Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 27 | The Date

"Terimakasih sudah jadi penyemangatku.
Terimakasih sudah ada di hidupku."

T H E D A T E

"Mau ke mana sih elaaahh."

Pertanyaan dari Stella yang tak kunjung berakhir itu rupanya membuat Deon jengah. Ingin rasanya Deon membekap mulut Stella agar berhenti bicara dan membiarkannya menikmati semilir angin sore hari yang berhembus selagi tangan gadis itu erat-erat memeluk pinggangnya.

Tapi, tentu saja Deon tidak bisa.

"Kakaakkk," panggil Stella lagi, kali ini ia mencondongkan kepalanya ke arah bahu Deon yang sebelah kiri.

Deon terkesiap, bola matanya membesar dan jakunnya bergerak tak karuan tatkala meneguk saliva dengan keras. Mendadak ia menyesal karena meletakkan ranselnya di depan motor alih-alih menggendongnya.

"Stell," panggil Deon kelimpungan. Namun suaranya begitu pelan hingga termakan udara yang menghempaskan wajah mereka.

Stella menyipitkan matanya, dan malah semakin maju untuk mendekat.

"Kakak manggil aku?"

Hancur sudah pertahanan diri Deon.

Cepat-cepat, ia melajukan motornya melesat menjauh dari keramaian dan menepi di salah satu komplek perumahan yang terbilang sepi.

Tanpa memberi aba-aba, Deon langsung memiringkan motornya lalu melepaskan pelukan Stella dari perutnya dan turun dari motor. Deon berdiri tegap dan kaku seperti patung di depan salah satu bangunan.

Stella menyisir pandangan ke sekitarnya.

"Mau ke sini?" tanya Stella, lalu beralih menatap Deon. "Ini rumah Kakak?"

Cepat-cepat Deon menggeleng. Dan saat Stella mengambil ancang-ancang hendak turun dari motor, tangan Deon segera melambai ke udara untuk menghentikan kegiatan gadis itu agar tetap duduk diam di motor.

Alis Stella mengernyit. "Kenapa, Kak?"

Deon menahan napasnya sebentar. "Bisa gak.. lo jangan terlalu maju sama nempel-nempel begitu?" tanya Deon.

Stella terdiam selama beberapa saat, menelisik maksud dari kata yang diucapkan Deon barusan dan langsung tersenyum jahil setelahnya. Tiba-tiba saja ia ingin membalas perbuatan Deon saat di parkiran tadi.

"Kan tadi Kakak duluan yang narik tangan aku terus nyuruh aku peluk Kakak!"

Mata Deon membesar sekali lagi. Apa-apaan dengan reaksi Stella barusan?

"Tapi jangan begitu juga!"

Tiba-tiba saja ekspresi Stella berubah jadi kesal. Ia menundukkan kepalanya dan cemberut.

"Padahal tadi Kakak yang bilang mau nyium pas di parkiran," gumamnya pelan, tapi Deon masih dapat mendengar dengan jelas perkataannya.

Deon terdiam sesaat. Apa gadis ini baru saja menantangnya?

Stella mendongak. "Kalo Kakak gamau dipeluk sama aku ya bilang aja," katanya dengan mata yang menajam. "Pake narik-narik tangan segala. Giliran udah dipeluk malah kayak orang geli begitu."

"Bukan gitu—"

"Iya, elah! Ntar aku duduk naro tas di depan buat jarak."

Stella segera mengalihkan pandangannya ke depan, lalu memutar ranselnya ke depan dan memeluknya dengan erat. Tapi sepertinya pergerakkan Stella barusan membuat motor Deon kehilangan keseimbangannya dan miring ke sisi yang tidak diganjal.

Mata Deon membelalak, dan secepat kilat ia berdiri di belakang motor untuk menahan pergerakkan motornya sekaligus memeluk Stella erat-erat agar tidak terjatuh dari atas motor.

Stella terkejut bukan main. Bukan hanya karena fakta bahwa ia hampir saja celaka, tapi juga karena tangan kekar Deon yang menahannya erat-erat hingga membuat jantungnya berdetak tak karuan.

Dalam hati Stella berjanji kalau ia tak akan lagi menggoda Deon kalau akhirnya malah jadi senjata makan tuan begini.

Terdiam selama beberapa detik dalam posisi tersebut, Stella berusaha melepaskan pelukan Deon dari badannya, tapi Deon malah menahannya.

"....Kak?"

Deon membopong Stella untuk turun dari motor—lagi-lagi membuat kedua mata Stella melotot besar—dan mendirikan gadis itu di hadapannya.

"Gue gatahan," kata Deon.

"Gatahan... kenapa, Kak?"

"Gatahan nunggu lama-lama sampe lokasi."

"Ya tapi.. gak tahannya karena apa?"

Deon meraih ransel Stella dan mengenakannya ke bahu sendiri lalu menangkup kedua tangan Stella di depan dadanya. Ia menggenggam tangan Stella dan mengusapnya lembut.

Stella diam seribu bahasa, kejutan listrik bagai mengalir di sekujur tubuhnya. Matanya mengerjap selama beberapa kali, terlebih saat menatap mata Deon yang sama sekali tak terbaca olehnya apa maksud dari pandangan itu.

"I love you."

• • • • •

Di sepanjang perjalanan, Stella hanya diam. Tak lagi mengeluhkan soal ke mana tujuan mereka setelah ini. Terlebih, saat Deon memarkirkan motornya di depan gelanggang yang Stella yakini sebagai tempat cowok itu bisa berlatih panahan.

Saat Deon hendak melangkah masuk, Stella meraih ujung seragam milik Deon dan menunduk saat ia menoleh.

"Kita—anu, ngapain ke sini?"

Deon meraih tangan Stella yang menyubit ujung baju dan menggenggamnya. Lalu tanpa bicara, ia membawa Stella masuk ke dalam.

"Ini tempat.. yang kakak mau ngajak aku waktu itu?"

Deon mengangguk pelan. "Lo gak suka ya?"

Cepat-cepat Stella menggeleng. "Nggak, Kak. Aku seneng. Seneng banget malahan. Cuman.. nggak nyangka aja kakak bakalan ngajak aku ke sini... tempat latihan Kakak... rasanya—spesial gitu."

Susah payah Deon menahan senyumnya. Tangannya secara spontan mengacak-acak rambut Stella dengan gemas.

"Lo kan emang spesial," kata Deon. "Telornya dua."

Pipi Stella berubah merah padam. Tapi tangannya cepat-cepat menepuk pundak Deon dengan keras.

"Sakit!"

Stella memandanginya dengan tajam dan kedua tangannya ia gunakan untuk metupi pipi merahnya.

"Ambigu banget sih!" pekik Stella.

Gelak tawa Deon tersembur keluar. Kemudian ia memasang ekspresi geli sambil berjalan mundur untuk menjauhi Stella.

"Idih ngeres dih," ledek Deon, terus berjalan menjauhi Stella.

"Kakak maahhh!" Stella mengejarnya dan mengambil acang-ancang hendak memukul.

Deon berlari ke dalam. "Takut ah gue mau diperkosa! Tolong!"

Deon teriak-teriak, membuat Stella merutuk dalam hati sekaligus menanggung malu yang luar biasa. Rasanya ia mau pakai plastik saja untuk menutupi seluruh wajahnya. Tapi beruntung, gelanggang ini sepi sehingga memungkinkan untuknya mengejar Deon agar berhenti.

Semakin dalam Deon membawa Stella sampai ke arena panahan yang sebelumnya hanya bisa Stella lihat di televisi dan dari bangku penonton. Ia menjejakkan kakinya di arena dan seketika dibuat takjub, berhasil melupakan Deon yang kini berdiri di tengah-tengah arena.

Di tempatnya berdiri saat ini terdapat rentetan meja yang berjajar dengan masing-masih busur dan anak panahnya dengan jumlah yang sama. Sementara di sudut seberangnya berdiri, terdapat papan target beserta angka-angkanya. Lalu di atas bangku penonton yang berada di hadapan Stella jauh di depan sana, terdapat sebuah ruangan dengan kaca besar beserta papan nilai di sampingnya. Stella menatapnya dengan takjub dan terus menyusuri setiap sudut arena.

Deon merentangkan kedua tangannya.

"Selamat datang di dunia Radeon Kusuma, Stella Danita."

Stella menoleh dan tersenyum, lalu sambil berlari kecil ia menghampiri Deon dan hampir saja tersandung kakinya sendiri kalau Deon tidak cepat-cepat membopohnya.

Pipi Stella kembali memerah. Tangan Deon masih menahannya.

"Ati-ati bisa gak?" tanya Deon, membantu Stella untuk berdiri tegak.

Tak mampu menjawab, Stella hanya terdiam sambil mengerjapkan matanya selama beberapa kali. Terlalu banyak skinship hari ini dan itu tidak bagus untuk jantungnya yang berdebar tak karuan.

"Gue gak kemana-mana. Takut bener cowoknya diambil orang," kata Deon, meledeknya lagi.

Tapi sebentar.

Tiba-tiba saja Stella merasa kalau telinganya rusak. Apakah Deon baru saja berkata kalau dia adalah cowoknya Stella?

Baru saja Stella hendak meminta penjelasan akan apa yang baru saja Deon katakan, cowok itu sudah terlebih dahulu melepaskan kontaknya dan mengacak-acak rambut Stella dengan gemas sebelum berjalan menjauh ke arah meja yang dipenuhi dengan peralatan memanah.

Stella terdiam di tempatnya.

"Waktu itu, gue mau ngajak lo ke sini buat ikut gue latihan. Gue butuh penyemangat," ujar Deon, memulai perbincangannya. "Tapi lo malah nyuruh gue pergi, eh besok ya gue kalah deh."

Hati Stella terhenyuk mendengarnya. Kakinya berjalan dengan lunglai menghampiri Deon yang sibuk memilah anak panahnya.

"Besok lomba babak terakhir. Penentu buat gue jadi perwakilan Indonesia atau nggak. Tapi gue nggak yakin bisa lolos.. nggak yakin bisa menang—kalo nggak ada lo."

Mata Stella berkaca-kaca. Kenapa sih, Deon pintar sekali membuat perasaannya tercampur aduk hanya dalam satu hari? Tidak, beberapa jam belakangan ini. Apa Deon itu semacam dewa pengatur perasaan? Sebagaimana dewi Aphrodite versi laki-lakinya.

Tapi, itu tidak mungkin. Stella yakin kalau Deon seratus persen manusia.

Deon menemukan anak panah yang dirasanya pas dipegang, lalu mengambil busur dan mulai memasangnya menjadi satu dengan kedua tangannya. Ia hendak membidik, tapi Stella berdiri tepat di hadapannya dengan mata memerah. Jadi, Deon meletakkan kembali busur serta anak panahnya ke atas meja.

"Lo... nangis?"

Stella menggeleng cepat sembari mengusap kasar air mata di pipinya.

Kaki Deon secara otomatis melangkah menghampiri Stella dan membekapnya.

"Gue salah ngomong ya?" tanya Deon. "Jangan nangis.. maaf."

Stella menggeleng di pundak Deon. "Aku yang minta maaf, Kak," kata Stella. "Aturan aku nanya dulu sama kakak, aturan aku nggak langsung percaya, aturan aku mastiin dulu semuanya—"

"Sssttt." Deon memotong dan mengeratkan pelukannya.

"Maafin aku ya, Kak. Gara-gara aku... gara-gara aku, kakak jadi hampir kehilangan mimpi Kakak. Cita-cita Kakak yang udah Kakak kejar susah payah.."

"Bukan salah lo," pungkas Deon.

"Tapi—"

"Bukan salah lo kalo gue mikirin lo. Bukan salah lo juga kalo gue.. sayang sama lo."

"Oops."

Tiba-tiba saja seseorang di balik tubuh Deon berujar. Dan sialnya, Deon mengetahui dengan jelas siapa orang yang baru saja bersuara barusan.

"Gue ganggu ya? Aduh.. salah channel abang," katanya. "Cara ganti siaran gimana yak? Remotnya di mana aduh."

Deon mendesis pelan dan mendumal serta mengumpat dalam hati. Kenapa harus sekarang sih?

Mata Stella menyipit, dan tangannya ia gunakan untuk menghapus air matanya dengan kasar guna memperjelas pengelihatannya. Ia kenal dengan orang yang berdiri di belakang meja itu.

"Kak Johan?" tanya Stella, memastikan.

Alis Deon mengernyit. Ia melepaskan pelukannya dan menatap Stella.

"Lo kenal Johan?" tanya Deon.

Johan yang sepertinya juga baru tersadar dengan keberadaan sosok Stella, membelalakkan matanya dan maju dengan getol. Ia menyipit memerhatikan sosok Stella dengan seksama.

"Loh, adeknya Alvian yang cantik jelita?" ulang Johan.

Dan saat Deon menoleh, mulut Johan menganga lebar. Ia melotot tak percaya serta mendramatisir keadaan dengan menutupi mulutnya. Kemudian ia menunjuk Stella dan Deon secara bergantian.

"Kalian pacaran!?" teriak Johan penuh antusias. Kemudian ia teringat sesuatu. "Jadi, lo itu cewek yang bikin hati seorang Radeon Kusuma terombang ambing?! Jadi, lo itu cewek yang berhasil mencuri hati homo milik Deon!? Oh—my—God!"

Deon bertanya-tanya dalam hati dimanakah ia bisa menemukan tempat pembuangan sampah terdekat atau kapal pengiriman barang yang bisa membuang Johan ke tengah samudra.

• • • • •

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro