Episode 1: SMA Mulia
"Kamu harus berubah ja."
Radja, remaja berambut hitam gondrong acak-acakan itu berhenti menyuap sendok baksonya. Iris cemerlangnya menoleh ke sumber suara berlogat khas melayu itu. Tepat di seberang meja kantin, seorang remaja berambut ikal dengan kulit sawo matang menatap serius kearahnya.
"Berubah apanya?" Radja mengangkat sebelah alisnya.
"Berubah penampilan lah, kamu tuh seperti berandalan, rapihkan lah sikit." Alif, remaja melayu dengan logat khasnya.
Radja mengedipkan mata, kemudian mengambil ponsel dari saku dan bercermin lewat layar ponselnya. Nampaklah seorang remaja berwajah tegas dengan manik mata cemerlang. Kalau di perhatikan lagi, wajah Radja sama sekali tak mirip dengan berandalan, bahkan satu persen pun. Justru lebih mirip seorang yang memiliki karisma. Di tambah remaja berusia tujuh belas tahun ini memiliki tinggi di atas rata-rata.
Tapi sayangnya, cara berpakaiannya yang asal-asalan menutupi semua anugerah tuhan itu. Membuatnya terlihat seperti anak SD yang tak paham memakai dasi. Lihatlah, baju seragam putih kusut ia keluarkan dari celana abu-abu panjangnya. Tak ada gesper Osis yang melingkari pinggannya. Rambut hitam gondrong itu di biarkan acak-acakan seperti habis bangun tidur.
"Muka gw ganteng," Radja berkata datar.
"Penampilanmu itu yang seperti berandalan!" Seru Alif gemas.
Berandalan? Radja mengangkat sebelah alisnya lagi. Tangannya yang menggenggam ponsel pun ia jauhkan, agar dapat melihat penampilannya lebih banyak.
"Biasa aja, gw kan emang gini." Radja berkata datar, Alif menepuk pelan keningnya.
"Kamu tau soal tawuran kemarin?" Alif menegakkan duduknya, menatap serius kearah Radja. Radja merasa tak enak di pandangi, ia pun beralih menatap kerumunan murid berseragam yang tengah menyerbu pedagang yang berbaris mengisi kantin. Jam di dinding terdekat menujukan pukul sebelas siang, artinya lima menit lagi istirahat selesai, dan Radja ingin segera berlari ke kelasnya, menghindari ceramah Alif yang penuh logat melayu.
"Anak-anak SMK Agung itu?" Radja bertanya ragu-ragu.
"Benar, dan kamu tahu siapa musuhnya?"
"Hmm, SMA kita?" Radja menebak, dan di jawab acungan jempol dari Alif.
"Makannya ja, kamu harus perbaiki penampilan," tutur Alif.
"Apa hubungannya tawuran ama penampilan gue?"
"Kau bodoh ke?" Alif emosi.
"Lu aja yang gak to the poin." Ketus Radja sembari mengisap es tehnya. Alif memutar bola mata, meraba dada yang meluapkan emosi.
"Kamu ni emang jenius ngapalin ja, tapi bodoh kalo soal mikir." Alif meraih es teh miliknya, berhenti sejenak sebelum kemudian kembali berbicara. "Kamu bisa kena amuk masa mereka, tau?"
Radja bergumam sebentar, kemudian mengangguk paham.
"Mereka ni sebenernya gak pandamg bulu, tapi penampilan berandalanmu itu sangat mencolok bagi mereka. "
"Tunggu, emang gw kayak berandalan?"
Alif angkat tangan, dia berasa berbicara dengan orang paling tolol seantero negeri ini. Orang paling primitif, orang paling bedebah yang pernah ia temukan dalam hidupnya.
"Hei, gw gak pernah bikin masalah. Kalian gak bisa nilai orang dari sampulnya. Siapa sih yang buat julukan aneh itu." Radja protes, kemudian kembali menyendok baksonya.
"Kamu bakal di anggap cupu kalau tidak berteriak pada jurit malam perkemahan dua bulan lalu." Alif menyandarkan punggungnya ke kursi kayu.
"Hmm, cowok kacamata kelas dua belas yang nangis gegara di teriakan gue itu?" Radja memastikan.
"Tumben otakmu kerja, Saye harus banyak-banyak bersyukur mulai hari ini." Alif justru bersyukur hikmat sendiri.
"Itu, kan salah dia nge-Gas, gue refleks bales, lah." Radja membela.
"Balasanmu gak ngotak, Saye pusing ama jalan pikirmu ja, ja," Alif menggeleng pelan.
"Jadi..gw perlu rapih?" Radja bertanya, dan Alif mengangguk pelan.
"Bye the way, mereka tawuran lagi kapan?" Radja bertanya sesuatu yang tak masuk akal pada alif, remaja Melayu itu melipat dahinya tak paham.
"Mereka bisa kapan aja, kan? Kenapa tanya ke saye?"
"Karena lu serba tau."
"Bukan berarti saya peramal, ja."
Kring!
Bel sekolah bernyanyi, membubarkan kerumunan murid yang memenuhi kantin sekolah. Langkah kaki mereka bergerak cepat menuju gedung sekolah, meninggalkan barisan pedagang.
Radja pun beranjak dari mejanya, melangkahkan kaki ke tangga semen bercat merah yang menghubungkan lapangan atas dan kantin yang terletak di bawah. Alif mengekor di belakang.
Mereka tiba di lapangan, kemudian segera berpisah menuju gedung masing-masing. Alif berjalan menuju gedung di sisi kanan lapangan sekolah, jurusan IPA. Sedangakan Radja berjalan ke gedung di sisi kiri lapangan, jurusan IPS.
Langkah sepatu Radja berderap di lorong kelas, matanya mengedarkan pandangan memerhatikan apa saja. Tembok putih monoton atau sekedar mading yang di kerumuni murid-murid, bergibah ria tetang poster kontes model batik. Acara tahunan dan unggulan SMA Mulia.
Radja tak terlalu tahu dan peduli soal itu, karena menurutnya tak ada yang seru melihat orang berbaju batik berpose di atas panggung.
"Selamat siang baginda Radja, ada yang bisa saya bantu?"
Seorang remaja seumurannya muncul dari balik pintu kelas, seolah sudah menunggu kehadirannya. Radja tertawa aneh seraya mundur beberapa langkah.
"Lu udah kelar rapat Dew? Tumben, biasanya anak Osis jajan dulu." Radja menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Tuh! Masih ada lima menit! Jajan, gih!"
"Gak usah banyak bacot, kenapa seragam lu jadi gelandangan gini? Gesper Osis sama dasi yang gue kasih kenapa gak lu pake?" Remaja berkacamata tebal itu menyelidik Radja.
"Gue males." Radja menjawab santai.
"Gue juga males jadi ketua Osis."
"Mau gue bantu biar di pecat dari Osis?" Radja nyengir kuda.
"Boleh, tapi lo bakal di DO, mau?" Dewa balas tersenyum
"Enak aja, lu kata sekolah di sini pake daon." Radja ogah.
"Sekolah di sini juga pake etika, ja." Dewa berkata malas.
Radja menghela nafas panjang. "Sumpah, Dew, pake seragam yang di iket dasi sama gesper itu gak enak! Rasanya tuh susah gerak kemana-mana." Radja menggeleng-geleng tidak suka.
"Kalo begitu sekalian aja gak pake baju."
"Pengengnya, tapi gue gak make kolor sekarang." Radja mendengus sebal.
Dewa menekuk dahi lebarnya sampai jadi buku novel. Otak besarnya mencoba memahami anomali evolusi manusia di hadapanya.
"Gue gak ngerti ama pikiran lo, tapi sumpah buat kali ini pake seragam yang bener. Gue gak mau di ceramahain Pak Tono sampe sore soal jadi ketua yang mengayomi seisi sekolah." Dewa menyerah menegur, kini ia memilih memohon pada Radja.
Radja nampak kasihan dengan wajah pasrah sahabatnya, nampak begitu lemas dan berharap. Dengan pelan, ia merangkul pundak Dewa yang lebar.
"Untuk kali ini, gue berkorban buat lu." Radja tersenyum yakin.
"Bacot lo! Benerin seragam lo!" Dewa menjitak keras Radja, kemudian menyeretnya kearah meja barisan paling belakang.
Seisi kelas ribut bukan main, bahkan ada yang sempat-sempatnya gelar konser band tepat di sudut ruangan, bernyanyi ria dengan satu orang memainkan kunci gitar lagu Surat wasiat untuk Starla. Dewa buru-buru memakaikan dasi di leher Radja. Dalam lubuk hati Dewa ada sedikit rasa ingin menyimpul tali gantung, tetapi dia sadar bahwa itu perbuatan yang kurang tepat. Setelah merapikan anak orang, Dewa menyuruh anak itu duduk manis, sedangkan dia berjalan ke depan kelas untuk menggebrak meja guru. Penuh emosi.
BRAK!
Seperti guntur di siang bolong suara itu mengejutkan satu kelas, mengutarakan perhatian pada Dewa yang berdiri di depan.
"Sahabat-sahabatku, yang lagi gibah, yang lagi konser atau yang lagi menerawang masa depan, saya mohon perhatiannya." Dewa tersenyum manis.
"Santai napa Dew! Kaget gue lagi tidur!" Seorang perempuan berhijab putih berseru ketus. Ia masih mengusap-usap muka bantalnya.
"Masih untung lu bangun, kalo lu gak bangun gimana?" Dewa mulai absurd.
"Hah?!" Perempuan itu mengertukan dahinya.
"Jadi intinya gini temen-temen." Dewa mengabaikan perempuan itu. Di telisik dari jabatannya; Dewa sudah lelah. Maklumi bicaranya yang rancu. "Meski kita baru tiga bulan jadi anak kelas sebelas SMA, bukan berarti waktu berleha-leha kita masih banyak. Terlebih, tiga bulan lagi acara tahunan SMA Mulia bakal di adain."
Dewa mengambil kapur kemudian menuliskan sesuatu di papan tulis. Dan saat ia selesai semua orang mengeja kalimatnya. "Festival Ekstrakurikuler."
"Simpelnya, ini adalah acara dengan kumpulan lomba yang sesuai Ekskul kalian. Misal, ekskul nyanyi, nanti kalian akan berlomba dengan kelas, angkatan bahkan gedung lain."
Semua kepala di kelas manggut-manggut. Siti, perempuan berkerudung yang di kagetkan dewa tadi mengacungkan tangan. "Kenapa nih acara penting?"
"Karena bintang tamunya. SMA Mulia di kenal dengan kualitas pendidikannya, jadi gak heran mereka ngundang ahli seni, penyanyi atau master silat buat nyaksiin Festival ini. Jadi gue cuman mau sampaikan ke kalian kalo ini adalah kesempatan kalian buat menunjukkan diri. Menang kalah gak penting, yang penting kalian udah nunjukin siapa kalian." Dewa tersenyum.
Semua orang di kelas merasakan kehadiran sosok Mario Teguh. Di balik kacamata tebalnya, wajah lelah dan ketusnya, tersimpan setitik titisan motivator. Dewa menutup pengumumannya saat Pak Tono masuk kedalam kelas, ikut membubarkam band di sudut kelas. Dewa kembali ketempat duduknya, tepat di sebelah Radja.
"Gak heran lo jadi ketos!" Radja memuji.
Dewa tersenyum simpul, mengacungkan jempolnya. Radja terkekeh, lanjut berbicara. "Lu cuman kurang satu hal dew buat jadi Ketos idaman."
Dewa mengangkat sebelah alisnya. "Apaan tuh?"
"Lu jelek, biasanya kan ketos ganteng."
"Bangsat, mainnya udah privilage." Dewa menoyor dahi Radja. Memang secara fisik Radja jauh lebih good looking dari pada Dewa, bagaikan Jakarta ke Surabaya. Tapi, kalo masalah etika dan otak Dewa jelas manusia yang berhasil bertahan di tengah-tengah zaman pembodohan ini, sedangkan Radja adalah contoh manusia yang terseret arus zaman. Untungnya, Radja tak punya akun tiktok, atau Dewa akan melihat temannya itu goyang cacing kepanasan di kelas.
"Naudzubillahhiminzalik, gak kuat hamba ya Allah." Dewa mengelus kepalanya yang pening membayangkan skenario itu.
Pak Tono meggores kapur, menulis sesuatu di depan. Saat ia selesai anak-anak berseru protes.
Ulangan Matematika.
(***)
Apa jadinya seorang penulis dark Fantasi memutuskan menulis novel komedi sekolahan? Yah, Radja ini jawabannya. Saya yakin gak abakal ada konflik berat dalam cerita ringan kali ini.
Saya jujur aja gak biasa nulis cerita pakai bahasa gaul atau slank, jadi kalau ada typo atau paragraf yang salah kasih tau saya di kolom komentar ya!
Dah itu aja, jangan lupa ninggalin jejak. Vote, komen atau apapun biar saya sadar kalau ada yang nungguin cerita ini.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro