17
Catatan Penulis: Mulmed ilustrasi lama juga. Hayo siapa hayo? :P (to be fair, karakternya memang belum muncul. Cuma yang baca Myth Jumpers [Archived] mungkin tahu wkwk)
Aku baru dapat 3 karya untuk #DoomwatcherGallery, nih. Masih ada kesempatan untuk 2 lagi! Kutunggu email-mu, hohoho.
Oh, iya. Cuma sekadar peringatan. Aku sudah memberi peringatan keras di Kata Pengantar tentang keterbukaan pikiran, dan walaupun aku sempat menyenggol soal isu yang sebenarnya bisa menyinggung beberapa (baca: banyak) orang di Bab 16 kemarin (soal telepati, jika ada yang sadar), bab ini akan terasa lebih frontal daripada bab itu. Jadi jika ada usaha justifikasi seperti apa pun, aku tidak akan respon. Sekali lagi, akan kukembalikan semua ke janji kalian di Kata Pengantar.
Keterbukaan pikiran yang kumaksud: kemampuan kalian menerima fakta bahwa ada orang-orang selain kalian yang akan berpikir tidak seperti kalian, membuat keputusan tidak seperti kalian, dan akan tidak setuju dengan kalian.
Cuma mungkin ini bisa agak membantu: ingat bahwa semua karakter di sini adalah individu, dengan hidup mereka masing-masing, pengalaman mereka masing-masing, dan pilihan mereka masing-masing. Mereka bukan aku, aku bukan mereka, dan pastinya, mereka bukan kalian.
Omong-omong, inside joke untuk kalian yang juga membaca Gravedancer ... tidak kok, Luke tidak akan pingsan empat kali semalam ditambah satu kali tidur sampai siang. Ampuni Alden dong, sihirnya 'kan baru pertama kali muncul. :(
Oke, tidak berlama-lama, ini dia Bab 17. Selamat menikmati!
***
[SEMINGGU SETELAH ISOLASI.]
AKU BISA MENDENGAR suara keretak kayu bakar, tapi itu tidak masuk akal.
Suara kayu bakar.
Kayu bakar.
Bakar.
Bakar....
BLAMM—
Mataku langsung tebuka.
Gelap. Tidak gelap total seperti saat Beth menangkapku di udara, tapi pencahayaan di sini jelas benar-benar minim.
Pandanganku masih agak kabur, tapi fokusku segera menemukan diri. Baguslah, berarti keadaanku tidak separah itu. Sedikit pusing, jelas, tapi bukan apa-apa yang fatal. Bahkan masih lebih cepat daripada adaptasi yang kubutuhkan saat di koloni Naga Merah.
Aku mencoba menggerakkan tanganku untuk menekan pelipisku, dan ternyata berhasil. Sendinya masih terasa agak kaku dan otot-otot lenganku membisikkan protes agar tidak terlalu memaksakan diri, tapi selain itu, tidak ada hambatan berarti.
Yang mungkin berarti bahuku tidak retak atau semacamnya. Paling tidak bahu yang kanan. Baguslah. Entah bagaimana nasib bahu kiri, tapi paling tidak bahu kananku tidak kenapa-kenapa.
Aku mengerang lemah. Mataku akhirnya mulai bisa menyerap apa yang sedang dilihatnya, dan ... itu tampak seperti langit-langit.
Aku mengernyit.
Yang di atas sana adalah langit-langit. Aku berusaha menoleh ke kiri—leherku masih terasa sangat kaku, dan ternyata perlu sangat banyak usaha agar kepalaku bisa menengok, tapi aku segera mengenalinya: sandaran sofa.
Aku menoleh ke arah lain.
Cahaya.
Perapian.
Cahaya....
Jantungku mencelus. Ray.
Beth.
Laura.
Aku berusaha bangun, tapi ternyata punggungku belum mau. Alih-alih bangun, aku malah mengerang keras kesakitan sambil membanting diri lagi ke sofa tempatku berbaring. Sial. Aku tidak bisa begini terus.
Laura....
Pandanganku akhirnya benar-benar jernih, dan aku baru sadar bahwa yang sedang kulihat bukan perapian—itu adalah api unggun.
Ada setumpuk kayu di tanah yang sedang berpendar lembut dengan api.
Aku bisa merasakan kehangatan menjalar dari sana, walaupun tidak banyak. Hanya cukup untuk menggelitik kulitku. Aku mengerang lagi sambil berusaha menggerakkan badan saat aku sadar bahwa bayangan di dinding tengah bergerak.
Tunggu—
Bayangan di dinding semakin membesar—dan aku sudah cukup bangun untuk tahu bahwa itu artinya dia semakin mendekat ke arah api unggun di dekatku.
"A ... apa kau...."
Suara itu agak mengejutkanku—itu suara seorang gadis, dan bahasa Inggrisnya sangat kental dengan aksen. Aku berusaha menggerakkan leherku lagi untuk menoleh ke arahnya, tapi tidak banyak yang bisa kulakukan. Bayangan di dinding membesar lagi.
"... k-kau ... baik?"
Aku memicingkan mata sedikit, dan akhirnya figur itu masuk ke pandanganku.
Pencahayaan yang agak remang membuatku agak sulit untuk benar-benar bisa melihatnya sepenuhnya, tapi aku bisa melihat seorang gadis berkerudung mengenakan jaket bertudung dan rok yang sepertinya dari baju terusan. Ia tampak sedikit lebih tua dariku, mungkin umurnya sekitar delapan belas-sembilan belas tahun. Tatapannya padaku benar-benar datar, tanpa ekspresi.
"Yeah," jawabku serak. "Ahem. Yeah, aku tidak apa-apa."
Aku berusaha bangun lagi, dan kali ini punggungku patuh. Gadis itu tidak bergerak sama sekali dan tetap memerhatikan tindakanku baik-baik, seakan menantiku untuk mendadak menerkamnya atau semacamnya.
"M-makan?" katanya ragu. Aku menggeleng.
"Tidak usah, 'makasih." Gadis itu masih memberiku tatapan aneh, tapi kepalaku masih berfokus pada hal lain. "Di mana temanku?"
Ia mengernyit. "Di-di sana," katanya sambil menunjuk ke belakang sofa tempatku duduk. Aku berusaha menoleh, tapi leherku memaksa seluruh tubuhku untuk ikut bergerak. Ia tidak bohong—Laura terbaring di sana, terbalut beberapa lapis kain.
Aku terbatuk kecil sebelum bisa melacak asalnya. "Asap apimu."
"M-maaf," katanya sambil mengayunkan tangan.
Apinya padam sendiri.
"Whoa!" Aku langsung melompat mundur dan berdiri. Gadis itu masih menatapku dengan aneh. "Apa—apa—?"
"Kau ... punya ... n-naga," katanya ragu, masih dengan aksen kental. "Jadi ... sihir ... kau ... biasa?"
Aku masih menatapnya dengan waswas—kalimatnya memang tidak membentuk kalimat koheren, tapi itu—dan perilakunya secara umum—nyaris lebih dari cukup untuk mengaitkan gerakan tangannya dengan matinya api tadi.
Ia yang melakukan itu.
Entah bagaimana caranya....
Dan saat itu juga, semua berubah.
Aku nyaris lupa di mana letaknya arah bawah, dan saat aku kembali berhasil meletakkan kakiku di tanah, mendadak aku sadar bahwa aku tidak sedang di ruangan gelap tadi.
Tunggu. Tidak. Aku masih di sini, tapi....
Whoa.
Yang kupandang bukan si gadis.
Tunggu. Bukan juga. Aku masih memandang si gadis, tapi....
Saat itulah aku baru sadar bahwa aku tidak sedang memandang.
Aku sedang merasakan.
Bukan, bukan sentuhan. Bukan pendengaran. Bukan penciuman, pendengaran, apalagi pengecap. Bukan indra internal yang memberitahuku apakah posisiku sedang stabil, bukan perasa panas. Namun cukup mirip. Seakan-akan ada sebuah indra baru, indra tambahan, yang baru saja bangun dan memaksakan diriku untuk merasa lewat dirinya.
Aku bisa merasakan setiap kejutan gelombang-gelombang kecil yang sangat lembut melewati si gadis.
Aku bisa merasakan gelombang serupa di sekujur tubuh Laura.
Aku memejamkan mata. Ya, aku masih bisa merasakan semuanya. Gelombang-gelombang itu ... aku tidak bisa menemukan deskripsi yang lebih tepat selain bercahaya.
Dan mereka semua berfokus di kepala....
Jantungku mencelus.
Bukan, itu bukan cahaya, tapi nyaris.
Itu gelombang elektromagnetik.
Impuls listrik.
Aku merasakan secara langsung sistem saraf mereka.
Gadis itu menelengkan kepalanya sedikit, lalu menarik naik sedikit kerudungnya dari bawah hingga lehernya tampak. Lalu dia mengeluarkan sebuah kalung. Tidak seperti kalung wajar, aku bisa melihat banyak sekali lompatan listrik di dalamnya. Antarmukanya tampak familier....
Bandul Restu.
Perasa listrikku melembut, dan pandanganku mulai kembali normal. Gadis itu memasukkan bandul itu lagi ke dalam baju terusannya dan kembali menutup lehernya dengan kain kerudungnya. Tanganku otomatis menggenggam Restuku sendiri. Gadis itu mengangguk sambil menunjuk ke arahku.
"Seperti kau," katanya. Aku menatap wajahnya dengan nelangsa sebelum kata-kata James kembali terngiang di kepalaku: sederhananya, Luke punya kekuatan Thor selama dia mengenakan Restunya.
Thor dikenal sebagai Dewa Petir.
DNA kita secara alami belum mampu menyimpan informasi soal kekuatan elemental. Dengan kata lain, Restu Thor akan otomatis menambahkan data itu pada DNA Luke.
Dewa Petir. Kekuatan elemental.
Listrik. Hmm. Masuk akal.
Gadis itu menatapku penuh pengertian. Aku masih merasa bahwa wajahnya yang benar-benar hampa ekspresi itu agak seram, dan aku juga tahu bahwa ada kemungkinan dia sebenarnya mampu menanganiku sendirian—apalagi dengan keadaanku seperti ini dan tanpa Ray—tapi di saat itu juga, aku tahu dia paham apa yang kurasakan. Aku menatap matanya.
Dan duniaku jungkir-balik saat itu juga.
Bukan, bukan jungkir-balik yang cuma sekilas seperti saat mendadak aku bisa merasakan listrik. Bukan jungkir-balik seperti saat Ray bermanuver. Jungkir-balik, seperti saat Naga Merah berusaha menghubungkanku dengan Ray.
Pandanganku dipenuhi kecerlangan berlebih lagi, tapi kali ini hal itu tidak bertahan lama. Aku cuma sempat melihat seorang pria terbaring di kasur rumah sakit, seorang wanita berkerudung yang menangis dan pergi keluar dari sebuah pintu, sebuah ledakan berapi yang sangat besar, Restu yang diambil dari sebuah kotak kayu ... dan aku kembali berada di ruangan itu bersama Laura yang belum sadarkan diri dan si gadis Mesir misterius.
Bedanya, sekarang ekspresi gadis itu jelas tampak kaget. Matanya membulat menatapku.
"Apa itu barusan?" tanyanya.
Tunggu.
Aksennya hilang sama sekali. "Hah?"
"Yang barusan, yang barusan kaulakukan kepadaku," katanya sambil memijat pelipisnya. "Itu ... astaga, apa itu?"
Aku sendiri masih melongo. "Um, kaubisa bahasa Inggris?"
Ia belum berhenti tampak kaget atau memijat pelipis, tapi kali ini ia menatapku. "Apa? Aku bicara bahasa Arab Mesir."
Aku mengernyit. "Tidak, aku cukup yakin kaubicara bahasa Inggris."
Ia mengernyit balik. "Masa?"
Kami saling tatap dalam diam sebentar. Ini tidak masuk akal. Sensasi seperti Ray ... saat aku merasakan sensasi seperti ini dengan Ray, hal berikutnya yang kutahu, aku bisa memahami naga itu seakan dia bisa bicara.
Apa hal yang sama sedang terjadi?
"Aku tidak tahu kaubisa bahasa Arab," katanya ketus.
"Tapi aku berbahasa Inggris," jawabku. "Serius."
Ia menatapku, dan aku tahu dari matanya bahwa ia sadar aku tidak bercanda. Ia mengerang. "Ya Tuhan, sekarang apa lagi?"
Ia tetap memijit pelipisnya. Aku masih belum berani bergerak lagi. Ia tampak merinding sebentar, lalu akhirnya bergerak mendekati tumpukan kayu api unggunnya yang tadi ia padamkan sendiri, masih memijit-mijit pelipisnya, dan menjentikkan jari dengan tangannya yang kosong.
Api unggun itu mulai menyala lagi.
Aku membelalak melihat itu, dan sekilas, aku bisa merasakan indra-Thorku bangkit lagi. Namun itu cuma sekilas. Aku tetap melihat dan mengindra dengan normal. Gadis itu berbalik menatapku, sekarang dengan tatapan yang tidak main-main.
"Siapa kau?" tanyanya galak. Aku mengangkat tangan untuk menunjukkan aku tidak membawa apa-apa.
"Luke Andrews," jawabku.
"Mau apa kau di sini?"
"Hei, paling tidak—"
"Mau apa kau di sini?"
Kali ini, gadis itu jelas menunjukkan bahwa ia tidak sedang bersahabat. Ia membuka telapak tangan kanannya, dan dari sana, sepercik bola api mendadak tumbuh dan bertahan—seakan-akan ia bisa membawa api. Aku menelan ludah.
"Ceritanya panjang," jawabku tegang, "tapi biar kucoba persingkat. Kaulihat naga yang sangat besar tadi? Yang kabur saat kautiba? Itu namanya Kur. Aku dan temanku—" aku menunjuk ke arah Laura dengan jempolku, "—berusaha mencegahnya menghancurkan dunia. Cukup singkat?"
Gadis itu masih memelototiku. Api dari telapak tangannya menghasilkan cahaya yang menari di wajahnya, dan posisi penerangan itu membuat ekspresinya semakin menyeramkan. Namun lalu api itu padam sendiri.
"Cukup," katanya. "Naga kalian ada di luar. Kau yakin tidak mau makan?"
Aku tidak siap dengan perubahan sikapnya yang sangat mendadak—dari pemalu, menjadi pengendali api misterius yang ketus, dan sekarang menjadi baik lagi. "Eh," kataku ragu. Perutku menjawab sisanya. Ia mengernyit padaku.
"Makan," katanya. "Tunggu di sini. Jaga temanmu."
"Bagaimana dengan naga kami?"
Ia cuma memberiku tatapan kosong. "Mereka tidak akan muat di sini. Tenang, mereka di dalam garasi, kok."
Gadis itu berbalik dan menghilang menuju keremangan ruangan lain. Aku mendengar desir angin yang khas setiap sebuah api besar muncul, bunyi pembakaran, dan ruangan tempat gadis itu berada tampak sedikit lebih terang dengan cahaya kekuningan dari suatu tempat. Bayang-bayang di dinding bergerak, dan gadis itu muncul lagi.
"Vegetarian?" tanyanya. Aku menggeleng. "Bagus. Tunggu di sini."
Ia pergi lagi, kali ini menyeberangi ruangan dan keluar. Entah ke mana. Ada suara erangan dari belakang sofa di sebelahku, dan sudut mataku menangkap gerakan.
Laura.
Aku langsung menghampirinya. Berkat lompatan kagetku waktu gadis misterius itu tadi mematikan api unggunnya, kakiku sudah tidak kaku lagi. Aku berjongkok di sebelah Laura yang masih tertidur. Gadis itu menggeliat lemah sebentar, dan akhirnya membuka mata. "Luke?"
Aku tersenyum padanya. "Yep. Aku."
Laura tersenyum balik sekilas sebelum akhirnya matanya benar-benar terbuka. "Di ... di mana kita?"
Aku teringat kata gadis tadi soal bahasanya. "Masih di Mesir," jawabku. "Di rumah seseorang. Sepertinya ia menyelamatkan kita."
"'Ia'?" tanya Laura. Aku mengangguk.
"Ia belum memperkenalkan diri, tapi iya, ia seorang gadis."
Laura menyipitkan mata. "Beth ... di mana...?"
"Di garasi," jawabku. "Paling tidak begitu katanya."
"Garasi?" katanya lemah. "Ugh. Sebentar. Punggungku sakit."
Aku teringat cara Beth menjatuhkan diri—aku tidak heran jika tubuh Laura sakit semua. "Mau bangun?"
"Tolong."
Aku menyelipkan tanganku ke tengkuk Laura dan perlahan, selembut mungkin, berusaha mengangkatnya ke posisi duduk. Laura mengerang sedikit, satu tangannya mendadak mencengkeram lengan jaketku, tapi akhirnya berhasil duduk. "Kamu tidak apa-apa?"
"Ya," jawabnya sambil bernapas berat. "Aduh."
"Jika belum bisa bergerak, jangan dipaksakan."
"Aku tidak apa-apa," kata Laura bersikeras. "Ergh. Apa ia sendirian?"
"Sepertinya," kataku. "Kenapa?"
"Bagus. Jika dia macam-macam, kita pancing ke garasi saja."
Jantungku mencelus. Laura tidak salah soal menjadi awas dan siaga dan punya rencana jika situasi jadi salah, tapi aku belum memeriksa garasi sama sekali. "Bagaimana jika naga-naga kita...?"
Aku masih bingung memilih diksi semacam diikat di luar jangkauan, belum lagi mamperhitungkan kemungkinan mati, tapi saat itu juga, si gadis misterius kembali ke dalam ruangan. Ia melihatku di sebelah Laura yang sudah terduduk sebentar tanpa suara, lalu mengangguk kecil pada dirinya sendiri dan mematikan api unggun di depan sofa. Begitu udaranya mendingin, asapnya keluar lagi lewat ventilasi. Kali ini asapnya belum terlalu tebal ... dan aku jadi terpikir. Sudah berapa lama aku tidak sadarkan diri?
Gadis itu ke ruangan lain tempatnya tadi menyalakan api, lalu mematikan api di sana juga. Tidak lama kemudian ada suara kelentang lembut, dan dia keluar membawa sebuah panci. "Tunggu sebentar," katanya sambil ke ruangan itu sebentar. Beberapa detik kemudian dia kembali membawa tiga mangkuk dan tiga sendok besi. "Sup kambing."
Aku bertukar tatapan dengan Laura. "Um," mulaiku ragu sambil menerima semangkuk sup dan sebatang sendok. "Terima kasih...?"
"Shafira," sambungnya. "Shafira Abdul-Massih."
"Shafira," ulangku. Ia mengangguk sambil memberikan Laura jatahnya sebelum mulai menyendok jatahnya sendiri. "Oke. Trims, Shafira."
"Sama-sama," katanya. "Makanlah."
Laura memberiku tatapan cemas, tapi aku mulai menyendok. Entahlah, aku percaya Shafira. Begitu saja. Mungkin sekilas hubungan telepatis kami tadi ada perannya di sana, tapi aku tahu Shafira tidak berniat menyakiti kami. Walaupun dia sangat mampu jika dia mau.
Shafira terdiam sepanjang kami makan, dan ternyata Laura agak tidak nyaman soal itu. "Um, bagaimana dengan naga kami?"
"Kambing mentah," kata Shafira. "Utuh. Sepertinya mereka suka."
Aku mengangkat alis. Daging. Jelas saja. Laura masih tampak agak gelisah. Shafira tampak terlalu tenang menghadapi semua yang harusnya aneh ini. Maksudku, tidak semua orang bisa kalem saat pertama bertemu naga. Bahkan saat pertamaku bertemu naga adalah dipojokkan oleh naga-naga penjaga di Radnor.
Namun Shafira tampak kalem. Logis saja jika Laura merasa curiga.
"Ia punya Restu," kataku pelan. Mata Laura membelalak.
"Hah?"
Aku meletakkan mangkukku sebentar. "Shafira," panggilku. "Boleh lihat kalungmu?"
Ia menatapku sebentar dan segera paham, menunjukkan lagi Restu di balik kerudungnya. Laura ternganga.
"T-tapi," katanya, "dari siapa?"
"Ayah," kata Shafira. Jawaban itu sepertinya masih tidak memuaskan Laura, dan ternyata Shafira menyadari itu. Jadi ia melanjutkan lagi. "Dari Ra."
Ra. Aku menekan kepala sebentar. Tidak lama hingga James muncul di dalam sana.
... Dewa Matahari dari Mesir, katanya waktu itu. Aku tidak ingat persis kami sedang apa, tapi seingatku saat itu tidak ada hubungannya dengan waktu dia marah-marah padaku soal komik tentang Thor yang itu. Mitologi Mesir sebenarnya menarik karena susunan dewatanya yang sangat dinamis. Beda dinasti, beda dewa utama. Kisah mitologinya juga mencerminkan itu. Beberapa dewa dan dewi pernah memegang posisi sebagai Dewa Pencipta, dan ternyata yang akhirnya menjadi tatanan akhir adalah Ra.
Seingatku, James melanjutkan dengan bicara soal pergantian takhta di Mesir pada saat itu, tapi aku agak payah soal sejarah dan cuma bisa mengangguk-angguk. Nama-nama Firaun Mesir juga terlalu ribet untuk diingat. Untungnya, nama Ra cuma satu suku kata.
Matahari. Api. Itu menjelaskan beberapa hal.
Api.
Aku kembali teringat pemandangan yang kulihat saat aku tidak sengaja mengikat telepati dengan Shafira—salah satunya adalah sebuah kebakaran yang sangat besar. Sebuah ledakan, malah.
Lalu ada seorang pria di kasur. Shafira menyebutkan bahwa ia mendapatkan Restu Ra dari ayahnya ... apa semua ini ada hubungannya?
Aku menggaruk kepalaku dengan ragu. "Um. Siapa nama ayahmu?"
"Abdul-Massih," kata Shafira. "Itu tatanan nama Arab-Mesir. Nama depan, diikuti nama ayah. Dulu disekat dengan bin atau binti yang berarti 'anak dari', tapi sekarang sudah tidak."
Laura memandangnya dengan aneh. Tunggu, aku kenal tatapan itu.
Laura tidak paham.
Eh, kurang tepat. Laura sedang berusaha paham.
Lalu aku teringat aksen Shafira sebelum telepatiku.
Aku nyaris menepuk dahi. Apabila telepatiku yang membantuku memahami Shafira, apa yang akan membantu Laura?
Sayangnya, aku tidak tahu seberapa jauh Laura tidak paham. Jadi aku memutuskan untuk meneruskan saja—siapa tahu malah mendapatkan jawaban lain. "Dari mana dia mendapatkan ... Restu Ra?"
Shafira meletakkan sendoknya dan kembali menggenggam Restunya dari balik kerudung. Ia terdiam sejenak, seperti merasakan dulu berat bandul itu di antara jemarinya. "Para dewa tidak pernah meninggalkan Bumi lama-lama." Ia melirik ke arah Restuku. "Aku yakin kautahu itu. Saat itu tahun 2002, dan ayahku sedang berada di kereta dari Kairo menuju Luxor untuk urusan kerja. Aku masih berumur delapan tahun dan di rumah sendirian dengan ibuku."
Ia berhenti sebentar, seperti berusaha mengingat sesuatu yang harusnya tidak ia ingat.
"Kami tidak punya banyak uang, jadi ayahku berada di gerbong kelas tiga. Pendataan penumpang sangat minim. Isi satu gerbong kelas tiga maksimal seratus lima puluh orang, dan nyatanya, nyaris semua gerbong terisi dua kali lipat jumlah itu. Sulit mengetahui secara pasti siapa saja yang ada di dalam suatu gerbong. Mungkin karena itu dia bisa lolos."
Aku tetap mendengarkan. Laura mengaduk sedikit kuah supnya dan menyantap lagi sesendok.
"Seorang pria jangkung yang agak tua, mungkin sekitar lima puluh tahun, menyapa ayahku. Berkomentar dengan sangat bersahabat tentang udara yang dingin malam itu. Ayahku menanggapi. Mereka mengobrol sepanjang jalan."
Shafira menyendok supnya dan mengunyah dulu sebentar sebelum melanjutkan.
"Setelah beberapa menit, pria itu memberikan kalung ini pada ayahku. Katanya, dia punya firasat buruk tentang kereta itu. Ayahku agak kaget, karena biasanya firasat ayahku juga tajam. Jadi dia menerima kalung itu dan mengenakannya." Shafira menghela napas. "Dan ternyata keputusannya tepat. Aku masih ingat jelas cerita Ayah—hari itu tanggal 20 Februari. Jam dua pagi, saat kereta Ayah tengah melintasi kota Al Ayyat, gerbong kelima keretanya meledak."
Shafira memejamkan mata dan menarik napas lagi.
"Tabung gas yang mereka pakai untuk memasak terpicu api. Entah dari mana. Tidak ada cara komunikasi dari masinis ke penumpang atau sebaliknya, jadi api itu menyebar tanpa peringatan sama sekali. Kereta tetap berjalan. Api itu merambat mundur ke gerbong-gerbong di belakangnya—dan semuanya gerbong kelas tiga." Suara Shafira mulai agak bergetar. "Masinis kereta itu baru tahu bahwa keretanya sedang terbakar dua jam setelah kebakaran itu terjadi. Saat itu, tujuh gerbong keretanya sudah hancur menjadi abu. Nyaris semua tubuh korbannya tidak bisa dikenali saking parahnya mereka hangus, dan fakta bahwa tidak ada data penumpang yang tepat mempersulit semuanya. Sebagian penumpang mati karena berusaha menghindari api dengan melompat keluar dari gerbong-gerbong kepenuhan itu."
Shafira menelan ludah sebelum menarik napas lagi. Suaranya masih gemetar.
"Di situlah keajaiban terjadi. Ayahku dan si pria misterius berada di tengah gerbong, jadi mereka tidak bisa melompat keluar. Namun begitu api mencapai gerbong mereka ... pria itu cuma melambaikan tangan, dan api seakan-akan menjauhinya. Ayahku tidak terlalu beruntung. Api tetap menjilatinya, membakar barang-barang bawaannya, pakaiannya ... tapi bukan dirinya." Shafira meremas Restunya. "Pria itu mengajak Ayah pergi saat itu juga karena dia tahu mereka akan ditanya-tanyai jika ketahuan menjadi satu-satunya korban selamat dari kebakaran itu. Ayah setuju. Mereka nekat turun ke kota dari kereta yang masih berjalan—dan entah bagaimana caranya berhasil selamat—dan mereka bersembunyi hingga pagi dengan penghangatan dari api. Pria itu menghilang sepanjang malam, namun muncul kembali di pagi harinya. Dia lalu membelikan ayahku pakaian dan menjelaskan semuanya."
Aku terdiam. Berarti aman bagiku menduga bahwa pria jangkung tua misterius yang menyelamatkan Abdul-Massih itu adalah Ra. Pendekatan Ra sepertinya jauh lebih baik daripada pendekatan Thor. Thor tetap menyelamatkanku, tentu, seperti Ra menyelamatkan Abdul-Massih. Namun Ra mengakrabkan dulu dirinya dengan Abdul-Massih, sehingga mereka sudah bisa saling percaya saat bencana menimpa.
Namun jika dipikir-pikir, sepertinya sulit juga mendekatiku dulu sebelum bencana tiba jika bencananya adalah Fimbulwinter yang disusul serangan warg yang tersasar. Aku tidak bisa menyalahkan Thor.
"Ra mengembankan suatu tugas padanya. Aku tidak tahu apa, ayahku tidak mau bercerita. Dia cuma bilang tugas itu ada hubungannya dengan Istana Budaya Beni Suef—yang kemungkinan besar berarti berhubungan dengan kebakaran di sana tahun 2005."
Shafira akhirnya berhenti, sedikit lebih lama, dan menghabiskan supnya. Aku mulai menyendok lagi perlahan. Ada suara geraman lembut dari arah Shafira tadi keluar, yang kuanggap berarti naga kami memang sedang makan di garasi sana.
Kur sedang bergerak menuju Yunani, dan kami malah makan kambing.
"Sudah berapa lama kau membawa Restu Ra?" tanyaku. Shafira membereskan dulu mangkuknya.
"Sekitar dua tahun," jawabnya. "Ayahku meneruskannya kepadaku setelah ... ah, setelah dia berusaha mengusirku dan Ibu."
Aku teringat pria yang terbaring di kasur rumah sakit dan wanita yang keluar dari pintu. Setelah kupikir-pikir, mereka punya kemiripan dengan Shafira. Orang tuanya, mungkin?
Aku sangat tergoda untuk bertanya, dan ternyata Shafira menjawab duluan untukku. "Masalah agama dan keluarga. Ayahku Kristen Koptik. Ibuku Islam. Keluarga ibuku tidak setuju ibuku menikah dengan Ayah. Keluarga ibuku menganggap Ibu pezina dan mengusirnya. Belum lagi ... Persaudaraan Muslim sangat kejam kepada kami. Tidak jarang rumah sanak Ayah di kota-kota lain di seantero Mesir mendadak digerebek atau dibakar oleh mereka hanya karena mereka Koptik. Dan mereka dengan bangga melakukan itu atas nama Tuhan." Shafira menggigit bibir dengan geram. "Ayahku sempat menyuruhku pindah agama saja demi menjaga keselamatanku. Tapi aku tidak mau. Aku nyaman dengan agamaku. Mereka tidak berhak memaksaku. Hanya saja ... yah, risiko minoritas. Kurasa bisa disebut begitu. Ada yang bilang itu semua konspirasi. Aku tidak peduli. Itu tidak membawa keluargaku kembali hidup."
Aku teringat memori yang kulihat dari Shafira. Aku benar-benar merasa tidak nyaman jika ingin bertanya lebih jauh, tapi sepertinya rasa percaya yang didapatkan melalui hubungan telepatis berlaku dua arah—Shafira jelas percaya padaku.
"Jadi suatu hari ayahku mendapat angin bahwa keluargaku dalam bahaya. Ayahku merasa bahwa dialah yang sedang dicari, dan jika mereka tidak menemukannya, mereka akan memburunya terus. Jadi Ayah mengusirku dan Ibu. Ibu tidak mau. Ayah memaksa. Harusnya Ibu pergi membawaku, tapi aku tidak mau meninggalkan Ayah. Jadi aku kembali. Ayah ternyata melawan mereka semua dengan Restu Ra. Api. Ayah meledakkan rumah lama kami. Aku terluka. Ayah melarikanku ke rumah sakit ... dan memberiku Restunya. Tidak lama hingga ayahku tiada karena luka-lukanya tidak lagi bisa sembuh sendiri. Aku dan ibuku pindah ke sini. Salju turun. Ibu tidak terdengar lagi."
Shafira terdiam. Aku ikut diam. Keadaan di rumahku setelah salju turun mungkin parah, tapi Shafira sudah harus menderita itu semua dari sejak jauh sebelum Fimbulwinter ... gila. Gadis ini lebih tangguh dari yang kukira. Beberapa kepingan teka-tekinya memang belum terisi, tapi aku sudah mendapatkan cukup. Terutama istirahat. Aku bahkan tidak menyangka akan makan sama sekali. "Hei," kataku canggung. "Um, terima kasih supnya."
"Habiskan dulu," kata Shafira. "Aku tahu kaumau keluar lagi dan memburu naga raksasa tadi. Aku punya ide."
Shafira berdiri dan mengembalikan mangkuknya ke tempatnya memasak tadi, sebelum akhirnya menghilang ke ruangan lain. Aku menoleh ke Laura. "Kamu tampak bingung tadi."
"Jelas, dia berbahasa Arab," kata Laura. "Sejak kapan kaubisa bahasa Arab? Ia bicara apa saja?"
Rahangku mengeras. Ceritakan? Tidak? Ceritakan. "Um. Aku tidak sengaja mengikat telepati dengannya tadi."
Laura membelalak. "Hah?"
"Restuku," lanjutku. "Aku dapat Restu Thor, 'kan? Ternyata 'kekuatan elemental' Thor—meminjam diksi dari James—adalah listrik. Elektrokinesis. Dan aku bisa merasakan seluruh sistem sarafnya tadi." Aku mengerjap. "Aku juga bisa merasakan seluruh sistem sarafmu."
Laura menatapku ganjil, tapi aku tahu ia segera paham. "Oke. Aku percaya padamu. Apa ia bisa dipercaya?"
Aku mengangguk. Laura masih menatapku sebelum meneruskan.
"Lalu apa saja yang ia ceritakan?"
Aku berusaha meringkas semua cerita Shafira untuk Laura. Seperti selalu, gadis itu mendengarkan dengan tenang, terkadang bertanya tentang beberapa detail yang nyaris kulupakan. Saat aku baru masuk ke bagian soal misi dari Ra, Shafira kembali.
"Ini," katanya sambil menunjukkan sesuatu di tangannya. "Ini namanya Eye of Ra—Mata Ra."
Yang ia tunjukkan adalah sebuah ... aku tidak yakin itu apa. Amulet? Mungkin bisa dibilang begitu. Semacam kalung yang agak besar, mirip sebuah jimat. Bentuknya lingkaran sempurna seperti cakram selebar separuh telapak tangan dan kosong di dalam, seperti cincin. Ada beberapa batang tipis dari pinggiran cakram yang mengarah ke tengah cakram itu (jika dihitung keseluruhan, bentuknya jadi mirip R terbalik), dan di tengah-tengahnya, ada sebuah benda berbentuk bola.
Aku tidak akan bohong—sekilas, aku kira itu bola mata. Namun harusnya bola mata tidak berpendar lembut begitu.
"Aku lama tidak mengisi ulang ini," kata Shafira. "Tapi ini bisa digunakan sebagai senjata. Seperti laser. Atau plasma. Ayahku sempat menyebutkan. Aku tidak yakin. Dia bisa diisi dengan tenaga matahari, dan prosesnya lumayan cepat. Sekitar lima belas menit saja cukup untuk bisa menembus besi setebal sepuluh inci nyaris secara langsung." Lalu ia menatap kosong ke jendela. "Masalahnya matahari sudah cukup lama tertutup awan."
Menembus besi setebal sepuluh inci secara langsung—gila. Berarti kemungkinan besar itu senjata plasma ... seperti serangan Ray, cuma jauh lebih panas. Aku bisa mengenali serangan Ray sebagai plasma karena kemiripannya dengan petir dan panas yang bisa dicapainya dalam waktu singkat, tapi plasma yang biasa kita gunakan—dan sepertinya Ray gunakan—juga tetap butuh waktu untuk bisa melelehkan besi. Minimal beberapa detik.
Lalu plasma Mata Ra bisa menembus besi sepuluh inci? Gila, berapa derajat suhunya? "Apa itu tidak akan memanggang penggunanya juga? Maksudku, dengan suhu sepanas itu, radiasi panasnya...."
"Itu gunanya ini," kata Shafira sambil menggenggam Restunya dari balik kerudungnya. "Karena itulah barang ini disebut Mata Ra. Cuma Ra yang bisa menggunakannya tanpa masalah. Restu ini membantu."
Aku bisa mendengar James kecil di belakang kepalaku bertanya soal efisiensi penangkapan sinar matahari, tapi aku mengabaikannya. Toh, teknologi Leluhur sudah bisa menembus dimensi yang ada hingga ke hyperspace. Siapa yang tahu mereka bisa apa saja?
Namun Shafira ada benarnya—plasma Ray saja cukup untuk membuat kawah mini di kulit Kur. Jika Mata Ra benar sekuat yang digambarkan Shafira, dia mungkin bisa menembusnya bersih. Kur bisa jadi bukan makhluk asli dari Bumi, jadi struktur organ internalnya mungkin sedikit berbeda. Namun jika kami bisa mengenai sesuatu yang fatal....
"Selain itu," lanjut Shafira, "ini juga bisa digunakan untuk memanggil dewa atau dewi. Ra punya pasukan tersendiri, disebut dengan nama Mata Ra juga, yang bertugas sebagai semacam polisi khusus di dunia mereka. Mereka yang membawakan langsung perintah Ra dan melindunginya. Sekarang, kuasa itu dipinjamkan ke kita."
Sunyi sesaat. Begitu melihat ekspresi Laura, aku baru ingat bahwa aku sekarang bertugas jadi penerjemah untuknya, seperti ia dulu untuk Naga Merah kepadaku. Ia mendengarkan penjelasanku baik-baik.
"Jadi kita bisa memanggil Leluhur?" tanya Laura. Aku meneruskan pertanyaan itu ke Shafira, mengganti kata 'Leluhur' dengan 'dewa'. Shafira mengangguk. Laura mengernyit. "Tapi bukannya mereka cuma bisa di Bumi selama sejam? Aku tidak yakin mereka bisa banyak membantu."
Aku meneruskan itu ke Shafira. Gadis itu duduk lagi bersama kami sambil menggeleng. "Tidak, aku tidak berencana meminta para dewa membantu kita," kata Shafira. "Tapi aku berencana meminta informasi. Lihat—amulet ini berbentuk seperti mata kanan, 'kan?"
Tidak butuh waktu bagiku untuk melihatnya. Bentuk R terbalik yang agak menajam mengingatkanku pada bentuk garis luar di ujung mata dan garis hidung, serta garis kelopak di bawah mata. Itu jelas tampak seperti mata kanan. Aku meneruskan itu ke Laura dan kami berdua mengangguk.
"Amulet ini ada pasangannya," kata Shafira. "Namanya Wedjat, atau Eye of Horus. Mata Horus. Bentuknya adalah mata kiri, pasangan Mata Ra. Jika mata ini adalah perlambang kuasa dan kekuatan, Wedjat adalah perlambang harapan dan perlindungan." Mata Shafira berkilat. "Menariknya, Wedjat dikenal di mitologinya sebagai amulet terkuat yang ada."
Harapan. Perlindungan. Amulet terkuat yang ada. Jika Mata Ra saja sudah semengerikan yang digambarkannya tadi ... sekuat apa Wedjat? "Apa efeknya sama?" tanyaku. Shafira menggeleng.
"Setahuku, Wedjat lebih bersifat melindungi," katanya. "Tapi ... entahlah. Wedjat dicari-cari, bahkan oleh para dewa sendiri. Mata Ra juga, tapi semua orang sepertinya lebih mencari Wedjat. Amuletnya sekuat itu."
Amulet yang diburu para dewa. Wow. "Dan apa rencanamu?"
"Bayangkan amulet sekuat Wedjat," kata Shafira. "Semua orang menginginkannya dan tidak peduli harus menumpahkan seberapa banyak darah untuk mencapai itu. Lalu bayangkan dirimu sebagai pemimpin mereka. Apa yang akan kaulakukan?"
"Aku akan melindungi Wedjat," jawabku lancar. Lalu aku melirik ke amulet Shafira ... dan semua jadi masuk akal. "Oh. Begitu. Oke, aku paham."
"Paham apa?" tanya Laura.
"Pasukan Mata Ra," kataku. "Ra dulu adalah penguasa, 'kan? Tentu, dia sudah jatuh sebelum Osiris berkuasa, dan seterusnya hingga takhta jatuh ke Horus ... tapi mengenai itu. Baik Horus maupun Ra pasti paham betul seberapa Wedjat sangat diinginkan oleh semua orang, dan mereka juga pasti paham betul alasannya. Jadi mereka pasti memilih melindungi Wedjat. Mereka bisa membuat mesin pelindung, tapi mesin tidak bisa berpikir sendiri dan beradaptasi dengan lancar ke taktik-taktik penjahat yang terus berkembang. Jadi mereka butuh sepasukan elit bawahan yang tunduk dan setia sampai mati kepada mereka untuk menjaga alat semacam itu ... dan Pasukan Mata Ra terdengar seperti pasukan yang tepat."
"Betul," kata Shafira senang. "Lalu, berhubung kita akan menggunakannya untuk mengatasi masalah sebesar Kur, aku yakin mereka akan mau bekerjasama selama kita bisa menjelaskan semuanya dengan baik."
Aku meneruskan itu ke Laura. Ia tampak cemas. "Apa kau yakin ini akan berhasil?"
Ia menatapku dalam-dalam. Ia jujur menanyakan itu—jika aku bilang bahwa aku yakin, ia akan yakin juga. Wow, aku belum pernah berhenti sebentar untuk menghargai betapa Laura percaya kepadaku.
Jadi, apakah aku yakin?
Aku menatap balik mata Laura. Kami memang tidak akan bisa menebak jalan pikiran seorang Leluhur, dan jika sesuatu jadi kacau, aku berani jamin bahwa kita semua akan mati. Namun paling tidak, ini patut dicoba. "Ya, aku yakin."
Laura menghela napas dan mengangguk. "Oke."
Itu kartu panggilan yang dibutuhkan Shafira. Untuk pertama kalinya, ia tersenyum cerah. "Baik. Aku akan coba memanggil dewa. Semoga masih ada cukup tenaga di alat ini untuk itu."
Shafira berdiri dan menyalakan api di depan Mata Ra sebentar sebelum memejamkan mata dan membisikkan sesuatu.
Mata itu menyala.
Umumnya, aku akan melompat kaget. Untungnya, aku mulai terbiasa.
Wow. Diserang serigala raksasa. Dibawa ke planet lain. Ditugasi membantai naga raksasa. Menjinakkan dua ekor naga. Diselamatkan gadis Mesir yang ternyata membawa Restu turunan ... aku tidak tahu nasibku bisa jadi seaneh itu dalam kurang dari dua puluh empat jam.
Tidak lama kemudian, aku bisa mendengar bunyi udara yang familier—diikuti dengan sedikit gangguan gravitasi.
Jembatan hyperspace.
Aku bertukar pandang dengan Laura. Aku tidak menyangka panggilan Shafira akan terpenuhi secepat itu. "Um, Shafira?"
"Ya?"
"Apa itu panggilanmu?"
Shafira terdiam sebentar. "Iya."
"Eh ... apa mereka biasanya secekatan itu?"
Shafira terdiam lagi. "Entahlah. Aku belum pernah mencoba memanggil seorang Mata Ra sungguhan."
Jantungku mencelus. "Jadi ini kali pertamamu?"
"Ya."
Kami langsung jatuh terdiam. Aku memutuskan berdiri menyusul Shafira, dan ternyata Laura juga sudah cukup kuat untuk berdiri. Geraman naga kami di luar sana sudah melembut....
Dan ada suara langkah.
Dan langkah itu terus mendekat—
Ada siluet di kusen pintu. Siluet setinggi dua meter lebih.
Seorang Leluhur.
***
Catatan Penulis: Iseng saja ingin memberi info latar belakang berkaitan dengan minigame di part sebelumnya. Aku cuma mencantumkan Luke, Laura, dan James karena mereka punya hubungan langsung dengan dunia Leluhur Nordik. Karena itulah aku tidak mencantumkan Shafira atau karakter lainnya (di samping fakta bahwa Shafira baru diperkenalkan di bab ini, hehe).
Aku baru saja menjatuhkan bom waktu spoiler raksasa, omong-omong. Jangan sampai kamu sadar HAHAHAHAHA.
Oh iya, aku tunggu email-mu. Sampai ketemu di Bab 18!
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro