Chapter 20 | The Emotion
"Merasa marah, kesal dan kecewa pada saat yang bersamaan kepada diri sendiri lebih sukar ketimbang kepada orang lain."
• T H E E M O T I O N •
"Lo kenapa si elah?" tanya Ratisa geregetan, entah sudah untuk yang ke berapa kalinya.
Deon meliriknya sekilas, kemudian kembali berjalan mundar mandir mengelilingi kamar inap Mamanya.
Amira, yang melihat tingkah laku anak sulungnya itu beralih dan berusaha bangkit dari posisi tidurnya yang dengan sigap langsung dibantu oleh Ratisa.
"Kamu kenapa sih?" tanya Amira, bingung juga melihat Deon yang berlaku sedemikian rupa.
"Abis mandi air micin dia kali, Ma," celetuk Ratisa.
Sebenarnya, kalau situasinya tidak seperti sekarang ini pastilah Amira sudah tertawa. Tapi, mlihat dari bagaimana Deon bereaksi, sudah jelas ini bukanlah waktu yang tepat untuk tertawa jadi Amira menahannya.
"Radeon," panggil Amira, lembut sekali.
Kali ini berhasil menarik perhatian Deon.
Deon yang semula tengah berdiri menghadap jendela di depan sofa langsung cepat-cepat berlari menghampiri Mamanya dengan raut wajah panik.
"Kenapa, Ma?" sosor Deon. "Mama sakit lagi? Deon panggilin dokter ya?"
Selagi Ratisa memutar bola matanya bosan, Amira tertawa pelan.
"Bengong aja kamu tuh," papar Amira. "Mama gapapa."
Deon segera menggaruk belakang lehernya yang sama sekali tidak gatal. Salah tingkah.
"Kamu kenapa?" tanya Amira lembut, ia menepuk-nepuk pinggir ranjangnya. "Sini duduk, cerita."
Baru saja Deon hendak bergerak dan duduk di kursi yang tersedia di samping ranjang mamanya, seseorang mengetuk pintu dari luar yang sontak membuat Deon mendongak.
Ratisa dan Amira pun ikut menoleh. Hanya saja bedanya, Ratisa langsung berjalan alih-alih hanya memandangi pintu saja. Ia membuka kenop pintu dan melihat siapa yang datang bertamu.
Seperti yang sudah diduga, itu Miko dan Stella.
"Eh, lu Mik," sapa Ratisa, tanpa embel-embel Kakak untuk sekedar menjaga sopan santun seperti yang biasa ia lakukan.
"Oy," balas Miko sembari menaikkan alisnya secara bergantian.
Sementara Stella langsung saja menundukkan kepalanya begitu merasa seluruh tatapan kini tertuju padanya. Ia menggigit bibir bawahnya guna menahan rasa gugup yang seketika menyerangnya.
"Siapa nih?" tanya Ratisa.
Stella mendongak dan mengerjapkan matanya selama beberapa kali. "Eh? Anu—Stella, Kak," jawabnya kikuk.
Entah kenapa, hanya dengan mendengar suara Stella sudah mampu membuat Deon yang hanya mendengarkan dari dalam kelimpungan bukan main. Apa yang harus dilakukannya sekarang?
"Siapa tuh Stella?" tanya Amira, setengah berbisik kepada Deon.
Deon menggaruk kelopak matanya, lagi-lagi salah tingkah.
Melihat perubahan pada wajah anaknya, Amira yakin ada sesuatu yang terjadi di sini. Dan yang bisa dilakukannya adalah menahan agar bibirnya tak lagi tersenyum lebih lebar dari ini.
"Nanti ceritain ya," ledek Amira.
Sementara di depan pintu, Ratisa tertawa. "Jangan panggil Kak. Tisa aja Tisa."
Tangan Miko bergerak untuk menepuk kepala Ratisa. "Emang kalian seumuran, please deh. Sok senior banget."
Ratisa memegangi kepalanya yang baru saja dipukul oleh Miko dan menatapnya penuh dengan permusuhan, yang membuat Stella berkhayal bahwa ada sengatan listrik di antara keduanya. Tapi kemudian, ia beralih pada Stella dan mengait lengannya tanpa ragu.
"Yuk, masuk sini," ajak Ratisa.
Miko berdecih dan ikut masuk ke dalam. "Sok kenal banget, heran," dumalnya.
Deon hendak pergi dari sini sekarang juga, tapi cepat-cepat ditarik oleh Mamanya. Amira menunggu di tempatnya, sementara tangannya menahan tangan Deon untuk tak beranjak dari posisinya barang sesenti pun.
"Misi, tante," kata Stella, tersenyum kecil. Nampak sekali bahwa ia adalah tipikal pemalu.
Mama Deon tersenyum senang. "Halo.. Stella?"
"Iya, tante.. aku Stella."
Stella meringis dalam hati, terlebih ketika matanya bertemu dengan Deon yang terang-terangan menatapnya. Ia lagi-lagi menggigit bibir bawahnya begitu mengingat dengan apa yang Miko katakan bahwa Deon melihat adegannya dengan Bintang barusan.
"Oy, Mamih!" pekik Miko, memotong percakapan mereka tanpa malu.
Amira langsung menoleh dan menatapnya tajam, sebelas dua belas dengan tatapan yang diberikan Ratisa tadi.
"Nape?!" sosor Amira, nadanya berbalik seratus delapan puluh derajat dengan saat ia berbicara pada Stella.
"Pinjem Deon ye," kata Miko, melangkah menghampiri Deon dan langsung menariknya keluar.
Sepeninggalan Deon dan Miko, Stella pikir ia dapat bernapas lega. Ternyata, ia keliru besar karena kini ia bagaikan duduk di ruang interogasi, bersama calon ipar dan juga calon mertuanya.
Pipi Stella memerah, membayangkan bagaimana jadinya kalau itu akan terjadi di masa depan.
Sementara di luar ruangan, Miko menarik Deon untuk semakin menjauh dan mulai menceritakan segala sesuatu yang ia dengar berdasarkan cerita Stella. Tanpa menambah atau mengurangi sesuatu di dalamnya.
• • • • •
Setelah mendengar cerita Miko sore tadi, Deon malah kabur dari rumah sakit dan mengendarai motor menuju ke tempatnya biasa berlatih.
Awalnya, Miko marah-marah dan sempat menerornya di telepon, tapi Deon mengacuhkannya.
Dan yang kini Deon lakukan adalah menembakkan anak panah sebanyak mungkin ke papan target dengan emosi yang meletup-letup.
Johan yang baru datang terkejut melihat wajah Deon memerah sampai ke leher.
"Lo kenapa, Yon?" tanya Johan.
Plek!
Terdengar dengan kerasnya suara anak panah menancap pada papan target sampai tembus ke belakang. Johan tersentak kaget. Ia menyerngit dan perlahan-lahan mundur ke belakang.
"Kenapa apanya?" Deon balik bertanya, cenderung tiba-tiba sampai membuat Johan hampir saja terhuyung ke belakang.
"Aduh sialan," umpat Johan. "Untung aja gue kagak kejengkang."
Deon melotot. "Kenapa?!" tuntutnya sekali lagi.
Johan cepat-cepat menggeleng. "Gak-gak-gak. Gapapa."
Prakk!
Lagi-lagi Johan tersentak kaget. Kakinya terangkat tinggi dan lehernya seketika terasa nyeri.
Deon melempar busur serta anak panahnya ke atas meja dengan napas yang memburu. Matanya berkilat-kilat penuh amarah.
Johan meneguk salivanya keras-keras dan memberanikan diri untuk mendekat ke arahnya.
"Lo.. yakin gapapa?" tanya Johan, ragu-ragu.
Kepala Deon menoleh ke arahnya secepat kilat, membuat pupil mata Johan bergetar bukan main.
"Emang lo maunya gue kenapa!?"
Johan menggaruk kepalanya yang tidak gatal dengan gerakkan frustasi. Ia kehabisan kata-katanya. Harus apa ia sekarang kalau Deon sudah begini?
"Lo marah sama gue?"
Mata Deon menyipit dan menatapnya dengan pandangan aneh. "Ngapain gue marah sama lo?" Ia malah balik bertanya.
Johan kembali meneguk salivanya keras-keras. Apa Deon sudah lupa?
"Soal bokap lo," jawab Johan.
Tanpa disangka-sangka, Deon malah memutar bola matanya. "Gak penting," balas Deon.
Terkejut bukan main, Johan akhirnya dapat menghirup napas dengan bebas. Setelah berkata demikian, ia baru yakin kalau Deon tidak marah kepadanya. Dan yang perlu dilakukannya sekarang adalah mencari tahu apa penyebab Deon bersikap demikian.
"Terus kenapa lo latihan kayak orang gila begini? Bukannya nyokap lo lagi di rumah sakit?"
Mendengar kata rumah sakit rupanya membuat kepala Deon makin migrain. Rahangnya mendadak mengeras.
"Apa yang lo lakuin saat lo ngeliat cewek—lagi pelukan sama cowok lain?" tanya Deon tiba-tiba.
Alis Johan mengernyit bingung. "Ya biasa aja lah," jawabnya enteng. "Itu cewek siapa dulu?"
Siapa.
Batin Deon mengulang pertanyaan yang sama.
Baru memulai cerita, dia sudah menilai Johan ada benarnya. Memang dia siapa?
Ia melangkah menuju sofa di dalam ruangan ganti dan terkulai lemas di atasnya, sementara Johan mengikuti dan berakhir duduk di sebelahnya.
"Bukan siapa-siapa," kata Deon.
"Gak mungkin bukan siapa-siapa," bantah Johan. "Cewek yang lo suka? Apa pacar lo?"
"Pacar dari Hongkong!"
Johan mengerjapkan matanya kaget saat Deon tiba-tiba saja duduk tegap. "Santai dong, Blay! Ngagetin aja, sempak tuyul."
Deon menoleh. "Jadi, gue Jablay atau Sempak Tuyul?"
Tangan Johan bergerak dengan sendirinya untuk memukul jakun Deon, berhasil membuatnya tersentak kaget dan jadi was-was.
"Bukan itu intinya!"
"Ya terus apa!"
"Dia siapa lo?!"
Kalau sudah begini, Deon kalah telak. Masalahnya, juga tidak tahu jawaban dari pertanyaan yang Johan ajukan. Jadi, dia harus jawab apa?
"Gatau.."
Merasakan adanya getaran aneh, Johan mencondongkan tubuhnya ke arah Deon dan menarik cowok itu agar ikut menatapnya.
"Lo suka sama dia?" tanya Johan, kali ini dengan lembut dan kedua tangan yang ia gunakan untuk memegang bahu Deon.
Deon menggeleng lesu. "Gatau.."
"Lo deg-degan gak kalo lagi sama dia?"
"Itu..."
Pertanyaan Johan berhasil menjebak Deon dan membuatnya berpikir keras.
"Lo ngerasa mau ngelindungin dia?" tanya Johan lagi.
"Itu..."
"Lo pengen buat dia seneng terus? Lo gak bisa nahan senyum kalo lagi sama dia?"
Mulut Deon terasa membisu. Ia bahkan tidak tahu bagaimana caranya memulai pembicaraan, atau sekedar menyanggah pertanyaan Johan barusan.
Dilihat dari bagaimana Deon bereaksi, sepertinya Johan tahu apa jawabannya.
"Lo suka sama dia, Yon," kata Johan menyimpulkan. "Namanya lo cemburu kalo lo gasuka liat cewek itu pelukan sama cowok lain."
Mendadak Deon jadi kesal lagi.
"Tapi tadi temen gue bilang cowok itu cuman mantannya! Dan yang meluk duluan tuh bukan dia, tapi cowoknya yang langsung nyosor aja! Dia nggak meluk balik."
"Ya terus apa masalahnya? Kenapa lu masih kesel?" tanya Johan, mendadak bingung dengan emosi Deon yang tetap meledak bahkan dengan penjelasan sedemikian rupa.
"Ya gue kesel aja!" balas Deon kikuk.
"Ya kenapa!"
"Soalnya tuh cowok yang bikin dia gamau deket-deket sama gue dulu! Katanya kita sama-sama terlalu bersinar! And, guess what? Namanya Bintang! Ya jelas lah bersinar. Lama-lama gue ganti nama nih jadi rembulan."
Kalau suasananya tidak sedang seperti ini, pasti lah Johan sudah tertawa terbahak-bahak.
"Mentari aja mentari," balas Johan.
"Serius, setan!"
"Oke-oke." Johan merapatkan mulutnya.
"Gue jadi bingung," kata Deon. "Gue sebenernya kesel karena dia pelukan sama tuh cowok, atau karena gue ngerasa pernah dibanding-bandingin sama dia?"
Mata Johan menyipit dan kepalanya menggeleng.
"Bukan-bukan," sanggahnya, nampak tak setuju dengan salah satu dari pernyataan Deon.
"Terus kenapa?"
"Lu cuman gak terima sama fakta karena lo cemburu," papar Johan, membuat Deon membulatkan matanya karena merasa sebuah panah baru saja menusuk jantungnya. "Lo belum bisa nerima fakta, kalo lo suka sama dia."
Radeon Kusuma? Suka sama si kaku Stella Danita yang baru dapat name tag itu? Stella Danita, cewek pemalu yang selalu saja menundukkan kepalanya dengan pipi memerah dan bergerak salah tingkah tiap kali Deon berada di sekitarnya?
Kini giliran Deon yang meneguk salivanya keras-keras. Sampai, ia teringat kalau pagi tadi seharusnya ia menjemput Stella untuk berangkat bersama.
Apa gadis itu menunggunya? Bahkan saat pulang?
Relungnya seketika diselimuti rasa bersalah.
Ia telah ingkar janji. Walaupun itu bukan keinginannya, tapi ia bahkan tak memberinya kabar barang sedikitpun. Dan saat gadis itu rela jauh-jauh menghampirinya ke rumah sakit, Deon malah pergi.
Jemari Deon lantas bergerak meraih ponsel di saku jaket parka yang ia kenakan dan langsung membuka kunci ponselnya.
22 Panggilan Tak Terjawab
9 Pesan Belum Dibaca
Mata Deon mengerjap selama beberapa kali. Tak percaya dengan apa yang baru saja dilihatnya.
Kemudian, ia menggerakkan jemarinya untuk membuka notifikasi tersebut.
19 Panggilan Tak Terjawab: Stella Danita
3 Panggilan Tak Terjawab: Miko Kece Baday
Tak berhenti di situ, Deon segera membuka pesannya.
06:00
Stella Danita: Kak Deon.. jadi berangkat bareng?
06:06
Stella Danita: Kakak di mana?
06:09
Stella Danita: Kak?
06:14
Stella Danita: Nggak jadi, Kak?
06:27
Stella Danita: Aku berangkat bareng Papahku deh.
Rasa bersalah kembali menghadangnya. Gadis itu pasti terlambat, dan itu semua gara-gara dirinya.
10:03
Stella Danita: Kakak gak masuk sekolah? Sakit?
14:11
Stella Danita: Kakak sibuk latihan ya?
14:15
Stella Danita: Aduh maaf ya kak aku bawel
14:16
Stella Danita: Sorry ganggu.
Seketika Deon merasa bodoh, tolol, dan idiot dalam waktu yang bersamaan. Ia mengumpat dalam hati.
Johan melipat kedua tangannya di depan dada selagi memerhatikan juniornya ini.
"So?" sulut Johan, berhasil menarik perhatian Deon yang kini mendongak ke arahnya.
"Gue harus gimana, Han?"
"Samperin dia. Bilang semuanya."
Dan untuk pertama kalinya, Deon merasa kalau ia harus menuruti perkataan Johan sebelum ia memiliki penyesalan yang tak berujung di masa depan.
Benar. Deon harus mengatakannya.
• • • • •
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro