12
Catatan Penulis: Ini adalah percobaan perdanaku posting dari mobile app Wattpad. Aku sudah menulis kira-kira separuh bab ini di Word saat tiba-tiba laptopku rusak. Ternyata aplikasi Office di tabku tidak secanggih seharusnya dan tidak mampu menyalin tanda kutip dan tanda strip panjang ... belum lagi formatting lainnya seperti italic. Lalu, entah kenapa, jika digunakan untuk mengedit atau menambahkan catatan di depan atau tengah-tengah bagian yang sudah di-save, Wattpad menjadi sangat lemot. Keyboard-ku hang terus. Belum lagi, entah kenapa aku tidak bisa melakukan format parsial. Ketika aku sudah mengetik sesuatu dalam format italic, misalnya, Wattpad tidak mengizinkanku memblok saja bagian itu dan dihilangkan italic-nya. Seluruh paragraf itu akan ikut kehilangan italic. Pusing? Aku juga.
Duh. Aku rindu laptopku.
Sedikit info sampingan yang tidak terlalu penting ... sebenarnya aku menggarap ceritaku yang lain dan belum ku-publish untuk eksperimen posting ini. Namun aku merasa agak berkhianat pada tanggung jawabku di sini. Jadi, voilá! Ini dia Bab 12.
Dikarenakan situasi menulis yang sulit—seperti yang sudah kujelaskan—mohon maaf juga jika kau menemukan banyak typo. Mungkin fakta bahwa ini adalah part terpanjang sejauh ini akan terkesan sangat ironis—dan menyebalkan—bagimu. Aku mohon maaf untuk itu.
Oke, sepertinya itu saja peringatan untuk kali ini. Omong-omong, aku akan segera pos di The Shelf tentang proyek yang jadi kugarap untuk eksperimen tadi itu. Proyek ini sama pentingnya dengan seri Gravedancer dan seri Ragnarökr Cycle dalam jangka panjang.
Jadi selamat datang kembali. Selamat menikmati.
***
[SEMINGGU SETELAH ISOLASI.]
AKU MENAHAN NAPAS begitu pemandangan di dalam kamar Ibu menyeruak masuk ke mataku.
Aku bisa janji padamu bahwa itu bukan pemandangan yang indah. Lebih dari itu, malah. Pemandangan ini tampak seperti sesuatu yang dicomot langsung dari sebuah film horor tentang pengusiran setan. Kamar ibuku nyaris kosong; semua lemari dan perabotannya sekarang dijauhkan dari kasur yang terletak di tengah ruangan, sehingga ada kesan lengang dan penyendiri yang sangat jelas di posisi kasur. Aku tahu sebagian besar dari ini adalah ulah Ayah, karena terakhir kali aku masuk ke sini dua hari lalu—setelah Ayah pergi—sebagian besar perabotannya sudah berpindah posisi.
Namun sisanya adalah ulahku. Misalnya kabinet kecil tempat lampu tidur yang sekarang terletak di pojok jauh ruangan. Aku yang memindahkan itu.
Yang membuat pemandangan ini mengerikan, sayangnya, bukan layout ruangannya. Bukan pula fakta bahwa ruangan ini gelap, atau suara isak tangis lembut yang ada di udara begitu aku masuk.
Bukan. Yang membuat pemandangan ini mengerikan adalah ibuku yang terbaring di atas ranjang sendirian—dengan kedua tangan terikat ke tiang kasur.
Aku yang melakukan itu. Setelah memingsankan Ibu waktu ia menyerangku, aku akhirnya memutuskan untuk mencegah serangan di masa mendatang. Jadi aku membawa Ibu ke kamarnya, mengikat lengan kirinya ke bedpost kiri, dan mengikat lengan kanannya ke bedpost kanan. Aku sengaja memastikan bahwa paling tidak tangannya masih bisa mencapai sekitar dua inci dari mulutnya agar jika kuberikan makanan, ia masih bisa makan—tapi tidak lebih jauh lagi dari itu. Risikonya terlalu besar.
Melihat ibuku terbaring sendiri di tengah ruangan gelap ini, menangis terisak-isak dengan kedua lengan terikat ke tiang-tiang kasurnya, dan mengetahui bahwa ini semua adalah ulahku, aku baru sadar bahwa aku belum siap. Aku merasa seperti habis dipukul persis ke perut. Oksigen kabur sesaat dari paru-paruku, jantungku berdegup kencang, dan ada sensasi menusuk di dadaku.
"L-Luke?" panggil ibuku lirih saat melihat siluetku masuk. Aku melangkah masuk perlahan dengan hati-hati.
"Iya," jawabku pelan.
"Luke," lanjutnya lagi, masih sama lirihnya. "A-apa kau ... apa kau tidak apa-apa?"
Aku menatapnya sebentar. Aku baru ingat bahwa Ibu pasti dengar keributan dari warg di luar tadi. "Iya," jawabku. "Masih utuh."
Ibuku mengangkat kepalanya dan menatapku dari balik tirai rambutnya yang awut-awutan—sumpah, jika bukan karena fakta bahwa aku telah bersama dengan ibuku seumur hidupku sehingga aku bisa mengenalinya, daster putih dan rambut hitam panjangnya pasti sudah membuatku mati ketakutan."I-ibu dengar sesuatu tadi. Di luar ... ada apa?"
"Bukan apa-apa," sergahku cepat. Aku teringat kata-kata Ayah soal kestabilan emosi Ibu. "Anu ... sedikit gangguan."
"Penjarah?" tanya ibuku waswas. Aku mengangkat bahu.
"Kurang-lebih, yeah."
"L-lalu ... bagaimana...?"
"Sudah kutangani," kataku sambil diam-diam melirik Thor di luar. "Apa aku sudah membawakan makan hari ini?"
"Sudah," jawab ibuku. "Bubur, 'kan?"
Aku mengangguk sebelum akhirnya memutuskan untuk mendekat. Ibuku masih tidak menunjukkan tanda-tanda akan berlaku agresif padaku, jadi paling tidak aku masih aman untuk sekarang.
Namun, sekali lagi, siapa yang bisa menebak ibuku?
"Begini, Bu," kataku begitu tiba di sisi ranjangnya. "Aku ... sebut saja, aku mendapatkan obat untuk Ibu."
Ibuku menatapku ganjil. "Apa ayahmu sudah pulang?"
Aku menggeleng. "Bukan, ini bukan dari Ayah."
Aku bisa melihat harapan di mata Ibu amblas seketika. "Oh. Oke. Tapi untuk apa? Ibu tidak butuh obat."
Tidak, Ibu butuh! Aku ingin menjeritkan itu, tapi rasanya itu tidak bijak. Paling tidak untuk sekarang. Jadi aku menghela napas. "Iya, Ibu butuh—"
"Tidak, Ibu tidak butuh."
"Bu," potongku balik, "apa Ibu tidak ingat kenapa aku mengikat Ibu?"
Aku sangat benci mengungkitnya. Sungguh, aku benci mengungkit soal fakta bahwa aku adalah yang mengikat Ibu di sini dari sejak awal. Aku benci mengungkit soal fakta bahwa aku pelakunya. Aku benci mengungkit soal fakta bahwa aku yang melakukan kesalahan ini, dan terutama, aku benci mengungkit soal fakta bahwa aku tidak punya pilihan lain. Namun ternyata itu cukup untuk membuat Ibu terdiam.
"Nah," lanjutku sebelum suaraku bergetar. "Ibu butuh obat. Begini saja—Ibu minum obat ini. Jika Ibu sembuh, aku akan melepaskan ikatan Ibu."
"Tapi bagaimana kautahu Ibu sudah sembuh atau belum?" tanya ibuku pelan. Jantungku mencelus. Ibu benar. Gangguannya sering muncul secara mendadak—bagaimana aku tahu bahwa ia sudah benar-benar sembuh?
Aku menarik napas berat. Lagi-lagi aku dikekang oleh pilihan yang ada. Mentalitas traceur sudah mengajarkanku untuk melihat jalan-jalan untuk mengitari rintangan, tapi kali ini, jalurku cukup sempit. "Kalau begitu aku akan bertaruh," kataku. "Ibu minum obatnya, dan aku akan melepaskan ikatan Ibu."
"T-tapi ...," ibuku tampak ragu sejenak. "Bagaimana jika ... setelah kaulepas ... Ibu...?"
"Menyerangku lagi?" sambungku. "Itu risikoku."
Wow. Aku mendadak sadar bahwa aku meletakkan seluruh imanku pada sebotol kecil obat berbau mead di tanganku ini. Dan aku bahkan tidak tahu apakah ini benar obat atau bukan.
Tapi Thor sudah menyelamatkanmu sekali, pikirku.
Tapi dia tidak sengaja.
Tapi dia tetap menyelamatkanmu.
Tapi dia bodoh.
Tapi dia—
"Apa kau benar-benar yakin soal ini?" tanya ibuku lembut. "Luke, Ibu sudah membahayakan cukup banyak orang di sini. Dan dengan begini, Ibu malah merepotkanmu. Tidakkah lebih baik jika ... kautahu ...," ibuku membuat gestur gunting dengan jari telunjuk dan jari tengah kedua tangannya, "Ibu selesai saja di sini?"
Gunting ... potong? Potong apa...?
... selesai saja di sini?
Astaga. "Tidak. Jelas tidak."
"Kenapa?"
"Karena aku sayang Ibu," jawabku putus asa. "Jika aku tidak bisa berharap lagi Ayah akan kembali, paling tidak aku masih harus berharap obat ini bekerja. Bu, aku sudah kehilangan Ayah. Aku tidak mau kehilangan Claire dan Ibu, dan jujur saja, sekarang rasanya sudah seperti itu." Aku kembali teringat SMS terakhir James dan Laura. Demam Claire. Ekspresi Ayah saat meninggalkanku untuk yang terakhir kalinya. "Aku tidak punya siapa-siapa lagi."
Ibuku terdiam sesaat. Lalu akhirnya ia menghela napas. "Baiklah. Jika kau yakin, Ibu percaya padamu."
Aku menyentuh dagu ibuku pelan, mengangkat wajahnya sedikit agar mulutnya terbuka ke atas. Lalu aku menuangkan seluruh isi botol di tanganku dalam mulut ibuku, yang menelan semuanya utuh-utuh.
Ibuku mengecap sebentar. "Rasanya seperti mead," komentarnya. Lalu ia tertawa kecil. "Ayahmu suka minum mead waktu kami pacaran dulu."
Aku menyempatkan diri melemparkan tatapan mendelik pada Thor di luar, tapi orang itu tidak tampak. Mungkin menyembunyikan diri supaya ibuku tidak panik. Baguslah. Paling tidak orang itu masih sadar diri.
Aku lalu mengantongi botol obat itu dan bergerak ke pojok kasur sesuai janjiku, melepaskan tali yang mengikat ibuku. Tidak makan waktu lama hingga ibuku bebas sepenuhnya.
"Jadi, bagaimana?" tanyaku. "Merasa seperti ingin menyerangku?"
"Hmm," kata Ibu, melihat lagi kedua telapak tangannya. "Sebenarnya, Ibu merasa baikan."
"Baguslah."
Ibuku menatapku heran. Aku mengangkat bahu.
"Karena aku juga punya obat untuk Claire," kataku. "Jika Ibu bisa sembuh—bahkan secara fisik saja—setidaknya aku tahu Claire juga akan sembuh."
Aku menjawab itu tanpa berpikir sama sekali. Namun sepertinya Ibu agak kaget mendengarnya.
"I-iya," gagap ibuku pelan. "Um. Ibu rasa Ibu sembuh."
Aku mengangguk. "Bagus. Bolehkah aku ke Claire dulu?"
"Ibu mau ikut."
Aku mengangkat alis. Ibuku mungkin sembuh secara fisik, tapi belum ada jaminan bahwa ia sembuh secara mental. Aku tinggal bisa berharap.
Namun, toh, Ibu hanya menyerangku saat kumat, bukan Claire. Jadi sepertinya tidak akan kenapa-kenapa jika aku membawa Ibu bersamaku.
Jadi aku mengangguk lagi, walaupun kini dengan agak lebih waspada. "Oke."
Aku keluar dari kamar Ibu duluan, dan ternyata Thor sudah raib. Ruang keluarga masih sehancur sebelumnya, tapi kini tidak ada Thor. Aku terhenti sebentar dan mengerjap. Tunggu. Apa ini artinya Thor benar hanya halusinasiku? Apa ini artinya aku benar sudah gila? Maksudku, aku bisa saja tanpa sadar memporak-porandakan—
Namun mataku menangkap sebuah pendar lembut dari arah kakiku, dan ternyata ada sebotol obat-berbau-mead yang tadi Thor tunjukkan di situ. Aku menghela napas. Tidak semudah itu, ya? pikirku kesal sambil memungutnya. Pendar itu hilang begitu botolnya bersentuhan dengan tanganku.
Ibuku ternganga ngeri memandang keadaan ruang keluarga, tapi aku sudah bergerak menyusuri dinding menuju ke kamarku. Ia tidak punya banyak pilihan selain mengikuti. TV yang rusak, sofa yang tercabik-cabik—bahkan dinding yang retak parah. Aku mengernyit. Untung warg tadi tidak sampai melubanginya.
"Apa yang terjadi?" tanya ibuku pelan. Ia lebih terdengar seperti sedang bertanya pada dirinya sendiri daripada padaku. Aku mengangkat bahu.
"Beberapa hal," jawabku sama pelannya sambil membuka pintu kamarku.
Seperti semula, Claire masih terbaring lemas di atas ranjang. Napasnya nyaris tidak terdengar. Ibuku melangkah maju duluan dan segera mendekat, meletakkan satu jarinya di bawah hidung Claire. Ia lalu meletakkan telapak tangan di dahi adikku, wajahnya cemas bukan main.
"Demamnya tinggi sekali," kata ibuku. Sekarang suaranya agak bergetar, dan aku bisa melihat bola matanya berkaca-kaca saat aku mendekat. "Inikah yang terjadi selama ini?"
Aku mengangguk. Mendadak, dari tatapannya, aku merasa bahwa ibuku sedang menyalahkan dirinya sendiri. Bagaimana bisa dia tidak mementingkan kedua anaknya? Bagaimana bisa dia tidak di sini saat kami butuh? Bagaimana bisa dia malah memprioritaskan menyerangku? Bagaimana bisa dia malah memprioritaskan nasib ayahku yang tidak jelas sementara kedua anaknya sedang sangat butuh bantuan?
Aku ragu sejenak, tetapi tanganku bergerak sebelum otakku dan merangkul ibuku. "Ini bukan salah Ibu," kataku. Ibuku akhirnya pecah menangis dan merangsek ke pelukanku.
"Luke, maafkan Ibu," isaknya. Aku terdiam sebentar—aku sudah terbiasa menghibur Claire saat ia menangis, tetapi tidak pernah ibuku.
"Um, iya," jawabku bingung. "Maksudku, Ibu juga sudah sembuh, aku tidak yakin ada yang perlu kita khawatirkan lagi soal itu."
Ibuku melepas pelukannya dan mengusap airmatanya, bernapas berat dan terisak lagi sekali. Aku berusaha mengalihkan perhatianku ke Claire.
Claire Kecil kembali lagi ke sisi wajahnya. Aku menghela napas dan menyisirnya kembali ke belakang telinganya. Tiba-tiba dunia kembali menyempit. Aku kembali merasa hanya ingin sendiri berdua dengan adikku, tetapi aku ragu hendak mengusir Ibu. Terakhir aku mengusir orang tuaku dari sisi Claire, Ayah tidak kembali-kembali hingga dua hari. "Claire," bisikku. "Claire, aku punya berita bagus untukmu."
Jantungku mencelus. Bukan, bukan karena Claire bereaksi. Claire masih tetap kaku dalam tidur demamnya. Namun karena mendadak aku ingat bahwa Ayah juga sedang keluar mencari obat untuk Claire ... dan jika Thor benar jujur padaku, berarti sekarang obat itu sudah di tanganku.
Sementara Ayah malah belum kembali.
Sekali ini saja, aku sangat, sangat benci pada ironi.
Aku menghela napas berat. "Aku bawa obat untukmu," kataku. "Tapi aku mau minta tolong padamu ... telan, ya?"
Pastinya, Claire tidak menjawab. Aku membuka tutup botol obat dari Thor, lalu mencubit hidung Claire hingga kedua lubangnya tertutup dan ia tidak bisa bernapas. Ibuku paham sebelum aku sempat bicara padanya dan membukakan mulut Claire untukku.
Dalam memberi minum pada orang yang sedang tidak sadarkan diri, hidung harus ditutup dulu supaya cairan minumnya nanti tidak terhirup ke paru-paru secara tidak sengaja. Sebelum Claire menarik napas lagi, aku menuangkan seluruh isi botol itu ke dalam mulutnya.
Cairan itu cuma sedikit, jadi aku bisa segera melepaskan hidung Claire. Selama sesaat, tidak ada perubahan apa pun. Kecuali mungkin untuk sedikit bau mead lembut yang mendadak muncul dan kembali hilang, jika itu bisa dianggap perubahan juga.
Aku meletakkan punggung tanganku di dahi Claire—dan aku bisa merasakan jantungku berhenti berdetak.
Bukan hanya panasnya menghilang—aku bahkan bisa merasakannya dengan sangat jelas. Saat aku menempelkan tangan, panas tubuhnya tidak jauh beda dari biasa. Namun itu segera berubah. Perlahan-lahan, dengan sangat lembut, panas itu berkurang. Aku bisa merasakan suhu tubuh Claire berselancar turun, hingga ke titik di mana aku tidak merasa panas lagi menyentuh dahi Claire. Suhunya normal.
Aku menoleh ke Ibu—ekspresiku pasti sangat kentara, karena ibuku ikut membelalak. "Bagaimana?"
"O-obatnya—" aku tergagap sebentar, tanganku masih di atas dahi Claire, "—obatnya berhasil!"
"Benarkah?" tanya ibuku dengan sama kagetnya. Ibuku segera menggantikan posisiku memeriksa suhu tubuh Claire. Aku tahu aku benar, karena ibuku ikut membelalak. "Wow."
Aku tidak bisa berkata-kata. Suhu tubuh Claire normal. Begitu saja, Claire sudah sembuh. Aku bahkan tidak bisa berpikir lurus dulu sebentar—
Namun lalu aku teringat bahwa ada yang sedang menantiku.
Seluruh kelegaan yang kurasa mendadak pergi begitu saja.
"Luke, dari mana kaudapat obat ini?" tanya ibuku sambil memeluk kepala Claire yang masih tertidur pulas. Aku menghela napas—sepertinya Ibu sadar bahwa ada yang salah dengan ekspresiku. "Luke?"
"Um," mulaiku. Aku berdiri. "Aku ... ceritanya agak panjang." Ibuku sudah sembuh. Claire sudah sembuh. Namun aku tidak bisa menikmatinya, bahkan walau cuma sebentar. "Begini, Bu. Aku membuat janji dengan seseorang. Sebuah taruhan. Aku tidak yakin bisa menjelaskan detailnya karena Ibu pasti bingung, tapi aku berjanji pada orang itu bahwa jika Ibu dan Claire bisa sembuh dengan obatnya, aku akan ikut dengannya."
Aku jatuh terdiam. Ekspresi ibuku kembali kaget—tetapi bukan jenis kaget yang bagus. "Apa?"
"Ada harga yang harus kubayar untuk kesembuhan Ibu dan Claire," kataku datar. Aku tidak bisa mengatakannya dengan cara lain, karena aku tahu aku pasti akan tercekat. "Dan aku harus menepati janji itu sekarang."
Ibuku membelalak menatapku. "Luke ... apa ini lelucon?"
Aku berbalik ke arah pintu kamar untuk menunjukkan bahwa aku serius. Mendadak napasku terasa sangat berat.
"Luke?" panggil ibuku lagi. "Luke, Ibu mohon jangan lakukan ini pada Ibu. Jangan—Ibu baru saja mendapatkan putri Ibu kembali—Luke, jangan—"
"Maaf," gumamku, "aku harus menepati janjiku. Tapi aku mau Ibu juga berjanji satu hal padaku."
"Tidak, Luke, Ibu tidak akan—"
"Tolong jaga Claire untukku."
"Ibu tidak mau—"
"Jaga dia baik-baik."
"—kau tidak boleh—"
"Dan titipkan salamku untuknya."
Aku tersenyum pahit. Ibuku tidak melanjutkan larangannya, tetapi sepertinya akhirnya paham bahwa aku benar-benar serius. "Luke, kenapa kau melakukan ini?"
"Karena aku sayang Ibu," jawabku serak. "Dan aku sangat menyayangi Claire. Ini bisa jadi satu-satunya cara."
"Tidak, Luke, jangan—"
"Sampai ketemu lagi."
Jika aku kembali, tambahku dalam hati sambil keluar. Ibuku tampak terbelah sesaat, antara melepaskan pelukannya pada Claire atau mengikutiku, tapi ternyata ia tidak mau melepaskan Claire. Aku tahu ia takut akan kehilangan putrinya lagi. Ia ingin kedua anaknya kembali.
Sayangnya, itu tidak akan terjadi.
Aku mendadak sadar bahwa aku belum mengambil jaketku, tetapi aku sudah tidak peduli lagi. Thor ataupun ayahnya tidak memberi jaminan aku akan kembali setelah membantu mereka dengan apa pun itu yang mereka mau. Ini bisa jadi kali terakhir aku akan melihat Claire. Jika benar begitu, sebaiknya aku cepat-cepat mati saja. Sedikit hipothermia sebelum mati tidak akan semenyakitkan tidak bisa pulang lagi ke keluargaku.
Thor ternyata menanti di teras. "Bagaimana?"
"Mereka sembuh."
"Baguslah. Aku turut senang untukmu." Sesuatu di nadanya membuatku sadar bahwa dia tulus menyatakan itu. "Mana jaketmu?"
Aku tidak mungkin bilang bahwa aku ingin cepat-cepat mati, 'kan? Jadi aku terdiam. Namun ternyata Thor tidak perlu jawabanku.
"Dasar bodoh," kata Thor. "Aku tahu kau akan ceroboh. Nih."
Dia melemparkan sesuatu yang berwarna keputihan padaku, dan saat aku menangkapnya, aku baru sadar bahwa itu jaketku. Aku melongo sebentar, tapi kemudian bisa merasakan wajahku memanas.
"Kau masuk ke kamarku?" tanyaku marah. Aku tidak yakin aku pernah semarah ini—memancing emosi seseorang saat dia sedang sangat sedih bukan tindakan yang bijak. Thor mengangguk cuek.
"Supaya kau tidak bisa beralasan," katanya. "Hei, siapa tahu? Ternyata aku tidak sebodoh yang kukira."
Aku sangat ingin membalasnya dengan tidak, kau lebih bodoh dari yang kaukira, tetapi lalu teringat bahwa orang ini mampu menghabisi seekor serigala raksasa sendirian. Sialan.
Apa mungkin aku tetap serang saja...?
"Jika kau berpikir soal menyerangku, jangan," mendadak nada Thor menjadi serius. "Karena aku tidak akan membunuhmu. Aku sudah diperintahkan untuk membawamu hidup-hidup, jadi aku tidak akan membunuhmu. Tapi itu tidak berarti aku tidak bisa membuatmu benar-benar kesakitan."
Ancamannya yang barusan itu serius. Aku menghela napas berat, masih memelototinya dengan seluruh murkaku, tetapi tidak melakukan apa pun. Berarti sepertinya tiket mautku tidak di tangannya.
"Pakai jaketmu," katanya tanpa basa-basi. "Kita tidak akan berangkat sebelum kau memakai jaketmu."
"Aku tidak—"
Palu emasnya mendadak terbang dari tatakannya ke dalam genggamannya. "Maaf. Kaumau bilang?"
Aku mengatupkan rahangku dengan penuh dendam dan mengenakan jaket dan celana musim dinginku. Ternyata Thor juga sudah mengambilkan sepatu bot saljuku. Baik sekali.
Begitu aku selesai, Thor memberiku seuntai kalung dengan sebuah bandul besi di tengahnya.
"Apa itu?" tanyaku gusar.
"Restuku," kata Thor singkat. "Pakai."
Restu. Terserah. Aku ingin menolaknya, tetapi genggaman Thor di palunya tidak mengendur. Jadi akhirnya aku mengenakan kalung itu juga.
Selama sedetik, mendadak aku merasa sangat ringan, seakan-akan aku sedang di bulan atau semacamnya. Namun itu segera berlalu.
"Nah," kata Thor. "Aku sudah meminta ayahku untuk mengirim wight ke sini, jadi rumahmu akan segera beres seperti semula. Sekarang bersiaplah."
Wight adalah makhluk dari mitologi Nordik, semacam roh alam, yang terkadang baik hati dan sering membantu urusan kerumahan. Aku sudah lama menyerah pada delusi orang ini, jadi aku mengangguk saja.
"Heimdall!" katanya sambil menekan telinga, seakan sedang bicara ke sebuah earset. "Kami mau lewat!"
Mendadak sebuah suara muncul di kepalaku: dipersilakan.
Aku belum sempat mengenali suara itu, dan baru saja sadar bahwa ada pikiran selain pikiranku di dalam kepalaku sendiri, tapi itu tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan yang terjadi berikutnya.
Sebuah lubang raksasa muncul di tengah udara di depanku. Serius, itu sebuah lubang. Seakan-akan udara disobek berbentuk lingkaran, dikelilingi oleh kabut awan. Di tengah-tengah lubang ini, ada sebuah garis—jalur, sadarku, berwarna pelangi.
Aku ternganga, dan selama sesaat, lupa bahwa aku sedang murka pada Thor. "Ap-apa—?"
"Ini jembatan hyperspace," kata Thor. "Namanya Bifröst. Kau belum pernah melakukan lompatan hyperspace sebelumnya, 'kan?"
Aku tidak sempat menjawab, tetapi tangan kasar Thor yang menjawabkan untukku. Mendadak aku merasakan sebuah dorongan yang sangat keras di punggungku, dan baru saja aku sadar bahwa aku didorong, mendadak cahaya putih terang melingkupi seluruh cakrawala pandangku begitu aku bersentuhan dengan jalur pelangi di depanku.
Aku bisa merasakan tubuhku tersentak, bergerak dengan sangat cepat, melayang meninggalkan rumahku—
Dan aku bahkan belum mengatakan selamat tinggal pada Claire.
***
Aku merasakan ada perubahan arah gerakan, dan tiba-tiba aku sadar bahwa Thor sedang membopongku. Warna putih menyilaukan yang tadi kulihat segera memudar.
"Apa-apaan?" protesku. Thor bahkan tidak menoleh sambil melompat dari jalur pelangi itu.
"Menyeberangi Bifröst akan terlalu makan waktu," katanya. "Jika lewat Bifröst, kita akan harus ke Himinbjörg dulu, baru ke Valaskjalf ... terlalu lelet, menurutku."
Hi-min-byurgh. Fal-las-kyalf. Kepalaku belum sempat mendata kata-kata itu saat kedua kaki Thor mendadak mendarat lagi di atas sebuah jalur cahaya, kali ini lebih lebar dan berwarna seperti jalinan empat jenis warna biru yang berbeda-beda.
"Jadi aku membawa kita menyeberangi Körmt-Örmt-Kerlaugar saja," kata Thor. "Atau lebih sering kusebut K-O-K karena aku agak malas. Dengan begini, kita akan langsung tiba di Valaskjalf."
Kepalaku dibuat pusing oleh latar belakang jalur cahaya kebiruan ini yang sangat terang, arah gerakan kami yang tak menentu, oleh diksi-diksi aneh muntahan Thor ... dan terutama oleh posisiku dibopongnya. Ini sangat tidak nyaman.
Lalu aku bisa merasakan Thor menegang sambil mengambil kuda-kuda akan melompat.
"Um," mulaiku panik. "Apa—"
"Pegangan!" seru Thor sambil akhirnya melompat keras. Aku bisa merasakan sentakan di perutku, dan belum sempat aku menjerit, kami sudah melayang melewati udara—
Cahaya putih kembali memenuhi cakrawala pandangku.
Kedua kakiku kembali memijak tanah.
Aku yakin aku masih ternganga berusaha menjerit, tetapi begitu cahaya putih itu meredup, aku baru paham apa arti kaget yang sesungguhnya.
Sekilas, aku merasa seperti tanah menarikku dengan lebih keras. Namun sensasi itu segera hilang, seperti sensasi bahwa aku berada di bulan tadi. Lalu mataku menyesuaikan diri.
Aku sedang berada di sebuah istana. Itu pastinya. Di sekelilingku, pilar-pilar keperakan megah berdiri menyangga langit-langit berwarna hitam berkilat yang berada sangat tinggi di atas sana.
Itu belum segalanya—udara di sini terasa sangat hangat.
Jauh lebih hangat daripada udara membeku musim dingin.
Sebagian besar hal di sini, kusadari, berwarna keperakan. Kilaunya benar-benar menyilaukan, seakan-akan seseorang meningkatkan kecerlangan pengelihatanku berkali-kali lipat dengan komputer. Aku baru saja berbalik untuk mengamati lebih banyak, tetapi tiba-tiba aku diterkam.
Dalam sebuah pelukan.
Selama sepersekian detik pertama, aku kaget. Tentu. Namun kaget itu segera pudar ketika bau rambut penerkam mistriusku menyeruak masuk ke hidungku—aku kenal bau ini.
"L-Laura?" gagapku. Massa serabut hitam di pundakku, yang tengah menenggelamkan diri di sisi leherku, melemaskan pelukannya. Aku benar—itu Laura. Matanya tampak benar-benar cemas.
"Aku kira aku kehilanganmu," katanya pelan. "Astaga. Luke. Kau benar-benar di sini."
Aku terbengong. Kemudian aku baru sadar bahwa ada orang lain yang menanti di belakang Laura—cowok sebayaku dengan rambut cokelat cepak yang sekarang sudah agak gondrong dan kacamata bingkai-separonya yang khas.
"James?" bengongku. Anak itu cuma mengangguk padaku sebagai jawaban.
Laura maju dan memelukku lagi. Lalu hal itu baru masuk akal bagiku—Laura memelukku.
Segalanya berkilau, ada Laura memelukku, ada James....
"Apa aku sudah mati?" tanyaku. Apa aku sudah mati karena sentakan ajaib Thor tadi? Hmm, bisa jadi. Lalu apa ini berarti Surga itu sungguhan ada? Lalu jika Surga itu sungguhan, apa ini artinya—
"Ahem."
Ada deheman dalam dari arah depanku. Laura melepaskan pelukannya dan menoleh ke belakang, dan arah pandangannya diikuti James.
Aku baru sadar bahwa aku berdiri menghadap sebuah singgasana.
Singgasana itu sama keperakannya dengan segala hal lain di istana ini, dilatarbelakangi oleh dinding yang berpendar lembut, membuat patung perak berbentuk lambang triquetra—seuntai garis yang saling membelit hingga membentuk tiga lingkaran berujung runcing—di depannya menjadi siluet. Namun hal yang segera menarik perhatianku adalah orang yang duduk di singgasana itu.
Orang itu tampak besar—bukan, bukan besar gemuk. Besar seperti Thor. Dia bisa jadi setinggi lebih dari dua meter dengan otot yang sama padatnya. Bedanya, orang ini jelas sudah tua. Bahkan dengan tubuh dilapisi armor minim dan pakaian yang tampak nyaman untuk cuaca ini sekalipun, aku masih bisa melihat keriput di buku-buku jari dan di wajahnya.
Aku baru sadar bahwa hal paling mirip yang kutahu dengan orang ini adalah Santa Klaus—kecuali, tentunya, orang ini tidak gendut seperti Santa Klaus. Malah sebenarnya deskripsi paling tepat untuk orang ini adalah Santa Bajak Laut, karena postur tubuhnya yang tegas penuh komando ... serta mata kirinya yang ditutup dengan eyepatch.
"Tidak, Lucas," katanya. Suaranya lembut, seperti seorang kakek penyihir bijak atau semacamnya, dan terdengar sabar. Namun, di saat bersamaan, sangat tegas. Orang ini jelas seorang figur pemimpin—dia memancarkan karisma yang sangat kuat. "Kau belum mati. Jadi bukan, ini bukan Surga, dan mereka berdua benar-benar Laura dan James yang masih hidup seutuhnya."
"Dan kau adalah?" tanyaku dari refleks. James segera berbalik memelototiku dan menggumamkan sesuatu soal sopan santun. Aku mengangkat alis padanya, sementara Santa Bajak Laut terkekeh.
"Tidak apa-apa, James," katanya ramah. "Aku yang nyaris lupa bahwa Thor tidak mungkin sempat memperkenalkanku. Jadi, Lucas, selamat siang, dan selamat datang di Asaland. Ini adalah Valaskjalf, istanaku. Aku harap istana ini tidak terlalu jelek untukmu." Dia menatapku dengan satu-satunya matanya, dan mendadak suaranya jadi lebih serius. Jantungku mencelus. "Dan untuk menjawab pertanyaanmu ... aku adalah Odin, Ayah dari Thor dan Raja seluruh Asaland. Akulah yang memintamu kemari. Salam kenal."
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro