Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

2

[TIGA BULAN HINGGA ISOLASI.]


AKU MASIH TIDAK paham apa yang ada di pikiran Claire ketika ia memutuskan ikut judo tiga tahun yang lalu. Gadis sebelas tahun macam apa yang memutuskan secara pribadi untuk memilih ekskur bela diri dan bukan karena disuruh oleh keluarga atau diajak oleh teman-teman centilnya melirik cowok-cowok di ekskur itu?

"Begini," kata Claire saat makan malam keluarga persis setelah ia mengumumkan bergabung dengan klub judo sekolahnya. "Umurku sebelas tahun sejak tiga bulan lalu. Betul?"

Aku, Ibu, dan Ayah menjawab dengan 'betul' kecil yang tidak serempak sambil tetap mengunyah. Claire melanjutkan.

"Berarti seharusnya aku mengalami pubertas dalam waktu dekat. Betul?"

Ayahku nyaris tersedak karena kaget, sementara ibuku nyaris tersedak karena geli. Aku tersedak sungguhan dan bahkan tidak tahu kenapa. "Betul," jawab ayahku cepat sambil berdehem. Dia lalu mengambil seteguk minum sebelum melanjutkan. "Lalu?"

"Lalu, itu artinya, cowok-cowok akan mulai berani melirikku dalam waktu dekat," kata Claire ringan. Ayahku jelas mulai tampak agak tidak nyaman, sementara ibuku tetap berekspresi netral. Aku tetap cuek. "Sehingga menurutku ikut klub bela diri itu tindakan yang masuk akal."

Ibuku mengangguk setuju. Aku tetap melahap makaroni di hadapanku dengan tenang. Namun lalu Claire menunjuk ujung garpunya ke arahku.

"Lagi pula," katanya ketus, "aku perlu jaminan agar kau tidak bisa seenaknya maju dan macam-macam denganku."

Pandangan kedua orang tuaku langsung tertuju ke arahku seakan mereka sedang menonton pertandingan tenis. Aku cuma mengangkat alis.

"Aku tetap bisa macam-macam denganmu dengan berbagai cara lain, Adik Kecil."

"Coba saja," tantang Claire. Ayahku mengetukkan sendoknya ke gelasnya sebelum aku membuka mulut untuk membalas tantangan Claire.

"Luke, Claire, jika kalian mau saling banting, itu terserah kalian," tegasnya. "Tetapi itu tidak akan terjadi di meja makan ini. Tidak selama piring-piring ini belum dicuci. Paham?"

Aku dan Claire masih berbagi tatapan sengit, tetapi kami lebih tahu dari membuat marah Ayah. Jadi aku kembali melahap sesendok makaroni sementara Claire meneguk jus apelnya.

Tatapan sengit yang sama sedang dilemparkan Claire padaku waktu aku masuk ke kamarnya sambil membawa obat-obatan untuknya. Sakitnya ternyata tidak banyak mereda selama sebulan ini, dan ibuku memutuskan mungkin adikku itu butuh sedikit pertolongan medis.

"Aku tidak butuh itu," katanya.

Aku mengernyit. "Ini dari Ibu."

"Aku tidak—srup—apa-apa."

"Bilang sendiri pada Ibu."

"Aku tidak bisa bergerak."

"Karena itulah kaubutuh obat ini," kataku sambil duduk di sisi ranjangnya. "Lagi pula, aku tidak mau tertular."

"Kata siapa aku akan menularimu?" jawab Claire. "Aku tidak—hatchuh!"

"Kata para ahli biologi beberapa dekade terakhir ini," kataku sambil menuang sesendok makan obat sirup. "Buka mulutmu."

"Tida—"

Aku memanfaatkan mulut Claire yang terbuka saat sedang menjawabku itu dan menyodokkan sesendok obat itu langsung ke dalam mulutnya. Ia tidak punya pilihan selain menelan obatnya.

"Luke—glek—apa-apaan?" protesnya.

"Kaumau cepat sembuh atau tidak?" jawabku. Kami beradu pedang secara mental lagi begitu bertemu mata, dan akhirnya ia mundur. Bibirnya terkuncup merengut.

"Tapi buatkan aku cokelat hangat lagi."

"Nanti malam. Obatmu tidak bisa bereaksi dengan asam."

Ia mengernyit. "Cokelat bukan asam."

"Cokelat itu asam."

"Rasanya tidak asam."

"Aku bicara kimia."

"Kutu Buku."

"Berandal Kecil."

Aku meletakkan obat-obatan Claire di meja belajarnya dan keluar dari kamarnya, mempersiapkan papan caturku. James dan Laura bilang mereka mau mampir hari ini. Terutamanya memang karena kami belum bertemu lagi sejak James kembali dari Skandinavia, tetapi di samping itu, Laura berteman dekat dengan Claire. Siapa tahu adikku bisa lebih lekas sembuh jika ia datang mampir.

Itu, dan aku kangen mereka berdua. Terutama Laura. Ada sejarah panjang soal itu. Semoga saja salju di luar tidak menghalangi mereka.

Omong-omong, hujan salju yang turun menjadi semakin sering. Ada kalanya langit gelap nyaris separuh hari penuh, dan akhirnya mereka mulai bertanya soal itu di TV. Puncak musim dingin seakan datang lebih cepat. Namun di samping itu, tidak ada berita lain soal ini. Ahli klimatologi yang diundang juga merasakan ada keganjilan pada pergerakan awan secara global, tetapi dari arah dorongan anginnya, ia menyimpulkan bahwa kemungkinan ini adalah akibat dari perubahan iklim—tahulah, pemanasan global yang terus meningkat dan berbagai kawannya. Bukannya aku tidak peduli, tetapi bahkan dengan semua publisitas yang sudah dilakukan soal bahaya pemanasan global, orang-orang masih bisa tidak peduli. Lama-lama aku lelah sendiri.

Aku baru saja selesai menyusun papan catur di meja tamu saat ada ketukan di depan pintu, dan karena dia sudah kenal baik denganku dan keluargaku, aku bahkan tidak perlu mengizinkan James masuk. Dia datang dengan syal biru-hitam, topi kupluk berwarna sama, dan jaket abu-abu gelap yang masih dilapisi salju tipis. Kacamatanya tampak agak berembun begitu dia masuk ke dalam.

"Brr," gigilnya sambil memeluk diri. "Sepertinya aku salah memilih waktu berangkat. Salju sedang turun."

"Apa separah itu?" tanyaku polos. James mengangguk cepat.

"Ada minuman hangat?"

"Mungkin sudah agak dingin," kataku sambil beranjak ke dapur. James melepas jaketnya. "Sebentar."

Tidak seperti Claire ataupun aku, James lebih suka teh hangat daripada cokelat. Laura, di lain pihak, lebih suka kopi. Aku sudah sempat memanaskan teh untuk James tadi, tetapi mungkin udara musim dingin punya rencana lain.

Untungnya, saat aku akhirnya menuangkan teh James ke cangkirnya dan menambahkan dua balok gula—dia sangat spesifik soal ini—aku masih bisa melihat uap mengepul lembut. Dan saat aku kembali ke ruang tamu, Laura ternyata sudah tiba dan sedang bermain catur dengan James. Rambut hitamnya sedang diurai, jadi aku bisa melihat bentuk gelombang-gelombang lembutnya memeluk punggungnya hingga melewati belikat. Ia langsung nyengir padaku begitu melihatku masuk.

"Baunya seperti teh," kata Laura sementara aku menyajikan minuman di tanganku pada James. "Jadi aku akan beranggapan kau juga menyiapkan minuman hangat untukku."

"Anggapanmu tidak salah," kataku. "Kalian butuh selimut?"

"Belum," jawab James. "Sial, Laura, aku kira kau tidak akan mencoba king's gambit lagi."

Aku beranjak lagi ke dapur untuk mengambilkan kopi Laura sementara ia terkekeh di belakangku. "Aku kira kau sudah hafal gerakan itu," jawabnya geli.

Ada banyak hal yang bisa dimainkan oleh tiga orang anak berusia enam belas tahun, tetapi di atas segalanya, Laura sangat suka bermain catur—entah itu denganku, James, atau bahkan beberapa pecatur hebat dari sekolah. Aku hanya tahu satu anak di sekolah yang bisa mengalahkannya, itu pun setelah Laura menghabisi kedua kuda, kedua benteng, satu menteri, dan bahkan ratunya dengan luwes dan nyaris tanpa kehilangan yang berarti (belakangan aku baru tahu bahwa ternyata pernah ada pertandingan seperti ini di dunia catur, terkenal dengan nama The Immortal Game). Namun hal lucu sering terjadi setiap Laura bermain melawan James.

Begini—tidak seperti Laura yang seorang analis, James adalah seorang ensiklopedia berjalan. Membaca sesuatu dan langsung menyerap semua informasi di dalamnya sudah sangat alami baginya, dan dia sangat suka diajak menggunakan pengetahuan yang diserapnya itu dalam suatu diskusi ataupun praktik. Aku bahkan pernah bilang bahwa dia menelan server Wikipedia utuh-utuh, dan aku sedang tidak bercanda saat itu.

Namun, saat bicara tentang catur, hukum alam tidak berlaku bagi kedua manusia ini.

Bisa dibilang, James tahu segalanya tentang catur. Sementara Laura belajar secara otodidak. James akan bisa mengenali gerakan-gerakan yang dibuat oleh Laura dan memilih gerakan yang tepat untuk menangkalnya ... dan James akan tetap kalah. Aku tidak tahu apakah dia akan tetap selalu kalah begini, tetapi sejauh yang aku tahu, James belum pernah mengalahkan Laura. Terkadang dia sampai jadi frustrasi sendiri.

Aku? Aku bukan orang yang kompetitif, sehingga biasanya permainanku melawan Laura tidak berlangsung terlalu serius. Apabila permainan kami berlangsung lama, itu pasti karena kami terlalu sibuk mengobrol untuk mencurahkan perhatian penuh pada permainannya. Biasanya permainan kami jauh lebih ringan daripada pembicaraan kami, dan lebih sering daripada tidak, aku cuma bermain catur dengan Laura agar bisa menghabiskan waktu dengannya. Hei, ia boleh saja sahabatku, tetapi ia tetap cewek. Dan seperti yang kubilang, ada sejarah panjang soal itu.

Saat kedua cangkir minuman sahabat-sahabatku itu tinggal berisi setengah, mereka sudah bermain beberapa ronde serius—yang di sini berarti James cukup makan waktu memeras otak di setiap gilirannya—yang semuanya dimenangkan Laura.

"Jadi, bagaimana Skandinavia?" tanya Laura sambil menata lagi papan catur di hadapannya. James memberi isyarat padaku untuk mengambil alih, dan aku setuju saja.

"Tidak banyak yang terlalu menarik," kata James. Laura memegang bidak putih, jadi ia mengambil langkah duluan dan memajukan salah satu pionnya. Aku membalas dengan pionku sendiri. "Entah apa yang ayahku kira akan bisa aku lakukan di sana sementara dia bekerja. Tapi paling tidak aku jadi dapat banyak bahan bacaan."

Laura menggerakkan salah satu bidak kudanya. "Dan sudah kaulahap semua?"

"Sudah." Tidak mengherankan. "Dan aku jadi tahu bahwa musim dingin kali ini pasti sangat ditakuti oleh bangsa Viking."

Aku sudah mengangkat pionku yang lain, tetapi lalu berhenti begitu James menyebutkan musim dingin. "Kenapa?"

"Kiamat mereka dimulai dengan musim dingin berkepanjangan," jawabnya sambil mengangkat bahu. "Musim dingin sepanjang tiga kali lipat normalnya, diakhiri dengan punahnya umat manusia kecuali dua orang—satu pria dan satu wanita—dan disusul dengan perang yang pecah antara para dewa dan ras lainnya yang akan menghancurkan dunia yang ada."

Aku akhirnya melanjutkan giliranku, dan Laura langsung merespon dengan melahap pionku dengan bidak menteri. "Dan kenapa bangsa Viking akan takut pada musim dingin kali ini?" tanyaku sambil menggerakkan salah satu kudaku.

"Aku dengar belakangan ini salju sangat sering turun," katanya ringan sementara Laura menjawab gerakan kudaku. "Padahal harusnya puncak musim dingin masih tiga minggu lagi. Para Viking mungkin akan mengira ada yang salah."

Aku mengangkat alis. Aku juga sempat mengira ada yang salah, jadi aku paham saja maksud James. "Mungkin saja. Tetapi tidak separah itu, kok. Cuma sedikit lebih lama dan tidak terduga. Paling cuma seperti hujan salju yang tadi kaulewati di jalan ke sini."

James cemberut.

***

Claire menjerit waktu melihat Laura di depan TV.

"Lauraaaaa!" bahkan dengan suara sumbang dan pileknya yang legendaris, dengan cueknya ia merangsek ke depan ke dalam pelukan Laura. Kedua gadis itu tertawa sendiri sebentar, sementara aku membereskan papan caturku (setelah kalah melawan Laura dua ronde berturut-turut) dan James menghabiskan tehnya. Pada jam-jam pagi menuju siang di tengah musim dingin begini, kedua orang tuaku masih bekerja, jadi selama libur akademis, beres-beres rumah sudah menjadi rutinitas kecil yang aku dan Claire kembangkan sendiri. Natal dan tahun baru memang sudah dekat, tetapi beberapa perusahaan belum meliburkan karyawannya. Termasuk tempat kerja orang tuaku. Terutama ayahku, karena dia bekerja di salah satu instalasi pembangkit listrik yang jaraknya cukup jauh. Tidak jarang bahkan dalam situasi lalu-lintas paling ringan, ayahku bisa harus menyetir berjam-jam untuk tiba di tempat kerjanya.

Tidak banyak yang menarik di TV, jadi aku terus melewati channel yang ada. James mulai melahap camilan, sementara Laura dan Claire mengobrol sendiri. Untung saja sofa kami cukup untuk berempat. James sempat memintaku berhenti mengganti saluran ketika kami tiba di salah satu saluran sains yang sedang menayangkan sesuatu tentang otak, dan karena tidak ada hal lain yang sepertinya lebih menarik sejauh ini, aku setuju saja.

"... memproses pendengaran, seperti lobus temporalis, sementara bagian otak lainnya juga...."

"Lalu apa kata Steve?"

"Oh aku juga tidak yakin, dia cuma...."

"... pengelihatan diproses oleh lobus oksipitalis di paruh belakang otak, tetapi lobus temporalis juga mempunyai peran."

"Tetapi kenapa dia melakukan itu?"

"Aku rasa dia cuma...."

"... korteks—bagian terluar otak—inilah yang membuat kita manusia. Semakin dalam kita memasuki otak, semakin primitif pula...."

"... oleh Ayah."

"Wow, itu mengerikan."

"... misalnya, hippocampus yang mempunyai peran dalam menyimpan ingatan dan amygdala yang mempunyai peran—"

"... dalam mengatur emosi seperti cinta dan takut," sambung James. "Sepertinya aku pernah melihat ini."

Aku mengangkat bahu dan mengganti lagi salurannya. Kartun. Maraton episode lama sebuah film seri tentang konflik antarkeluarga kerajaan yang bobrok di sebuah dunia fantasi. Film seri prosedural polisi. Film roman edisi spesial Natal. Berita. Kartun lagi....

Lalu ponselku bergetar. Nyaris tanpa berpikir, aku menyentuh tombol notifikasi yang baru saja muncul.

GoScience: Scientists Find Anomalous Clouds in the Himalayas.

Clouds—awan. Mendadak aku kembali terpikir akan salju yang mulai jarang berhenti turun. Para ilmuwan menemukan awan aneh di Pegunungan Himalaya? Sejak kapan awan bisa aneh? Aku memijit tombol read more.

Aku disambut oleh pemandangan tembakan gambar satelit berisi pusaran awan yang sepertinya sangat besar jika melihat skala perbandingannya. Lalu, di bawahnya, ada foto amatir yang menunjukkan sebuah gunung es diselimuti awan yang sangat tebal.

"Apa itu?" tanya James sambil ikut melirik ke ponselku.

"Entahlah," kataku. "Mereka bilang ada awan aneh di Himalaya. Lihat."

Aku memperbesar gambar yang disediakan berita itu—bentuk pusaran awan yang melingkupi gunung itu tampak sangat jelas. James mengernyit. "Wow," katanya. "Itu bahkan tidak bisa dibilang awan."

James benar. Di samping fakta bahwa gambar satelit itu jelas menunjukkan bahwa itu adalah sebuah pusaran awan yang bentuknya seperti siklon, pusaran itu sulit dibilang awan dari dekat. Paling tidak tampaknya seperti itu dari foto amatir yang ada. Pusaran itu lebih tampak seperti badai salju raksasa. Dan yang lebih aneh lagi adalah siklon itu sendiri—sejak kapan ada siklon di puncak Himalaya?

"Apa kata para ilmuwan soal ini?" tanya James. Aku menggeser laman itu turun.

"Mereka juga bingung," rangkumku. "Mereka sedang mengirim tim penelitian ke lokasi aman di dekat situ untuk mencoba menggali fenomena ini."

"Ada apa?" tanya Laura tertarik dari sebelahku. Claire ikut menoleh ke arahku. Aku menunjukkan ponselku kepada mereka.

"Anomali Himalaya," kataku. "Ada awan siklon muncul di puncaknya."

"Siklon?" kata Laura. "Serius?"

Aku tidak berkata-kata dan memberikan ponselku padanya agar ia bisa membaca beritanya sendiri. Laura dan Claire langsung mengerubutinya. Laura, aku tahu memang tertarik dengan hal-hal seperti ini. Claire, sementara itu, pasti cuma mencari alasan mengobrol dengan Laura.

"Lihat ini," kata Laura sambil membuka salah satu tautan yang dicantumkan oleh laman artikel itu. "Mereka menduga pusaran ini yang memengaruhi cuaca di sini."

"Bagaimana caranya?" tanyaku sambil mendekat sedikit ke arah Laura. Gadis itu sepertinya cuek.

"Entahlah ... sesuatu soal memengaruhi arah angin global," katanya. "Dan mereka juga mendapati gaya dorong yang sangat kuat dari tengah pusaran itu, tetapi mereka sedang berusaha mencari penyebabnya. Gaya dorong ini yang memengaruhi arah angin dunia."

Belum lagi, pusarannya terletak di Himalaya. Apa pusaran itu mengirimkan salju ke sana kemari? Ah, rasanya mustahil. Tetapi fakta selalu lebih aneh daripada fiksi. Aku perlu banyak belajar. Laura menggeser laman itu dan membaca lagi.

"Dan ini juga ... mereka juga menduga aktivitas ini dimulai sebulan lalu."

Sebulan lalu? "Di?"

"Gunung Everest."

"Berarti siklonnya tidak bergerak?" tanyaku bingung. "Tetapi mana ada siklon yang begitu?"

"Sederhana," kata James. Tiga pasang mata langsung menatap ke arahnya, dan dia mengangkat alis. "Apa? Kesimpulannya mudah. Berarti pusaran itu bukan siklon."

Laura melewatiku dan meninju lengan atas James. "Aku kira kaupunya jawaban," gerutunya. James mengangkat tangan dengan pose menyerah.

"Hamba bukan siapa-siapa, Nona," katanya. "Tapi serius. Pertanyaannya jadi menarik, karena sekarang kita bisa menduga bahwa pusaran itu bukan siklon. Tetapi kaulihat sendiri ukuran dan bentuknya ... berarti itu apa?"

Kami jatuh terdiam. James benar. Praduga termudahnya, awan di Everest itu yang menyebabkan cuaca aneh ini. Namun dari mana asalnya? Kenapa itu bisa terjadi?

Dan, yang lebih parah lagi ... kita tahu bahwa awan itu yang menyebabkan salju turun terus. Lalu bagaimana jika awan itu tak kunjung pergi?

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro