Chapter 32 | The Real Date
"Mereka bilang, Bulan dan Matahari tidak akan pernah bisa menyatu. Memang benar.
Tapi, mereka saling membutuhkan untuk bersinar kan?"
• T H E R E A L D A T E •
Suara gemerisik dari kamar mandi yang menandakan air tengah mengucur dengan derasnya dari shower tak membuat gadis itu memalingkan sedikitpun pandangannya dari cermin di depan.
Tangannya bergerak dengan kaku meraih mascara dan perlahan ia aplikasikan kepada bulu matanya yang sebelah kanan. Setelah selesai, ia beralih ke sebelah kiri.
"Dek! Anduk!"
Stella memejamkan matanya guna menahan emosi yang tiba-tiba saja hendak meledak dari kepalanya dan membuatnya ingin melempar mascaranya hingga membuat pintu kamar mandi terbuka lebar-lebar.
"Stella! Anduk!"
"Ambil sendiri, ah!" tukas Stella, pada akhirnya.
Setelah mencoba untuk tidak peduli pada kakak laki-lakinya yang bahkan sudah menumpang di kamar mandi kamarnya dan dengan tidak tahu dirinya meminta untuk diambilkan handuk itu, ia kembali berfokus pada riasan di wajahnya. Meraih blush on dan mengaplikasikannya secara tipis ke pipi kiri dan kanannya.
"Tada!"
Ia membanggakan hasil karyanya sendiri di depan cermin.
"Dandan mulu."
Stella melotot begitu melihat bayangan kakaknya yang tak terlapis barang sebenang pun di tubuhnya dari cermin.
"Bang! Ish dasar gila!" pekik Stella, spontan menutup mata dengan kedua tangannya.
Nampak tak peduli, Alvian meraih handuk dari atas sofa di kamar Stella dan melingkarkannya di pinggang. Ia membuka pintu kamar Stella seolah tidak terjadi apa-apa dan melenggang pergi keluar kamar.
Apa-apaan sih Alvian?
Masih tercegang di tempatnya lantaran peristiwa barusan, ponsel Stella bergetar dari atas meja berhasil menarik kembali kesadarannya. Ia menggeleng pelan untuk menyadarkan dirinya sendiri lalu bangkit untuk meraih ponsel.
Kak Deon🌹
Iya, Stella sudah mengubah nama kontak Deon pada ponselnya.
Bibir mungilnya lantas mengulas senyum.
"Halo?" sapa Stella begitu mengangkat panggilan.
"Udah rapi belum dandannya?" tanya Deon dari seberang sana.
Semburat merah menghiasi pipi Stella.
Kok Deon bisa tahu kalau dia sedang dandan?
"Apasih ih, Kakak!"
Deon tertawa. "Kalo udah cepetan turun. Aku udah di depan."
Sebentar.
Apa?
"Udah di depan?!" pekik Stella, bola matanya hampir mencelos dari tempatnya.
"Udah setengah jam sih sebenernya."
Mata Stella sepertinya kelilipan. Ia mengerjap selama beberapa kali saking tidak percaya dengan telinganya sendiri.
"Setengah jam?! Kenapa nggak bilang dari tadi? Kan aku bisa cepet-cepet kalo gitu!" kata Stella. "Di depan juga panas, kalo bilang dari tadi kan Kakak bisa masuk dulu ngadem sambil nungguin!"
Cepat-cepat Stella bangkit dari posisinya dan meraih tas selempang kecil miliknya. Tak lupa ia meraih power bank dan juga dompet miliknya untuk turut serta dimasukkan ke dalamnya.
"Tahan emosi, Mbak. Jangan marah-marah," sergah Deon.
"Ya gimana nggak emosi!" Stella keluar dari kamarnya dan turun tangga. "Nanti kalo Kakak item kena panas gimana?!"
Sekali lagi Deon tertawa. "Nggak kok. Orang aku dipayungin."
"Dipayungin? Sama siapa?"
"Sama Mama kamu."
Langkah Stella terhenti tepat di anak tangga terbawah.
Apa?!
"Sama Mama?!?!?!?!"
Tanpa ragu, Stella langsung berlari secepat The Flash. Keluar melewati ruang makan dan ruang tamu begitu saja. Ia mendobrak pintu dan lanjut berlari sampai ke depan gerbang.
Dan, benar saja.
Di depan gerbang, ia dapat melihat dengan jelas Deon yang berdiri di samping motor hitam mattenya dengan ponsel di telinga kanan dan helm yang ia genggam dengan tangan kirinya.
Sementara tepat di hadapan Deon, ada Mamanya yang sedang senyam-senyum sendiri menatapi Deon dengan payung di tangan kanannya yang ia arahkan kepada Deon.
Mata Stella terpejam.
Serius, Stella ingin berbalik badan dan masuk kembali ke dalam kamar kalau begini ceritanya.
Tapi, ia tidak bisa karena tepat setelahnya Deon menoleh dan tersenyum menatapnya.
Tamat sudah riwayatnya.
Stella menunduk dan berjalan lesu keluar gerbang.
"Nah, ini dia anaknya," kata Mama Stella.
"Iya, Tante," balas Deon, masih dengan senyumnya. "Deon izin ajak Stella pergi dulu ya."
Tentu saja Mama Stella langsung mengangguk semangat. Cepat-cepat ia menutup payungnya lalu menarik lengan Stella dan memberikannya kepada Deon.
Deon meraih Stella yang masih larut dalam tundukannya.
"Jangan malem-malem ya pulangnya."
Deon mengangguk. "Sore juga udah pulang kok, Tante."
"Udah dibilang kan. Panggil Mama aja."
Kepala Stella langsung terangkat mendengarnya.
Apa barusan?
• • • • •
Di sepanjang perjalanan, Stella cemberut. Bahkan ketika mereka tiba di salah satu restoran ternama di Jakarta Selatan, bibir Stella masih manyun.
Deon menuntun Stella untuk naik ke lantai atas dan duduk di paling pojok ruangan dekat dengan kaca. Ia duduk di hadapan Stella.
"Masih merengut juga?" tanya Deon, menatap Stella dalam-dalam. "Nggak mau pesen makanan?"
Bibir Stella meracau, marah-marah dalam diam. Enggan balas menatap Deon, ia meraih menu makanan di atas meja dan menariknya.
"Astagfirullah." Deon menghela napasnya lalu bangkit dari duduknya, berhasil membuat Stella mendongak.
Stella kira, Deon mau pergi. Ternyata, Deon malah pindah tempat dan malah jadi duduk di sampingnya.
Stella melengos lagi. Sebisa mungkin menjauhkan pandangannya dari Deon
Tak tahan akhirnya Deon meraih tangan Stella dan menggenggamnya erat-erat. Ia meletakkan kepalanya di atas meja dan menatap Stella.
"Jangan marah, ya?"
Mana mungkin Stella tidak menoleh kalau seperti itu?
Stella berdecak lalu menutup menu makanan keras-keras, dan Deon tersentak di tempatnya.
"Kamu PMS ya?" tanya Deon.
Mata Stella melotot. "Baru aja dapet masa mau dapet lagi!" balas Stella, ngegas.
"Tahan, tahan," kata Deon, meraih tangan Stella yang satu lagi. Jaga-jaga takut dipukuli.
"Mana bisa tahan!"
Mata Deon langsung menjelajah lantai dua restoran yang kebetulan sepi. Untung saja. Dia takut jadi pusat perhatian kalau Stella teriak-teriak seperti ini.
Deon meringis pelan dan menarik leher Stella ke dekapannya lalu menutup mulut Stella dengan telapak tangannya.
"Sssh, jangan teriak-teriak..."
Detak jantung Stella berdentum tak karuan olehnya.
"Pelan-pelan aja ngomongnya, jangan ngegas nanti uratnya putus," kata Deon.
Walau gemetar, Stella menepuk tangan Deon dan menyingkirkannya dari bibirnya.
"Gimana mau ngomong kalo ditutupin," protes Stella.
"Ohiya." Deon angkat tangan. "Maap, bosku."
Stella melipat kedua tangannya di depan dada dan mendelik tajam.
"Kenapa Kakak nggak bilang kalo udah sampe rumah? Kenapa nggak langsung nelpon? Pake nunggu setengah jam segala," cerocos Stella.
Deon mengalihkan pandangannya sebentar, lalu saat ia kembali ternyata Stella masih mendelik tajam ke arahnya. Ia bergumam sebentar.
"Kenapa??"
Deon menyerah.
"Tadinya aku mau langsung nelepon." Deon melayangkan pembelaan pertamanya.
"Terus kenapa nggak nelpon?"
"Mama kamu di depan lagi nyiram taneman ngeliat aku. Tadinya aku mau kabur, tapi Mama kamu kabur duluan nyamperin aku bawa payung."
Stella kehabisan kata-katanya.
"Terus Kakak bilang apa sama Mama?" tanyanya gugup.
"Ya aku bilang: aku mau ngajak kamu jalan, lah! Aku kan lelaki sejati!"
"Pret," kata Stella. "Tadi padahal Kakak bilang mau kabur."
Benar juga.
"Bercanda doang, Dedek Stella."
Bulu kuduk Stella merinding seketika. Apa-apaan sih Deon ini.
"Terus ngomong apa lagi? Bisa ampe setengah jam gitu."
"Ya... Mama kamu nanya-nanya."
Pupil mata kiri Stella bergetar. Ia jadi semakin tertarik dan tanpa sadar mencondongkan tubuhnya agar lebih dekat dengan Deon dan dapat mendengar penjelasan dari cowok itu dengan jelas.
"Nanya apa?" pancing Stella.
Alih-alih menjawab, Deon malah menarik menu makanan di depan Stella dan membukanya.
"Nggak mau pesen makanan dulu?"
"Ih, Kakak mah!" Stella merengut saat tidak terima topik pembicaraannya dialihkan. Ia merebut menu makanan dari genggaman Deon dan melemparnya ke bangku depan.
Deon berdecak pelan.
"Mama nanya apa ajaaaa?" tanya Stella tidak sabaran.
"Kepo banget."
Stella melotot. "Kakak mah!!"
Deon cepat-cepat meraup mulut Stella dengan gemas. "Ssshh!!"
Tangan Stella tidak tinggal diam. Ia memukul lengan Deon dan menggigit tangan pacarnya itu. Berhasil membuatnya meringis dan balas melotot.
"Kok digigit sih?" tanya Deon, mengusap gemas wajah kecil Stella dengan tangannya yang besar.
"Abisan Kakak nggak mau jawab!"
"Ini kan tangan buat megang panah. Nanti kalo luka, terus nggak bisa megang panahan, terus nggak bisa ikut lomba, gimana?"
Tiba-tiba saja Stella merasa bersalah. Wajahnya jadi murung, ia menarik tangan kanan Deon yang ia gigit barusan dan beralih memeluknya.
Deon tertawa pelan.
"Bercanda, sayang," kata Deon. "Gapapa gigit aja yang puas."
Peluh mengalir di dahi Stella, bersamaan dengan detak jantungnya yang terpompa kencang dan tangannya yang bergetar hebat.
Kenapa dia masih tak kunjung terbiasa dengan kata-kata manis yang keluar dari mulut Deon? Dan lagi, apa katanya? Sayang?
Tangannya yang gemetar ia gunakan untuk menggaruk tengkuknya yang sama sekali tidak gatal dan menarik bagian leher bajunya. Kenapa tiba-tiba terasa panas di sini? Padahal, pendingin ruangan di sini menyala dengan sempurna.
Stella tiba-tiba saja kehilangan fokus.
Sampai, Deon memulai pembicaraannya.
"Mama nanya sejak kapan aku suka sama kamu," kata Deon.
Kepala Stella mendongak.
"Aku jawab aja dari lahir. Eh, dia ketawa," kekeh Deon selagi bercerita.
Mata Stella mengerjap selama beberapa kali. Udara di sekitarnya terasa kian menipis setiap detiknya kala Deon angkat bicara.
Deon menarik tangan Stella dari leher ke pangkuannya.
"Terus dia nanya lagi, kenapa bintang yang paling cerah kayak aku bisa suka sama anak kayak kamu yang pemalu, yang bisa muncul kalo cuman ngerasa waktunya tepat aja. Kayak bulan yang muncul malem-malem pas lagi gelap, ngasih penerangan secukupnya aja. Tapi tetep bersinar walaupun sendiri dan dikelilingin banyak bintang."
"T—terus, Kakak bilang apa?"
Tiba-tiba saja Deon berdecak. "Aku bilang lah, aku bukan Bintang!"
Ingin sekali Stella tertawa. Tapi, tenggorokannya terasa kering sekali.
"Seriusan, Kakak mah..."
Deon mengacak rambut Stella pelan dengan senyum hangatnya.
"Aku bilang, kalo di sekolah aku ini bukan bintang. Tapi Mataharinya sekolahan. Sama kayak kamu, Bulannya sekolah."
Stella meraih tangan Deon dari rambutnya dan ia letakkan di pipi untuk menutupi semburat merah di wajahnya. Ia memilih untuk diam saja dan mendengarkan Deon bercerita, sekaligus mengirit udara di sekitarnya, jaga-jaga takut Deon melontarkan perkataan yang bisa membuatnya sesak napas seketika.
"Terus dia bilang kalo aku matahari, berarti seharusnya aku nggak ada kesempatan buat bisa sama kamu dong. Kamu kan bulan, muncul di waktu yang berbeda sama aku," kata Deon. Ia mengelus pelan pipi Stella dengan ibu jarinya.
"Ya aku nggak mau kalah lah. Enak aja. Mama kamu kan ngomongnya pake pribahasa tuh, karena aku pinter bahasa Indonesia, aku bales aja, 'Walaupun nggak kelihatan, bulan itu selalu ada saat matahari sedang bersinar paling terang sekalipun. Dan walaupun bersinar di waktu yang berbeda, dan dibilang tak akan pernah bersatu, mereka tetap saling membutuhkan untuk bersinar kan?' gitu."
Stella tercenung di tempatnya.
Apa itu salah satu alasan sekolahnya memilih Matahari dan Bulan alih-alih Bulan dan Bintang?
"Aku keren banget kan?" tanya Deon, memuji dirinya sendiri.
Deon itu memang paling bisa menghancurkan suasana rupanya.
• • • • •
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro