Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 29 | The Third Disturber

Cobaan silih berganti, bagai badai yang tak pernah berlalu.
Hanya saja, aku sekuat baja hingga tak mampu merasa.

• • • • •

T H E  T H I R D  D I S T U R B E R •

Pulang sekolah, Stella pergi ke kantin bersama Tiffany. Karena kata sahabatnya itu, dia lapar. Jadi, Stella menemaninya dengan setia sembari menunggu pesanan mie ayam milik Tiffany datang.

"Tumben sih jam segini udah laper," kata Stella.

Mereka duduk di tengah-tengah kantin, berhubung pulang sekolah, kantin tidak seramai biasanya. Hanya terdapat beberapa siswa yang memang suka bersenda gurau saat pulang sekolah atau membeli minuman.

Tiffany menggeser duduknya dan meletakkan tas di samping kanannya. "Tadi gue muntah," jawabnya.

Stella menoleh. "Lo sakit?"

Walau enggan, Tiffany mengangguk perlahan. "Lagi dapet gue, bawaannya enek melulu. Perut sakit banget."

Tanpa diminta, cepat-cepat Stella memutar posisi tasnya dan mengeluarkan roll on panas dari sudut tasnya lalu menyodorkannya kepada Tiffany.

"Nih, pake di perut biar abis makan gak muntah lagi," titah Stella.

Dengan senyuman lebar, Tiffany menyambutnya. "Thankyou."

Tak lama setelah memakai roll on yang diberikan Stella, pesanan mereka sampai. Stella hanya memesan es teh manis sementara Tiffany memesan teh hangat dan mie ayam.

"Gapapa emang makan mie?" tanya Stella, memainkan sedotannya selagi memerhatikan Tiffany makan.

"Gapapa," jawabnya, mengangguk. "Mie ayam ini."

Stella hendak berkata pada Tiffany, walaupun itu mie ayam, tetap saja namanya mie. Dan hendak menasehati sahabatnya itu untuk tidak terlalu sering memakan mie, juga agar ia tak lupa meminum obat ketika sampai di rumah nanti. Tapi, sebuah tangan yang menyentuh pundaknya menghentikan keinginan Stella tersebut.

Sontak, Stella menoleh dan mendapati Deon berdiri di belakangnya dengan seulas senyum di wajahnya.

"Hai," sapa Deon.

Pipi Stella langsung merona.

Tiffany yang mendapati kelakuan Stella pun cepat-cepat membungkam mulutnya sendiri dengan mie ayam agar dirinya tak menginterupsi kegiatan mereka berdua dengan komentar-komentar yang sebenarnya ingin sekali meluncur keluar. Apalagi, dengan adanya sosok yang berdiri di belakang Deon membuat Tiffany ingin mengeluarkan berbagai macam komentar. Atau lebih tepatnya, cacian.

"Iya, Kak." Stella membalas malu.

Jemari Deon yang terbebas memainkan ujung rambut panjang Stella. "Mau nungguin gak? Gue sama Miko mau sholat dulu."

Stella melirik sebentar dan mendapati Miko berdiri dengan senyum yang dipaksakan lalu kembali menatap Deon.

"Iya, aku tunggu di sini ya, Kak," jawab Stella.

"Oke," balas Deon, namun masih tak beranjak dan terus memainkan ujung rambut legam milik Stella.

Miko memutar bola matanya malas, dan dengan segenap tenaga ia menepuk tangan Deon agar melepaskan pegangannya pada rambut Stella lalu menariknya menjauh untuk keluar dari area kantin.

Selepas kepergian keduanya, Stella merasa merinding di sekujur tubuhnya dan cepat-cepat berbalik menghadap Tiffany dan menutupi sebagian wajah dengan rambutnya.

"Ngapa lu?" tanya Tiffany, meraih teh hangat dan meminumnya.

Stella memeluk tasnya erat-erat. Matanya menilik tajam. "Gue diliatin. Iya gak sih?"

Tiffany menoleh ke kanan dan ke kiri. "Mau gue jujur apa boong?"

"Ya jujur lah!"

"Iya," kata Tiffany. "Nyeremin banget malah ngeliatinnya."

"Ck." Stella berdecak dan kembali menunduk. Ia meraih ponsel dan hendak mengetik sesuatu di sana, tapi seseorang dari balik tubuhnya terlebih dahulu merebut ponsel milik Stella.

"Eh!" teriak Stella, terkejut bukan main. Ia menoleh dan mendapati salah seorang kakak kelas dengan baju yang seukuran dengan lekuk badannya itu tengah melihat sesuatu dari layar ponselnya. Rambutnya agak pirang, dan saat Stella melirik name tag di dada sebelah kanannya, tertulis Adelina di sana.

"Awc. Mau nelpon Deon?" tanya Adelina, kemudian duduk di samping Stella tanpa memerdulikan kehadiran Tiffany.

Tanpa menoleh, Adelina menggerakkan jemari lentiknya dan dalam hitungan detik segerombolan siswi yang berpenampilsn tak jauh berbeda dari Adelina mengerumuni baik Stella maupun Tiffany.

Tiffany menghela napasnya panjang dan mendongak ke atas lalu memiringkan kepalanya ke kanan dan ke kiri sehingga berbunyi lumayan keras. Ia memerhatikan Stella yang kini tengah menunduk sembari menggigit bibir bawahnya kemudian bergantian menatap Adelina di sampingnya.

"Lagi PMS, ada aja yang nyari gara-gara. Heran," desis Tiffany, lalu bangkit dari duduknya dengan cepat.

Veni dan Widya yang duduk di samping Tiffany lantas terlonjak kaget. Begitu juga dengan Adelina, Rara, Titian dan Anggun yang duduk di depannya.

"Kak, mendingan minggir deh," kata Tiffany, memperingati dengan halus.

Beberapa siswa yang berlalu lalang di kantin memerhatikan mereka dengan pandangan takut, ngeri, dan beberapa ada yang menatap dengan kasihan.

Tapi, tak ada yang dapat mereka lakukan selain hanya diam dan menonton.

Adelina dan kawanannya memang sudah terkenal di sekolah sebagai gerombolan tukang rusuh dan ikut campur, bahkan Geraldo, Achy, Janita dan anggota OSIS lainnya sudah menyerah untuk memperingati perilaku mereka. Adelina itu anak pemilik Yayasan Sekolahan, jadi, mereka tidak bisa apa-apa.

Christa dan kawanannya? Jangan ditanya. Mereka yang sok berani itu bahkan takut pada Adelina. Kalau bisa mungkin mereka akan mendaftarkan diri untuk menjadi ajudan Adelina demi pamor.

Adelina hanya menatap Tiffany tajam, memilih tak menggubrisnya kemudian beralih kembali ke arah Stella.

"Heh, Cewek Culun," panggil Adelina, menarik ujung rambut Stella agar menoleh ke arahnya.

Dengan mata yang memerah, Stella menatapnya takut-takut.

"Kenapa.... Kak?" tanya Stella, pelan.

"Gimana-gimana? Udah sukses belom panjatnya sama Deon?" Adelina melipat kedua tangannya di atas meja dengan masih memegang ponsel Stella dan memasang senyuman merendahkannya.

"Aku—"

"Wah, conge ini manusia punya kuping," ujar Tiffany, menginterupsi ucapan Stella dan melotot menatap Adelina. "Cakep-cakep kok conge."

Sontak Adelina dan kawanannya langsung menatap Tiffany.

"Apa?" tanya Tiffany, tak merasa terganggu dengan tatapan mereka.

Adelina memutar bola matanya. "Bawa itu kacung ke gudang atau kemana kek terus kunci," titahnya. "Urusan gue sama dia doang."

Mata Stella mengerjap selama beberapa kali, menatap panik ke arah Tiffany yang kini dikerubuni dan dipegangi lengannya.

"Kak, biarin aja Tiffany. Jangan gituin dia.... dia lagi sakit," pinta Stella lirih. Ia menatap Adelina dengan takut. "Kan kata Kakak.. urusan Kakak sama aku doang. Biarin aja Tiffany."

Bukannya menjawab, Adelina malah tertawa.

"Friendship goals, ya?" tanya Adelina.

Tiffany meludah di depannya. "Ya iya itu namanya friendship. Emangnya elo, ngebabuin orang."

Tawa Adelina mereda. Matanya menatap Tiffany selama beberapa saat, kemudian ia menoleh dan menatap teman-temannya, dan dengan sekali gerakkan kepala, mereka langsung menarik Tiffany untuk keluar dari kursinya.

"Lepasin gak!" pekik Tiffany, saat tangannya ditarik.

Adelina menarik rambut Stella dengan keras sampai ke bawah. Stella meringis kesakitan dan secara otomatis memejamkan matanya.

"Sakit, Kak," rintih Stella.

Tiffany melotot. "Heh, anjing! Perempuan busuk! Lepasin gak tangan lo dari Stella!"

Pura-pura tak mendengar, Adelina memutar bola matanya. "Bawa dia pergi aja. Urusan gue bukan sama dia."

"Tadi lo kan yang nyuruh dia pergi?" tanya Adelina, semakin menarik turun rambut Stella.

"Aw, sakit.. Kak." Stella merintih sekali lagi. Namun, saat ia membuka matanya, ia melihat Tiffany masih berdiri di seberang tempatnya duduk.

Adelina yang merasakan adanya keanehan lantas mengikuti arah pandang Stella. Alih-alih membawa cewek itu pergi seperti yang diperintahkan, teman-temannya malah diam membeku di tempat.

"Ngapain masih di sini? Pergi buruan!" titah Adelina.

"Lo yang pergi."

Mata Adelina terbelalak mendengar seseorang yang membalas ucapannya dari balik tubuhnya. Dan tepat saat Adelina menoleh, tangannya dihempaskan oleh orang itu agar lepas dari rambut Stella.

"Gausah gangguin cewek gue lagi."

Jantung Stella berdegup kencang. Cewek gue katanya.

Tentu saja, itu Deon.

Deon menatap Adelina dengan pandangan tidak suka. Ia segera meraih ransel Stella untuk ia bawakan di bahunya yang sebelah kiri dan menarik Stella untuk berdiri bersamanya.

"Ayok pulang," ajak Deon.

Stella hanya menuruti, terlebih, ia sudah tenang soal Tiffany kala melihat Miko menarik lengan sahabatnya itu untuk menjauh dari kerumunan.

• • • • •

"Lo gapapa kan?" tanya Deon, saat mereka sudah tiba di depan rumah Stella dan turun dari motor.

Stella mengangguk pelan sambil memaparkan senyumnya. "Aku gapapa, Kak."

"Coba aja si Adelina itu cowok."

"Kalo cowok, emang mau Kakak apain?"

"Langsung gue tonjok di tempat. Kayak Kejora."

Sontak saja Stella tertawa mendengarnya. Kejora lagi, Kejora lagi.

"Bintang, Kak." Stella mengoreksi.

Deon mengibaskan tangannya di udara. "Bodoamat gak ngurus."

"Iya-iya oke," kata Stella mengalah. "Kakak mau masuk dulu?"

Kepala Deon menggeleng pelan, namun tangannya bergerak untuk meraih tangan Stella dan tubuhnya bersandar pada gerbang rumah Stella.

"Stell," panggil Deon, entah kenapa kepalanya tertunduk.

"Eng... kenapa, Kak?"

"Gue pengen ngomong." Deon masih menunduk. "Tapi malu."

Melihat bagaimana Deon bersikap, Stella susah payah menahan tawanya. Deon bertingkah seperti anak kecil yang hendak dibelikan mainan mahal tapi takut meminta karena tahu bahwa harganya terlalu mahal untuk sekedar mainan.

Stella menggoyangkan tangannya yang dipegang oleh Deon sehingga lengan Deon ikut bergoyang.

"Kalo malu ya gausah lah, Kak," kata Stella, mengalihkan pandangan ke atap rumahnya.

Deon mendongak dengan raut kecewa. "Tapi gue kan pengen ngomong."

"Ya tapi Kakaknya aja malu, kan? Mau gimana terus?"

"Hng.." Deon nampak berpikir sejenak.

"Gimana?" pancing Stella.

"Gue kan besok ada pemotretan buat sesi promosi Asian Games, seharian. Gue udah bilang sama lo kan?"

Stella mengangguk. "Iya. Terus kenapa?"

"Lusa itu Sabtu, sekolah libur." Deon menggambar meta jadwal di kepalanya. "Malem mingguan sama gue, mau gak?"

Semburat merah muncul di pipi Stella. "Apa hubungannya sih Kak mau ngomong tapi tiba-tiba omongin jadwal sama ngajak malem mingguan?!"

Genggaman tangan Deon makin mengerat. "Ya, gue mau ngomongnya langsung pas malem minggu."

"Emang Kakak gak latihan?"

Deon menggeleng. "Hari Minggu baru latihan, seharian."

Stella menghela napasnya panjang. "Okedeh," jawabnya.

Langsung saja Deon tersenyum senang dan menarik Stella ke dalam pelukannya.

"Aduh, si cantik ini," ujar Deon, mengacak-acak rambut Stella dengan gemas.

"Ih, Kakak mah!" Stella memukuli pundak Deon sebal.

Deon melepas pelukannya dan langsung mencuri ciuman di pipi Stella.

Cup.

"See you, cantik."

Stella membeku di tempatnya dengan mata terbelalak. Sementara Deon langsung kabur naik ke atas motor, memakai helm dan menginjak stater motornya.

Stella membuka mulutnya, lalu merapatkannya kembali. Dan pada akhirnya yang keluar hanyalah kata-kata wah saja.

Setelah terdiam selama beberapa saat di posisinya dengan jantung yang berdetak tak karuan dan pipi yang semerah kepiting rebus, Stella berbalik dengan langkah tertatih-tatih untuk masuk ke dalam rumahnya.

Tapi, suara klakson mobil yang berdiri tepat di depan rumahnya menghentikan langkah Stella dan membuatnya berbalik lagi.

Mata Stella menyipit. Ia tidak mengenali mobil mercedez silver yang kini terparkir memanjang di depan rumahnya. Apa teman Alvian? Atau teman Papanya?

Tak berselang lama, seorang pria berjas yang dapat Stella jamin berusia 40 tahunan itu keluar dari kursi kemudi dan berjalan menghampiri Stella dengan gagahnya. Ia tersenyum penuh wibawa.

Stella balas tersenyum kikuk dan sedikit membungkukkan badannya di hadapan yang lebih tua.

"Stella, benar?" tanya orang itu.

Kepala Stella mengangguk ragu. "Iya, benar. Bapak siapa ya?"

Orang itu melebarkan senyumnya dan menjulurkan tangannya ke arah Stella.

"Saya Reynaldi Kusuma, Papanya Deon."

Bola mata Stella hampir keluar dari rongganya. Sekarang, apa yang harus ia lakukan?

• • • • •

[ n o t e s ! ! ! ]

hai! sorry agak lama
gue lagi disibukkan dengan naskah ya jadi begini.

so, gimana?
masih ingin lanjut diperpanjang ceritanya?
mau sampe berapa part?

30? 31? 32? 33? 34? 35?

wkwk komen ya.

dan, buat yang mau gabung grup chat line "Radeon & Stella" silahkan chat di sini. tulis nama lengkap dan id line kalian ya.

kalo mau join grup chat "Greek-Lady United" bisa chat di sini. tulis juga nama lengkap dan id line kalian.

Selamat membaca, semoga suka!
Love, Melanie.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro