Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 3 | The Wind

"Melihatmu bagaikan menatap ke awang-awang, tak akan pernah dapat tersentuh seberapa lama diperhatikan."

• T H E   W I N D •

"Eh—Kak Radeon?"

Mendengar suara Tiffany yang biasanya percaya diri berubah gelagapan, entah kenapa membuat atmosfer di sekitaran tubuh Stella menjadi tidak nyaman. Ia menggeser posisi berdirinya seolah memberi jalan untuk Deon lewat.

Tapi, Deon hanya diam dan malah terus memandangi kedua cewek ini secara bergantian.

"Dia bukan pacar gue, siapapun dia yang lo maksud," ungkapnya menegaskan. "Satu lagi: jangan panggil Radeon. Deon aja."

Stella mengerjapkan matanya selama beberapa kali, begitu juga Tiffany dan kini mereka berdua saling pandang. Kehabisan kata-kata dengan respon Deon yang menurut mereka tidak seperti apa yang seharusnya.

"Deon?" ulang Stella, hati-hati dengan alis yang sedikit terangkat.

Deon mengangguk, dan merangkul Miko yang baru datang dan berdiri di sampingnya, tidak mengetahui sama sekali apa yang sedang terjadi di sini.

"Kalo lo seumuran sama gue, gapapa Deon aja."

Sindiran yang cukup dalam, sepertinya. Jadi, Stella langsung mengangguk cepat dan rasanya hendak membungkuk hormat kepada Deon kalau matanya tidak mendapati tatapan tajam dari sekitarannya, yang entah sudah sejak kapan berubah seramai ini.

Tapi, bukan ramai seperti yang Stella maksudkan seperti sebelumnya yang hanya berisikan murid-murid berlalu lalang di koridor. Ini cenderung... ramai berkumpul dan memerhatikannya?

"Oke, Kak Deon," jawab Stella pada akhirnya.

"Good." Deon mengangguk puas dan menatap Miko, agar cowok itu mengikuti gerakkannya.

Sedikit ragu pada awalnya karena tidak terpikirkan sama sekali dengan apa yang tengah terjadi di sini, Miko akhirnya ikut saja mengangguk dan pura-pura tahu.

"Iya, bagus," lanjutnya.

Deon menatapnya. "Emang apaan?"

"Mana tau. Tadi kan lo nyuruh gue ngikut aja!" balas Miko, jadi kesal.

"Emangnya gue nyuruh lo kayak gitu?"

Melihat kedua orang yang tengah sibuk beradu mulut, Tiffany hendak memanfaatkan waktu dan keadaan yang disediakan untuk mereka. Ia menyenggol kaki Stella di bawah sana dan memberinya aba-aba untuk kabur dari sini selagi bisa, namun sepertinya Deon mendapati gerak-gerik tersebut.

"Mau kemana?" tanya Deon, entah kenapa suaranya terdengar mengintimidasi sekarang.

Stella dan Tiffany membeku di tempat.

"Dipanggil abang, Kak. Udah dijemput." Stella cepat-cepat beralasan dengan raut wajah meyakinkan.

Deon mengangguk mengerti. Tapi, ia berhenti saat memerhatikan dengan seksama wajah Stella yang terasa tidak asing. "Kita pernah ketemu ya?" tanya Deon, nampak tak yakin.

Stella mengangguk cepat sampai beberapa anak rambut menutupi wajahnya. "Iya kak, kemarin di lapangan."

"Oh." Deon mengangguk lagi tanda paham. Padahal, dia lupa.

Stella hanya diam, memerhatikan Deon yang diam di tempatnya dengan helaian rambut pendek milik Deon yang diterpa semilir angin di siang hari. Lalu, tangannya terjulur ke depan dan merapihkan anak rambut Stella yang acak-acakkan.

Jantungnya bagaikan berhenti walau hanya untuk sesaat.

"Berantakan," komentar Deon.

"Aaaaaaaaa!"

Teriakkan histeris membangunkan Stella dari mimpinya. Ia tersentak dan langsung duduk membungkuk, wajahnya tertutupi oleh rambut panjangnya dan saat ia hendak menyibak rambut, seketika memori itu datang lagi.

Stella cepat-cepat menggelengkan kepalanya, berusaha menjauhkan pikiran tersebut dan mengalihkan pandangannya. Ia melihat jarum jam menunjukkan angka lima lewat tiga puluh menit pagi hari. Jadi, alangkah lebih baiknya ia mandi dan berusaha menghanyutkan pikiran tersebut bersama air.

Tak berselang lama, Stella selesai mandi dan segera mengenakan seragam lengkapnya. Tak lupa, ia memasangkan segala aksesoris yang diperlukannya untuk mengikuti kegiatan Masa Orientasi Siswa hari ke tiga.

Turun ke bawah setelah merasa lengkap, Stella duduk di kursi meja makan, bersebelahan dengan sang Mama dan berhadapan dengan kakak laki-lakinya, Alvian.

"Gimana sekolahnya sejauh ini?" tanya Ira—mama Stella seraya menyodorkan roti panggang dengan selai strawberry dan cokelat di atas piringnya dan segelas susu.

"Bandel dia, Mah." Bukannya Stella, malah Alvian yang menjawab.

"Emangnya kakak," balas Stella, kesal sendiri. "Lagian, kalopun Stella nakal pasti Janita langsung lapor lah."

Hanung—Papa Stella yang duduk di kepala meja makan yang sedari tadi hanya memerhatikan kini tertawa mendengarnya. "Sampe lupa Papa kalo kamu satu sekolahan sama Janita."

Stella merengut sebal lalu menggigit rotinya. "Papa gatau aja kalo dia di sekolahan jadi wakil ketua OSIS."

Alvian tersedak mendengarnya. "Janita? Jadi waketos?"

"Seriusan kamu?" susul Ira, tak kalah kaget. Ia menyodorkan air putih kepada anak laki-lakinya, namun tatapannya sepenuhnya teralihkan pada Stella.

"Iya," jawab Stella. "OSIS di sekolah Stella tuh punya kepribadian ganda semua."

Alvian tertawa. "Sama kayak lo," celetuknya.

Plak!

Stella menampar Alvian dengan selembar roti yang sebelumnya hanya diam di atas wadah di tengah meja. Ia menatap Alvian penuh dengan permusuhan, terlebih karena kemarin ia harus menunggu Alvian lama sekali sebelum akhirnya bisa pulang sebelum jantungnya meledak karena seseorang yang tiba-tiba saja membelai rambutnya di koridor.

Baru saja Alvian hendak membalas Stella, dengan menyiramnya barangkali—tapi Hanung dengan segera berdeham dan melotot saat kedua pandangan anaknya itu teralihkan.

"Liat udah jam berapa, katanya gaboleh kesiangan?" sindir Hanung, pada anak sulungnya.

Tersadar, Alvian cepat-cepat meneguk minumannya dan bersalaman dengan kedua orang tuanya, kemudian meraih ransel dan kunci mobil miliknya karena ia benar-benar harus menghadiri kelas pagi yang dibencinya kalau tidak ingin kehilangan poinnya sebagai siswa teladan.

"Vian berangkat! Assalamualaikum!"

Kemudian ia berlari menuju garasi, sementara Stella malah makin cemberut di tempatnya.

"Terus Stella berangkat sama siapa?" gerutunya, saat ditinggal Alvian. Bagaimanapun juga, Alvian itu supir pribadinya.

"Sama papa lah," ujar Hanung. "Mau sama siapa lagi? Emang kamu punya pacar buat nganter jemput?"

Ira tertawa mendengar ledekan suaminya, sementara Stella beralih sepenuhnya dan menatap Papanya dalam-dalam, menepis ledekkan soal pacar yang diajukan sang Papa.

"Seriusan? Papa gak kerja?"

"Kerja lah," jawabnya. "Anter kamu dulu."

• • • • •

Macet mungkin akan menjadi satu-satunya keluhan besar bagi masyarakat yang tinggal di kota Jakarta. Selain panas mentereng dan juga banjir.

Sama halnya dengan Stella yang terus saja bergerak gelisah, ia lagi-lagi mengeluh selagi duduk di kursi penumpang mobil yang dikendarai oleh Papanya.

"Pa, aturan jangan lewat sini. Macet banget kan," keluhnya.

Sebelum bell di sekolahnya berbunyi pada pukul setengah tujuh pagi seharusnya ia sudah berada di sekolah kalau tidak ingin terlambat pada masa orientasinya, tetapi saat jarum jam sudah menunjukkan pukul enam lewat dua puluh dua menit dan belum ada tanda-tanda kalau dia sudah dekat dengan kawasan sekolah.

"Ya kamu aja deh yang nyetir," balas Papa Stella.

"Ya udah sini dah," balas Stella, sebal. "Stella anterin Papa kerja juga."

Papa Stella menatap anaknya tajam. "Yaudah nih lampu merah tukeran tempat duduk."

Stella menepuk pundak Papanya. "Ish seriusan, Papa! Ngebut dong!"

"Ini gimana mau ngebut kalo jalanannya penuh!?! Terbang?!?"

Benar juga. Saking tidak sabarannya, Stella jadi tidak dapat mengontrol dirinya karena takut terlambat untuk ke sekolah. Enggan dihukum di hari terakhirnya pada masa orientasi sekolah.

"Ntar di depan belok kiri aja, Pa. Lewat jalan pintas biar cepet." Stella melipat kedua tangannya di dada dan bersandar.

Hanung terdiam. Anaknya memang seperti ini, jadi ia hanya bisa menghela napas dan melanjutkan kegiatannya menyetir, mengikuti arahan anaknya untuk berbelok ke kiri dan terus bertanya mengenai arah perjalanan selanjutnya.

Tak berselang lama, akhirnya mereka sampai di sekolah Stella. Begitu sampai, Stella segera meminta uang bekal dan bersalaman kepada Papanya.

"Pulang langsung pulang ya. Minta jemput aja sama abang," nasihat Papa Stella, sebelum anak perempuannya turun dari mobil.

Stella mengangguk patuh. "Siap, Pak Menteri." Ia memasang ancang-ancang hormat.

Hanung terkekeh pelan, dan setelah Stella turun dari mobil, ia melanjutkan menyetir mobil dan menjauh dari kawasan sekolah.

Sementara Stella melangkahkan kakinya dengan santai, yakin bahwa dirinya tidak akan terlambat karena masih ada beberapa menit lagi sebelum bell masuk dan lagi, gerbang sekolah tak mungkin akan langsung ditutup begitu bell berdering, kan?

Tapi, tiba-tiba saja, ia merasakan kehilangan.

Kehilangan pada tangan kanannya.

Tangan yang seharusnya menggenggam dua bungkus cokelat yang telah ia curi dari lemari es di kamar kakak laki-lakinya—Alvian—guna memenuhi persyaratan hari terakhirnya melaksanakan Masa Orientasi, kosong. Di tempat yang seharusnya ada cokelat, malah tidak ada apa-apa.

Tanpa memberi aba-aba dan lampu sen, Stella langsung memutarbalikkan tubuhnya dan hendak berlari mengejar mobil papanya yang sepertinya belum jauh, mengambil cokelat yang sepertinya tertinggal di dashboard mobil atau barangkali di kursi. Tapi, belum sempat ia berlari—Stella malah menabrak seseorang dengan kerasnya sampai terjatuh.

"Aaak!" teriaknya kaget sekaligus mengerang kesakitan.

Sebenarnya, ia menabrak orang itu tepat saat ia berbalik, menubruk keras dengan ransel besarnya yang berisi berbagai macam peralatan masa orientasi tepat sebelum ia sempat berlari.

Sementara seseorang yang kini tengah tersungkur tak jauh dari posisi Stella, tengah menggigit bibir bawahnya guna menahan entah tawa atau rasa sakit, karena Stella sama sekali tidak dapat menebaknya dengan pikiran yang mendadak kalang kabut karena ia baru saja menabrak kakak kelas—dilihat dari seragam dan juga almamaternya—plus OSIS.

Stella berlari kecil seolah tidak peduli dengan kakinya yang terluka dan menghampiri korban tabrakkannya. "Maaf... kak—kakak gapapa?" Ia bertanya dengan nada panik bukan main.

Kemudian, Stella semakin dibuat resah ketika membaca nametag yang digunakan laki-laki di hadapannya ini. Di sana tertuliskan dengan jelas "G—Ketua OSIS".

Mampus, batin Stella merutuk.

Bukannya menjawab pertanyaan Stella barusan, Geraldo—si Ketua OSIS, malah tertawa melihat ekspresi Stella, terlebih saat matanya yang sedikit terbelalak saat melihat nametag yang dikenakannya.

Apa yang harus Stella lakukan sekarang? Pura-pura kesakitan agar tidak disalahkan dan diringankan hukumannya? Atau langsung berlari saja? Karena, entah kenapa suara tawa Geraldo terdengar begitu jahat di telinga Stella. Seperti tawa meledek dan ledak tawa orang yang memiliki rencana lain dibalik senyumannya. Stella meneguk salivanya keras-keras.

Bangkit dari posisi terduduknya, Geraldo meraih tangan Stella yang kini berjongkok untuk berdiri bersamanya. "Gue gapapa," jawabnya. "Lo gapapa?"

"E—eh?" Stella kelimpungan bukan main. Matanya mengerjap selama beberapa kali. "Gapapa, Kak."

Gagal sudah rencananya untuk pura-pura kesakitan.

Tetapi nampaknya Geraldo tidak percaya dengan jawaban Stella, karena matanya kini beralih turun dan memerhatikan dengan seksama lutut Stella yang mengeluarkan darah yang dapat dikatakan tidak sedikit.

"Lo berdarah," kata Geraldo.

Mata Stella mengerjap selama beberapa kali, kemudian mengikuti arah pandang Geraldo. "Ehm, gapapa kok, Kak. Baret doang," ucapnya.

Geraldo yang tidak terlihat puas memiringkan sedikit kepalanya, dan selang beberapa detik, ia menarik tangan Stella untuk masuk ke dalam gerbang sekolah, menyusuri koridor yang mulai sepi karena perlahan-lahan siswa mulai masuk ke dalam kelas dan murid baru yang sudah mulai berbaris di lapangan untuk memulai Masa Orientasi hari terakhirnya.

Kepala Stella tertunduk dengan sesekali menoleh ke kiri dan ke kanan guna memastikan tidak ada orang-orang yang menatapnya seperti bagaimana orang-orang kemarin melihatnya saat berada bersama Deon dan Miko. Mengingat, status Geraldo sebagai Ketua OSIS yang tidak dapat dipandang remeh.

Dan saat tiba di depan ruang UKS, Geraldo berhenti.

"Siapa penanggung jawab regu lo?" tanya Geraldo.

"Kakak Humas—" Stella berpikir sejenak, mengingat namanya. "Kak Achy."

Geraldo mengangguk paham. "Yaudah, lo masuk aja dulu ke UKS, obatin kaki lo. Habis istirahat nanti mau ada pemilihan raja sama ratu sekolahan." Ia melirik kaki Stella sesaat dengan jelas. "Nggak mungkin kan lo mau biarin kaki lo begitu aja? Gue kasih waktu sepuluh menit terlambat, nanti gue yang bilang ke Achy."

Sepertinya telinga Stella rusak saat ini. Apa ini benar kenyataan? Apa ada Ketua OSIS, yang udah ganteng, baik pula hatinya seperti Geraldo yang kini berdiri di hadapannya? Kalau diingat-ingat dari beberapa buku remaja yang pernah dibacanya, bukankah seharusnya watak dan karakter Ketua OSIS itu dingin dan kuat? Lalu, apa yang akan terjadi di sekolah kalau Ketua OSIS-nya seperti Geraldo?

Geraldo lantas menepukkan kedua tangannya di depan wajah Stella saat merasa ucapannya tidak mendapat respon. "Sepuluh menit lo dimulai dari sekarang!" paparnya mantap.

Seperti robot yang baru diperintah, Stella langsung berbalik dan masuk ke ruang UKS lalu kembali menutup pintunya rapat-rapat. Setidaknya, ia bisa menggunakan sepuluh menit yang diberikan oleh Geraldo untuk meminta Papanya kembali dan membawakan cokelat miliknya.

Stella masuk ke dalam salah satu bilik di ruangan ini dan meletakkan tasnya di atas ranjang. Tangannya meraih ponsel dan menekan nomor Papanya untuk segera ia hubungi, meletakkan ponselnya di telinga kanan lalu menunggu dengan sepatu yang ia ketuk-ketukkan di lantai tanda resah. Tak berselang lama, tanpa disangka-sangka Papanya mengangkat panggilannya.

"Halo, Pah?" sapa Stella begitu panggilannya di angkat. Kakinya mulai melangkah keluar bilik untuk meraih obat yang akan ia gunakan untuk mengobati kakinya di lemari yang berisi berbagai macam obat-obatan.

"Kenapa? Papa lagi nyetir," balas Hanung.

"Iya tau," kata Stella. "Papa udah di mana? Balik lagi bisa nggak?"

Papa Stella—Hanung, terdiam di seberang sana. Stella tidak tahu dengan pasti apa alasan Papanya tidak langsung menjawab, jadi ia membuka lembari dan meraih plester, obat merah serta alkohol untuk membersihkan lukanya. Kemudian ia menutup pintu lemari dengan lumayan keras dan berhasil menyadarkan Papanya di seberang sana.

"Ha?" ulang Hanung. "Ngapain?"

Stella menggigit bibir bawahnya sebentar, ia menghempaskan tubuhnya di salah satu kursi hingga berdenyit kencang dan meletakkan botol obat-obatannya dengan lumayan keras di atas meja.

"Balik ke sekolah. Cokelat aku buat persyaratan MOS ketinggalan di mobil, aku gatau beli cokelat di mana yang deket sekolahan, kalo nggak bawa nanti aku dihukum. Sekarang aku dikasih keringanan waktu cuman sepuluh menit—sisa tujuh menit lagi—sama OSIS, dan kalo aku balik ke lapangan.. udah telat, gabawa cokelat pula, aku gatau hukumannya bakalan kayak gimana.."

Mendengar suara gelisah dari anak perempuannya, Hanung mendesah berat.

"Papa udah keluar tol, anak papa yang cantik. Kalopun papa muter balik nggak bakalan bisa sampe sana dalam waktu tujuh menit. Kamu tadi ngerasain sendiri kan gimana macetnya jalan ke arah sana? Paling nggak butuh waktu dua puluh menit sampe setengah jam buat sampe—"

"Terus gimana nasib Stella dong, Paaah..." Stella memotong ucapan Papanya, hampir menangis. Bukan hanya karena alasan waktu yang diberikan Papanya dan juga masalah yang akan ia dapatkan setelah ini kalau tidak membawa cokelat sebagai persyaratan yang Stella juga sebenarnya kurang tahu apa pentingnya, melainkan karena kakinya yang kini tengah ia tuangkan alkohon dan obat merah.

"Idih apaan sih begitu aja segala pake acara nangis-nangisan," desis Hanung. "Palingan dihukumnya apaansih, nggak mungkin berat lah kan masih anak baru."

"Pah! Hukumnya parah!" ucap Stella, hampir berteriak. Ia bahkan menepuk plester yang ia gunakan untuk menutup lukanya keras-keras.

"Separah apa?"

"Separah itu!"

"Gawat dong?" tanya Papa Stella.

"Gawat banget!" pekik Stella yang sudah tidah tahan lagi.

Ia bangkit berdiri dan masuk kembali ke dalam bilik tempat ia meletakkan tas, hendak mengambilnya dan keluar dari sini dan menunggu Papanya di depan sekolah kalau memungkinkan atau mencari bantuan selagi bisa.

Tapi, saat Stella baru saja menyibak gordeng yang menutupi biliknya, ia membeku di tempat saat matanya mendapati tiga batang cokelat di samping tasnya yang berada di atas ranjang. Bulu kuduk Stella berdiri seketika.

Ini gawat.

• • • • •

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro