Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 17 | The Results

"Pada saat-saat bahagia,
pasti ada saja masalah yang menghadang dan kerap kali menghancurkan kebahagiaan."

T H E   R E S U L T S •

Deon dan Miko mengantar Stella sampai di depan kelas, yang tentu saja bukannya membuat kerumunan sepi malah jadi semakin ramai karena kehadiran keduanya sekaligus.

Masih menundukkan kepalanya, Stella berkata, "Makasih, Kak."

Sebenarnya, Deon hendak berujar sesuatu untuk meyakinkan Stella bahwa semuanya akan baik-baik saja, tapi Stella sudah terlebih dahulu memasuki kelasnya dan Miko mengajaknya untuk cepat-cepat pergi ke kelas mereka sendiri kalau tidak ingin situasi berubah semakin kacau.

Akhirnya Deon menahan keinginannya dan segera mengikuti Miko pergi ke kelas.

Sementara di dalam kelas, Stella langsung jadi pusat perhatian. Ragu-ragu, ia berjalan menuju tempat duduknya.

Tiffany, yang semula berfokus dan sibuk pada ponselnya kini mendongakkan kepalanya dan segera bangkit menghampiri Stella.

"Lu gimana sih, gila gue panik banget," kata Tiffany langsung.

Stella hanya menggigit bibir bawahnya tidak nyaman dan sesekali melirik ke kanan dan kiri kelasnya. Tiffany yang sadar akan itu langsung membalikkan badannya dan melotot, mengangkat tangannya ke udara untuk memberi peringatan kalau ada yang berani-berani melihat ke arahnya atau bahkan berkata sesuatu yang aneh maka ia akan menonjoknya.

Setelah yakin situasi aman dan terkendali, Tiffany memapah Stella menuju tempat duduk mereka dan duduk menghadap Stella, mencoba menutupi Stella dari teman sekelasnya yang lain sebisa mungkin mengingat Stella duduk di paling pojok ruangan.

"Jadi, gimana? Lo mau cerita?" tanya Tiffany, tanpa basa-basi seperti biasa.

Stella meneguk salivanya dalam-dalam dan mulai menceritakan kejadiannya dari awal sampai akhir. Mulai dari kejadian di tempat perlombaan, sampai bagaimana ia bisa berangkat bersama Deon.

"Lo nggak nolak?" tanya Tiffany.

"Udah, Fan," balas Stella pasrah. Suaranya lemas sekali.

"Terus, lo nggak jelasin kenapa alesan lo nolak?"

Kepala Stella mengangguk lesu. "Udah juga.."

"Tapi dia masih mau nganterin lo?" tanya Tiffany sekali lagi.

"Iya..."

"Yaudah bagus."

Stella tidak yakin, apakah pendengarannya yang rusak atau otak Tiffany yang kurang se-ons. Apa sahabatnya itu baru saja mengatakan kalau itu semua bagus?

"Bagus?" ulang Stella. "Gue bilang ke kak Deon kalo misalkan gue ketauan berangkat bareng dia, suasana sekolah pasti bakalan kacau dan gue bakalan jadi inceran kakak kelas, tapi dia masih tetep mau nganterin gue, dan lo bilang itu bagus?"

Tiffany hendak tertawa. Setidaknya pada saat-saat seperti ini sahabatnya bisa berucap panjang lebar tanpa gemetar atau gugup sedikitpun. Ia membenarkan posisinya duduk agar lebih nyaman dan kembali menatap Stella.

"Iya, bagus," jawab Tiffany. "Kalo lo udah jelasin semua kayak begitu dan dia masih mau nganterin lo itu namanya bagus Stella. Artinya dia siap nanggung resiko saat lo jadi bahan inceran dan serius sama lo."

Ekspresi wajah Stella langsung berubah pucat seputih tulang dan waktu di sekitarnya bagaikan diberhentikan selama beberapa saat.

"Serius.. sama gue?" tanya Stella, kembali jadi Stella si kaku dan bicara tersendat-sendat.

Tiffany mengangguk sambil tersenyum teduh.

"Iya. Dia serius sama lo."

• • • • •

Jam pulang sekolah telah tiba, ditandai dengan bel yang berdering dengan kencangnya, memberitahukan bahwa waktu belajar hari ini telah usai.

Deon meraih ranselnya dan berdiri dengan sigap, hendak langsung keluar kelas saat Miko menahan pergerakkannya. Memintanya untuk menunggu.

"Mau kemana lo buru-buru amat?" tanya Miko, ikut meraih ranselnya dan barulah mengajak Deon untuk jalan bersama.

"Latihan," jawab Deon.

Alis Miko bertautan. "Si sesajen?"

"Iya, ini mau nyamper dia dulu. Nganter dia pulang kan, takut kenapa-napa. Dari tadi istirahat gue gak ngeliat dia soalnya, gue chat juga gak dibales."

Miko mengangguk paham kemudian mempercepat langkah kakinya. "Yaudah kalo gitu buruan dah kita."

Keduanya buru-buru berjalan menuju kelas Stella, dan benar saja firasat Deon barusan kalau di depan kelas Stella sudah ramai orang-orang yang jelas sekali menunjukkan tanda permusuhan di wajahnya, berdiri berjejer seperti barisan tentara yang siap perang.

Deon meneguk salivanya keras-keras, lalu menerobos barisan tersebut yang tentu saja langsung membuat semua orang terkejut. Ia masuk ke kelas dan mendapati Stella tengah berdiri berhadapan di pojok kelas dengan panik bersama sahabatnya, Tiffany.

"Gue harus gimana, Fan?" tanya Stella, panik.

Deon meraih pergelangan tangan Stella dan menggenggamnya erat. "Lo harus pulang sama gue."

Beberapa anak yang masih berada di dalam kelas nampak terkejut. Bukan hanya karena seorang Radeon Kusuma si atlet terkenal yang kini berada di kelas mereka, melainkan juga karena Deon yang kini memegang tangan Stella dengan eratnya.

Miko, yang sepertinya kini beralih pekerjaan menjadi bodyguard mini pun memasang ancang-ancang untuk siap sedia melindungi sahabatnya. Ia menajamkan matanya ke kanan dan ke kiri untuk memastikan situasi.

"Kalo udah buruan dah jalan," ujar Miko.

"Ayok," ajak Deon kepada Stella.

Stella menahan posisinya. Ia menatap Tiffany sendu meminta pertolongan, namun Tiffany hanya menganggukkan kepalanya seolah berkata kalau semuanya akan baik-baik saja. Dan akhirnya, Stella mencoba untuk percaya pada sahabatnya.

Ia berjalan keluar, bersama Deon dan Miko yang kerap kali menggusur para siswa yang menghalangi langkah mereka bertiga.

Setelah absen pulang dan sampai di tempat parkir, Miko berpisah untuk pulang sendiri dengan motornya.

"Hati-hati," kata Miko sebelum menyetater motornya dan keluar dari kawasan SMA Kerta Jaya.

Sepeninggalan Miko, Stella hanya menunduk. Tak berani untuk menatap Deon sama sekali.

Deon memberanikan diri untuk memegang dagu Stella dan membuat gadis itu beralih menatapnya.

"Liat gue, Stella," pinta Deon.

Stella hendak menunduk lagi untuk menghindari bertatapan mata dengan Deon, namun Deon menahannya dan menatap Stella dalam-dalam.

"Aku takut, kak," ucap Stella lirih. "Mereka tuh ngeliat aku kayak.. kayak—"

"Gue ngerti," pungkas Deon.

Mata Stella mengerjap selama beberapa kali guna memasukkan kembali air matanya yang hendak meluncur keluar. Ia memberanikan diri membalas tatapan Deon.

"Kakak—ngerti?"

Deon menganggukkan kepalanya seraya tersenyum hangat. Ia memegangi kedua pundak Stella.

"Gue tau banget. Gue ngerti. Makanya, mulai sekarang jangan jauh-jauh dari gue ya," kata Deon. "Gue janji, gue bakalan jagain lo."

• • • • •

Suasana sore ini seharusnya panas. Bahkan di dalam stadiun indoor sekalipun, seharusnya cuaca panas dapat menembus hingga ke dalam. Tetapi entah kenapa, hawa di sekeliling Deon begitu berangin dan sejuk.

Johan, yang sejak tadi memerhatikan Deon memanah sambil senyam-senyum akhirnya memilih beranjak dari posisinya dan menghampiri juniornya tersebut.

"Lagi adem banget kayaknya," ledek Johan, melipat kedua tangannya di belakang Deon bak pelatih selagi memerhatikannya.

Deon menoleh sekilas. "Ngapa? Mau ngancurin suasana hati gue?"

"Sayangnya, iya."

Melepas anak panah terakhirnya, Deon beralih menatap Johan. Dan dinilai dari wajah Johan yang kini nampak begitu serius, sepertinya perkataannya tadi bukanlah main-main.

Deon meletakkan peralatan panahannya di atas meja dan bertumpu pada sebelah kaki. Ia memerhatikan Johan dengan seksama.

"Kenapa?" tanya Deon.

"Soal waktu itu," kata Johan, memulai perbincangannya dengan posisi berdiri. "Yang kata gue bilang ngeliat coach sama bokapnya Jeremy."

Hanya dengan menyinggung topik tersebut, ia langsung teringat. Jadi, Deon hanya diam dan menunggu Johan untuk melanjutkan ceritanya.

"Sebenernya, ada satu orang lagi di ruangan itu yang belom gue ceritain ke elo."

Alis sebelah kanan Deon terangkat. "Siapa?"

"Bokap lo," jawab Johan, yang berhasil membuat rahang Deon mengeras.

"Dan gue yakin, bukan cuman itu yang belom lo ceritain. Yakan?"

Johan mengangguk lesu. Tiba-tiba saja perasaan tidak enak kembali menjulur si sekujur tubuhnya karena telah menyembunyikan fakta tersebut. Tapi setidaknya, kali ini ia akan membeberkan yang sebenarnya kepada Deon.

"Sebenernya, bokap lo yang minta coach buat nggak terlalu ngelatih lo keras-keras. Dia tau keadaan lo gimana abis dari dokter Hendri. Dia juga yang minta Jeremy buat maju dan rekomendasiin ke coach."

Deon tertawa pahit mendengarnya. Ia menengadah ke langit-langit stadiun dan berakhir menendang dengan keras meja besi yang sebelumnya berfungsi menempatkan alat panahnya selagi beristirahat. Namun kali ini, meja tersebut jatuh hingga penyok beserta dengan alat panahannya yang berserakkan.

"Masih nggak cukup apa tuh orang ngelarang cita-gita gue. Sekarang apaan? Hahahahahahaha. Ditutupin dong jalan gue sama dia."

Johan bergidik ngeri melihat Deon yang tertawa sedemikian rupa. Ia ingin maju dan menenangkan Deon, tapi ia tahu kalau dalam situasi seperti ini tidaklah mungkin bagi Deon untuk tenang-tenang saja.

Selagi Johan berkutat dengan pikirannya guna mencari kata yang pas untuk melanjutkan pengakuannya, Deon menolekan kepala tepat ke arahnya.

"Kenapa lo baru bilang sekarang ke gue?" tanya Deon cepat.

"Awalnya malah gue gak pengen bilang ke elo," jawab Johan jujur.

"Terus kenapa sekarang lo mutusin buat bilang?"

Johan menghela napasnya panjang. "Di awal itu dia bilang sama gue supaya gak cerita ke elo, tapi gue tetep bilang. Cuman gue nggak bilang soal bokap lo, sengaja maksudnya biar bokapnya Jeremy aja atau coach yang nyinggung soal bokap lo. Tapi ternyata mereka setia abis."

"Kenapa lo nurut pas dia nyuruh jangan cerita ke gue?" tanya Deon penuh selidik.

"Dia... dia sms gue terus, Yon," jawab Johan setengah ragu.

"Sms gimana? Ngancem lo?" tanya Deon yang tanpa disangka dibalas anggukkan oleh Johan. Dan melihat perubahan pada wajah Johan, Deon merasakan ada sesuatu yang aneh di sini.

"Waktu kita lagi nongkrong di kafe itu, tadinya gue mau ceritain semuanya ke lo. Tapi—tapi dia sms gue lagi, Yon."

"Dia bilang apa ke elo, Han?!"

"Dia bilang... bakalan mecat bokap gue kalo gue cerita ke elo."

Seketika Deon kehabisan kata-katanya.

Haruskah Ayahnya bertindak sejauh ini?

Lantas, Deon melangkah dengan cepat menjauh meninggalkan Johan dan meraih ranselnya, bahkan tanpa repot-repot mengganti baju latihannya.

"Mau ke mana lu, Yon?" tanya Johan, setengah berteriak.

Deon menoleh. "Nyamperin bokap gue. Ada sesuatu yang perlu gue perjelas ke dia."

Dan Johan tahu, kalau sesuatu yang Deon maksud, bukanlah sesuatu yang baik.

• • • • •

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro