Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 8 | The Silence

"Sebelumnya kita hanya orang asing dan baik-baik saja. Kini kuharap kita bisa seperti masa-masa itu, saat kita baik-baik saja."

T H E   S I L E N C E

Tiffany paling tidak tahan saat melihat temannya murung. Karena, kalau satu orang sedang dalam mood yang tidak baik, pastilah suasana di sekitarnya juga jadi tidak baik. Dan Tiffany tidak suka berada dalam situasi seperti itu. Ia anti dengan aura negatif yang tengah terpancar saat ini. Ia alergi.

"Stella," panggil Tiffany, untuk yang ke seribu delapan ratus empat puluh enam kalinya.

Stella masih bergeming.

Akhirnya Tiffany gemas dan menggebrak meja Stella untuk menyadarkannya. Tak lagi peduli kalau teman-teman sekelasnya yang kini tengah disibukkan dengan waktu istirahat di kelas beralih memerhatikannya.

Stella menoleh kaget. "Kenapa?"

"Bengong aja, Mbaknya," sindir Tiffany.

Merasa ada yang aneh, Stella bertanya, "Kenapa?"

"Elo yang kenapa?" balas Tiffany.

"Ah.." Stella bergumam pelan. "Gapapa kok."

Walau Stella sudah menjawab begitu, nampaknya Tiffany masih tak percaya. Jadi, ia mengerutkan alisnya dan melipat kedua tangannya di depan dada, menatap Stella dengan seksama demi menuntut penjelasan yang lebih dari sekedar kata 'gapapa'.

Seharusnya Stella tahu kalau ini bakalan terjadi, tapi entah kenapa ia tetap melakukannya—memasang ekpresi tidak enak dan terus bengong tak memerhatikan selama jam pelajaran berlangsung.

"Lo mau makan?" tawar Stella kemudian.

Tiffany nampak tak tertarik. "Gue mau makan kalo lo cerita ke gue."

Akhirnya Stella pun mengangguk pasrah. "Iya, ayok makan sambil gue ceritain."

"Enggak," jawab Tiffany yang rupanya tidak setuju. "Cerita dulu, baru gue bisa tenang makannya."

Sebenarnya Stella hendak menolak, tetapi ia tahu kalau ia menjadi Tiffany sepertinya dia juga akan melakukan hal yang sama seperti ini. Jadi, Stella mengambil ancang-ancang hendak bercerita dan menghadap ke arah Tiffany.

"Emang gue keliatan kayak cewek genit ya? Atau tukang panjat kitu?"

Andai saja mereka sedang makan saat ini, pasti Tiffany sudah tersedak mendengarnya. Ia memandangi Stella dengan aneh.

"Siapa yang ngomong gitu?" tanya Tiffany.

Stella cepat-cepat menggeleng. "Jawab aja... iya atau nggak?"

"Ya nggak lah, gila," jawab Tiffany langsung. "Apa yang mau lo panjatin lagi? Yang ada malah gue kali yang keliatan manjatin elo. Secara, lo ratu angkatan ini."

Ekspresi wajah Stella berubah murung seketika. "Seharusnya lo aja yang jadi ratu," gumamnya yang masih dapat didengar oleh Tiffany.

"Mana bisa!" sosor Tiffany langsung. "Yang kepilih kan lo, ya berarti lo ratunya. Kayak kak Achy tahun lalu aja."

Stella menggeleng lesu. "Gue nggak mau kayak gini, Fan.. gue jadi terlalu mencolok dan diliatin banyak orang.."

"Ya emang begitu, abisan mau digimanain lagi? Udah takdir lo buat diliatin banyak orang, ibaratnya kayak Kak Deon gitu, udah pasti dari penampilannya aja buat dia diliatin banyak orang kan. Nah, lo juga begitu."

"Itu dia, Fan," kata Stella. "Karena Kak Deon itu mencolok juga, jadinya gue risih."

Tiffany menaikkan sebelah alisnya. "Ini ada hubungannya sama Deon ya?"

Walau ragu, Stella mengangguk.

"Kenapa dia?"

"Nggak tau, gue cuman ngerasa kayak aneh aja. Semenjak dia deketin gue, bukan deketin sih aduh pede banget gue—maksudnya kayak gak sengaja saling ngobrol gitu, orang-orang jadi ngeliatin gue pake tatapan sinis gitu, apalagi.. itu.. rambut gue—"

"Iya, dia megang rambut lo terus tau," potong Tiffany sambil mengangguk. "Terus?"

"Terus tadi juga pas baru dateng.. dia nanya nama gue siapa, gitu-gitu deh. Nah pas Kak Deon udah masuk kelas, gue kayak ditabrak gitu, apasih.. mungkin gak sengaja ketubruk kali ya, abis itu mereka segeng kayak sadar yang ditabrak itu gue.. terus mereka bilang gue tukang panjat lah.. cewek gatel lah.."

"Siapa yang gituin lo, ha?! Siapa yang ngomong gitu?!" Tiffany naik pitam.

Stella buru-buru menarik tangan Tiffany yang mulai berdiri dan menggebrak meja agar kembali duduk, mencoba sebisa mungkin menarik perhatian dari teman-teman kelasannya. Stella tak ingin masalah ini menjadi kian besar dan menghindarinya sebisa mungkin.

"Dengerin dulu," pinta Stella.

Napas Tiffany memburu, matanya sudah berubah kian tajam. "Cari mati apa ya, emangnya lo ngapain sampe dibilang kayak gitu? Lo macem-macem? Lo bikin ulah? Kan enggak!"

"Itu dia, Fan.."

"Itu dia apaan!?"

Stella segera membekap mulut Tiffany sebelum suaranya berubah semakin nyaring layaknya toa masjid. "Pelan-pelan ngomongnya.. jangan teriak-teriak, berisik."

"Ya abisan gue emosi sih!"

Menghela napas pasrah, Stella mengalihkan tangannya menggerakkanya dengan gelisah di atas meja. "Gue juga gak tau kenapa, Fan. Tapi dari SMP, selalu aja banyak orang yang gak suka sama gue.. padahal gue nggak ngelakuin apa-apa. Seolah-olah kayak semua yang gue lakuin tuh salah, gue napas aja udah salah."

Deruan napas Tiffany mereda. Manik matanya pun berubah sendu. Dengan segera ia meraih tangan Stella yang begitu gelisah dan menggenggamnya erat, seolah memberikan kekuatan sebanyak yang ia bisa. Bagaimana mungkin banyak orang yang tidak menyukai perempuan lembut seperti Stella ini?

Stella menggigit bibir bawahnya. "Makanya dari awal masuk sekolah gue berusaha sebisa mungkin buat nggak hyper, dan nggak terlalu mencolok atau apa-apa.. soalnya gue takut, Fan.. gue takut ngalamin hal kayak gitu lagi.."

"Terus sekarang lo ngerasa kalo orang-orang kayak gitu lagi ke lo?" tanya Tiffany, Stella mengangguk pelan. "Karena apa?"

"Gue ngerasainnya itu.. semenjak ada Kak Deon."

Entah kenapa, Tiffany merasa setuju dengan ucapan Stella. Karena pada kenyataannya, ia mendengar beberapa bisikan tidak enak tempo hari tentang Stella saat Deon baru saja mengusap rambutnya di depan perpustakaan. Awalnya, Tiffany kira itu hanya sekedar omongan biasa makanya ia bersikap biasa saja, tapi ia tidak menyangka kalau semuanya akan berubah jadi sejauh ini terlebih karena trauma yang Stella miliki semasa SMP dulu.

Tiffany mengelus batang hidungnya dengan jemari lentiknya ragu. Ia nampak berpikir selama beberapa saat. Memandang lurus-lurus ke depan sambil sesekali melirik ke arah Stella yang memandangnya dengan penuh harap dan tatapan sendu. Tiffany menghela napasnya panjang.

"Terus lo mau gimana sekarang?"

"Kayaknya gue nggak mau berurusan sama kakak kelas buat ke depannya sebisa mungkin.. termasuk sepupu gue," ucap Stella. "Gue nggak mau jadi mencolok, Fan. Gue cuman mau masa-masa SMA normal kayak orang-orang. Jalan sama temen, nonton, ngerjain tugas bareng, pulang ekskul bareng, gitu-gitu.."

Mendengar ucapan Stella entah karena apa mampu membuat hati Tiffany terasa hangat. Ia tersenyum seraya menganggukkan kepalanya. "Gue temenin. Gue juga gak bakal bawa-bawa abang gue kalo gak perlu-perlu amat," kata Tiffany, kemudian mengulurkan jemarinya ke arah Stella. "So, best friend?"

Rasanya Stella ingin menangis saja. Tapi, karena terlalu berlebihan ia jadi menahannya.

Stella ikut tersenyum dan mengamit jemari Tiffany. "Best friend."

Iya. Kehidupan sesimple itu yang Stella inginkan.

• • • • •

Deon tengah sibuk memijat pelipisnya tanpa memedulikan pandangan orang-orang di koridor yang bahkan sampai rela berhenti dari rutinitasnya demi bisa memerhatikan Deon dengan seksama kala tiba-tiba saja Miko menepuk lengannya dengan lumayan keras demi bisa menarik perhatian Deon dari alam bawah sadarnya. Tidak berbekas merah memang, tapi tetap saja pedas. Deon berdecak sebal.

"Nabok mulu dah lo, dasar gak punya sopan santun."

Bukannya berhenti, Miko malah kembali menepuknya, hanya saja kali ini lebih keras.

"Ngaca, dasar orang gak punya hati," balas Miko.

"Punya lah, goblok. Kalo gak punya gue mati."

Ingin sekali Miko menyebutkan nama-nama binatang yang ada di daftar taman safari. Tapi, ia berakhir mengelus dadanya sabar. "Sabar, Miko. Orang sabar disayang doi. Sabar, sabar."

Rupanya, hal itu malah membuat Deon jengkel dan berakhir membuka kancing seragamnya dari yang paling atas. "Gue punya hati! Lo mau liat?!"

Miko langsung tersentak melihatnya, dan saat di kancing ke tiga dan teriakkan dari para siswi di koridor makin menjadi-jadi, Miko melepas tasnya dan menutupi bagian depan tubuh Deon yang kaus putih dalamannya mulai terlihat.

"Lo sakit? Gila? Ayan? Sarap? Sawan? Gak waras? Kurang obat?!" cerocos Miko, nampak kesal sekali.

Deon mendelik sebal, menepis tas Miko dan kembali mengancingi seragamnya sementara Miko kehilangan kata-katanya untuk memaki. Kemudian, ia melanjutkan langkahnya keluar koridor menuju mesin absen yang terletak di depan ruangan Tata Usaha.

"Kenapa dah, orang-orang lagi pada sirik banget sama gue hari ini," dumal Deon, sembari terus menerus menekan jarinya ke atas mesin finger print karena sidik jarinya tidak terbaca.

Miko yang sudah selesai terlebih dahulu dengan sidik jarinya berjalan ke samping Deon dan menatapi penampilannya dengan seksama dari ujung kepala sampai ujung kaki, dan berbalik kembali dari ujung kaki sampai ujung kepala, berulang kali sampai Deon kesal dan menghantam mesin finger print dengan keras karena sidik jarinya yang tak kunjung terbaca.

"Tangan lo keringetan," kata Miko. "Lo lagi salting."

Secepat kilat Deon menoleh. "Ha? Kocak lo." Kemudian berpaling kembali.

Melihat kelakuan sahabatnya, Miko lantas tertawa. "Lo ngapa? Pipi lo merah sampe kuping, dongo."

Mendapat ledekan bertubi-tubi dari Miko dan juga mesin finger print di saat yang bersamaan, membuat Deon kesal bukan main dan memilih untuk tidak absen pulang hari ini. Ia merutuk dalam hati dan berbalik meninggalkan Miko menuju tempat parkir.

Masih tertawa, Miko mengejarnya dan berjingkat selama beberapa kali di sampingnya dengan gerakkan meledek. "Lo ngapa? Dari tadi di kelas kerjaannya bengong mulu ampe pulang. Kesemsem?" Miko tertawa lagi.

"Nggak denger, lagi pake kacamata," balas Deon dengan nada bodoamatan.

Tidak berakhir di situ, Miko kini berdiri di depan Deon dan menghalangi jalannya dengan kedua tangan yang direntangkan seraya mundur pelan-pelan kerena Deon yang terus saja melangkah.

"Lo udah ngajak si sesajen kenalan kan? Ngaku lo, kambing!"

Tidak tahan, Deon berhenti secara tiba-tiba dan langsung saja menepuk jakun Miko.

"Bacot," katanya.

Bukannya marah atau apa, Miko malah tersenyum penuh kemenangan. Hanya saja, tangan kanannya tetap memegangi jakunnya demi bisa menghindari serangan berikutnya yang bisa saja diberikan oleh Deon secara bertubi-tubi kalau ia tidak kunjung berhenti meledeknya.

"Gimana kenalannya? Katakan padaku, Radeon Kusuma!" pekik Miko, hiperbola.

"Stella, Kak," ujar Deon, menyontohi ucapan Stella dengan tangan yang ia gunakan untuk menyimpirkan anak rambutnya ke telinga. "Stella Danita, 10-3. Hari ini baru dapet nametag buat seragam baru."

Tawa Miko meledak. Ia bahkan sampai harus menutupi mulut dengan kedua tangannya yang besar, tak lagi mengkhawatirkan lehernya.

"Kesel kan lo?" tanya Deon, dengan ekspresi sayunya. "Imut bener, bikin emosi."

Miko segera melambaikan tangannya di udara. Tidak sanggup dengan arah pembicaraan ini, kemudian ia berhenti saat tiba-tiba teringat akan sesuatu. "Jadi, lo beneran gak ada rasa sama si Achy?"

Deon hampir saja menonjok Miko kalau lupa dia itu sahabatnya.

"Jangan gila, dari dulu juga gue gak pernah suka sama Achy. Dia udah kayak sodara gue sendiri."

"Oh, begindang," gumam Miko, dari nada bicaranya jelas sekali ia tengah meledek. "Paham kok paham."

Baru saja Deon hendak membalas ledekan dari Miko, ponsel di saku celananya berdering. Dan saat ia melihat nama 'Johannes' di layarnya, Deon sempat berpikir selama beberapa detik untuk mengangkatnya atau tidak perlu, namun saat ia mendongak dan mendapati Miko yang menunggu dengan tatapan penasaran, tangan Deon langsung bergerak pada tombol hijau guna mengangkat panggilannya.

"Ngapa?" sosor Deon, tanpa basa-basi.

".........."

Deon berdecak pelan. "Hari ini gue ke dokter, gabisa latihan."

".........."

Ekspresi Deon langsung berubah seratus delapan puluh derajat. Dari malas, jadi terkejut dan tertarik sekali.

"Sumpah? Otw gua!" pekik Deon semangat, dan langsung memutuskan sambungan pada ponselnya.

Menyerobot Miko yang berdiri di depannya, Deon segera berlari menuju tempat motornya terparkit dan tentu saja Miko yang sadar akan situasi langsung mengejarnya.

"Ngapa-ngapa!?" tanya Miko, kepo bukan main.

Deon menoleh sebentar lalu langsung mengenakan jaket dan helmnya. "Pelatih gue lagi diperiksa!"

Mata Miko mengerjap selama beberapa kali. "Sumpah!? Kalo bener, kalo ketauan, berati lo main lagi dong?!"

Dengan sinar mata yang berbinar-binar, Deon mengangguk dengan semangat. Kemudian, Miko segera mendorongnya agar cepat-cepat pergi dari sini dan melihat dengan mata kepalanya sendiri. Namun tanpa mereka sadari, ada seseorang yang sejak awal perbincangan mereka di depan Tata Usaha mendengarkan apa yang keduanya obrolkan dengan seksama dan raut wajah tidak senang.

• • • • •

N O T E ! ! !

Kesemsem itu semacem salah tingkah lagi suka sama orang..
Gadanta itu gajelas..
Begindang itu begitu..

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro