kami meninggalkan dunia kota kami. Sekolah, pekerjaan—semuanya kami tinggalkan di belakang.
Namun, perlahan, kami menyesuaikan diri. Kami tidak lagi membutuhkan uang. Toh, kami tidak akan berbelanja. Kami mengurus sendiri diri kami. John mencarikan binatang buruan. Ibu dan aku memasak. Kami semua mengajari Anna segala yang kami tahu. Dari sini jugalah aku belajar tentang keperawatan dari Ibu. Perlahan, akhirnya hidup kami mulai berbentuk lagi. Memang sulit. Namun kami bisa melewati ini.
Dan saat itulah musim dingin menyerang.
Binatang buruan semakin langka. Kami semakin merasa terisolasi dari segalanya. Satu momen sial adalah ketika ada seorang penjarah yang tidak sengaja menemukan kabin kami. John langsung menghabisinya.
Ternyata itu memicu trauma ibuku.
Dan ibuku akhirnya berusaha menyingkirkan penyebab dari semua ini—aku.
Karena aku keluar kamarlah John harus membunuh si pembawa pisau jagal.
Karena aku keluar kamarlah kami semua sekarang terkunci di sini.
Karena akulah John menjadi buronan.
Karena akulah kami harus pergi.
Karena aku....
Aku tidak bisa menggambarkan betapa ngerinya saat ibuku tiba-tiba berusaha menerjangku, mencekikku sampai mati, sambil menangis dan menjerit-jerit histris. John berusaha menahan ibuku sebisanya. Anna menjerit ketakutan di belakangku.
Hal berikutnya yang aku tahu, orang tuaku tidak terlihat lagi. Entah mereka ke mana....
Dan Anna juga.
Akulah satu-satunya yang tersisa di kabin ini.
Aku tidak bisa menggambarkan betapa ngerinya saat ibuku tiba-tiba berusaha menerjangku, mencekikku sampai mati, sambil menangis dan menjerit-jerit histris. Namun ngeri itu tidak ada apa-apanya saat dibandingkan dengan satu hal: fakta bahwa ibuku benar.
Fakta bahwa semua ini terjadi karena salahku.
Semua ini salahku....
Kilau putih.
Aku menjerit hingga paru-paruku terasa kering. Barulah kilau putih itu memudar, dan mataku kembali beradaptasi.
Kami masih di kabin.
Jantungku mencelus.
Aku menatap tanganku. Kanan-kiri. Laura. Shafira. Tony.
Will.
Aku Luke Andrews lagi.
Aku menatap ke arah Will. Dia tampak seperti sedang berusaha menahan tangis. Aku tahu dia yang melihat memoriku sementara aku melihat memorinya. Masalahnya, tidak seperti saat dengan Shafira—di mana memori yang muncul tampak acak-acakan—aku telah berhasil menyusun memori-memori yang kami lihat dengan rapi kali ini.
Dan Anna....
Claire....
Aku menatap Will, dan dia menatapku balik. Selama sesaat, aku bisa mengabaikan tatapan cemas Laura dan Tony.
Will menatapku balik. Dan aku tahu persis apa yang dia pikirkan.
Anna.
Claire.
Kami sama-sama rela mempertaruhkan nyawa demi adik kami, pernah nyaris dibunuh ibu kami sendiri, dan musim dingin ini juga merenggut segala hal yang tersisa dari keluarga kami.
Aku tahu perasaannya.
"Aku tahu perasaanmu," kata kami bersamaan.
***
Catatan Penulis: Baik! Bagaimana menurutmu sejauh ini? :P Aku sengaja mengakhiri bab ini dengan cliffhanger (atau semacamnya, mungkin), karena jika aku boleh jujur, sebenarnya bab ini lebih serangkai dengan Bab 23 daripada Bab 21. Namun Bab 23 adalah ... apa ya? Bab yang sangat penting. Aku tidak akan mau melepas Bab 23 dan membiarkan kalian tergantung lama, jadi aku lebih baik menjaga Bab 23 dulu hingga aku yakin bahwa aku bisa mem-post lanjutannya dengan segera.
Hint: Bab 23 akan berakhir dengan sesuatu yang tidak akan kalian duga.
Mengesampingkan itu, aku mau curhat kecil lucu. Aku baru sadar bahwa ideku untuk buku 4 seri RC lebih banyak daripada untuk buku 3 ... yang mungkin nanti bisa berarti perubahan urutan. Hmm. Aku sebenarnya tidak masalah, tapi perubahan urutan berarti aku juga harus mengubah informasi apa saja yang bisa kutampilkan di kedua buku itu agar tetap konsisten dengan pembacanya. Itu agak melelahkan ... kupikirkan saja itu nanti.
Apabila ada feedback untukku secara umum dan kepenulisan RCMJ secara khusus, jangan sungkan-sungkan berkomentar. Aku suka dibom komentar. Terutama, jangan sungkan-sungkan vote. Ehehehe. Astaga. Aku tidak tahu diri.
Terima kasih untuk kalian semua. Aku akan segera hadir lagi dengan Bab 23. Sampai ketemu!
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro