Chapter 21 | The Trauma
"Trauma masa lalu yang begitu berdampak di masa kini,
memang seharusnya disingkirkan sejauh mungkin."
• T H E T R A U M A •
Semilir angin malam menerpa wajah tampannya. Deon tak peduli lagi, ia terus mengendarai motornya menembus jalanan yang bahkan sudah mulai sepi guna dapat mencapai tujuannya.
Berselang beberapa menit, dengan parka hijau tua yang ia kenakan serta celana yang sudah ia ganti menjadi celana jeans sobek-sobek begitu ia selesai latihan, Deon menghentikan motornya tepat di depan pagar yang menjadi rumah seseorang yang hendak ia temui.
Deon tak menyangka ia berada di sini sekarang. Pada jam seperti ini. Jadi, ia menghembuskan napasnya panjang, lalu melepas helm yang ia kenakan dan turun dari motor ninja kesayangannya.
Dan ketika sudah turun dari motor, yang bisa Deon lakukan hanya berdiri mematung di depan pagar. Apa yang harus ia lakukan sekarang?
Berdiri selama beberapa menit dan berperang melawan dirinya sendiri, akhirnya Deon memutuskan untuk menekan bell yang berada di tembok dekat pintu masuk.
Namun, belum sempat ia menekannya, pintu utama rumahnya terbuka. Menampakkan seorang gadis yang sibuk dengan ponselnya keluar dari sana, berjalan sambil terus menunduk melewati halaman menuju tempat Deon berdiri saat ini.
Gadis itu mengenakan kaus berwarna putih bertuliskan "I Love Me" dan short pants levis seatas lutut.
Kenapa celananya pendek banget si?! batin Deon marah-marah.
Deon meracau dalam hati. Takut gadis itu tersandung karena terlalu sering menatap ponsel tanpa melihat apa yang ada di depannya.
Tapi, segera saja Deon menepis jauh-jauh pikiran itu. Ini adalah rumahnya, tentu saja dia sudah hapal dengan segala sesuatu yang ada di dalamnya.
"Aduh!"
Kejadian kan.
Deon bergerak panik. Hendak menghampirinya langsung, tapi pagar rumahnya masih dikunci.
Itu Stella Danita, dan ia baru saja tersandung sandalnya sendiri yang entah bagaimana bisa sampai terlipat di bagian depan dan kakinya menekuk ke aspal. Ia meringis dan menunduk sebentar untuk melihat ujung jari telunjuk kakinya yang berdarah, sampai ketika ia merasa melihat bayangan seseorang dari depan pagar dan mendongak dengan horror.
Terpergok, Deon meneguk salivanya dalam-dalam saat pandangan mereka bertemu, berbataskan tiang-tiang pagar yang menjulang tinggi. Kemudian spontan saja, tangan kanan Deon terangkat.
"Hai," sapanya pelan.
Kini giliran Stella yang salah tingkah. Ia jatuh terduduk dan mengerjapkan matanya selama beberapa kali begitu sadar kalau Deon yang berada di depan sana.
Lagi, Deon mengerang panik.
"Yang bener apa sih!" tukasnya, entah kenapa jadi kesal. "Jatoh mulu, heran."
Tiba-tiba saja Stella merasa malu. Pipinya bahkan terlihat jelas memerah bahkan pada cahaya malam seperti ini.
"Kak Deon.. ngapain ke sini?" tanya Stella, hampir tergagap.
"Ya lo sendiri ngapain keluar malem-malem begini?" Deon melirik jam pada ponselnya sebentar. "Masih jam delapan deng."
Stella tidak tahu harus berkata apa. Yang ia pikirkan saat ini hanyalah alasan kenapa Deon berada di sini.
"Aku... aku—"
"Ya bukain pagernya aja cepet!" pungkas Deon, geregetan.
Susah payah Stella berusaha bangun, tapi ia tidak bisa bangun karena terlalu salah tingkah. Akhirnya, Stella memilih merangkak hingga pagar dan membukakannya untuk Deon.
Deon segera berlari menghampiri Stella dan berjongkok. Wajahnya jadi khawatir.
"Lo gak bisa bangun? Kaki lo sakit banget?" tanya Deon langsung.
Stella meneguk salivanya keras-keras. Ia tidak tahu harus berkata apa, terlebih saat tangan Deon kini menjelajahi lututnya.
Kalau Deon orang asing, sudah pasti ia bakalan langsung Stella tampar.
Tapi masalahnya, ini Deon. Radeon Kusuma. Dan, dipegang-pegang oleh Deon sepertinya merupakan sebuah anugerah yang tak bisa didapatkan oleh semua orang.
Authornya saja mau.
"Enggak sakit kak," ujar Stella. Dan tangannya yang gemetaran berusaha menyingkirkan tangan Deon dari lututnya. "Tangan kakak...."
Deon langsung angkat tangan. Salah tingkah. Kemudian, ia melihat ke mana saja asal tidak menatap Stella.
"Sorry," katanya. "Anu—gak maksud..."
Entah kenapa ketika ia melihat reaksi Deon, Stella tertawa, dan itu membuat Deon kembali menatapnya.
"Kenapa ketawa?" sosor Deon. Ia memandangi Stella dengan pandangan penuh selidik.
Stella menutup mulutnya guna menahan tawa. Ia jadi malu dilihat seperti itu. Tapi ia segera meredakan tawanya dan tersenyum menatap Deon.
"Baru tumben aku denger suara kakak rendah begitu," kata Stella. "Ada apa dateng ke sini kak?"
Deon menghembuskan napasnya kasar. Tapi tiba-tiba saja benaknya mendapat ide yang cemerlang. Ia mengerling jahil kemudian tanpa memberi aba-aba terlebih dahulu, kedua tangannya bergerak memegangi ketiak Stella dan mengangkatnya untuk berdiri.
Jantung Stella langsung berpacu cepat. Kontak fisik sekali lagi yang berhasil membuat matanya terbelalak.
Kini giliran Deon yang tersenyum menahan tawa. Ia mencubit hidung Stella, lalu mengacak-acak rambutnya gemas.
"Jangan nantangin gue makanya," papar Deon.
Tiba-tiba saja Stella jadi cemberut.
"Kenapa?"
Stella memajukan bibirnya dan dengan mata yang menajam ia menatap Deon. "Mana bisa kakak tiba-tiba dateng begitu padahal tadi pagi aja gak ada kabar."
"Makanya itu gue dateng," balas Deon. Mereka kini berdiri saling berhadap-hadapan di depan garasi rumah Stella yang kosong melompong.
"Gara-gara ngurusin Mama Kakak, kan?"
Deon mengangguk. "Iya. Maaf ya."
"Nggak usah minta maaf.. itu kan soal Mama, jelas lebih penting lah kak."
"Tapi lo marah." Deon menatapnya tepat di iris mata.
Cepat-cepat Stella menyanggahnya. "Aku nggak marah!"
Lagi, Deon tersenyum melihat Stella menggelengkan kepalanya yang nampak seperti kucing pada dashboard mobil tantenya sewaktu ia kecil.
"Cuman sebel, yakan?"
Bibir Stella mengerucut lagi. "Ya.. enggak juga sih."
"Terus apa?" tanya Deon. "Kesel? Marah membahara? Emosi meletup-letup? Tak dapat menahan gejolak dalam diri? Gakuku ganana?"
Tangan Stella langsung saja menepuk pundak Deon keras-keras, dan Deon terlonjak kaget serta memegangi pundaknya yang langsung terasa panas.
Mantep juga, batinnya.
"Jangan dipukul dong," erang Deon, mencoba manja.
Bibir Stella entah kenapa memaksanya untuk tersenyum kesenangan. Kenapa sih Deon ini? Maksudnya, bagaimana bisa cowok paling dicari dan paling kece seantero sekolah bersikap sedemikian rupa terhadap dirinya.
"Ya Kakak abisannya. Ngaco," papar Stella.
"Tapi lo seneng kan?" goda Deon, entah kenapa tangannya bergerak begitu saja menoel dagu Stella.
Stella menepis tangannya. "Serius ah, Kakkkkk."
"Iya. Ini juga serius, cantik. Gue mah selalu serius orangnya."
Sebelum jantungnya meledak karena berpacu semakin cepat hanya dengan kehadiran Deon di sekitarnya, Stella cepat-cepat bertanya, "Kenapa kakak ke sini?"
"Itu—gue cuman mau ngomong," balas Deon.
"Ngomong apa?" Bukannya mereda, jantung Stella malah makin merana. Detakkannya terus bertambah cepat.
"Gue sebenernya.. suka.."
Mata Stella mengerjap selama beberapa kali karena kata menggantung dari Deon yang entah kenapa memberinya banyak harapan.
"Suka....?"
"Suka makan pecel," ucap Deon asal-asalan.
Dahi Stella mengerut. "Terus.... apa hubungannya?"
Deon mengumpat dalam hati. Apaan-apaan itu barusan?! Ada apa dengan pecel-pecel sialan yang melambung keluar begitu saja dari mulutnya?!
"Itu.. besok pulang sekolah lo mau gak makan pecel sama gue?"
Stella langsung tertawa hingga matanya terpejam saking gelinya. Dan Deon segera memanfaatkan hal tersebut untuk memukul kepalanya sendiri dan memaki-maki dirinya.
"Kenapa ketawa?" tanya Deon, setelah tawanya mereda.
"Gapapa.. lucu aja kakak dateng malem-malem jam segini cuman buat ngajakin makan pecel."
"Tapi lo mau kan?"
Stella tertawa pelan dengan kaku, kembali jadi sosoknya yang biasa dan menganggukkan kepalanya pelan.
"Ya oke. Kalo gitu kedatangan gue nggak sia-sia 'kan?"
"Ya asalkan kakak nggak tiba-tiba ngilang aja," sindir Stella.
"Gue nggak bakal ngulangin kesalahan yang sama." Deon mencubit pipi Stella pelan. "Dan gue gak bakal biarin lo nunggu gue lagi. Biar gue aja yang nunggu."
"Ish, apaan sih, Kak! Gombal!" tukas Stella, yang seketika membuat Deon merasa kalau gadis ini baru saja menunjukkan sifat aslinya alih-alih Stella si gadis kaku dan pemalu.
"Biarin. Gombalnya ke lo doang ini," balas Deon. "Jadi, lo mau kemana keluar malem-malem gini?"
"Itu.. ke apotik kak mau beli......."
"Beli apa?"
Stella memasang cengiran dengan giginya yang paling kikuk sepanjang masa menurut Deon. Kakinya kemudian bergerak gelisah di tempatnya yang membuat Deon entah kenapa langsung mengerti.
"Roti kapas?" godanya menahan tawa.
"Ih kakak mah! Kalo udah tau jangan disebutin dong!" pekik Stella, nampak terkejut sekali.
Kenapa sih dia gemesin banget? batin Deon tidak karuan.
"Biarin," kata Deon dengan tampang meledek, kemudian tangannya bergerak menggenggam jemari Stella yang tidak sibuk memegang ponsel. "Ayok, gue anterin. Udah malem."
Sepertinya Stella harus sekalian membeli obat asma di apotik nanti.
• • • • •
Setelah peristiwa roti kapas tadi malam, pada pagi harinya Deon benar-benar menepati janjinya dan menunggu Stella di depan pagar untuk berangkat bersama.
Katanya, Deon mau menebus kesalahannya kemarin karena tak dapat berangkat bersama Stella ke sekolah.
Dan seperti yang telah terjadi sebelumnya juga, sekolah kembali dihebohkan saat Deon datang bersama Stella.
Apa lagi kali ini, Deon tak ragu-ragu untuk melotot ke arah siapa saja yang berkerumun di hadapannya dan menilai-nilai penampilan Stella. Yang mana tentu saja Stella malah jadi semakin salah tingkah dibuatnya.
Sementara Tiffany, yang nampaknya begitu ketakutan kalau sahabatnya itu tergores barang sedikit saja, terus menempel dengan Stella bahkan hingga jam pulang sekarang ini saat mereka tengah mengantri di depan tata usaha untuk menekan sidik jari sebagai tanda absen kepulangannya.
"Inget. Lo harus hati-hati," peringat Tiffany sekali lagi.
"Kata lo dia serius kan?"
"Ya bukan itu, tatakan daon bawang," umpat Tiffany kesal. "Maksud gue, hati-hati sama fansnya dia."
"Iya-iyaaaaa," ucap Stella pada akhirnya. "Tinggal gue nunggu aja lo jadian sama Kak Miko, yakan?"
Tiffany langsung terkejut. "Kok gue sama Kak Miko? Tiba-tiba aja gitu? Apa-apaan?!"
Stella menyenggol lengan Tiffany. "Lo pikir gue gak tau kalo lo main bareng Mobile Legends melulu sama Kak Miko? Lagian, sejak kapan lo ngatain orang tatakan daon bawang? Siapa lagi coba kalo bukan diajarin sama Kak Miko."
"Ih, apaansih lo Stell!" pekik Tiffany tidak terima. "Jangan mengalihkan topik pembicaraan gitu deh!"
Akhirnya Stella hanya angkat tangan dan menahan tawanya.
"Lu ya!"
Tiffany sepertinya belum bisa terima karena Stella masih terlihat meledeknya hanya dengan bersikap sedemikian rupa.
"Gue kenapa?" tanya Stella.
"Lu—" Tiffany menggantung ucapannya. "Tau ah!" lanjutnya kemudian berjalan meninggalkan Stella dan tak segan menerobos barisan di depannya.
Stella terkekeh di tempat. "Salah tingkah dia," gumamnya. "Tungguin, Fan!"
Kemudian, Stella memilih untuk keluar barisan untuk mengejar Tiffany. Mungkin dia bisa absen nanti saja kalau sudah sepi atau tidak perlu absen pulang. Toh yang penting dia sudah absen masuk tadi.
Tapi, saat Stella menggendong ranselnya untuk menyusul Tiffany ke pos satpam, langkah kakinya terhenti. Tubuhnya serasa membeku dan seluruh sendinya kaku. Matanya menatap lurus-lurus ke depan, melihat seseorang yang kini tengah memainkan ponselnya di depan pagar sekolah sambil sedikit bersandar kepada motornya yang terparkir di depan.
Beberapa siswi yang hendak pulang mengerubuninya, tapi ia nampak tak peduli dan terus sibuk dengan ponsel di tangannya.
Stella meneguk salivanya keras-keras, dan tepat saat itu juga orang itu mendongak menatapnya.
Ia tersenyum sumringah, namun berbeda dengan Stella yang ingin sekali kabur dari sini sekarang juga sebelum adegan yang tidak ia inginkan malah terjadi lagi. Tapi, kakinya tidak mau bekerja sama dan malah mengkhianatinya dengan berdiam diri di tempat.
Stella kelimpungan bukan main, tapi ia tidak dapat berbuat apa-apa sekarang. Pandangan mereka telah bertemu, dan orang itu kini sudah berjalan melewati pagar sekolah dengan mudahnya dan menghampiri Stella.
Tiba-tiba saja Stella merasa pusing. Apa lagi, saat pandangan siswi-siswi tadi kini mengarah tepat kepadanya dan bagaikan mencecarnya, mereka bahkan tak repot-repot mengalihkan pandangannya saat Stella melirik dengan tak nyaman.
"Hai, Stella."
Itu Bintang.
• • • • •
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro