Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 22 | The Disturber


"Pengganggu itu diciptakan bagaikan sebuah tes
untuk melihat bagaimana keseriusan dalam suatu hubungan dan apakah mereka dapat bertahan, atau justru terganggu olehnya."

T H E   D I S T U R B E R

"Kakak ngapain—di sini?" Akhirnya Stella bersuara.

Bintang tersenyum tulus. "Gue cuman mau mastiin keadaan lo yang kemaren. Sekarang udah gapapa?"

Mata Stella mengerjap selama beberapa kali, masih terkejut sebenarnya. Tapi hatinya terus bertanya-tanya apakah benar hanya itu tujuan Bintang datang ke sini?

Namun, cepat-cepat Stella menetralkan perasaannya serta mengatur napasnya yang sebelumnya berpacu begitu cepat. Tak ingin Bintang sampai mendapati dirinya gugup.

Stella berdeham, kemudian menjawab, "Udah gapapa kok, Kak."

Lagi-lagi Bintang tersenyum, kali ini seraya menganggukkan kepalanya. "Bagus deh kalo gitu."

"Tapi, Kak."

Bintang menatapnya. "Hm?"

"Kakak tau dari mana aku sekolah di sini?"

Sepertinya pertanyaan Stella tepat sasaran, karena tepat setelahnya ia dapat melihat dengan jelas ekspresi gugup yang Bintang tunjukkan. Tapi secepat datangnya ekspresi tadi langsung sirna tertutupi oleh senyum manisnya.

"Dari Thia," jawab Bintang.

Stella menggigit bibir bawahnya. Tiba-tiba merasa kesal dan marah hanya dengan mendengar nama yang Bintang sebut barusan.

Thia itu sosok bullier yang wajahnya tak akan pernah Stella lupakan sampai kapanpun. Dia adalah orang pertama yang membuat Stella merasa rendah dan mempermalukannya di depan umum, dia juga adalah orang yang melumuri seragamnya dengan air selokan.

Napas Stella memburu.

Melihat perubahan pada wajah Stella, mata Bintang membesar dan tangannya memegang bahu Stella yang tanpa disangka segera ditepis oleh gadis itu. Bintang mengepal tangannya di udara kala mendapat penolakan tersebut.

"Lo—gapapa?"

Pandangan Stella yang semula kosong ia alihkan, kini matanya menatap Bintang dalam-dalam.

"Kok Kak Thia bisa tau aku sekolah di sini?" tanya Stella. "Udah gitu, serius Kakak cuman mau tau soal keadaan aku gara-gara kemaren? Kalo iya cuman karena itu, aku baik-baik aja kok. Kakak bisa pergi."

Bintang terdiam. Bukan karena jawaban yang Stella lontarkan, tetapi karena bagaimana nada bicara Stella saat bicara dan matanya yang kini berani menatapnya.

Stella yang Bintang kenal bukanlah sosok seperti ini. Sosok yang Bintang kenal adalah perempuan rapuh yang pemalu, tak pernah berani menatap orang tepat di mata dan selalu menundukkan kepalanya. Tapi kini, matanya menatap Bintang bahkan tanpa berkedip, dan dagunya pun terangkat.

"Stella," panggil Bintang.

Stella meletakkan tangannya di balik ransel yang ia kenakan, menutupi fakta bahwa dirinya kini bergetar hebat dan mencengkran seragam bagian belakangnya dengan mengeraskan rahangnya.

"Kenapa? Apa lagi yang mau kakak pastiin?"

"Gue mau minta maaf," gumam Bintang.

Mata Stella memincing, kemudian saat tersadar akan apa ucapan Bintang, ia tertawa samar dengan kaku.

"Buat apa?" tanya Stella setelah tawa kikuknya mereda.

"Lo tau maksud gue."

"Ngapain kakak minta maaf kalo kakak sendiri nggak ngerasa bersalah?"

Bintang terpaku di tempatnya sekali lagi. Apakah ini benar Stella Danita yang berdiri di hadapannya?

"Ngapain, Kak?" cecar Stella sekali lagi.

Cepat-cepat Bintang berkedip guna mengembalikan kesadarannya. Matanya yang semula teduh kini berubah tajam.

"Gue ngerasa bersalah, makanya gue minta maaf," kata Bintang.

Stella berdesis pelan. "Kalo beneran minta maaf, sebutin apa yang mau dimaafin. Bukannya 'lo tau maksud gue' kayak gitu," papar Stella, tangannya di belakang meremas seragamnya semakin keras. Ia meneguk salivanya keras-keras dan bersiap untuk mengeluarkan segala unek-unek dalam benaknya. "Lagi pula, kenapa baru minta maaf sekarang? Udah setaun lebih kali kejadiannya. Kalo beneran ngerasa bersalah, abis salah ya langsung minta maaf, Kak."

"Gue—"

"Udah aku maafin, Kak," pungkas Stella langsung. "Sekarang mendingan Kakak pergi aja."

Sebenarnya, Stella menyuruh Bintang pergi karena ia tak sanggup bertatap muka lebih lama dengan cowok itu. Tangannya terus bergetar di belakang sama dan ia tak mau kalau sampai Bintang melihat kembali sosoknya yang lemah dan memanfaatkan hal tersebut untuk kembali.

Stella tak mau.

Hatinya sudah dimiliki oleh orang lain.

Tapi, bukannya mundur Bintang malah maju selangkah dan mendekatkan tubuhnya ke arah Stella. Ia bahkan meraih tangan Stella yang mengeras di belakang dan menggenggamnya erat-erat.

"Gue gak mau pergi, Stel."

"Ke—kenapa?"

Hancur sudah pertahanan Stella. Ia ingin sekali berteriak dan marah-marah, tapi entah kenapa ia malah kembali jadi sosok yang sebelumnya, Stella si gadis pemalu, penakut dan kikuk. Dan itu membuat Bintang tersenyum.

"Gue gak mau ngelepasin lo. Gak untuk yang kedua kalinya," kata Bintang.

Stella menggelengkan kepalanya dengan cepat. Tiba-tiba saja ia jadi ketakutan, terlebih saat ekor matanya mencuri pandang ke sekitarnya dan melihat kerumunan siswi yang lagi-lagi memerhatikannya dengan tatapan mematikan. Sama seperti saat Stella masih duduk di bangku SMP.

Ia berusaha melepaskan tangannya dari genggaman Bintang, namun pegangannya terlalu kuat.

"Lepasin, Kak," lirih Stella, hampir menangis.

"Gak sebelum—"

Bugh!

Bintang tersungkur jatuh setelah sebuah hantaman mendarat tepat di pipi kanannya.

Napas Stella memburu, ia bahkan tak dapat melihat siapa yang meninju Bintang. Matanya mengerjap dengan cepat. Detak jantungnya terlalu kuat, sehingga yang bisa ia lakukan hanyalah memeluk kedua tangannya sendiri.

"She said, stay away."

Stella tahu siapa pemilik suara ini, tapi ia begitu letih dan udara yang masuk rasanya terlalu sedikit untuk dihirup. Stella hampir saja jatuh karena luturnya yang tiba-tiba saja letih, tapi seseorang cepat-cepat menopang berat tubuhnya.

Itu Deon.

Memandangi Stella dengan mata yang menajam karena sarat akan amarah, kemudian tanpa ragu mengangkat Stella ke gendongannya. Tak peduli dengan tatapan murid-murid yang masih berada di lingkungan sekolah dan membawa Stella ke tempat parkir.

Sampai di tempat parkir, Deon masih tak mengeluarkan suaranya. Rahangnya mengeras dan ia segera menaikkan tubuh Stella ke atas motornya, mengenakan helm pada gadis itu dan barulah dirinya sendiri yang naik ke atas motor.

Setelah memastikan Stella duduk dengan benar, Deon mengeluarkan motornya dari parkiran dan melesat.

Stella bersandar pada punggung Deon, dan Deon dapat merasakan seragamnya yang mulai basah. Akhirnya ia meraih tangan Stella dan menariknya ke depan untuk memeluknya.

"Pegangan," pinta Deon. Dan mereka melesat pergi.

• • • • •

Sepertinya Deon adalah tipikal orang yang menepati janji. Kalau tak ada halangan tentu saja.

Buktinya, alih-alih membawa Stella pulang ke rumah, Deon malah membawa gadis itu ke warung tenda di pinggir jalan yang menyajikan pecel lele favoritnya.

Deon menarik tangan Stella dengan lembut dan meminta gadis itu untuk duduk di sampingnya. Hanya berdua.

Setelah Deon memesan, keadaan kembali sepi.

Keadaan warung tenda ini masih sepi, terlihat jelas sekali baru dibuka dan akan ramai saat sore menjelang malam. Dan sepertinya Deon bersama Stella adalah pelanggan pertama mereka.

"Kita... makan pecel?" tanya Stella.

Deon tersenyum hangat dan menganggukkan kepalanya. Melihat mata Stella yang berkaca-kaca rasanya begitu menyakitkan sehingga ia tak dapat menahan amarah begitu lama.

Tangan Deon beralih untuk menghapus air mata di pelupuk mata milik Stella.

Stella mengerjapkan matanya selama beberapa kali dan menatap Deon, lalu saat merasa Deon menatapnya tepat di bola mata tanpa ragu, Stella segera menunduk dengan pipi yang memerah.

"Masa lo nangis sih gara-gara gue ajak makan pecel?"

"Ih bukan!" Stella langsung memukul pundak Deon.

Namun belum sempat Stella menarik tangannya kembali, Deon sudah terlebih dahulu menggenggam tangannya dan meletakkannya di atas meja.

"Jangan nangisin cowok kayak gitu," ucap Deon. "Gue gak suka."

Stella kembali menundukkan kepalanya dan terdiam.

"Mau cerita?" tanya Deon, sembari mengelus punggung tangan Stella dengan lembut.

Jantung Stella rasanya hendak meluncur keluar. Tapi ia merasa harus menjawab pertanyaan Deon, hanya saja, dalam keadaan seperti ini ia tidak tahu apakah dirinya dapat berbicara dengan lancar.

"Aku.. takut, Kak," jawab Stella pada akhirnya.

"Takut sama apa?"

"Cewek-cewek di sekolah.. ngeliatin aku kayak aku itu orang yang harus dimusnahin. Mereka ngeliatin aku nggak suka waktu ada Kak Bintang.. sama—"

"Sama kayak mereka ngeliatin lo, pas lo lagi sama gue," pungkas Deon.

Stella mengangguk lemah.

"Waktu SMP, si Kejora-kejora itu kan yang bikin lo trauma deket-deket sama gue? Lo takut kalo anak-anak di sekolah bakalan gituin lo lagi. Iya kan? Miko udah cerita."

Kejora.

Stella tak menjawab.

Deon menarik dagu Stella untuk mendongak menatapnya dan mempersempit jarak di antara keduanya.

"Terus gimana? Kalo lo sama gue, pasti lo bakalan dapet tatapan-tatapan kayak tadi terus di sekolah. Kayak sebelumnya. Lo mau gimana? Mau gue ngejauh dari lo?"

Mata Stella mengerjap selama beberapa kali, namun ia cepat-cepat menggeleng.

"Terus, lo maunya gimana? Lo gapapa kejadian kayak dulu keulang lagi?"

Lagi, Stella menggeleng, namun kali ini bukan karena menolak melainkan menyanggah.

"Kali ini beda, Kak," ungkap Stella.

Alis kanan Deon terangkat. "Bedanya di mana?"

Stella menarik napas dalam-dalam, mengambil ancang-ancang untuk bercerita.

"Kak Bintang.. dulu, bilang kalo dia gak kenal sama aku di saat kita pacaran—ya walaupun emang backstreet sih awalnya. Tapi, itu juga yang bikin orang-orang benci sama aku, katanya aku ngaku-ngaku. Tapi kalo sama Kakak..."

"Sama gue kenapa?"

"Nih tong, neng, pecelnya masih panas."

Deon meraung kesal saat Ibu-ibu pemilik kedai pecel ini datang dan meletakkan pecel di atas meja milik mereka berdua.

"Makasih, Bu," kata Deon singkat.

"Yaudah da lanjutin aje pacarannye mumpung lagi sepi," lanjut si Ibu tukang pecel, melihat tangan Deon yang masih menggenggam tangan Stella sebelum pergi.

Yaelah, rusuh bae, batin Deon marah-marah.

Deon kembali menolehkan kepalanya ke arah Stella dan melihat gadis itu menahan tawa melihat ekspresi kesal milik Deon. Cepat-cepat Deon melotot dan menyubit hidung Stella.

"Jangan ketawa! Buruan, kalo gue kenapa!" titah Deon, memaksa Stella untuk cepat-cepat menjawab.

"Kakak jagain aku," kata Stella. "Nggak mungkin tiba-tiba Kakak bilang gak kenal aku saat kakak nganterin aku sampe depan kelas, dan bahkan nonjok Kak Bintang di depan orang banyak kayak tadi."

Deon berdecak dan cepat-cepat mengalihkan pandangannya.

"Geer lu ah," kata Deon.

Mata Stella langsung menyipit dan menatap Deon tajam. "Kakak gamau ngakuin aku juga?!"

Deon meliriknya sebentar, tiba-tiba saja teringat akan ucapan Johan tempo hari. "Ngakuin, apaan yang mau diakuin? Emangnya gue siapa lo?"

"Emangnya kakak gak suka sama aku?!" tanya Stella terkesan menuntut.

Hampir saja Deon tersedak, tapi untungnya dia tidak sedang makan apa-apa.

Deon berpikir bahwa lagi-lagi, sifat asli gadis ini terlihat. Bagaimana bisa ia menanyakan hal semacam itu dengan mudahnya?

"Kakak gak suka sama aku?!" tuntut Stella sekali lagi. "Setelah apa yang kakak lakuin—"

"Ya suka lah!" balas Deon langsung. "Emangnya gue ngelakuin apa? Gue ngapain?!"

Mata Stella menatap tangan kanan Deon yang sejak tadi masih memegang tangannya.

Deon cepat-cepat mengangkat tangannya dan berbalik badan.

"Ih, Kakak! Liat akuuuu!"

"Ogah!"

Kesal, Stella bangkit dari posisinya dan bertukar posisi dari yang semula di sebelah kiri Deon jadi di sebelah kanan. Bibirnya mengerucut saat pandangannya dengan Deon bertemu.

Rahang Deon mengeras.

"Jangan begitu."

"Begitu kenapa?" tanya Stella. "Kakak yang jangan begitu, katanya suka sama—"

Sebentar. Stella baru sadar. Apa benar tadi Deon berkata suka padanya? Apa-apaan ini? Kenapa begini? Kenapa ungkapan sukanya malah jadi seperti ini? Di mana letak romantisnya?

"Bibir lo jangan begitu," pinta Deon, meleburkan lamunan Stella dengan suaranya yang terdengar begitu rendah.

Alis Stella bertautan jadi satu, ia memegangi bibir bawahnya. "Bibir aku kenapa?"

"Tutup mulut lo sebelum gue lumat itu bibir sampe sariawan."

WAH! Bagaimana bisa seorang Radeon Kusuma melontarkan kata-kata vulgar semacam itu?!

• • • • •

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro