Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 2 | The Moon

"Teriknya matahari tak menyilaukan, desiran angin tak pula menghalangi pengelihatan. Mataku tertuju pada satu titik temu."

•  T H E M O O N

Lagi, Tiffany menepuk punggung tangan Stella untuk menyadarkannya. Tapi, gadis itu tak kunjung tersadar.

"Stella!" bisik Tiffany, agak melengking dan lebih besar dari yang sebelumnya. Kali ini tepat di hadapan telinga Stella dan berhasil menariknya kembali ke dunia nyata.

Stella mengerjapkan matanya selama beberapa kali, dan saat sadar bahwa matanya masih bertemu pandang dengan laki-laki yang kini berdiri di hadapannya, Stella langsung berbalik dan kembali menghadap ke arah depan lapangan.

"Radeon itu Radeon!" Tiffany salah tingkah sendiri di tempatnya, sementara Stella kini tengah bersusah payah menahan gejolak dalam dirinya dan jantungnya yang berdetak tak karuan.

"Ganteng," gumam Stella tanpa sadar.

Dan saat Stella berujar demikian, Janita yang masih berada di belakangnya menghela napas panjang, lalu menarik Achy serta Radeon untuk menjauh dari sana.

"Kedatengan lo bikin anak-anak baru nggak fokus upacara," peringat Janita, mendalami perannya sebagai wakil ketua OSIS.

Kini giliran Radeon yang mendesis. "Kan lo pada yang minta gue ke sini," ucapnya membela diri.

Dan setelah itu, suara mereka tak lagi terdengar di pendengaran minim milik Stella.

"Gue rasa anak OSIS itu pada punya dua kepribadian semua," ujar Stella, menimang-nimang sikap Janita yang biasanya dengan saat dia menjadi wakil ketua OSIS, dan setelah mendengar cerita Tiffany mengenai Achy yang aslinya jauh berbeda.

"Couldn't agree more," balas Tiffany sambil terkekeh.

• • • • •

Pada saat-saat seperti ini, biasanya setiap sekolahan belum memulai pelajarannya. Beruntung ini hari ke dua masuk sekolah karena pada tiga hari pertama masuk, pemanasan katanya. Begitu juga dengan sekolah tempat Radeon Kusuma biasa belajar sehari-harinya, SMA Kerta Jaya.

Cowok yang lebih nyaman dipanggil Deon ketimbang menyebut nama depan lengkapnya—Radeon—itu, kini sedang berada di dalam kelas. Duduk di kursi paling kiri nomer tiga dari depan, dan memainkan ponselnya dengan earphone terpasang di telinganya. Ia mengencangkan sarung tangan yang ia kenakan pada kedua tangannya dan hendak memejamkan matanya sebentar.

Sampai tiba-tiba, Miko mendobrak pintu dan berlari masuk ke dalam kelas, terengah-engah sampai di tempat Deon dan duduk di samping kanannya.

"Apa?" sosor Deon, bahkan sebelum Miko sempat mengatur napasnya.

Langsung saja Miko sedikit menunduk untuk meraih botol plastik minuman di kolong meja Deon dan meneguknya sampai habis tanpa meminta persetujuan terlebih dahulu. Ia menghapus peluh di dahinya dengan punggung tangannya lalu meletakkan botol kosong di atas meja.

Deon menarik earphone dari telinga sebelah kanannya, menatap Miko dan menunggunya angkat bicara.

"Achy otw ke sini. Sama Janita."

Entah sudah untuk yang ke berapa kalinya, Deon kembali menghela napasnya panjang. Not this again.

"Tugas atau biasa?" tanya Deon, hendak memastikan apakah kedua perempuan ini kemari sebagai OSIS atau sebagai teman.

"Tugas."

"Bilang aja, gue tidur," balas Deon, mulai melipat kedua tangannya dan menelusupkan wajahnya di sana.

Tak terima, Miko menarik tangan Deon sehingga membuat kepalanya terjeduk di atas meja. Berhasil mengalihkan perhatiannya.

"Gak bisa!" protes Miko. "Gue gakuat ngadepin dua cewek itu sendirian. Lo tau kan kalo ngadepin anak OSIS itu emosi gue suka nggak terkontrol?!"

Rasanya ingin sekali Deon menempeleng kepala Miko dan menyuruhnya untuk jauh-jauh sekarang juga. Tapi, ia berhasil menahannya dan menarik kembali tangannya untuk ia lipat di atas meja.

"Lebay," kata Deon.

"Gue gak lebay ya!" balas Miko tidak terima.

"Iyain."

Percakapan berakhir di situ.

Dan tepat setelahnya, terdengar suara pintu kelas yang diketuk, lumayan keras karena tak hanya diketuk oleh satu orang melainkan tiga sekaligus.

Mata Deon sedikit menyipit guna melihat siapa ketiga orang tersebut. Kemudian, ia mendesah setelah menyadari siapa saja orang yang baru saja mengetuk pintu kelas dan mengganggu ketenangannya.

"Kata lo Achy sama Janita doang," desis Deon, sebal juga dengan ucapan Miko yang tidak lengkap.

Lalu, Miko mendongak dan menatap siapa ajudan yang kali ini dibawa oleh Achy dan Janita. Dan begitu melihatnya, Miko langsung mendesah kesal, raut wajahnya tak kalah semruwet dengan milik Deon begitu melihat cowok dengan almamater andalan sekolah dan nametag besar bertuliskan 'Ketua OSIS' berdiri di antara Achy dan Janita.

Mereka bertiga berjalan mendekati tempat duduk Deon dan Miko, berdiri di hadapannya dan hanya bertukar pandang satu sama lain, sampai Achy yang merasakan atmosfer tidak nyaman memutuskan untuk angkat bicara.

"Deon," panggilnya, berhasil menarik tatapan Deon yang kini tertoleh kepadanya.

"Gue udah bilang kan?"

Achy menggaruk tengkuknya tidak nyaman. Sejujurnya, ia ingin sekali berbicara seenaknya dengan Deon sekarang, tapi karena banyak tatapan yang tertuju padanya ditambah lagi ada ketua dan wakil ketua OSIS yang berdiri bersamanya, ia harus bersusah payah menahan egonya.

"Pihak sekolah yang minta, Yon," ujar Achy.

Bukannya Deon, malah Miko yang berdecih sebal. "Makanya lo ngajak Ketua OSIS juga kemari?"

Geraldo—nama Ketua OSIS itu—menyipitkan matanya tidak suka. "Lo ada masalah sama gue?"

Janita langsung saja mengangkat tangannya sebelum Miko membalas perkataan Geraldo dan malah berakhir adu hantam di dalam kelas yang sakral ini. Ia langsung saja menarik Geraldo keluar kelas sebelum keadaan jadi semakin buruk.

Achy menghela napasnya lega. "Serius, Yon. Lo tau gue gabisa apa-apa kalo udah diminta sama pihak sekolah."

"Lo bisa bilang, kalo gue nolak buat tampil," kata Deon. "Berapa kali gue bilang, panahan gak segampang lo ngomong. Nggak ada arena, lo kira ini jaman perang? Kalo orang kena kesosor lo mau tanggung jawab?"

"Gue sama anak-anak OSIS udah beli target sama perlengkapan buat lo kok," ucap Achy, memberikan argumen dan penjelasan agar Deon mau menerima tawarannya untuk tampil di hari terakhir Masa Orientasi Siswa baru nantinya.

Tidak tahan, Miko menyenggol Deon dengan sikunya agar ia diam saja.

"Deon itu pemain pro, bukan orang yang sembarang ikut kontes," papar Miko, entah kenapa jadi tersulut emosi karena Achy yang tak kunjung menyerah walau Deon sudah berkata tidak. Sepertinya, emosi ini juga berasal dari kedatangan Geraldo barusan.

Achy memutar bola matanya. Miko itu selalu bertingkah layaknya manager Deon yang mengatur segala jadwalnya dan jadi perwakilannya bicara.

"Lebay lo ah, gue juga tau—"

"Yakin lo tau?" pungkas Miko, sebelum Achy sempat menyelesaikan ucapannya.

Deon bergerak tidak nyaman di tempatnya karena topik sensitif mulai dibahas. Terlebih lagi saat Miko menarik tangan Deon yang terbungkus rapat dengan sarung tangan dan meletakkannya di atas meja, meminta Achy untuk melihatnya dengan seksama.

"Yakin lo tau?" tanya Miko lagi, kali ini nada bicaranya makin tak bersahabat.

"Lo lagi ngomong sama gue, Ko. Bukan sama Geraldo, biasa aja dong," papar Achy yang mulai merasa tidak nyaman dengan nada bicara Miko.

Miko tertawa renyah. Benar juga ucapan Achy.

"Sorry-sorry," ucapnya. "Salah lo sih segala ajak dia ke sini."

Kini giliran Achy yang merasa bahwa ucapan Miko ada benarnya. "Iya salah gue juga," akunya. "Tapi gue kan ngajak dia biar Deon mau nerima tawaran sekolah buat tampil."

Lagi, Miko menggerakkan tangan Deon untuk menarik perhatian Achy kepadanya. "Lo nggak liat ini gue ngasih unjuk apaan?"

Tangan Deon yang terbebas ia gunakan untuk menoyor belakang kepala Miko dengan punggung tangannya. "Pelan-pelan, sakit bego," keluhnya yang sedari tadi sudah menahan sakit akibat pegangan Miko.

Menyadari apa yang dimaksud Miko, Achy langsung menarik Miko untuk berdiri dan duduk di tempatnya, memegang tangan Deon dengan hati-hati dan membuka sarung tangan yang ternyata menutupi tangan Deon yang dibalut perban.

"Lo kenapa?" tanya Achy, dari raut wajahnya jelas menunjukkan bahwa ia panik dan khawatir.

"Sekarang lo ngerti kan, apa alesan Deon nolak permintaan lo? Permintaan sekolah?" tanya Miko.

Walau ragu, Achy mengangguk lesu. Ia tidak tahu, dan tiba-tiba saja merasa bersalah dan egois karena memaksa Deon.

• • • • •

Tepat jam dua siang hari, Stella keluar dari kawasan lapangan dengan sedikit linglung karena ramainya suasana dan tidak mengetahui di mana jalan keluar saking ramainya.

Sampai tiba-tiba, seseorang penepuk pundaknya yang tertutupi bagan tas dengan tidak begitu keras.

"Heh!" pekiknya, hendak mengagetkan.

Stella sedikit terkejut dan menolehkan tubuhnya, mendapati Tiffany sebagai tersangka yang berhasil mengagetkannya dan membuatnya terlonjak.

"Gak tau jalan aja segala ninggalin gue," papar Tiffany kemudian, dibalas senyuman kikuk dari Stella.

"Gue kira lo mau bareng temen SD lo itu," ungkap Stella jujur.

Tiffany hanya mengangkat kedua bahunya dan kini berdiri di samping Stella, menyejajarkan langkahnya dan mulai mengajaknya melalui koridor.

"Kalian nggak deket lagi?" tanya Stella, hati-hati. Entah kenapa dia bicara jadi pelan sekali, mungkin trauma akibat ditarik ke belakang saat upacara tadi.

"Dulu," jawab Tiffany. "Sekarang pasti lah dia udah punya temen baru."

Merasa setuju dengan ucapan Tiffany, Stella mengangguk membenarkan. Ia lalu kepikiran akan sesuatu saat melihat ekspresi datar Tiffany saat bercerita.

"Gue kira lo sombong," ujarnya, menuturkan apa yang ia pikirkan. "Bukan sombong sih—kayak jutek gitu."

Tiffany langsung tertawa menerima penuturan Stella yang cenderung tiba-tiba itu. Ia mengeluarkan ponsel dari sakunya untuk berkaca. "Gue juga gak tau kenapa pada bilang begitu, padahal mah enggak kok. Emangnya muka gue kenapa sih?"

Kini, giliran Stella yang tertawa. "Muka lo gak kenapa-kenapa. Cuman, pas lagi diem galak aja hawanya. Kalo lagi cerita juga gak ada ekspresinya."

"Ntar kalo udah deket sama gue, lo kaget," paparnya.

Stella membuka kedua tangannya dengan gerakkan meledek. "Ditunggu kejutannya."

Tiffany berdecih pelan dan menyodorkan ponsel yang dipegangnya. "Bagi id line lo sini," katanya.

Teringat saat disinggung, Stella berhenti melangkah, memutar ransel yang ia kenakan dan mencari-cari ponselnya di sana. Tapi, tak kunjung menemukannya. Tiffany yang merasa risih berdiri di tengah jalan terlebih setelah beberapa kali tersenggol langsung saja menarik Stella untuk duduk di salah satu kursi panjang yang terdapat di koridor.

"Hape lo nggak ada?" tanya Tiffany.

Stella menggeleng pelan, raut wajahnya nampak serius dan entah kenapa menarik perhatian Tiffany untuk menggeser duduknya lebih dekat dan ikut menggeledah ransel Stella guna menemukan ponselnya. Sampai, tangan Tiffany merasakan sesuatu pada salah satu selipan di ransel Stella. Ia menghela napasnya dan menarik benda yang tak lain dan tak bukan adalah ponsel Stella itu keluar dan menyodorkannya pada sang empunya.

"Panikan lo orangnya." Tiffany berkomentar.

Tanpa kalimat sanggahan, Stella mengangguk membenarkan ucapannya. Lalu ia membuka kunci dan menemukan sebuah pesan dari kakak laki-lakinya, Alvian. Stella bahkan tidak yakin, sejak kapan nama kontak kakaknya berubah jadi seperti itu, tapi satu yang ia ketahui bahwa Alvian sendiri lah yang menggantinya.

Alvian Ganteng: Otw, tunggu dua puluh menit.

Menghembuskan napasnya kasar, Stella menyodorkan ponselnya kepada Tiffany agar gadis itu memberikan segala kontak kepadanya. "Abang gue dua puluh menit lagi baru sampe," keluhnya.

"Dijemput?"

Stella mengangguk. "Lo?"

"Sama, masih lama juga abang gue," jawab Tiffany.

"Ohh.. lo punya abang juga."

Setelah selesai dengan ponsel Stella, Tiffany menyodorkannya kembali sambil mengangguk. "Dia sekolah di sini juga, malahan," ungkapnya.

"Loh? Terus sepupu lo itu? Yang lo bilang excited banget pas lo masuk sini, gatau abang lo sekolah di sini?" tanya Stella, merasakan beberapa teka-teki yang melintas di benaknya.

Tiffany menggaruk tengkuknya, nampak gelisah. "Gue bingung nyeritainnya gimana. Gak enak di sekolah."

Dengan santai, Stella menepuk pundak Tiffany dan berdiri. "Santai aja, ntar aja ceritainnya kalo abang lo udah keluar."

Baru saja Tiffany ikut berdiri dan hendak membalas guyonan Stella, telinganya mendengar sesuatu yang berjarak tidak terlalu jauh dari tempat mereka berdiri saat ini.

"Cantik banget dah mereka."

"Iya, kata gue mereka berdua masuk kategori tuh."

Langsung saja, Tiffany menepukkan tangannya kala mengingat sesuatu dan hampir saja menjatuhkan ponselnya sendiri yang sebelumnya tengah ia genggam.

"Kenapa?" tanya Stella.

"Besok ada pemilihan matahari dan bulannya Kerta Jaya. Kayak raja sama ratu angkatan gitu," ujar Tiffany yang begitu semangat menjelaskan.

"Terus?"

"Dan tahun lalu, si Radeon itu yang jadi mataharinya angkatan. Sama, bulannya itu.. si Achy."

Stella sedikit memiringkan kepalanya tanda tertarik. Ia memerhatikan dengan seksama. "Sekarang gue kayak nggak kaget gitu kalo lo tau semuanya."

Merasa terciduk, Tiffany memasang cengiran tak bersalah andalannya. "Abang gue kan sekolah di sini," ujarnya seolah kembali menjelaskan bagaimana ia bisa tahu segala sesuatu tentang sekolah ini.

"Coba lo tanya," kata Stella. "Kayaknya si Radeon sama Achy itu pacaran."

Mata Tiffany langsung terbelalak mendengarnya. "Kata siapa lo??" Ia bertanya kelewat keras, hampir histeris malahan.

Tiba-tiba saja Stella merasa salah spekulasi dan tidak seharusnya membicarakan hal ini. Tapi menurutnya, seharusnya semua orang tahu itu. Bahkan saat pertama kali masuk dan melihat tatapan yang diberikan Achy terhadap Deon, Stella merasa seharusnya orang-orang tahu ada semburat makna dibalik tatapan itu.

"Mereka—"

"Dia bukan pacar gue."

Stella berhenti. Kedua gadis itu mendadak mematung di tempatnya saat sebuah suara bariton menginterupsi ucapannya.

• • • • •

BLACKPINK's Jisoo as Achy
WJSN's Bona as Tiffany
RED VELVET's Seulgi as Janita
EXO's D.O as Miko
EXO's Kai as Geraldo

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro