Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 24 | The Cases

"Everything keep us apart,
I'm not the one you were meant to find."

• T H E   C A S E S •

Stella menarik tangannya yang mulai berkeringat dari genggaman Brenda. Kemudian ia mundur selangkah dan hampir terjatuh ke belakang lantaran kakinya yang gemetar. Tiffany cepat-cepat meraihnya.

"Iya, Kak. Kenapa ya?" tanya Stella, sekali lagi.

Brenda tersenyum sumringah. "Kenapa ya?" ulangnya. "Lo sepupunya Janita, 'kan?"

Benak Stella kembali bertanya-tanya dengan serentetan kata bagaimana. Pertama, bagaimana Brenda tahu nama lengkapnya. Kedua, bagaimana Brenda tahu kelasnya. Ketiga, bagaimana Brenda tahu keluarganya. Begitu banyak yang diketahuinya, tapi Stella masih tidak tahu sama sekali siapa sosok Brenda ini.

"Kok Kakak bisa tau?"

Teman-teman Brenda tertawa.

"Nanya mulu kayak quisioner," celetuk yang berdiri di sebelah kanan Brenda. Verren.

Brenda menoleh ke arahnya dan menatapnya datar. "Stop talking, I didn't ask for it."

Verren dan teman-temannya langsung berhenti tertawa, yang sedetik membuat Stella merasa kalau Brenda memang jahat, hanya saja tak sejahat kelihatannya. Atau setidaknya, bukan terhadapnya.

"Sorry," kata Verren, sambil memutar bola matanya dan berdecak sebal. Nampak tidak terima diperlakukan seperti itu di hadapan Stella.

Mendesah berat, Brenda merogoh saku seragamnya dan menyodorkan kunci ke arah Verren. "Kalian bertiga ke mobil duluan."

Sementara Stella menunggu Brenda berurusan dengan teman-temannya, Tiffany nampak gemas di tempatnya. Terlebih saat melihat bagaimana perilaku teman-teman Brenda terhadap sahabatnya. Dan lagi, cara Brenda berbicara entah kenapa tidak enak didengar oleh telinga Tiffany yang mendadak gatal.

"Woi, Brenda!"

Walau hanya Brenda yang dipanggil, Stella dan Tiffany ikut menoleh saat suara yang mereka kenali dengan jelas itu memanggil nama Brenda dengan lantang dan keras hingga membuat beberapa pandangan murid yang sedang berjalan di sepanjang koridor tertuju kepada mereka.

Itu Miko.

Miko berlari dengan wajah sumringah menghampiri Brenda dan langsung ber-high five ria dengan Brenda yang tak kalah bahagianya dari Miko.

Stella melirik ke arah Tiffany dan mendapati sahabatnya itu terang-terangan menatap tidak suka dan cemberut. Tapi, Stella memilih diam karena tahu kalau ia bersuara maka Tiffany akan berubah jadi kucing garong.

"Ngapain lu di mari?" tanya Miko, masih belum sadar dengan keberadaan Stella dan Tiffany.

Tiffany tersinggung.

"EKHEM!" Tiffany berdeham keras untuk menyadarkan Miko akan kehadirannya.

Miko melirik sebentar dan langsung mendramatisir keadaan dengan tampang terkejut miliknya serta kedua tangan yang ia letakkan di depan bibir. Membuat Stella berpikir kalau sebenarnya Miko sadar dengan keberadaan mereka, hanya saja cowok itu memilih pura-pura tidak tahu demi bisa membuat Tiffany jengkel.

Dan teori Stella terbukti adanya saat Miko mulai bersuara.

"Oops. Ada orang yang abis kena lose streak," ledek Miko, yang jelas sekali mengarah kepada Tiffany karena Stella sama sekali tidak mengerti apa maksudnya.

"Yaelah epic banyak bacot," balas Tiffany, matanya menyiratkan tanda permusuhan yang keras.

Miko memilih mengabaikannya karena tahu kalau sudah begini, tak ada jalan lain baginya untuk berhenti selain mengadu skill mereka masing-masing. Jadi, Miko melengos dari Tiffany dan tersenyum ke arah Stella.

"Pulang, Stell?" tanya Miko. "Ati-ati ya, samping lo galak kalo abis kalah enam kali."

Plak!

Tiffany menepuk bahu Miko keras-keras. "Bacot!!!!" teriaknya, emosi.

Miko hanya memegangi bahunya dan menjulurkan lidahnya ke arah Tiffany, kemudian ia menyenggol lengan Brenda. "Pulang duluan ye, Bren. Takut gue sama Roro Jonggrang."

Brenda terkekeh. "Tiati lo," ujarnya, menepuk bahu Miko sebelum Miko melesat pergi menuju parkiran.

"Ngeselin bener," dumal Tiffany.

Melihat bagaimana percakapan antara Tiffany dan Miko barusan, membuat Brenda kini turut menyelidiki Tiffany dengan menatapnya dari atas sampai bawah seraya melipat kedua tangannya di depan dada.

"Jadi, Stella deket sama Deon, dan lo deket sama Miko. Gitu ya?" tanya Brenda yang berhasil menarik kesimpulan.

Tiffany yang sebelumnya teralihkan perhatiannya menoleh dan balas menatap Brenda dari atas sampai bawah dengan ekor matanya, yang menurut Stella adalah tanda permusuhan jelas dari sahabatnya itu.

"Ngapa emangnya?" sosor Tiffany, nampak tak senang.

Brenda tertawa pelan. "Easy, girl," ujarnya. "I'm not coming for you. I'm here for her."

Merasakan tatapan Brenda yang beralih kepadanya, Stella langsung saja menggigit bibir bawahnya guna menahan getaran di sekujur tubuhnya.

Tiffany yang sadar kalau sahabatnya kembali berubah jadi Stella dalam mode kaku plus gagu, menarik Stella mundur selangkah sementara ia maju menghadap Brenda.

"Ngapain nyari Stella? Punya urusan apa?"

"Oh.. jadi lo juru bicara dia?" balas Brenda.

"Kalo lo mau ngoceh sama ngulur-ngulur pembicaraan, mendingan lo pulang. Ntar dicariin emak lo," salak Tiffany.

"Savage," ujar Brenda, tak nampak goyah sama sekali. Kemudian, jarinya bergerak mendorong bahu Tiffany untuk menyingkir. Ia maju selangkah, bergerak mendekati Stella dan memajukan kepalanya ke telinga kanan Stella.

"Mendingan lo mikir sekali lagi kalo mau deket-deket sama Deon," bisik Brenda. "And you better ask Janita. She knows everything about me, and your not so future boyfriend, Deon."

• • • • •

Deon memaki lagi saat panggilan teleponnya tersambung ke pesan suara lantaran nomer yang ditujunya sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan.

Saat ini ia tengah berdiri di depan gerbang sekolahan yang suasananya mulai sepi karena hanya tersisa murid-murid yang tengah melaksanakan kegiatan ekstra saja di dalamnya. Waktu pelajaran sekolah telah berakhir kurang lebih dua jam yang lalu, dan itu pula yang membuat Deon merutuk.

Dia terlambat dua jam menjemput Stella hanya karena pelatih baru yang terus menerus menahannya untuk izin pulang dengan alasan hendak melihat skill yang dimiliki Deon—yang sudah dilihatnya sejak pagi hari saat latihan baru saja dimulai.

Deon hendak marah-marah, tapi tidak bisa karena selain orang itu berstatus sebagai pelatihnya, ia juga tak ingin dinilai sebagai atlet yang sombong hanya karena memiliki skill dan popularitas dan menghilangkan nilai totalitasnya. Deon tak mau itu.

Dan karena itu juga lah yang membuatnya berakhir di sini, menelpon Stella yang tak kunjung mengaktifkan ponselnya seperti orang gila.

"Dia pulang sama siapa?" dumal Deon pada dirinya sendiri.

Dan di detik berikutnya, Deon langsung naik ke atas motornya sebelum ia meluapkan kekesalannya dengan memaki siapapun yang lewat di hadapannya lantaran marah pada dirinya sendiri.

Mengenakan kembali helmet hitam pekatnya, Deon segera menyetater motornya dan melesat keluar kawasan sekolah secepat kilat. Ia tidak bisa diabaikan seperti ini, walaupun benar kalau ini salahnya karena tak tepat waktu, tapi setidaknya Deon butuh diberi waktu untuk menyampaikan penjelasan dan pembelaan dirinya.

Tak berselang lama, Deon tiba di depan rumah Stella. Dan yang dapat ia lakukan hanyalah berdiri di depan gerbang seraya memegangi helmetnya, mendadak keringat dingin saat dua orang yang baru saja keluar dari rumah dan hendak masuk ke dalam mobil menatap ke arahnya.

Di hadapannya, berbataskan pagar, berdiri seorang pria usia awal empat puluhan dengan setelan tuxedo rapih miliknya. Sementara yang berdiri di sisinya, adalah wanita yang mengenakan dress biru laut sebawah lutut yang memerhatikan lekuk tubuhnya namun masih terlihat sopan, dengan pundaknya yang tertutupi blazer.

"Nyari siapa ya?" tanya yang perempuan. Dari penampilannya, Deon mengira-ngira usianya sekitaran awal tiga puluh, tapi begitu diperhatikan lagi wajahnya yang mirip seperti seseorang yang ia kenal, Deon jadi ragu dengan usia orang itu. Karena hanya dengan melihatnya saja, Deon bisa tahu kalau itu adalah orang tua Stella.

"Ehm.. Stella, Bu—Tan—Ci—Miss—"

Mama beserta Papa Stella tertawa, dan Deon yakin wajahnya sudah semerah tomat busuk sekarang ini. Ia kualahan bukan main.

"Untung ganteng," gumam Ira sambil berusaha meredakan tawanya.

"Itu siapa?" bisik Hanung kepada istrinya.

"Gatau anak siapa, pokoknya ganteng. Suka kali ya dia sama Stella ampe nyamperin begini?"

"Kayaknya Papah liat dia yang kemaren jemput Stella deh."

Yaelah, gosip bae, batin Deon sambil memejamkan matanya. Karena nyatanya, walaupun mereka berdua sedang bisik-bisik, Deon masih dapat mendengarnya dengan jelas sekali.

"Masuk aja ke dalem," kata Ira, memasang senyuman termanisnya yang pernah ada. "Tante sama Om mau pergi, ada acara."

Deon menghembuskan napasnya lega, dan mencoba tersenyum raman dan penuh rasa terimakasih. Tapi malah nampak seperti orang strooke karena bibir bagian atasnya gemetar.

"Masuk ke dalem?" ulang Hanung—Papa Stella, memastikan dirinya tak salah dengar.

Ira menyenggol bahu suaminya itu keras-keras, bibirnya berkomat-kamit menuturkan kode yang lebih susah dibanding kode pramuka dengan mata melotot.

Hanung mengangguk paham. "Oh, iya, oke. Masuk aja, ada Abangnya Stella juga di dalem. Jadi gapapa masuk aja."

"Gak usah Om, Tante." Deon menolak halus. "Bentar lagi Stella keluar katanya," lanjutnya, bohong.

Ira mengangguk paham. "Okedeh. Itu motornya tolong geser dikit sebentar ya, nak—"

"Deon, Tante," pungkas Deon, memperkenalkan namanya.

"Iya, minggir sebentar ya Deon. Mau keluar mobilnya," lanjut Ira.

Dan setelah mobil orang tua Stella keluar dan menjauh, barulah Deon dapat bernapas lega. Tapi, itu semua tidak bertahan lama, saat Stella keluar dari pintu utama rumahnya dan pandangan mereka bertemu.

"Stella," panggil Deon, pelan sekali.

Melihat Deon, Stella hendak kembali masuk ke dalam rumahnya namun beruntung bagi Deon karena Mama dan Papa Stella tidak kembali mengunci gerbang rumahnya sehingga ketika Stella berpaling, Deon melompat masuk dan berlari menghampirinya.

"Stella!" pekik Deon.

Stella berhenti, memunggungi Deon di depan pintu rumahnya.

Deon meraih tangan Stella. "Maaf," katanya.

"Maaf? Maaf buat apa?" tanya Stella tanpa menoleh, seraya berdeham pelan guna menetralkan suaranya yang serak.

"Gue telat jemput lo," balas Deon. "Jangan marah ya? Gue punya alesan kok kenapa gue telat jemput lo. Makanya, sekarang ikut gue yuk? Kan gue janji mau ngajak lo ke tempat rahasia."

Stella ingat dengan janji Deon yang itu. Hanya saja, ia tidak sanggup untuk berbalik dan menatap Deon tepat di muka. Sekedar berucap saja Stella sudah sangat kesulitan. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi kalau ia berbalik dan menatap lelaki itu.

"Gausah kak. Gapapa."

Deon mengernyit, kemudian ia menyadari ada sesuatu yang aneh dari tingkah laku Stella. "Kenapa? Lo kenapa?"

"Gapapa. Cuman gak enak badan," jawab Stella.

Namun, Deon tahu bukan itu alasannya.

Jadi, ia menarik pergelangan tangan Stella untuk berbalik menghadapnya dan langsung dikejutkan dengan pemandangan di hadapannya kini. Mata Stella yang memerah dan membengkak, serta hidung yang kemerahan dan air mata yang berlinang di pipinya.

"Lo—kenapa—ngapain nangis?"

Stella tertawa hambar. "Gapapa, udah sana kakak pulang aja."

Rahang Deon mengeras. Apa-apaan dengan tawanya barusan itu?

"Nggak sampe lo jelasin alesan lo nangis," ucap Deon tegas. Matanya menatap penuh tepat ke iris mata Stella.

Stella menundukkan kepalanya kemudian menghembuskan napasnya panjang. "Serius, kakak gak bakalan mau denger juga. Percuma."

"Ya kenapa? Tau dari mana lo kalo gue gak mau dengerin? Emangnya lo udah ngomong?"

Tangan kanan Stella yang terbebas berusaha melepaskan pegangan tangan Deon dari pergelangan tangan kirinya.

"Lepasin, Kak," pinta Stella, masih menunduk.

Pegangan tangan Deon malah semakin erat.

"Jelasin."

Stella mendongak, berusaha membalas tatapan mata Deon yang menatapnya dalam-dalam dan berakhir dengan air matanya yang kembali menetes. Ia cepat-cepat mengusapnya kasar dengan punggung tangannya sebelum mulai angkat bicara.

"Mendingan mulai sekarang kita gak usah ketemu lagi, Kak," terang Stella.

Napas Deon memburu. "Kenapa?"

"Kayak yang aku bilang, aku gak cocok sama sesuatu yang terlalu bersinar kayak kakak," jawab Stella sekenanya.

Kini giliran Deon yang tertawa pahit. "Bukannya lo sendiri yang bilang kalo gue beda? Dan gue juga udah bilang kan, gue bakalan jagain lo terus, gak bakal gue biarin apa-apa—"

"Nggak sebelum aku sadar kalo Kakak jelas-jelas lebih cocok sama sesuatu yang gak kalah bersinarnya dari Kakak."

"Maksud lo apa?" Suara Deon makin merendah, bersusah payah meredam amarahnya yang hendak meledak-ledak.

"Maksud aku, aku sadar diri. Takdir gabisa diubah kak. Yang bersinar, harus sama yang bersinar. Kayak  Kakak, sama Kak Brenda."

Deon kehilangan pikirannya.

"Brenda? Kenapa tiba-tiba lo jadi bahas Brenda?" tanya Deon. "Brenda bukan siapa-siapa gue."

Stella tertawa lagi, hanya saja kali ini diselingi air matanya. "Bisa ya.. Kakak ngebohong sambil ngeliat mata aku, tanpa gemeteran? Tanpa ada rasa bersalah?"

Dan saat itu Deon tahu, walau tanpa perlu diberi waktu untuk menjelaskan, dirinya sudah kehilangan. Bahkan sebelum hubungannya sempat dimulai.

• • • • •

n o t e s ! ! !

jangan lupa follow instagram @greekladyunited ya buat info updatean lebih lanjut. dan buat yang mau join grup juga bisa dm ke sana minta diinvite sama adminnya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro