Chapter 28 | The Last Round
"Terimakasih atas tangismu, terimakasih atas diammu, dan terimakasih atas senyummu.
Aku hidup karenanya."
• T H E L A S T R O U N D •
Mata Stella hanya bisa mengerjap setelah mendengar penuturan Johan barusan. Ia mengelap kasar air mata di ekor matanya kemudian menoleh dan mendapati wajah tak tahan milik Deon yang sama sekali tak disembunyikannya.
"...Kak?"
Deon meliriknya lalu menghela napas panjang. "Dia gila."
Cepat-cepat Stella menahan sudut bibirnya yang hendak terangkat.
"O-oke," balas Stella sambil menahan tawa.
Dan dalam sepersekian detik, Deon menatap Johan dengan tajam. "Lo!"
"Kenapa gue?" Mata Johan mengerjap.
"Mau pergi sekarang, gue diemin. Atau nanti, gue pukul?"
Johan mundur selangkah dan menyilangkan kedua tangannya di depan dada. "Pilihan pertama terdengar menggiurkan. Tapi—"
"Tapi apa?!" Deon melotot.
"Bokap lo ada di depan, nungguin lo."
Deon mengumpat dalam hati. Kenapa harus sekarang?
Kepalanya menoleh ke samping kanannya di mana Stella berdiri saat ini. Ia melihat Stella menatapnya dalam-dalam dengan mata bulatnya. Walaupun ia hanya diam tak bersuara, Deon tahu kalau gadis itu ingin mengetahui apa yang terjadi di sini.
Alih-alih membalas ucapan Johan, Deon malah meraih pergelangan tangan Stella dan mengajaknya berlalu.
Stella mengerjap selama beberapa kali, masih tidak mengerti. Tapi, ia tetap mengikuti Deon untuk melangkah menjauh menuju pintu keluar di sisi lain stadiun. Ia melepaskan tangan Deon dari pergelangan tangannya dan meraih jemari Deon.
Cepat-cepat, Johan berlari menyusulnya.
"Woi, mau ke mana gila?" tanya Johan.
Deon meliriknya sebentar, masih terus berjalan. "Nganter Stella balik."
"Terus bokap lo?"
"Bodoamat."
Deon memutuskan, alangkah baiknya untuk tidak latihan berlebihan sebelum lomba dan pulang saja. Lalu memikirkan bagaimana cara menjelaskan situasi kehidupannya kepada gadis yang kini masih menggenggam tangannya erat-erat bagai mengoper kekuatan baterai terhadapnya.
Ia tersenyum dalam diam, begitu senang dengan Stella yang memilih untuk diam dan memberikannya sementara waktu untuk berpikir tanpa mendesak. Deon rasa, pilihannya sudah tepat
• • • • •
Stella terbangun lantaran alarm yang ia letakkan di atas nakas berdering dengan keras, bersamaan dengan alarm pada ponselnya yang ia letakkan di samping bantal tidurnya.
Jam enam pagi.
Tepat sebagaimana yang telah ia rencanakan.
Stella bangkit dari tidurnya, mematikan alarm dan segera membasuh dirinya di kamar mandi. Tak berselang lama, Stella keluar. Ia berdiri lumayan lama di hadapan lemari pakaiannya sebelum akhirnya memilih kaos berwarna biru tua dan celana jeans putih panjang beserta ikat pinggangnya.
Setelah berpakaian, dengan handuk kecil yang masih membungkus rambutnya, Stella duduk di hadapan meja rias dan menggunakan serum pagi harinya sebelum mengolesinya dengan bedak tabur no sebum miliknya. Ia berpikir untuk menggunakan lipstick, tapi ia merasa kalau itu akan berlebihan. Jadi, pilihannya jatuh pada liptint berwarna orange yang biasa ia pakai kalau sedang pergi menemani Tiffany belanja atau sekedar menonton bioskop.
Stella tidak suka menjadi terlalu mencolok, apalagi karena dandanannya yang tidak sesuai usia. Dia tidak mau.
Dengan tangan lembutnya, Stella mengambil mascara dan perlahan-lahan mengaplikasikannya pada bulu mata lentiknya. Ia tersenyum senang setelah melihat hasilnya.
Tidak buruk.
Dan setelahnya, Stella melepas handuk dari kepalanya untuk mengeringkan rambut dengan hairdryer.
Begitu selesai, matanya menatap jarum jam yang menunjukkan angka tujuh lewat sepuluh pagi di dinding kamarnya. Tepat seperti yang Stella perkirakan. Lewat sepuluh menit sih, tapi tidak apa-apa.
Dan dengan langkah percaya diri, Stella keluar dari kamar dengan ponsel serta sling bag miliknya dan turun ke bawah.
Di depan gerbang rumahnya, sebuah mobil terparkir rapi dengan plat nomer yang sesuai tertera di aplikasi pemesanan taksi online di ponsel Stella. Ia tersenyum dan segera masuk ke kursi penumpang.
Hatinya berdegup kencang hanya dengan membayangkan kemana tujuannya saat ini. Semoga hari ini akan menjadi hari yang baik, entah untuk dirinya, atau untuk Deon semata.
Begitu sampai di lokasi pertandingan, suasana penonton sudah lumayan ramai. Stella menyodorkan tiket miliknya kepada penjaga dan segera masuk ke dalam koridor stadiun. Dari sisi penonton, penampilan begitu berbeda dengan koridor yang dikhususkan untuk para pemain dan juga staff. Stella berkata demikian karena ia sudah pernah masuk dari sisi pemain.
Ia berjalan menuju kursi penonton dan menemukan sosok yang dirasanya tidak asing dari belakang tengah memilah sekiranya kursi mana yang hendak ia tempati. Tanpa ragu, Stella menghampirinya.
"Tiffany?" panggil Stella saat sudah mendekat.
Gadis dengan rambut hitam panjang nan bergelombang itu pun menoleh dan terbelalak, seakan terkejut dengan kehadiran sahabatnya itu.
"Eh... Stella."
"Lo ngapain di sini?" tanya Stella, mengernyitkan dahinya.
Tiffany memegangi rantai tasnya dengan gugup. "Itu.."
"Gue yang ajak."
Stella cepat-cepat menoleh dan mendapati Miko berdiri di sampingnya.
"Kak Miko?!" pekik Stella, cepat-cepat menutupi mulut dengan kedua tangannya.
Miko memutar bola matanya.
"Udah ayok buruan duduk, keburu penuh," ajak Miko, menarik baik lengan Stella maupun Tiffany untuk segera duduk di kursi penonton paling tengah section B.
Miko duduk di paling kanan, Tiffany di tengah, dan Stella di sebelah kiri.
"Kayaknya, banyak hal yang harus kita bahas pas masuk sekolah," kata Stella, setengah berbisik pada Tiffany.
Tiffany meliriknya sedikit. "Lo juga harus cerita sama gue."
"Cerita apaan?"
Kepala Tiffany sedikit mencondong agar Miko sekiranya tak dapat mendengar percakapan mereka. "Udah dijedor belom?"
Spontan, tangan Stella menepuk paha Tiffany keras-keras.
"Sakit!" dumal Tiffany, memegangi pahanya.
Stella melotot. "Lo lagian, ada-ada aja!" tukas Stella.
"Nah elu. Dikakak-adekin zone lu ya? Gak jadian-jadian perasaan," celetuk Tiffany.
"Ya nggak usah ngalihin juga kali! Kan tadi gue duluan yang nanya apa hubungan lo sama Kak Miko!"
Tepat saat itu, Miko menoleh.
Stella segera membuang pandangannya ke arah field dan merasa beruntung di saat yang bersamaan karena pertandingan akan segera dimulai.
• • • • •
Dengan wajah berseri-seri, Deon menyusuri koridor dan sesekali menundukkan kepalanya untuk berterimakasih kepada orang-orang yang memberikannya ucapan selamat.
Sebelum pertandingan dimulai, Deon mencari-cari keberadaan seorang gadis yang dinantikannya dan api semangat di hatinya seketika langsung berkobar-kobar begitu menemukan sosoknya.
Gadis itu duduk dengan damai di kursi penonton sembari memeluk tas selempangnya. Dan saat pandangan mereka tanpa sengaja bertemu, ia tersenyum yang sekali lagi menyulut api semangat di benak Deon.
Dan, abacadabra. Deon memenangi pertandingan dengan skor telak. Dan dinyatakan dapat mengikuti pertandingan berikutnya alias menjadi perwakilan Indonesia untuk bermain pada ASIAN Games 2018 di kategori panahan.
Kakinya melangkah menuju ruang tunggu dan segera meletakkan perlengkapan panahannya di atas meja berukuran besar yang berada di sana.
Baru saja Deon hendak melangkah keluar, seseorang menghampirinya.
"Selamat ya, Yon," ujar orang itu dengan senyumnya, terdengar luar biasa tulus. Ia menjulurkan tangannya.
Itu Jeremy.
Sebenarnya Deon hendak marah, tapi ia segera tahu bahwa itu bukan sepenuhnya kesalahan Jeremy. Dan lagi, ini hari yang bahagia serta perkataan Jeremy sama sekali tidak menunjukkan adanya tanda-tanda kecemburuan atau ketidak sukaan. Jadi, Deon tersenyum dan meraih uluran tangan Jeremy.
"Thanks, Bro," balas Deon.
"Semangat terus latihannya," kata Jeremy. "Dan.. sorry."
Deon menepuk pundak Jeremy. "Bukan salah lo."
Jeremy tersenyum. Setidaknya, perasaannya lega sekarang.
"Gue duluan ya," pamit Deon kemudian. Ia melangkah pergi dari ruangan dan begitu keluar dari ruang tunggu, seorang gadis dengan baju biru gelap dan rambutnya yang dibiarkan terurai tengah berdiri membelakanginya sambil menunduk di seberang jalan.
Deon menghampirinya dan tanpa ragu langsung memeluknya dari belakang. Ia menelusupkan kepalanya di leher gadis itu, dan hanya dengan menciumi aromanya saja, Deon tahu kalau dia tidak salah orang.
"Makasih udah dateng," kata Deon, berbisik di telinga kirinya.
"Kakak.... menang," ucap gadis itu dengan suara parau.
Merasa ada yang salah dengan bagaimana gadis itu berucap, Deon memutar tubuhnya dan langsung dihadapkan dengan sosok Stella yang sudah memerah wajahnya.
"Kenapa nangis??" tanya Deon, khawatir. Tatapan matanya berubah prihatin.
Stella menunduk. "Kakak... menang," ujarnya sekali lagi.
Cepat-cepat tangan kekar Deon meraih Stella ke dalam pelukannya. Ia mendekapnya erat-erat dan mengelus rambut panjangnya.
"Ssttt. Jangan nangis," pinta Deon lembut.
"Nggak kalah gara-gara aku kan?" tanya Stella dengan suara seraknya. "Kakak maju jadi perwakilan Indonesia kan?"
Deon mempererat pelukannya, tak peduli dengan orang yang berlalu lalang menyusuri jalan dan terus mengusap rambut belakang Stella.
"Iya, cantik. Iya," jawab Deon. "Jangan cengeng ah, udah nangisnya."
Bukannya berhenti seperti yang Deon minta, tangis Stella malah makin menjadi-jadi.
Deon melepas pelukannya dan menangkup kedua pipi Stella dengan tangannya. Gemas bukan main.
"Ya Allah, harus diapain biar gak nangis lagi? Mau dicium?"
Air mata menetes melalui pelupuk mata Stella, mengalir di pipinya dan berakhir di tangan Deon.
Deon mengusap air mata Stella dengan jemarinya dan menatap dalam-dalam mata Stella yang bulat dan berair.
Cup.
Sebuah ciuman melayang singkat di bibir Stella.
"Jangan nangis ya."
Tidak langsung berhenti, Stella cegukkan. Matanya mengerjap selama beberapa kali dan menatap Deon dalam diam.
Deon tersenyum jahil. Dan di detik berikutnya, ia menarik kembali Stella ke dalam pelukannya.
"Makasih udah dateng," bisik Deon, masih dengan seulas senyum di wajahnya.
Namun, itu semua tidak berlangsung lama.
Terlebih, saat mata tajam Deon mendapati seseorang tengah berdiri di ujung koridor seraya memerhatikan kegiatan yang tengah Deon lakukan.
Deon mendesis pelan dan mengumpat dalam hati, apa lagi yang diinginkan orang itu sekarang?
• • • • •
n o t e s ! ! !
omg, haaiii!
apa kabar?
kangen gak sama deon-stella???
kalo kangen, gue minta 2k komennya ya
langsung gue lanjut!
love,
melanie.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro