Chapter 7 | The Choice
juga slide mulmed ya kalo mau ada ostnya ala-ala drama korea~
happy reading!
"Kelabu memang buram, namun bukan berarti hitam dan gelap."
• T H E C H O I C E •
"Lo gila?" tanya Miko, tidak senang dengan pertanyaan Deon barusan.
Mendengarnya, berhasil membuat Deon terkekeh pelan lantaran pertanyaan Miko malah jadi mengingatkannya akan kejadian beberapa waktu yang lalu.
"Ekpresi lo pas bilang gue gila beda banget sama pas denger gue mau latihan umum," kata Deon.
Ingin sekali Miko marah-marah dan memaki-maki Deon dengan rentetan umpatan serta kosakata nama binatang yang dimilikinya sambil berteriak sekeras yang ia bisa. Sayang saja, lokasi mereka sedang tidak tepat saat ini dan Miko sadar kalau sejak awal itulah niatan Deon. Agar tidak kena semprotannya apalagi di kelas saat banyak teman sekelasnya yang bisa saja mendengar percakapan keduanya.
"Makanya itu, goblok." Miko kehabisan kata-katanya.
Deon masih terkekeh pelan, namun Miko sadar kalau tawanya kali ini pahit sekali terdengar. Jadi, Miko mencoba rileks dengan mengatur napasnya dan menetralisir ekspresinya sendiri. Ia tidak mau sekelibat pikiran aneh perihal masalah Deon yang baru saja tersirat di benaknya jadi kenyataan.
"Lo ngapa tiba-tiba pengen berenti?" tanya Miko, kali ini nada bicaranya lebih tenang. "Lo capek? Apa luka lagi?"
Sejujurnya, Deon kaget dengan respon Miko saat ini, tapi sepertinya itu bukanlah apa yang seharusnya ia khawatirkan saat ini.
Deon menggeleng pelan. "Nggak," jawabnya singkat.
"Terus ngapa?" tanya Miko lagi. "Perasaan kemarenan elo yang semangat banget pengen balik latihan, bahkan sampe gak peduli sama tangan lo yang lagi sakit."
Menunduk, Deon memutar kedua tangannya dan memerhatikan dengan seksama bekas luka yang mulai mengering di sela-sela jemarinya. Ia bahkan tidak mengetahui bagaimana cara membalas perkataan Miko barusan. Karena Miko benar, ia bahkan tidak memedulikan tangannya dan bersikeras untuk latihan di saat Miko habis-habisan melarangnya. Tapi kini tiba-tiba saja ia malah berkata bahwa ia ingin berhenti. Dapatkan ia memberitahukan Miko apa masalahnya?
"Lupain aja," kata Deon, hendak bangkit berdiri tapi segera ditahan pergerakkannya oleh Miko.
"Mau kemana lo?" tanya Miko, matanya melotot.
"Pulang," jawabnya, tapi malah duduk lagi. Entah kenapa Deon paling ngeri kalau Miko sudah membuka matanya lebar-lebar seperti itu. Aura psychopathnya benar-benar terasa, dan Deon tidak mau kalau sampai tiba-tiba saja ia malah diterkam.
"Gue harus melotot dulu baru nurut," gumam Miko.
"Gue denger, anjing."
Miko mendongak. "Santai aja, anjing. Aturan gue yang marah di sini."
"Iya juga."
Plak!
Miko menepuk kepala Deon saking kesalnya. Bagaimanapun juga, usianya masih lebih tua dibanding Deon jadi tidak apa-apalah. Toh, Deon juga sering menepuk kepalanya dan bahkan jakunnya sampai tersedak.
"Serius gua ini," kata Miko. "Lo ngapa tiba-tiba pengen berenti? Jawab yang bener jangan separo-separo, gue tusuk lo beneran kalo jawab gak bener."
Tuhkan, apa Deon bilang. Miko itu psychopath.
"Gue capek aja, gue juga mikir gue udah mulai berumur sekarang," jawab Deon.
Miko bangkit dari posisinya. "Gue ambil tusuk sate dulu."
Kini giliran Deon yang menahan tangannya. "Jangan-jangan-jangan.."
"Makanya ngomong yang bener," cecar Miko tidak sabaran.
"Jangan kaget lu tapi," pinta Deon.
"Iya elah. Kayak gue punya penyakit jantung aja."
"Jangan emosi juga," ucap Deon lagi.
"Kelamaan, njing. Keburu maghrib dah."
"Baru jam setengah dua, tolol," kata Deon, jadi kesal sendiri.
"Ya makanya cerita buruan!" balas Miko.
"Oke-oke."
Deon mengambil napasnya lalu menghembuskannya dengan panjang. Ia mengambil ancang-ancang hendak bercerita, dan memulai ceritanya. Dari awal sampai akhir, berhasil membuat Miko terdiam seribu bahasa dengan kata umpatan yang bahkan tak bisa meluncur dari bibirnya.
• • • • •
Di saat Mama, Papa, dan kakak laki-lakinya sibuk bercengkrama di pagi hari selagi mereka sarapan di meja makan, yang hanya dapat di dengar oleh telinga Stella hanyalah bisikkan-bisikkan selagi dentingan sendok dan garpu yang menyentuh piring menjadi main sound di kepalanya.
Stella menghela napasnya panjang, malas sarapan dan tidak ada niatan sama sekali untuk bergabung dengan perbincangan keluarganya yang tidak ia mengerti. Stella masih SMA, sepertinya ini pembicaraan yang hanya dapat dimengerti oleh orang dewasa saja.
Sampai, sebuah topik pembicaraan yang diangkat oleh kakak laki-lakinya berhasil menarik perhatian Stella. Berhenti berkutat dengan sendok dan garpu di tangannya serta memasang telinganya baik-baik untuk mendengarkan.
"Papa deket nggak sama kementrian olah raga?" tanya Alvian, sembari menyuap sesuap potongan sandwich ke dalam mulutnya.
Hanung berhenti dan meminum air putihnya. "Kementrian Pemuda dan Olahraga?" koreksi Hanung. "Lumayan deket, sering ngobrol juga kalo ada rapat. Kenapa?"
"Papa kan menteri ketenagakerjaan nih, menurut papa gimana kalo ada orang di kementrian olah raga yang nerima suap?"
Pertanyaan yang diajukan oleh Alvian berhasil membuat Hanung tersedak.
"Ha? Siapa? Ngomong apaan kamu? Tau dari mana?"
Alvian tertawa mendengar kepanikan papanya, sementara Ira langsung saja menepuk anak sulungnya itu karena bercanda dengan papanya. Sedangkan Stella mulai menjauhkan piringnya dan menumpu kedua tangannya di atas meja makan.
"Bukan-bukan," sela Alvian, memegangi pundaknya yang ditepuk keras oleh mamanya. "Misalkan ada atlet berbakat yang ngewakilin Indonesia buat ikutan olimpiade internasional, tapi dia cedera terus kalo ngikutin peraturan kan berati dia harus mengundurkan diri atau didiskualifikasi, dan dia harus ngikutin babak penyisihan lagi kalo mau ngikutin olimpiade atau lomba lagi. Tapi, pelatihnya kayak nggak mengutamakan dia gitu, kayak semacam meng-anak tirikan dia sama orang yang bakatnya... yah, biasa aja. Jadi, dia yang berbakat kayak semacem disingkirin gitu dan pelatihnya malah ngutamain orang yang biasa aja itu."
Mendengarkan dengan seksama, Hanung menautkan kedua tangannya di atas meja dan menaruh perhatiannya sepenuhnya. "Jadi, maksud kamu di sini kalo orang yang biasa itu buat pelatih menganak tirikan si anak berbakat itu dengan cara suap, gitu?"
Alvian mengangguk pelan. "Kurang lebih," jawabnya.
"Kalo kata Papa nggak masalah sih."
Stella mengernyitkan alisnya. "Kok gak masalah sih, Pa?"
Baik Hanung, Alvian maupun Ira langsung beralih ke arah Stella yang sedari tadi hanya diam tiba-tiba menyerobot ucapan Papanya dengan nada tidak sabaran.
"Ya nggak masalah," ulang Hanung. "Kalo emang anak itu lebih berbakat, dia bisa tenang aja dan ngandelin bakatnya dia. Toh, yang disogok kan pelatihnya, bukan jurinya. Jadi nanti keputusan ada di tangan bakat dan gimana juri nilai si atlet itu. Selama cederanya udah sembuh dan emang nggak mengganggu, dia bisa tetep megang posisi perwakilan Indonesia itu setelah ngikutin peraturan dengan ngikutin babak penyisihan ulang."
"Oohhh."
Ira terkekeh pelan mendengar reaksi kedua anaknya itu. Seperti anak kembar saja.
"Udah ah ngobrolnya," pungkas Ira, mulai bangkit dari posisinya dan membenarkan tatanan pakaiannya. "Kamu anter adeknya sana buruan, kasian nanti dia telat."
Alvian menoleh ke arah jam tangan kulit yang melingkar di pergelangannya. "Kalo nggak macet lima belas menit sampe."
Stella bangkit dari posisinya dan meraih tasnya dari kolong meja. "Pasti macet," balasnya. "Ayo berangkat."
Mata Alvian turun ke bawah dan memerhatikan kaki Stella yang masih telanjang.
"Nyeker?"
Hampir saja Stella mengumpat dan menepuk dahinya keras-keras. "Lupa," katanya, lalu berlari kecil ke ruang tamu, meraih sepatunya dan mulai mengenakannya di sana.
Hanung dan Ira ikut berjalan menuju ruang tamu bersama Alvian untuk mengantar anaknya sampai depan. Ira duduk di samping Stella dan membuka tas anak bungsunya itu untuk memeriksa kembali sekiranya ada sesuatu yang tertinggal atau tidak.
"Kamu makanan gak dimakan, nanti di sekolah sarapan ya," peringat Ira, dibalas anggukkan patuh oleh Stella.
Selagi kedua perempuan di keluarga sibuk dengan perlengkapan sekolah, Hanung berdiri di samping Alvian yang tengan memerhatikan.
"Kamu tiba-tiba nanyain soal atlet begitu ada apa emang?" tanya Hanung, di sela-sela waktunya menunggu Stella selesai berberes-beres.
"Gapapa sih, Pa," jawab Alvian ragu-ragu. "Ada junior aku, dia atlet, nanya begitu sama aku. Katanya bisa nggak sih menteri olah raga itu ikut turun tangan kalo sampe kejadiannya parah, gitu."
"Oh," jawab Hanung, mengerti. "Nggak perlu sampe turun tangan kok. Masalah internal aja itu, paling kalo emang udah ketauan dan emang bener disuap ya si pelatihnya aja yang kena. Mau papa minta periksa?"
Alvian cepat-cepat menggeleng. "Jangan, gausah. Papa udah sibuk, ngapain segala ngurusin begituan," papar Alvian. "Lagian kan belom tau juga itu pelatihnya beneran disuap atau nggak, baru spekulasi aja."
"Beneran kan?" tanya Hanung, lagi.
Mendesah kasar, Alvian merutuk dalam hati. Lagian kenapa juga sih dia segala menyinggung perihal Papanya yang seorang menteri segala? Jadi repot kan urusannya kalau sudah bahas-bahas masalah suap begini. Lagipula, ini masalah olimpiade internasional yang tidaklah kecil kawasannya dan membawa nama negara, Alvian benar-benar tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi ke depannya nanti. Bisa kacau jadinya kalau Papanya sampai turun tangan dan meminta menteri lain yang berada pada divisinya untuk memeriksa tapi pada kenyataannya tidak ada yang benar-benar disuap di sana.
"Beneran elah, Pa," balas Alvian geregetan. "Jangan diperiksa dulu, ntar kalo salah reputasi papa malah jelek. Misalkan udah pasti banget bener nih, baru deh Vian kasih tau papa."
"Bang, ayo!"
Terimakasih kepada Stella, Alvian terselamatkan dari situasi ini.
• • • • •
Menguap selagi turun dari mobil, Stella berjalan dengan langkah lunglai melewati pagar sekolah dan begitu memasuki koridor, ia langsung merasakan perasaan tidak nyaman saat sekujur tubuhnya merinding merasa seluruh perhatian kini tertuju kepadanya.
Stella meneguk salivanya keras-keras dan memohon dalam hati. Tangannya bergerak dengan gemetar selagi berusaha memasukkan sidik jarinya untuk absen hari ini.
Inilah yang ia wanti-wanti dan takutkan sejak awal masuk ke sekolah ini.
Sudah cukup ia dibenci karena banyak yang tidak setuju saat ia dinobatkan menjadi ratu sekolahan tahun ini. Sudah cukup juga ia dibenci karena sulit bersosialisasi kepada orang lain selain Tiffany dan sepupunya Janita, di sekolah ini. Sudah cukup juga dengan Achy si anak OSIS yang kerap kali berbicara dengan nada sarkastis kepadanya.
Ia tidak mau kejadian semasa SMP-nya terulang kembali. Tidak lagi. Stella tidak mau itu terjadi. Tapi sekarang, apa lagi?
Tatapan-tatapan itu.. Stella tidak suka diperhatikan seperti itu.
Tanpa sadar, ia menundukkan kepalanya dan berjalan menjauh dari tempat absen, melalui koridor sekolah yang tiba-tiba saja terasa ramai baginya. Stella harap Tiffany ada di sini, menemani dan menghiburnya.
Sampai..
"Oi, sesajen."
Dengan mata yang terbelalak, Stella spontan berhenti di tempatnya bagaikan membeku dan terkena efek tembakan oleh salah satu senjata andalan pahlawan di Mobile Legends. Dan entah sudah untuk yang ke berapa kalinya, Stella meneguk salivanya keras-keras.
"Nyaut kek kalo dipanggil," kata seseorang yang kini sudah berdiri di sebelahnya.
"Nama aku.. bukan sesajen, Kak," ujar Stella, berusaha menghilangkan getaran pada nada bicaranya.
Orang itu, Deon, menolehkan kepalanya ke arah Stella yang jauh lebih kecil darinya. "Tapi lo berenti."
"Aku juga gatau kenapa aku berenti, Kak," kata Stella jujur, pandangannya masih ke lantai, tak berani bertukar pandang dengan Deon di sampingnya. "Kesindir, mungkin."
Bukannya membalas atau apa, Deon malah menarik ransel Stella dan membuatnya kembali melanjutkan langkah di sepanjang koridor. Rupanya sejak tadi Deon juga merasakan perasaan yang aneh saat ditatap oleh sekitar, juga, ia tak ingin mengganggu murid-murid yang hendak berlalu lalang di koridor. Jalanan ini bukan punya neneknya, jadi Deon tidak bisa seenaknya.
Selagi Stella kesulitan melangkah karena ditarik ranselnya oleh Deon dan menyeimbangi langkah panjangnya, Deon menatap lurus-lurus ke depan dan kerap kali melotot ke arah murid-murid yang memandanginya dengan pandangan aneh, seolah berkata 'urusin aja idup lo sendiri' dan terus berlalu.
"Jadi, sesajen, nama asli lo siapa?" tanya Deon, kali ini tanpa menoleh dan terus menatap lurus ke depan.
Stella kesulitan menjawab, ia terlalu fokus dengan langkah kakinya dan hendak melepas ransel yang dikenakannya agar terbebas dari Deon. Tapi rupanya, Deon pintar. Karena cowok itu ternyata juga memegangi ujung seragam Stella guna menjaga-jaga kalau Stella hendak kabur atau apa. Atau bisa saja, itu tidak disengaja.
"Kak—"
"Nama lo siapa?" sosor Deon lagi.
"Ini.. lepasin dulu," kata Stella, sembari berusaha menghentikan langkahnya.
Deon berhenti dan sedikit menoleh, melihat Stella yang nampak kesulitan karenanya. "Eh, oke," ujarnya, lalu melepaskan pegangannya pada ransel dan juga seragam Stella.
Stella membenarkan tatanan rambutnya yang condong ke depan akibat menunduk dan seragam serta posisi ranselnya di belakang. Tadinya ia memang hendak menjawab pertanyaan Deon, namun dengan tatapan-tatapan yang ditujukan kepadanya saat ini membuat Stella berpikiran akan hal yang lain. Ada baiknya ia kabur dan menghindar selagi bisa.
Baru saja Stella hendak berlari kabur, Deon sudah meraih pergelangan tangannya dan menggenggamnya erat-erat.
"Lo nggak kepikiran buat kabur, 'kan?"
Rupanya Stella sudah ketahuan. Memangnya ia semudah itu untuk dibaca ya?
Jadi, Stella cepat-cepat menyanggah pertanyaan Deon barusan dengan menggelengkan kepalanya. "Enggak kok, kak. Ngapain juga kabur."
"Tapi tadi gue liat lo ambil ancang-ancang kayak orang mau lomba lari," balas Deon.
Stella mengibaskan tangannya ke udara dan tertawa kikuk. "Hahaha, nggak mungkin lah. Perasaan kakak aja kali."
"Lama," pungkas Deon tidak sabaran.
"Emangnya kakak gak liat nametag aku waktu MOS?"
Deon mengangkat kedua bahunya acuh. "Gak merhatiin."
Mata Stella menyipit. "Terus kenapa sekarang tiba-tiba merhatiin?"
Spontan saja Deon memijat pelipisnya yang tiba-tiba terasa pusing tak terkendali. Benar juga, ada apa dengannya tiba-tiba seperti ini?
"Lupain aja," kata Deon, hendak berlalu pergi namun Stella malah mengikuti langkahnya.
"Stella, Kak," ujar Stella, berusaha menyeimbangkan langkahnya dengan kaki panjang milik Deon. "Stella Danita, 10-3. Hari ini baru dapet nametag buat seragam baru."
Deon tidak menoleh. Ia sudah mendapatkan jawaban yang diinginkannya, jadi Deon hanya terus berjalan dan kian mempercepat langkahnya menuju tangga di ujung koridor selagi Stella berhenti di sisi tangga yang lain.
Ia masih berdiam diri dan memerhatikan Deon sampai naik ke atas dan terlihat di koridor lantai dua. Kemudian saat berada di depan kelas, Deon malah justru membentuk hurup 'o' dengan telunjuk dan ibu jarinya dan masuk ke dalam kelasnya. Stella bergerak salah tingkah di tempatnya dan hendak menaiki anak tangga menuju kelasnya saat tiba-tiba saja ia ditubruk dengan kencang sampai tersungkur di lantai koridor.
"Ups, sorry ya, baginda ratu."
Stella meringis pelan kemudian mendongak untuk melihat sekumpulan siswi yang barusan saja menabraknya tengah memandangnya dengan pandangan tidak suka. Ia menggeretakkan giginya guna menahan emosi yang hendak meledak-ledak bagaikan bom atom. Stella tidak ingin dicap buruk di sekolah, tapi sepertinya itu sudah terjadi jauh sebelum ia sempat memikirkannya.
Baru saja Stella hendak bangkit berdiri, dua dari kelima siswi tersebut kembali mendorong bahunya.
"Dasar tukang panjat."
"Cewek gatel."
Dan berlalu pergi.
Tanpa sadar, air mata Stella menetes melalui pelupuk matanya. Tidak lagi peduli dengan pandangan-pandangan yang kini ditujukan kepadanya. Stella berusaha bangkit dan menyibak air matanya dengan kasar. Stella sudah tahu apa masalahnya sekarang dan sepertinya, ia harus membuat keputusan tentang ini. Keputusan yang dapat membatu kehidupan dan masa-masa SMA-nya saat ini.
• • • • •
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro