Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

16

Catatan Penulis: Mulmed: ilustrasi lama gambaran ukuran Kur. Perbandingannya? Luke dan Laura adalah dua garis kecil di bawah tengah kertas, yang cuma sebesar upil itu. Besar sekali.

Oh, iya! Mulai dari Bab 18 sampai Bab 22, aku mau mengisi mulmed atau Catatan Penulis dengan #DoomwatcherGallery. Jika ada yang pernah membuat apa saja yang berhubungan dengan dunia Ragnarökr Cycle, baik itu gambar, video, atau cerita, sila kirimkan ke surelku di alfredwellf[at]gmail[dot]com atau ke Lineku. ID-nya sama dengan ID-ku di sini. Kalau cerita atau video, kirim linknya saja. Aku mau promosikan karya kalian di sini, hehe.

(Terus ternyata gaada yang ngirim)

(Yha)

Kalau ternyata yang ngirim kurang ya ngga pake mulmed HAHA atau kuisi mulmedku sendiri. Yha.

Catatan tambahan 13 Januari 2016: Lineku sedang rusak. Hubungi aku lewat email saja.

Anyway, terima kasih masih bertahan sejauh ini. Selamat menikmati.

***

[SEMINGGU SETELAH ISOLASI.]


BEGITU MATAKU KEMBALI menyesuaikan diri, aku telah berada di koloni Naga Merah lagi.

Aku segera meraih diri. Tubuhku. Ini tubuhku. Aku di tubuhku lagi. Aku Luke Andrews lagi.

Aku menghirup napas dalam-dalam dan melepasnya dengan lega. Syukurlah.

Namun saat itu jugalah aku sadar ada yang salah—aku sedang terbaring di tanah.

Apa—?

Dan, di atasku, menindihku dengan cakar-cakarnya yang kuat, adalah si Ular Putih Bertato.

"Apa yang...?" mulaiku, tapi si Putih mendekatkan moncongnya kepadaku sambil menggeram. Aku baru sadar bahwa ternyata taringnya tidak bisa dibilang kecil juga.

Lalu aku baru ingat bahwa dia pernah memburu dan memangsa manusia saat dia masih kecil.

Sekarang dia sudah besar.

Aku menelan ludah, merasakan napas si Putih berembus hangat dan bau ke wajahku. Apa dia tidak suka memorinya itu dialami oleh orang lain? Namun jika begitu, bukankah harusnya Naga Merah tahu?

Namun lalu si Putih tidak melakukan apa pun—dia malah merebahkan diri ke samping dengan lemas, lalu terengah-engah sendiri. Dia menarik tungkai lengannya ke arah tubuhnya, seperti berusaha memeluk diri tapi tidak bisa.

"Kalian baru saja bertukar memori," kata Laura. "Um ... kami juga. Biasanya Penunggang Naga dari masa terdahulu butuh bertahun-tahun hingga bisa mencapai taraf ini, tapi Naga Merah sadar kita tidak punya waktu."

Aku masih mengerjapkan mata dengan agak tegang, berusaha mengingatkan diriku bahwa aku sudah tidak ditindih oleh si Putih—tapi aku tidak bisa. Rasanya seperti ada yang menghambat gerakanku, nyaris seperti saat aku sulit bernapas karena syok setelah dicekik ibuku.

"Bagaimana rasanya bertukar memori?" tanyaku pada Laura. Si Ular Putih Bertato mengerang lemas dari sebelahku sambil membanting ekornya ke tanah dengan malas.

"Tergantung," aku Laura sambil sepertinya mendengarkan sesuatu yang tidak bisa kudengar. Aku baru ingat bahwa Naga Merah hanya bisa bicara padaku lewat kepalanya. "Um, dari pengalamanmu. Dan nagamu. Terkadang bisa jadi ... melelahkan secara emosional."

Saat itu juga, barulah mataku menangkap naga Laura yang gembul—naga itu sedang meringkuk.

Dan aku baru sadar bulu ekornya nyaris semuanya berdiri mengembang, seperti bulu ayam kalkun jika merasa terancam.

Jantungku mencelus. Apa yang dilihatnya di kepala Laura?

Gadis itu sepertinya menyadari tatapanku, lalu mengangkat alis. "Um, Luke?"

Seperti biasanya, aku bisa mendengar bahwa ada sedikit getaran yang ganjil di suaranya. "Apa yang terjadi?"

"Kita bertukar memori dengan naga kita," jawabnya cepat. Getaran itu lagi. Aku mengernyit sambil berusaha duduk bangun.

"Kamu tahu persis maksudku, Laura."

Laura menggigit bibirnya dengan gugup. Mata kami saling bertemu. Aku tidak bisa bertukar pikiran tanpa kata hanya lewat kontak mata dengannya seperti yang biasa kulakukan dengan Claire, tapi aku cukup paham anak ini untuk bisa menebak apa yang sedang ia pikirkan. Dan aku tahu persis bahwa Laura menyembunyikan sesuatu dariku.

"Tidakkah sebaiknya kita memikirkan soal Kur dulu?" katanya akhirnya. Aku masih menatap matanya, tapi itu tidak lama. Aku menghela napas dan berusaha bangun.

Sebenci apa pun aku mengakuinya, Laura benar. Aku harus lebih berfokus pada Kur untuk saat ini.

Kur ... aku bisa melihat mata Naga Merah di atas sana, dan jika menggunakan ukuran kedua matanya itu sebagai perbandingan, maka aku bisa menebak dengan cukup yakin bahwa seantero koloni ini masih lebih kecil dari total ukuran tubuhnya. Yang berarti dia lumayan besar.

Sayangnya, dia tetap tidak sebesar gunung. Belum lagi, dia masih harus menjaga seluruh koloni ini. Aku ingat bagaimana para manusia yang marah memperlakukan keluarga si Putih. Oke, mungkin mereka bereaksi pada jeritan si anak kecil yang diburu oleh si Putih dan saudara-saudaranya, tapi menghabisi seluruh keluarga?

Aneh. Aku masih bisa merasakan simpati pada gadis kecil mangsa si Putih itu, tapi di saat bersamaan, aku juga bisa bersimpati pada si Putih. Tidak ada yang bisa disalahkan di sini. Semuanya benar dan salah di cara mereka sendiri-sendiri.

Lalu aku teringat kata James dulu di kelas—sekali waktu James bisa membuat semua orang di kelas terdiam dan benar-benar berpikir. Alam ini bukan masyarakat, katanya dulu. Dunia ini bukan masyarakat. Tidak ada etika, aturan, atau benar dan salah di alam. Hanya ada kebutuhan dan pemenuhannya. Jika kau lapar, kaumakan. Jika kau haus, kauminum. Memang, belum tentu yang terkuat yang bertahan. Pepatah itu sudah hancur sejak lama. Namun Charles Darwin sudah lama juga merumuskannya—bukan yang terkuat, tapi yang paling cocoklah yang akan bertahan.

Namanya seleksi alam, ingatku. Alam hanya akan memilih mereka yang mampu. Dan di dunia ini, tidak ada makhluk hidup yang mau tersisih.

Naga Merah, sebagai naga asli daerah sini—dan bisa jadi satu dari hanya segelintir naga Barat yang cukup cerdas untuk bisa berkomunikasi dengan manusia, walaupun secara telepatis—masih memiliki tanggung jawab di sini untuk melindungi koloni naga ini. Ancaman di luar sana benar-benar nyata, seperti dibuktikan oleh pembantaian ke para naga Illuminosian. Belum lagi, sangat mungkin bahwa Naga Merah adalah naga terkuat di sini. Aku teringat gempa buatannya yang mampu mengusir para manusia. Koloni ini akan hancur tanpa perlindungannya.

Masalahnya, bahkan jika Naga Merah ikut terjun ke lapangan untuk membantu kami sekalipun, dia tetap tidak sebesar puncak gunung ... apalagi nagaku dan Laura.

"Omong-omong," kataku pada nagaku. "Aku tidak mau memanggilmu si Putih lagi."

Naga itu bernapas malas, lalu mendongak dan menatapku dengan penasaran. Dia benar-benar sudah besar. Ukuran tubuhnya memang belum sebesar ibunya seperti yang kulihat di ingatannya, tapi proporsinya sudah mirip.

Ibunya ... serangan dari langit itu. Sekilas sambaran sinar putih yang menghancurkan tanpa aba-aba. "Jadi aku mau memberimu nama," kataku. Gaya serangan ibunya itu masih berputar terus di kepalaku. Sinar.... "Bagaimana jika aku memanggilmu Ray?"

Naga itu menelengkan kepala seakan dia mengerti, lalu akhirnya ikut berdiri di atas keempat kakinya. Dia sepertinya berusaha menggaruk—

Luke, Laura.

Tunggu.

Aku kenal suara itu.

"James?" jawabku. "Apa kau baru saja bicara di kepalaku?"

Tidak banyak waktu, katanya terburu. Kur bergerak ke arah Giza, Mesir. Menurut prediksi Hlidskjalf, dia akan ke Yunani setelah ini ... lalu seluruh benua Eurasia akan....

Ya—aku masih heran bagaimana James bisa bicara melalui telepati padaku tanpa membuat kepalaku sakit seperti Naga Merah, tapi kata-kata James langsung menyentakku ke situasi.

Seluruh benua Eurasia.

Seluruh benua Eurasia....

Kur mendekat ke arah sini.

Jika kami tidak menghentikannya sekarang, koloni ini akan.... Aku bertukar pandang dengan Laura. Sepertinya ia paham apa yang kupikirkan dan mengangguk. "Oke, antarkan kami," jawabku.

Sip. Aku akan bicara pada Heimdall. Bersiaplah.

Waktu di Bumi bergerak lebih cepat—yang berarti James menghubungi Heimdall mungkin masih bisa mencuri beberapa detik.

"Naga Merah," kataku pada langit-langit koloni ini. Kedua bola mata raksasa di sana menengok ke arahku. "Kami ... kami ingin berterima kasih. Aku pribadi juga. Aku tidak tahu cara lain untuk membalas budi."

"Ada," kata Laura sambil menekan pelipis. "Lindungi kami dari Kur."

Aku menatap kedua mata raksasanya dalam-dalam. "Pasti."

Aku bisa mendengar suara angin yang familier dari kejauhan, dan aku baru sadar bahwa ada kerlip cahaya jembatan hyperspace warna-warni di arah pintu masuk koloni sana. Aku memberi kedua mata Naga Merah satu anggukan terakhir sebelum berlari ke arah jembatan itu bersama Laura, diekori kedua naga kami.

Sampai jumpa, kata suara Naga Merah di kepalaku, putra Thor.

Aku menyentuh Bifröst sebelum sempat menjawabnya. Untuk kesekian kalinya, mataku tersilaukan, dan kakiku terangkat meninggalkan Bumi.

***

Saat mataku menyesuaikan diri, tempatku berada sekarang lebih terang daripada koloni Radnor—dan jelas lebih hangat.

Ada geraman lembut di belakangku yang kukenali sebagai Ray. Lalu itu mengingatkanku pada kata-kata terakhir Naga Merah—

Tunggu, kenapa aku tidak pusing?

Tunggu, apa maksudnya aku...?

Apa Naga Merah baru saja memanggilku putra Thor?

"Halo," sapa sebuah suara bersahabat, dan pikiranku segera buyar semua. "Seorang James Osbourne di Valaskjalf, Asaland, Asgard mengatakan padaku bahwa kalian minta dikirim ke satu titik di Giza, Mesir, Midgard. Apa itu benar?"

Alur pikirku terpotong saat itu juga, dan aku menoleh ke arah asal suara itu.

Silau.

Aku memicingkan mata sedikit, dan baru sadar bahwa aku sedang menatap seorang Leluhur—jika menilai dari ukuran tubuh dan pernak-perniknya—yang memiliki kulit yang sangat putih.

Putih, bukan pucat. Dia bisa jadi seterang salju. Sayangnya, aku tidak membawa pembanding.

Leluhur itu masih tampak cukup muda, seperti manusia di pertengahan usia 20-annya. Dia membawa sesuatu yang tampak seperti terompet lengkung di salah satu sisi sabuknya dan sebilah pedang di sisi lain. Di telinga kirinya ada anting-anting yang tampak seperti memiliki fungsi mekanis canggih bergelantungan. Entah apa yang anting-anting itu bisa lakukan.

Aku baru sadar bahwa sekarang sedang berdiri di dalam sebuah ... aku tidak bisa menemukan kata yang tepat. Gubuk? Ya, mungkin gubuk. Masalahnya, untuk sebuah gubuk, tempat ini sangat besar—bahkan kedua nagaku dan Laura masih muat masuk ke sini.

Si Leluhur superputih sedang duduk santai di atas sebuah kursi logam menghadap sebuah meja kecil. Di atas meja itu ada sebuah cangkir perak dengan motif spiral, dan dari sana, aku bisa mencium bau mead. Hmm. Thor sempat menyebutkan bahwa zat mirip mead yang mereka minum adalah sejenis obat. Apakah...?

"Um," mulaiku bingung.

"Benar," jawab Laura santai dari sebelahku. "Halo, Heimdall."

"Halo, Laura," jawab Heimdall ramah. "Dan kuduga ini Lucas Andrews?"

"Eh, um, iya," gagapku. "Salam kenal."

Heimdall tersenyum, dan lagi-lagi aku kesilauan. Aku tidak yakin giginya terbuat dari apa—besi? Perak? Mungkin emas murni? Hei, emas murni sewarna dengan perak. Pokoknya, senyumnya amat berkilau—secara harfiah. "Salam kenal. Oke, aku sudah lihat lokasi tujuan kalian. Kur, bukan?"

Aku berbagi tatapan dengan Laura dan mengangguk. Heimdall mengangguk balik, dan ekspresinya menjadi serius.

"Aku tidak akan mengirim kalian langsung ke arah Kur," katanya. "Terlalu berbahaya. Belum lagi jika Kur merasakan Bifröst—kalian akan habis duluan. Akan kukirim kalian beberapa ratus meter di belakangnya. Tenang, kedua naga kalian cukup cepat untuk mengejarnya. Terutama naga Luke. Aku tidak tahu apa rencana kalian, tapi kalian bisa mulai beraksi dari sana. Apa kalian keberatan?"

"Sama sekali tidak," kata Laura. "Eh ... kami juga mau minta maaf dulu. Ada kemungkinan kami akan sering transit ke Himinbjörg sambil membawa naga."

Heimdall tertawa renyah. "Tempat ini terbuka untuk siapa pun!" katanya. "Yah, kecuali untuk Putra-Putra Muspell, tapi itu lain cerita. Bersiaplah, biar kubukakan Bifröst untuk kalian. Mungkin sebaiknya kalian menunggang naga kalian dari sekarang karena kalian akan mendarat di udara."

Mendarat di udara. Oke, aku benar-benar sudah kebal keanehan.

Laura merespon duluan dan mulai menaiki naganya yang cuma mendengkur lembut. "Ssh, aku tidak akan apa-apa," bisiknya ke naganya sambil mengelus pipi besar bersisiknya. Naga itu tidak menjawab.

Aku mendekati Ray dengan agak canggung. Ekspresi Ray cuma menatapku penasaran, seperti bertanya, Apa?

Aku mau menunggangimu, jawabku.

Ya sudah.

Aku mengangkat alis. Oke.

Jadi aku menungganginya. Ray menunduk sedikit, dan aku memosisikan diriku di pangkal lehernya, mengistirahatkan kakiku di depan sendi sayapnya agar gerakan kaki dan sayapnya tidak terhalang. Dia menggoyangkan badan sedikit agar posisiku agak mundur, lalu diam. Heimdall mengangguk.

"Sempurna," katanya sambil memejamkan mata. Mendadak ada bunyi dengungan mesin yang mulai menyalakan diri, dan sesaat kemudian, lagi-lagi pergerakan gravitasi yang familier—jembatan hyperspace. "Begitu kalian siap."

"Siap," jawab Laura. Aku menghirup napas panjang.

"Siap," jawabku pelan.

Bifröst terbuka di belakang kami. Heimdall cuma menganggukkan perpisahannya. Ray dan naga Laura berbalik, membawa penunggang mereka bersamanya, dan untuk kesekian kalinya, Bifröst menjemputku.

***

Apa kau pernah ditarik ke arah yang berlawanan oleh dua orang temanmu?

Setiap serat, setiap petak inci kulitku, setiap tetes darah di dalam tubuhku terasa seperti sedang menjerit, sekeras-kerasnya, agar aku pergi saat itu juga. Jangan berpaling lagi, membiarkan Ray menjadi naga Illuminosian yang hidup dengan tenang di koloni Naga Merah. Pulang. Wight Odin sudah menyelamatkan Ayah. Obat Idunn sudah menyembuhkan Ibu dan Claire. Rumahku mungkin berantakan di dalam, tapi Thor bilang Odin juga akan mengirim wight ke rumah untuk memperbaiki semuanya. Jika dunia ini akan hancur juga, aku mau bersama dengan keluargaku.

Tentu, aku tidak akan mengkhianati Laura dan James. Aku akan mengajak mereka pulang. Odin tidak memiliki dasar yang kuat untuk dengan sembarangan mengembankan nasib seluruh Bumi pada kami bertiga. Kami cuma tiga anak enam belas tahun yang malah sebenarnya bukan siapa-siapa. Kami tidak terlatih dalam bidang mencari pelaku di balik musim dingin global abnormal atau bertarung melawan predator kuno yang perlu tempat sebesar Pegunungan Zagros untuk merantainya. Kami buta terhadap semua ini. Siapa Odin yang seenaknya memberi kami tanggung jawab begini?

Namun, entah kenapa, aku mendadak teringat SMS terakhir Laura—SMS yang belum kubaca hingga sekarang.

Aku teringat praduga-pradugaku—bagaimana jika Laura bermasalah di rumahnya?

Ke mana ia akan pulang?

Lalu bagaimana dengan James?

Anak itu akhirnya mempunyai peran yang sangat penting. Anak itu akhirnya punya kesempatan untuk menggunakan otak jernihnya hingga jenuh. Dia tidak pernah dikenal kecuali sebagai si Aneh, kecuali mungkin untuk sekali waktu dia, aku, dan Laura mewakili sekolah kami untuk sebuah lomba debat (satu-satunya waktu aku melihat James bisa percaya diri saat berbicara di depan orang asing), dan sekarang separo masa depan umat manusia tergantung padanya.

Separo lagi tergantung padaku dan Laura.

Apa semuanya benar semudah itu?

Udara dingin menerpaku, dan mataku menyesuaikan diri.

Andaikan saja.

Heimdall benar—kami mendarat di udara.

Ray bereaksi dengan cepat dan langsung membentangkan sayap, menyambut udara angkasa dengan antusias. Naga Laura agak lebih terlambat, tapi perbedaan waktunya tidak fatal.

"Whoa—hati-hati, Beth!" tegur Laura pada naganya. Beth meraung sedih sebagai permintaan maaf.

Siluet.

Ada sebuah siluet raksasa di depan kami—

Siluet itu bergerak dengan sangat cepat, mengepakkan sayapnya dengan gerakan yang tampak sangat bertenaga. Aku bisa mendengar Bifröst kembali menutup di belakang kami.

Lalu guntur.

Aku refleks menunduk dan menutup telingaku sekuat mungkin. Tunggu. Itu bukan guntur. Suaranya menggelegar, menulikan telinga sehat, tapi aku tahu pasti itu bukan guntur.

Datangnya dari arah siluet itu.

Ray menggoyangkan kepalanya dengan gelisah, sementara Beth meraung keras, sepertinya berusaha menghalangi suara guntur itu dari pendengarannya sendiri. Laura mencengkeram kepalanya sendiri, menutupi telinganya hingga tangannya benar-benar menempel ke kepalanya.

Aku memicingkan mata di tengah perih telingaku—siluet itu mengecil dengan cepat.

Salah.

Bukan—bukan mengecil.

Dia menjauh.

Aku bisa melihat dua bayang-bayang bergerak mengatup—

Paruh.

"Laura!" seruku ke samping, berusaha menarik perhatian Laura. Bunyi mirip-guntur mengerikan tadi sudah hilang, dan Laura baru berani membuka telinganya lagi sedikit. "Laura, itu Kur!"

Laura menatapku bingung sebentar, lalu menelan ludah. Akhirnya ia mengangguk. "Kur. Iya. Oke." Ia menghela napas. "Ayo."

Seakan memahami kami, Ray dan Beth langsung mulai bergerak maju. Awalnya dengan lembut, tetapi mereka semakin cepat bergerak. Gerakan mereka makin terasa—terpaan angin di wajah kami semakin keras, semakin dingin, sehingga aku dan Laura tidak punya pilihan selain mulai agak menunduk memeluk naga kami.

Heimdall benar lagi—kami segera menyusul Kur.

Setelah melihat wujud keseluruhannya di hologram Hlidskjalf, baru sekaranglah aku akhirnya bisa bertemu langsung dengan Kur ... dan aku tahu aku akan menyesal.

Aku baru sadar bahwa panjang tubuh delapan ratus meter ternyata jauh lebih besar dari kedengarannya. Aku nyaris tidak bisa melihat ujung kepala Kur jauh di depan sana jika bukan karena fakta bahwa kepalanya sangat besar. Jika mata Naga Merah cukup untuk menampungku, mata Kur cukup untuk jadi kolam renangku sendiri.

Kami mendekati Kur dari atas. Sepertinya itu pilihan bijak: aku tidak bisa membayangkan sekuat apa dorongan angin yang Kur butuhkan untuk mengangkat tubuhnya agar tetap terbang dalam setiap kepakan sayapnya. Tidak seperti naga kami yang berbulu seperti burung, Kur tampak jelas bersisik. Mungkin malah 'bersisik' bukan istilah yang tepat, karena kulit Kur di bawah sana tidak tampak seperti kulit lagi. Bentuknya lebih mirip bebatuan-bebatuan yang sangat keras, seperti batu lahar gunung berapi. Hanya ada satu tempat di tubuh Kur yang berbulu mirip naga kami, dan itu adalah di ujung ekornya, membentuk semacam kipas yang sangat lebat. Jika dibandingkan rentang sayap Kur, kipas ekor itu memang tidak ada apa-apanya—tapi dibandingkan rentang sayap Ray yang lebih lebar dari Beth sekalipun, kipas ekor Kur masih jauh lebih besar. Mungkin untuk menjaga keseimbangan tubuhnya saat terbang atau semacamnya? Aku juga tidak tahu.

Aku menahan napas. Oke, jadi apa rencananya?

Aku cuma bisa mendengar Ray menggeram lembut, seperti, Aku ikut saja, Bos.

Kau tidak takut mati?

Ray tidak menjawab—tapi mendadak dia menukik.

Langsung ke arah Kur.

Otomatis, aku menjerit keras sambil kembali berusaha berpegangan pada Ray. Si Illuminosian baru dewasa itu seakan mengabaikan jeritan kagetku, atau panggilan panik Laura yang berusaha mengejarku dengan Beth malang yang sepertinya tidak bisa menukik selincah Ray, dan hal berikutnya yang kutahu, kami tinggal lima meter dari punggung Kur.

Empat.

Tiga—

BLAMM!

Ada sentakan di perutku persis setelah sebuah ledakan cahaya membutakan mataku, dan saat aku akhirnya membuka mata lagi, aku baru sadar bahwa Ray telah kembali terbang ke atas, mendekati Laura.

Bagaimana, Bos? Ray seakan bertanya begitu padaku. Aku masih terengah-engah berusaha mengatur napasku yang seirama dengan debaran kencang jantungku, tapi akhirnya memutuskan untuk melihat situs serangan Ray di punggung Kur.

Asap.

Punggung Kur mengepulkan asap.

Aku masih tidak bisa melihat apa yang ada di bawah kulit tebalnya, mungkin karena serangan Ray masih tidak cukup untuk benar-benar sepenuhnya menghancurkan kulit Kur dalam sekali serangan, tapi tetap saja—itu kekuatan api yang lumayan.

Malah, sebenarnya, jika menilai dari kilatan cahayanya, tembakan Ray itu bukan api sama sekali.

Guntur lagi.

Kali ini aku bisa mengenalinya sebagai geraman marah dari Kur, karena bunyinya masih lebih lembut daripada raungannya—guntur pertama tadi. Dengan kata lain, Kur bisa merasakan serangan Ray, bahkan jika serangan itu belum berdampak banyak.

"Oke," simpulku. "Kulitnya sangat tebal ... kita serang terus bagian yang sudah dilukai Ray hingga serangan kita bisa menembus kulitnya."

Laura mengangguk setuju sambil menepuk kepala Beth. Naga biru gembul itu tampak seperti ingin muntah, tapi alih-alih memuntahkan bekas makanan, dia memuntahkan api.

Bola api biru.

Bola api itu bergerak turun dengan sangat cepat, nyaris dengan sangat elegan seperti semacam meteor, sebelum akhirnya menghantam punggung Kur.

Bola api itu langsung menyebar, membuat kebakaran lokal singkat di daerah pendaratannya.

"Ray, sekarang!" kataku. Nagaku sudah lebih dari paham dan kembali menukik turun.

Sepuluh meter.

Delapan.

Enam.

Empat—

BLAMM!

Tembakan Ray masih tetap berhasil mendarat dengan sangat akurat, menembus api Beth yang mulai padam langsung ke kawah hasil karyanya tadi, dan kami akhirnya berhasil membuat Kur cukup kesal.

Dia meraung lagi.

Kami sudah tahu cara menangani raungannya—tapi itu sebelum kami mendadak sadar bahwa Kur tidak lagi terbang maju.

Dia berbalik.

"Ups," gumam Laura.

Ray dan Beth tidak menyia-nyiakan waktu—mereka langsung mengepak keras dan melipat sayap, berusaha terbang secepat mungkin menjauhi wyvern kuno marah yang akhirnya bergerak mengejar kami.

Dalam situasi biasanya, mungkin aku akan menjerit panik—tapi saat ini menjerit sangat tidak dimungkinkan.

Ray sepertinya juga paham dan mengatupkan paruhnya rapat sembari melipat tanduk hidungnya, membuat kepala mirip-ularnya sangat aerodinamis. Aku memeluk leher Ray sekuat tenaga agar tidak terpental terdorong angin sementara kami melejit menembus udara langit. Beth sepertinya tidak mampu mengejar, tapi ia cerdik—ia mengatupkan sayapnya dengan sangat rapat menjadi berbentuk mirip kubah atau bola, dan ternyata itu cukup untuk melingkupi Laura dan dirinya seperti semacam cangkang kura-kura.

Ia menjatuhkan diri seperti semacam peluru meriam mati dengan cara itu, tapi jatuhnya yang sangat cepat dan naluriah tidak memberi Kur kesempatan untuk mencoba mengejarnya.

Yang berarti Kur tinggal bisa mengejarku.

Untung Ray naga yang memang terlahir untuk kecepatan. Paling tidak, jika menilai dari postur dan kelihaiannya terbang—aku ingat bahwa Ray bisa menyusul Kur dengan sangat cepat tadi, jadi menurutku bisa disimpulkan bahwa Ray lebih cepat dari Kur.

Namun itu sebelum Kur membuka mulutnya lebar-lebar tanpa meraung.

Tunggu.... "RAY, NAIK—"

Naga itu menangkap maksudku dengan cepat, mungkin juga karena ditambah tarikan histris dari seluruh tubuhku ke lehernya yang sepertinya cukup sakit, dan dia menukik ke arah atas nyaris tanpa jeda.

Pemilihan waktunya sempurna.

Saat itu juga, dari mulut Kur, terlontarlah cairan pekat kekuningan. Lurus, terus, hingga akhirnya gravitasi menariknya turun.

Jumlah total cairan itu memang tidak seberapa bagi Kur, tapi jumlah itu lebih dari cukup untuk mungkin mengisi satu akuarium hiu besar—dan sangat cukup untuk menenggelamkanku.

Aku belum mau mati terkena racun wyvern dulu malam ini.

Aku harus mulai—

Ray paham maksudku.

Dia langsung bergerak lagi mendekati Kur, bermanuver cepat menghindari moncong raksasa Kur menuju punggungnya. Aku baru bisa melihat mulut Kur dari dekat ... dan sumpah, beberapa giginya lebih tinggi dariku.

Ray melewati tanduk Kur dalam satu gerakan mulus, dan saat Kur berusaha berbalik lagi untuk menangkap kami, Ray sudah melancarkan serangan.

BLAMM!

Agak sulit melacak lagi bekas luka kecil yang tadi Ray dan Beth buat di punggung Kur, tapi Ray berhasil menemukannya sebelum Kur sempat bergerak terlalu jauh. Monster itu meraung keras kesakitan dan akhirnya berhasil membalik badan sepenuhnya—tapi Ray dengan lincah mengikuti terus pergerakannya dan mempertahankan posisi kami di punggungnya.

Sepertinya ini kali pertama Kur melakukan petak umpet.

"Ray, tembak terus!" seruku. Jika kami tidak bisa melakukan serangan pemboman Ray yang khas karena harus terus menjaga posisi di punggung Kur, paling tidak kami tidak akan kehilangan waktu berusaha melubangi sisik wyvern ini.

Ray setuju dan mulai menembak lagi dari mulutnya. Udara panas di sekitar mulutnya yang muncul sesaat sebelum tembakan cahayanya terlontar bahkan terasa sampai wajahku saking banyaknya tembakan yang dilepaskannya secara beruntun. Kawah luka di punggung Kur kian melebar—

Dan mendadak Kur mengepakkan sayap dengan sangat keras.

Kur memelesat naik dengan sangat cepat dan sangat tiba-tiba hingga bahkan Ray pun terkejut—dan, agak terlambat, dorongan anginnya menghantam kami.

Pernah ditabrak mobil dari atas saat sedang terbang? Aku belum. Namun aku cukup yakin bahwa rasanya mirip dengan ini.

Sebuah sentakan raksasa yang sangat dingin dan berisik memaksa sayap Ray mengalah, dan hal berikutnya yang kurasakan, ada tarikan di perutku.

Jantungku mencelus.

Aku jatuh bebas.

Ray terjatuh di sebelahku, meraung panik sambil terus memutar badannya dan berusaha mencari posisi untuk bisa kembali terbang, tapi kecepatan jatuh ini terlalu tinggi untuk sayapnya yang malang.

Aku tidak yakin aku menjerit. Pokoknya, aku tidak bisa mendengar apa pun lagi.

Ada siluet terbang cepat ke arah kami—

Gelap.

Mendadak semuanya terasa gelap, ada sentakan yang memaksa kami berubah arah—

BRAK!

Aku bisa merasakan kelembaman menarikku, dan aku terpelanting ke sisi, ke arah depan jatuhku yang diinterupsi tadi. Punggungku mendarat di salju yang meredam pendaratanku, tapi tidak banyak. Aku masih terus terbanting ke tanah beberapa kali lagi, terguling tanpa daya, sebelum akhirnya tersungkur berhenti.

Aku baru saja mendarat. Namun aku baru sadar bahwa tubuhku juga sakit semua—aku tidak yakin aku masih mampu bergerak.

Samar-samar, aku bisa melihat siluet gembul kebiruan. Beth ternyata baru saja menyelamatkanku seperti dengan caranya menyelamatkan Laura tadi. Sementara itu, ada gundukan putih di samping Beth ... Ray?

Mana Laura?

Aduh. Badanku benar-benar sakit. Apa tulangku ada yang patah? Mungkin. Mungkin malah seharusnya aku sudah mati dengan kejatuhan yang seperti tadi.

Pandanganku mulai mengabur, tapi aku bisa mengenali siluet di langit sana—Kur terbang menjauh, bergerak terus, melanjutkan perjalanannya yang ternyata cuma bisa kami tunda sebentar.

Kami gagal. Siluet Kur membuktikan itu.

Sayangnya, aku tidak bisa mengenali siluet seseorang yang tiba-tiba muncul di atasku sambil mengatakan sesuatu dengan panik. Bahasanya banyak menggunakan suara tenggorokan. Ini Giza, Mesir ... bahasa Arab?

Entahlah. Siluet itu mendekat sedikit. Aku cuma bisa melihat bahwa ia mengenakan sehelai kain menutupi kepalanya sebelum kesadaranku akhirnya raib sepenuhnya.

***

Catatan Penulis: Wow, 3.8k kata. Oke, aku gagal menekan jumlahnya ke kisaran dua ribuan, tapi paling tidak aku akhirnya tidak menyentuh 4k di bab ini. Yay! :")

Sebenarnya, jika aku mengikuti draft yang kugunakan di bab sebelum ini, aku masih kelewatan satu poin lagi di sini ... tapi aku sudah merevisi lagi plotline-ku ke draft 6. Yup, penyesuaian poin lagi.

Fair warning: bab depan akan agak panjang, tapi setelah-setelahnya tidak terlalu.

Dan akhirnya aku berkesempatan memperkenalkan karakter-karakter baru! Aku tidak sabar untuk memperkenalkan kalian pada penyelamat misterius Luke ini—dan arah yang akan dibawanya nanti hohoho.

Aku bandel nekat menulis ini di minggu UAS. Harusnya aku mengerjakan tanggungan di Release, tapi astaga, aku sedang WB parah di sana. Yha. Aku juga sedang agak tersendat di Reaper, tapi sepertinya aku akan bisa menanganinya dalam waktu singkat. Semoga. Kita lihat saja nanti.

Jadi—terima kasih karena masih bertahan setelah sekian lama. Aku menanti karyamu. Sampai jumpa di bab berikutnya!

***



Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro