Chapter 4 | The Queen
"Tatapan tajamnya membuat seluruh sendiku membeku, dan hanya dapat menatapnya dalam diam."
• T H E Q U E E N •
"Ada setan?" gumam Stella, memutar bola matanya ke sana kemari guna meneliti segala sudut yang berada di bilik tempatnya meletakkan tas. Ia ketakutan setengah mati, bagaimana bisa tiba-tiba ada tiga batang cokelat di atas ranjang UKS?
"Atau tumbal?" Ia masih tak bergerak, terpaku di tempatnya.
"Kenapa sih, dek?" tanya Papa Stella. Rupanya panggilannya masih tersambung.
Stella meneguk salivanya, tangan yang ia gunakan untuk memegang ponsel perlahan melemas. "Pa, masa tiba-tiba ada cokelat di UKS.."
"Ya bagus dong!"
Kalau tidak sedang ketakutan seperti ini, pastilah Stella sudah berteriak menanggapi ucapan Papanya.
"Bagus apaan!" pekik Stella yang malah terdengar seperti cicitan. "Nggak ada siapa-siapa di sini tapi tiba-tiba ada cokelat. Kan horror, Papa!"
"Yaudah-yaudah," kata Hanung. "Kalo kamu takut ya tinggal lari lah."
Benar juga. Kenapa Stella malah berlama-lama di sini?
"Udah dulu ya, Pa!" Stella memutuskan panggilannya, lalu meletakkan ponselnya di saku dan berjalan dengan langkah berjingkat menuju tasnya dan juga tiga batang cokelat di sana.
Walau ragu pada awalnya, tangan Stella mulai bergerak meraih tasnya dan dua dari tiga batang cokelat yang ada di sana. Ia meletakkannya ke dalam tas.
"Ehm.. kalo ini sesajen, maaf ya. Aduh—" Stella merasa seperti orang gila, kepalanya tertunduk namun matanya tajam menatap ke sekeliling. "Karena cuman butuh dua buat persyaratan MOS, saya pinjem dulu ya dua.. satunya saya tinggal. Besok saya ganti pas ke sini lagi, janji! Makasih ya!"
Kemudian, ia berlari keluar UKS dan terengah-engah ketika sampai di lapangan. Terlebih, saat hampir semua mata tertuju padanya.
• • • • •
Merasakan kantuk yang menjalar di sekelubung matanya untuk yang ke sekian kalinya, Deon mendongakkan kepalanya sekali lagi untuk melihat jarum yang yang terpampang di atas papan tulis di depan kelas.
Sudah tiga puluh menit semenjak istirahat kedua berakhir, hampir jam satu siang, tapi belum ada tanda-tanda kalau guru yang mengajar pelajaran selanjutnya akan masuk ke dalam kelas.
"Bu Putri mana dah? Ngantuk bener gua," gumam Deon, kepada Miko yang duduk di sebelahnya.
Miko mengangkat kedua bahunya, kemudian menutupi mulutnya yang menguap dengan kedua tangannya. "Gak masuk kayaknya," jawab Miko seadanya.
Baru saja Deon hendak menimpali dengan mengajak Miko ke toilet untuk mencuci muka saking ngantuknya, kejadian heboh terjadi di kelasnya saat beberapa anak perempuan kelasannya mendesak keluar kelas.
"Ngapa-ngapa?!!!" tanya Miko, panik mengira ada kebakaran di dalam kelas atau apa.
Deon ikut memerhatikan. Sampai akhirnya, ia menarik salah satu pergelangan tangan teman kelasannya yang hendak melaju keluar.
Cewek itu berhenti dan menatap Deon salah tingkah, terlebih karena tangannya dipegangi oleh Deon.
"Kenapa?" tanya Deon.
Cewek yang mengenakan name tag bertuliskan Andina itu menunjukkan ponselnya yang berisikan pesan di grup angkatan mereka pada salah satu aplikasi dan membiarkan Deon membacanya sendiri karena terlalu salah tingkah untuk menjelaskan.
"Gak keliatan, mata gue burem lagi ngantuk," aku Deon, yang sebenarnya secara tidak langsung meminta dibacakan isi pesannya.
Miko bangkit dan memutar lewat belakang untuk mendekat, ikut memerhatikan Andina. Walau mereka duduk bersebelahan, mereka juga duduk sendiri-sendiri karena saat mereka memasuki kelas sebelas, tatanan kursi berubah dan tidak ada lagi yang boleh duduk berdua.
"Lagi mau pemilihan raja sama ratu angkatan sekarang," jawab Andina pada akhirnya.
Merasa jawaban yang diberikan sudah cukup, Deon melepas tangan Andina dan tak lupa berterimakasih atas jawaban yang sudah diberikan. Kemudian, ia berbalik dan menatap Miko.
"Gak ngantuk lagi kan?" ledek Miko.
Deon bangkit dari posisinya dan mengencangkan gesper yang ia kenakan. "Ayok lah," jawabnya.
Mereka bejalan keluar kelas dan berdiri di depan koridor kelas yang sudah ramai. Kelas Deon dan Miko terletak di lantai dua gedung sekolah, berada di sudut paling kanan sekolah yang menguntungkan karena di bagian bawah mereka tepat terletak lapangan yang kini tengah digunakan oleh murid baru dalam melaksanakan Masa Orientasi Siswa.
"Menurut lo, cewek yang kemaren lo modusin masuk nominasi gak?" tanya Miko, bersandar ke depan pada bagian atas balkon koridor.
Deon yang beberapa senti lebih tinggi darinya berdecih pelan. "Gue gak modus, elah. Gue cuman ngasih peringatan aja supaya itu anak dua gak gosip macem-macem."
"Gosip macem-macem gimana?" ulang Miko. "Wajar kali, orang yang ngeliat lo sama Achy begitu pasti ngira kalian pacaran. Lagian, bukan itu inti pertanyaan gue."
Mencoba mengabaikan, Deon melirik Miko. "Terus apaan?"
"Itu, dia sama temennya itu. Kata lo masuk nominasi jadi ratu sama bulannya sekolahan gak?"
Deon menerawang, mencoba mengingat bagaimana rupa keduanya dan tanpa sadar mencari keberadaan mereka di bawah sana.
"Itu, mereka berdua disuruh maju," kata Deon, begitu matanya mendapati dua anak baru yang dimaksud itu tengah digiring ke depan lapangan sebagai perwakilan regu mereka bersama dengan dua anak cowok lainnya.
Miko mengangguk ricuh, terlebih saat mereka sudah berdiri di depan dan membelakangi tempat Miko dan Deon saat ini berada.
"Gapapa dari belakang, jadi tau duluan siapa yang kepilih."
Kemudian, mereka terdiam dan fokus memperhatikan saat Achy di bawah sana tengah menjelaskan apa alasan mereka dipilih, keuntungan begitu terpilih nanti, dan kewajiban yang harus mereka laksanakan selama memegang julukan tersebut pada satu tahun pertama mereka bersekolah.
Tetapi tanpa sadar, sedari tadi mata Deon hanya tertuju pada seseorang yang entah kenapa hanya dari belakang sudah dapat Deon kenali. Angin siang hari membelai halus rambut panjangnya, dan Deon seakan terbuai dalam sentuhan tersebut sehingga tak memalingkan pandangannya barang sedikitpun.
Miko melirik ke arahnya, dan mengikuti arah pandang Deon yang entah kenapa Miko artikan malah jadi memandangi Achy yang kini tengah berjalan di belakang seseorang yang seharusnya Miko kenali sebagai arah pandang Deon yang sebenarnya.
Tapi, saat Achy berjalan dan kembali memutar, Miko barulah tersadar dengan arah pandang Deon yang sebenarnya.
"Iya, emang cantik kok dari palanya aja juga keliatan," celetuk Miko.
Merasa perkataan Miko ditujukan ke arahnya, Deon menoleh dan menatap Miko tajam.
"Stella Danita dari grup biru!!"
Suara Achy yang menggelegar dari microphone menarik perhatian semuanya. Begitu juga Deon dan Miko yang langsung melihat ke arah lapangan.
Di bawah sana, terlihat Geraldo sang ketua OSIS tengah berjalan menuju Stella dan mengenakan mahkota kepada raja yang berdiri di samping Stella dan mengenakan satu lagi mahkota ratu kepada Stella.
Kemudian, Geraldo menggiring kedua raja dan ratu tahun ini bersama dengan kandidat lainnya untuk berdiri di depan barisan, kembali menghadap koridor tempat Deon dan Miko berdiri saat ini untuk mengambil beberapa foto sebelum mengakhiri acara.
"Cantik juga, Yon." Miko menyenggol lengan Deon, namun pandangannya menatap lurus-lurus ke depan. "Tapi rajanya tetep kalah ganteng lah sama King Radeon."
Deon hanya diam, masih memerhatikan lekuk wajah gadis itu dengan seksama. Sampai, pandangan mereka bertemu.
Merasa diabaikan oleh sahabatnya itu, Miko hendak menepuk tangan Deon yang berpegangan pada tembok pembatas lantai dua, kala ia tersadar akan sesuatu dan menepuk belakang lehernya. Deon tersentak kaget dan berhasil ditarik perhatiannya.
"Kaget, anjing," umpat Deon, menatap Miko tajam.
Tidak peduli, Miko malah mengangkat tangan Deon dan memerhatikan bekas luka bakar yang berada di telapak tangannya dengan seksama. "Kok udah gapake perban?" tanya Miko.
Deon segera menarik tangannya kembali. "Gapapa," jawab Deon. "Tadi gue lepas perbannya di UKS."
"Emang udah gak sakit?" Miko jelas-jelas khawatir. Terlihat dari bagaimana ia menggeser posisinya berdiri dan mendekat ke arah Deon, menatapnya dengan seksama.
"Biasa aja. Harus gue biasain, besok ada latihan."
Mata Miko terbelalak kaget mendengarnya. "Latihan biasa kan?!"
Deon menggeleng. "Latihan umum."
"Lo gila!?" pekik Miko.
"Lebay," kata Deon, yang kemudian berjalan untuk masuk kembali ke dalam kelas dengan Miko yang mengekorinya sampai ke tempat duduk.
"Gue serius, anjing." Miko emosi, menggebrak mejanya guna menambahkan kesan kemarahannya.
Enggan berlarut dan malah berakhir adu mulut, Deon hanya memutar bola matanya dan mengeluarkan sesuatu dari tasnya. Ia meletakkan tiga batang cokelat di atas meja Miko dengan keras dan kembali duduk di tempatnya.
"Tuh buat lo. Jangan ngambek."
"Lo nyogok gue pake tiga batang cokelat?" protes Miko. "Sejauh yang gue inget tadi pagi lo bilang ada lima orang yang ngasih lo cokelat."
"Masih untung gue kasih," balas Deon, melotot.
Miko menggeretakkan giginya ke kanan dan ke kiri, matanya yang besar menyipit. "Lo kasih Achy pasti!?"
Deon menepuk jakun Miko dengan ujung tangannya. "Ngaco."
"Ak!" Miko memegangi jakunnya dan balas melotot. "Terus lo kemanain itu cokelat dua lagi?"
"Gue kasih ke yang membutuhkan," kata Deon. Miko terbahak mendengarnya.
"Siapa yang membutuhkan? Perasaan yang ada lo malah dapet cokelat melulu tiap hari."
Tangan Deon langsung saja meraih kembali tiga batang cokelat yang masih menganggur di atas meja Miko. "Kalo nggak mau yaudah," katanya.
Tentu saja, Miko meraih tangan Deon dengan hati-hati dan menahannya. Pandangannya berubah semelas anak kucing milik tetangga. "Mau.."
"Dasar bipolar."
• • • • •
Stella menyimpan mahkota besarnya ke dalam tas secara paksa dan hampir menyobek resletingnya sendiri kalau ia kurang berhati-hati barang sedikit saja.
Setelah selesai ia menyenggol lengan Tiffany yang sedang duduk lesehan secara asal di lapangan, tidak peduli sama sekali dengan seberapa panasnya matahari siang hari ini. Katanya, Tiffany itu tidak bisa hitam dan hanya akan memerah saat terkena sinar matahari. Jadi, ada untungnya juga bagi Stella mempunyai teman yang sama seperti itu.
"Udah selesai?" tanya Tiffany.
Stella mengangguk mantap. "Yuk," ajaknya.
Kemudian Tiffany bangkit dari posisinya dengan sedikit bantuan dari Stella. Dan saat mereka berjalan hendak keluar dari lapangan, pandangan Stella teralihkan saat melihat sepupunya—Janita, tengah asik mengobrol dengan Achy dan Geraldo di dekat podium.
"Kak Geraldo, ketua OSIS itu. Orangnya baik ya?"
Tiffany tersedak mendengarnya, lalu menatap Stella dengan tatapan meledek. "Baik dari Hongkong."
"Kenapa?" tanya Stella. "Perasaan pas pemilihan tadi dia juga baik sama lo kok."
Merasa Stella tak kunjung memulai langkahnya, Tiffany menarik tangan Stella untuk meninggalkan lapangan dan memasuki koridor lantai satu.
"Najis gak ada baik-baiknya. Ngeselin yang ada iya."
Alis Stella bertautan jadi satu. "Lo ada masalah sama dia?"
"Dia itu—"
"Stella!"
Langkah Stella dan Tiffany lantas terhenti. Mereka menoleh ke arah sumber suara yang baru saja memanggil nama Stella dengan riangnya dan mendapati Janita bersama dengan Achy dan Geraldo tengah melangkah ke arahnya.
"Hey, sister!"
Stella mengernyitkan dahinya karena yang barusan saja berteriak 'hey sister' itu adalah Geraldo. Si Ketua OSIS, yang Stella tidak ketahui apa niat dan maksudnya sampai memanggil dirinya seperti itu sampai ia tersadar kalau panggilan itu bukan ditunjukkan kepadanya. Ia menoleh dan melihat Tiffany menundukkan kepalanya malu, nampak jelas menghindari pandangan dari orang-orang yang berlalu lalang dan menyibakkan seluruh rambutnya ke depan demi menutupi wajahnya. Stella tertawa. Jadi Geraldo itu kakaknya.
Sambil menahan gelak tawanya, Stella menyenggol lengan Tiffany. "Jadi, itu abang lo?" ledeknya.
Tiffany mendesis kesal. "Malu-maluin, anjir."
"Kenapa?" kekeh Stella. "Wakilnya itu sepupu gue, kok."
Langsung saja Tiffany mendongakkan kepalanya. "Sepupu lo?" ulang Tiffany yang langsung dibalas anggukkan polos oleh Stella.
Baru saja Tiffany ingin mengunggah sebuah fakta lainnya perihal kakak laki-lakinya. Ketiga orang itu sudah berdiri di hadapan mereka.
"Langsung pulang?" tanya Achy yang berdiri di paling kiri.
Stella dan Tiffany hanya mengangguk kikuk, terlebih karena masing-masing keluarga mereka menyaksikan kejadian ini. Mereka berdua jadi bergerak tidak nyaman.
"Previous Queen bertemu dengan The New Queen." Janita bertepuk tangan sambil menggelengkan kepalanya tanda kagum yang dibuat-buat.
Rasanya ingin sekali Stella menepuk kepala Janita keras-keras agar sadar dan tidak bicara sedemikian rupa kalau saja ia tidak mengingat keberadaan kedua kakak kelasnya yang notabenenya adalah OSIS dan malah membuat citranya nampak buruk ke depannya. Jadi, ia berusaha menahannya dengan susah payah.
Achy terkekeh pelan. "Siapa yang sangka coba kalo ratu yang sekarang itu sepupunya waketos, sama sahabatnya adik dari ketua OSIS. Aduh, banyak banget relasinya. Gue mah apa atuh."
Entah kenapa, Stella mendengar nada sarkatis dari bagaimana Achy berbicara. Seperti menuduhnya melakukan suap atau apapun agar membuatnya berhasil menjadi ratu sekolahan seperti sekarang ini dengan orang dalam. Tapi, ia hanya tersenyum kecil menanggapi.
Janita langsung saja mengibaskan tangannya di udara begitu melihat bagaimana ekspresi Stella yang nampak tidak nyaman dengan perbincangan ini.
"Abang lo udah dateng?" tanya Janita, dibalas gelengan oleh Stella.
Geraldo menepuk pundak Janita. "Karena ada lo, gue duluan. Sebelum orang-orang ketakutan ada sadako di sini." Ia menunjuk Tiffany dengan dagunya.
Janita mengangguk setuju dan cepat-cepat menyuruhnya pulang. Geraldo merangkul Tiffany yang masih menutupi wajahnya dan kembali menunduk untuk segera menuju parkiran dan pulang. Hingga kini, tersisa Stella, Janita dan Achy yang masih diam sembari saling bertukar pandang. Sampai, sebuah suara menginterupsi keheningan di antara ketiganya.
"Pulang gak?"
Tidak tahu alasan jelasnya, Stella bergidik ngeri begitu mendengar suara tadi. Bulu kuduknya berdiri. Terlebih saat pandangan matanya bertemu dengan sang empunya. Ia meneguk salivanya keras-keras.
Achy menoleh dan mendapati seorang siswa dengan perawakan yang jauh lebih tinggi darinya. Ia mengernyit. "Lo bawa motor?!"
Laki-laki itu hanya mengangkat kedua bahunya dan berakhir mendapat tepukkan keras dari Achy.
"Tangan lo gimana?!"
Bukannya menjawab dan menanggapi, laki-laki tadi langsung saja mendengus dan berjalan mendahului Achy.
"Tunggu anjir!" teriak Achy begitu ditinggalkan. Kemudian ia menoleh dan tersenyum tipis kepada Stella dan Janita. "Gue duluan ya." Achy mengamit tangan laki-laki itu dan menggandengnya.
Sementara Stella yang ditinggalkan tengah susah payah mengatur napasnya karena memori saat laki-laki itu membelai rambutnya terus menerus berputar bak kaset rusak di kepalanya.
• • • • •
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro