Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

10

[SEMINGGU SETELAH ISOLASI.]


PELAJARAN HIDUP YANG sangat penting jika ada seekor serigala raksasa yang menerjangmu: itulah saat yang tepat bagimu untuk percaya pada Tuhan.

Akal sehatku mati selama dua detik, dan ternyata itu persis waktu yang dibutuhkan serigala itu untuk menyeberangi ruang tamu ke ruang keluarga. Jadi begitu serigala itu masuk, tubuhku bisa dibilang terlambat ingat caranya bergerak.

Claire.

Ibu.

Aku tidak boleh terlalu dekat dengan koridor-koridor ke kamar mereka.

Serigala itu sudah mengambil satu lagi lompatan raksasa ke depan, menabrak sofa hingga jatuh ke samping, dan aku menjerit sambil berlari ke arah TV. Serigala itu menggonggong ganas, kedua mata obsidiannya masih terlekat padaku yang sekarang berlari hanya tiga meter di sebelah kanannya, berusaha menyeberangi ruang keluarga untuk membawanya kembali ke ruang tamu.

Serigala itu punya rencana lain.

Alih-alih berbelok dulu, dia langsung menerkam dengan kaki depannya ke arahku.

Sial—

Terkamannya lebih seperti usaha untuk menyerangku daripada menekanku ke tanah, sehingga aku malah terpental keras ke arah TV di ujung ruangan. Aku cuma bisa mendengar suara plastik patah di balik teriakan kagetku—pasti TV-ku hancur terkena tubuhku. Untung listrik sudah tidak mengalir lagi.

Serigala itu menggeram sambil mendekat ke arahku. Aku bisa melihat cakar-cakarnya berkilat dengan darah—sepertinya darah para penjarah yang tadi dihabisinya di luar.

Mereka berempat dan sudah terbiasa pada situasi ekstrem begini.

Aku sendirian dan masih merasa serigala ini cuma halusinasi.

Aku mengerang, berusaha menyadari tubuhku lagi, dan mencoba meraba ke sekelilingku sebentar. Bentuknya seperti TV ... ya. Aku benar-benar baru saja terpental keras ke arah TV. TV-ku benar-benar hancur.

Ruang keluargaku benar-benar berantakan.

Serigala raksasa ini sungguhan.

Bukan halusinasi.

Serigala itu semakin dekat kepadaku, dan aku baru bisa merasakan terjangan adrenalinku sekarang—jika ini berlangsung terus, mungkin aku akan sakit jantung.

Lalu aku baru teringat tujuan awalku: aku harus menjauhkan serigala ini dari kamar Claire dan Ibu.

Aku harus kabur dan membawa serigala ini bersamaku.

Mataku kembali menatap kedua matanya. Dia benar-benar berniat menghabisiku. Entah dia itu apa, kenapa, atau bagaimana, dia ingin menghabisiku. Dan pada saat ini, asal-muasal mendadak tidak terasa terlalu penting.

Aku harus kabur. Aku menelan ludah dan mencoba mengatur napas.

Aku harus kabur.

Bagus.

Itu keahlianku.

Jadi aku berusaha untuk kembali berdiri. Serigala itu bahkan tidak repot-repot tampak kaget atau semacamnya dan malah menggeram lebih keras. Dia masih menatapku dalam-dalam sambil melangkah ke arahku—kakiku masih bisa patuh ketika kuminta menopang tubuhku dan berdiri, tetapi jika aku terus gemetar seperti ini, itu tidak akan berlangsung lama.

Serigala itu berhenti melangkah, matanya masih terkunci padaku. Sunyi sesaat. Siulan angin di luar kembali terdengar. Aku bisa mendengar napasku sendiri yang terengah-engah; aku bisa melihat uap tipis yang muncul dari ujung moncong si serigala setiap kali dia mengembuskan napas.

Lalu aku melihatnya di lengan atas serigala itu: kedutan.

Aku menunduk.

Pilihan tindakanku sangat tepat waktu—serigala itu ternyata menerkam saat itu juga, dan kecepatan gerakannya luar biasa. Setengah detik yang lalu, kepalaku berada di tempat yang ditebas oleh cakar besarnya. Aku sendiri segera mengambil posisi menerkam dan berguling ke depan, menghindar lewat bawah tubuhnya—gerakan parkour yang kuingat bernama tiger-strong—sementara terjangannya menemui dinding di belakangku. Puing-puing TV-ku semakin tidak berbentuk lagi. Aku tidak yakin kabar dinding ruang keluargaku jauh lebih baik.

Aku bisa mendengar jeritan Ibu memanggil-manggil namaku dari kamarnya, tapi aku tahu ia tidak akan bisa apa-apa—aku sendiri yang memastikan itu—jadi aku kembali mengambil manuver menyamping saat serigala itu berbalik lagi dengan kaki depan terayun keluar.

Pastinya, arah lariku yang mendadak ini mengelabuinya. Namun kali ini, cakarnya berhasil menyobek punggung jaketku—tapi bukan punggungku.

Untung bukan punggungku.

Jantungku memberontak di dalam rusuk, seperti menjeritkan padaku bahwa yang barusan itu terlalu nyaris. Aku segera mengambil langkah seribu ke arah ruang tamu. Aku tahu bahwa ruang gerakku tetap tidak akan banyak, dan jika begini terus, aku akan menghancurkan seantero rumah sebelum akhirnya mati dimangsa serigala raksasa yang entah-dari-mana-asalnya ini, tetapi paling tidak aku harap ini cukup untuk memaksanya mengikutiku menjauhi kamar Claire dan Ibu.

Serigala itu menyalak keras dan mengambil sebuah langkah lompat ke arahku—dan aku baru menyadari sudut lompatannya setelah dia bergerak.

Kali ini, aku terlambat.

Ibuku memekik pilu.

Aku juga.

Tidak salah lagi—sekelibat bayangan hitam berlalu di depan mataku, lalu muncul bentuk-bentuk bulu dan hal berikutnya yang aku tahu, kepalaku sakit karena dibanting ke tanah bersama tubuhku dalam sebuah terkaman yang seharusnya kelewat kuat. Aku mengerang, tetapi baru saja mataku kembali fokus, aku cuma bisa menatap sepasang mata obsidian yang kelaparan dan mencium bau busuk amis dari moncong raksasa yang berada hanya sepuluh sentimeter di atas wajahku. Bau anyir besi—darah, sadarku—memenuhi seluruh rongga hidungku, dan aku harus menahan segala macam dorongan untuk muntah.

Serigala itu menggeram dulu, membiarkan napas baunya yang agak beruap berembus ke wajahku yang sepertinya mati rasa. Debar jantungku tidak membaik sama sekali, dan fakta bahwa aku baru saja terbanting jatuh dan kini sedang tengah ditahan oleh seekor serigala raksasa tidak membantu sama sekali.

Aku baru sadar bahwa aku sedang menggigil.

Serigala itu mengangkat kepalanya. Suaranya mendadak sunyi.

Setengah detik berikutnya, aku mendadak sadar apa yang akan dia lakukan.

Jantungku mencelus.

Kepalanya mencaplokku.

Aku memejamkan mata dan menjerit karena refleks.

GUBRAK!

Jeritanku masih belum berhenti, tetapi aku sadar ada yang salah: gigitan maut pengoyak daging dari serigala raksasa itu tak kunjung tiba.

Malah sebaliknya—aku mendengar suara tubrukan yang sangat keras, disusul sebuah lolongan protes.

Perlahan, aku coba memaksa diri untuk membuka mata.

Serigala raksasa itu sudah tidak menahanku.

Apa—

"AWAS!!"

Seruan itu berhasil menembus otakku tepat waktu, dan aku berguling cepat ke sisiku. Aku merasakan sedikit embusan angin lembut, bulu kudukku berdiri, dan mendadak si serigala raksasa terbanting ke lantai tempatku terbaring tadi. Aku memekik kaget dan berusaha bangun—ajaibnya, aku bisa bangun dengan cepat dan langsung menyingkir.

Serigala itu bangkit lagi, menyalak ganas ke arah ruang keluarga, dan menerkam maju. Baru saja aku tersadar bahwa dia mencoba menyerang sesuatu di ruang keluargaku, muncul sebuah suara hantaman yang sangat keras dan serigala itu kembali terpental ke ruang tamu. Aku merapatkan punggung ke tembok, berusaha menambah sebanyak mungkin jarak darinya.

Lalu, di tengah napasku yang terengah-engah dan jantungku yang berdebar, pertanyaan yang benar akhirnya muncul di kepalaku: siapa yang baru saja berteriak padaku?

Saat itulah sesosok wujud muncul dari ruang keluarga, menghampiri si serigala dengan langkah-langkah besar yang garang.

Kesan pertama: dia besar.

Pria itu—aku cukup yakin dia seorang pria—berpostur kekar ala Dwayne Johnson dengan bahu yang lebar, dan tingginya sendiri mungkin dua setengah meter. Bayangkan saja sendiri ototnya sebesar apa. Berdirinya tegak, seperti seorang prajurit, dan langkahnya mantap. Kulitnya—yang cuma terlihat di wajahnya karena seluruh tubuhnya terbalut pakaian—tampak putih, agak pucat. Rambutnya sebahu dan agak berantakan, tetapi berwarna merah mencolok hingga bahkan di ruangan yang gelap seperti ini pun aku bisa melihatnya dengan sangat jelas. Dia mengenakan bot hitam dengan pakaian jaket dan celana tebal berpola camo putih—seragam musim dingin militer.

Tapi yang paling ganjil dari semuanya adalah senjata yang dibawanya di tangan kanan—sebuah palu emas.

Tidak salah lagi, senjata di tangannya itu adalah sebuah palu emas. Martilnya kira-kira sepanjang satu jengkal tangannya, yang berarti mungkin sekitar satu setengah jengkal tanganku, dan gagangnya sangat kecil hingga palu itu cuma bisa dibawa dengan satu tangan. Di ujung gagangnya ada ornamen yang juga terbuat dari emas, seperti seluruh palu itu, dan pola-pola indah yang sepertinya diukir menghiasi seluruh permukaannya.

Orang itu menggeram galak, dan mendadak mengambil ancang-ancang untuk menghantam si serigala dengan palunya. Si serigala tidak tinggal diam dan berusaha mencakar orang itu, tetapi ayunan palunya lebih kuat—krak.

Si serigala melolong kesakitan sementara kaki depannya yang kini remuk kembali terbaring ke tanah dengan sudut yang tampak mengerikan, sementara orang itu mengayunkan lagi palunya—kali ini dengan arah ayunan ke depan, bukan bawah.

Pukulan telak palu itu menghajar si serigala persis di rusuknya, dan serigala itu terpental ke arah pintu keluar sambil mengaing kesakitan. Orang itu melangkah lagi mendekati si serigala, matanya berkedut memperhitungkan sesuatu.

"Ayah akan sangat benci ini," gumamnya sebelum mengayunkan palunya kepada si serigala untuk terakhir kalinya. Serigala itu melolong keras menjawab ayunannya, seperti memohon ampun, tetapi orang itu tidak berencana membiarkan makhluk raksasa itu hidup dan tetap membiarkan palunya mengayun turun—persis ke kepala si serigala.

Aku memejamkan mata.

KRRAKK.

Lalu hening.

"Wah," kata orang itu, disusul sebuah helaan napas panjang. "Berantakan sekali. Sayang aku sedang tidak membawa wight-ku. Maaf, Nak, akan kucari cara lain untuk membereskan kekacauan ini."

Aku baru berani membuka mata lagi setelah sunyi lagi selama dua detik—dan aku baru sadar bahwa orang itu sedang memerhatikanku. Gila, bahkan suaranya terdengar kekar. Aku ternganga bingung sebentar, lalu menelan ludah.

"Um," mulaiku. "Apa...?"

"Yang seperti ini," katanya sambil menunjukkan jempolnya pada mayat si serigala raksasa, "namanya warg. Mereka asli Jotunheim, tapi ayahku entah kenapa sangat suka pada mereka. Aku tidak tahu bagaimana satu ekor bisa sampai tiba di sini. Aku harus minta maaf dulu karena keteledoran ayahku. Dan itu akan sangat merepotkan, karena biasanya dia tidak teledor begini."

Aku masih ternganga. Separuh diriku menangkap beberapa kosakata aneh yang dia lontarkan—wight, warg, Jotunheim—dan paruh itu mengatakan bahwa kosakata itu familier. Tetapi separuh diriku yang lain masih belum bisa sepenuhnya menangkap fakta bahwa dalam hitungan menit, aku baru saja mendengar pembantaian penjarah di luar, diserang seekor serigala raksasa, dan diselamatkan oleh seorang kekar yang sama raksasanya yang membawa sebuah palu emas.

Otakku masih buntu respon, jadi sementara aku masih ternganga dalam syok yang entah kapan akan reda, orang itu memilih untuk bergerak ke arah pintu keluar dan menyeret mayat si serigala raksasa—apa namanya, warg?—keluar dari rumahku. Perjuangannya agak tersendat oleh fakta bahwa tubuh warg itu lebih lebar dari kusen pintuku saat terbaring, tetapi orang itu tetap menarik hingga keempat kaki warg itu terlipat sendiri karena terkena kusen. Orang itu keluar, menyeret mayat warg itu, dan akhirnya di ruang tamuku cuma tersisa meja dan sofa yang hancur berantakan dan sebuah kubangan darah bekas kepala warg di pintu depan.

Orang itu kembali masuk, dan memaksakan seulas senyum kecil. "Bagaimana keadaanmu?" tanyanya. Aku terbengong lagi sebentar sebelum sadar bahwa dia sedang bertanya padaku.

"Eh?" gagapku. "A-aku baik-baik saja ... sepertinya."

Orang itu mengangkat bahu. "Maaf aku menerobos masuk ke rumahmu."

Separuh diriku yang masih menganggap bahwa ini semua sangat fantastis lalu menelan kembali semua pemandangan di ruang ini. Lalu pemandangan di ruang keluarga....

TV-ku.

Paruh diriku yang itu mendadak menyadari bahwa ini semua memang nyata.

Aku baru saja benar-benar diserang oleh seekor serigala raksasa.

Aku baru saja benar-benar selamat dari kejarannya.

Aku baru saja benar-benar ditolong oleh seorang pria kekar yang membawa—

Tunggu.

Palu emas.

Rambut merah.

Serigala raksasa—warg.

Wight.

Jotunheim.

Kata-kata itu berputar lagi sekali mengitari kepalaku seperti mantra, dan tiba-tiba otakku menemukan hubungannya: James.

James pernah bercerita padaku soal ini. James pernah menceritakan hubungan antara orang kuat, palu emas, rambut merah, warg, wight, dan Jotunheim.

Jantungku mencelus.

Orang itu melangkah ke arahku, setiap langkahnya tetap dan pasti, seakan dia tidak bisa dihentikan. Dia lalu meletakkan palunya ke sebuah holster kecil di pinggangnya yang sepertinya memang sengaja didesain untuk benda itu. Dia berhenti sekitar semeter di depanku—aku tidak bisa melihat apa-apa lagi saking besarnya tubuhnya. Lalu dia mengajukan tangan kanannya.

"Jadi sepertinya ini waktu yang tepat untuk perkenalan, 'kan?" katanya. Aku tidak merespon, tetapi orang itu lalu melanjutkan. "Ayolah, jabat saja tanganku, aku payah soal berurusan dengan orang begini."

Aku tahu rasanya, jawabku dalam hati sambil perlahan mengangkat tanganku. Jujur, aku ragu. Kekuatan orang ini tidak bisa diragukan lagi. Kemudian, jika sambungan di kepalaku ini benar, maka orang ini adalah—kemungkinan besar—orang gila. Apa aku mau semudah itu berurusan dengan orang gila yang superkuat?

Namun sekelibat bayangan serangan warg tadi kembali muncul di kepalaku hingga aku harus menggeleng kecil.

Apa dia bahkan segila itu?

Pada akhirnya, aku malah mendapati tanganku menjabat tangannya. Dia tersenyum kecil.

"Nah, itu lebih baik. Siapa namamu?"

Beri? Jangan beri? "Luke."

Dia mengangguk. Yang dikatakannya berikutnya menjawab ketakutan terbesarku: "Oke, Luke, selamat siang. Aku Thor. Senang berkenalan denganmu."

***

[ARTICLE UNLOCKED: WARG.]

Catatan Penulis: Hai! Akhirnya Part 1: The Winter selesai juga huwahahahahah. Terima kasih superbanyak pada teman-teman semuanya! Aku anggap utangku selama November ini terpenuhi. Untuk sementara ini sih, paling nggak. Aku akan ada Olimpiade Psikologi hari Sabtu nanti, hehe. Doakan aku.

Lalu sedikit sneak peek: part 2 nanti akan berjudul The Wyvern. Tunggu aku Desember nanti!

***


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro