Chapter 16 | The Beginning
"Permulaan bukan hanya di awal,
tapi bisa juga saat kita melangkah menuju tahapan selanjutnya."
• T H E B E G I N N I N G •
Deon membuang lagi bantal terakhirnya yang berada di atas ranjang. Ia kemudian menendang-nendang kakinya ke udara dan berakhir dengan menutupi seluruh tubuhnya sampai wajah dengan selimut abu-abu pekatnya.
Saat sedang asik berkutat dengan pikirannya yang membuat wajahnya tak berhenti mengulas senyum, seseorang mengetuk pintu kamarnya dengan keras.
"Yon! Buka!!"
Langsung saja ekspresi wajah Deon berubah kesal.
"Buka!!"
Deon melempar selimut yang menutupi tubuhnya dan bangkit duduk.
"Buka aja, njing. Gak dikunci!" balas Deon berteriak.
Dan saat pintu terbuka, tampak Miko dari sana berjalan dengan gesit menghampiri Deon dan memukul kepalanya dengan keras.
"Sakit!" kata Deon, merengut sembari memegangi kepalanya.
Miko menatapnya tajam. "Nice banget yang pulang lomba ninggalin gue."
Mata Deon langsung terbuka lebar, seolah-olah baru sadarkan diri bahwa ia telah meninggalkan sahabatnya.
Tangan Deon beralih menutup mulutnya yang ikut terbuka. "Lo nggak bareng Achy?"
Miko berdecih dan membuang pandangannya sebelum kembali menatap Deon dengan tajam. Ia kemudian menghempaskan tubuhnya ke atas ranjang dan melempari Deon dengan paper bag yang sejak tadi hanya berada di genggamannya.
"Bareng siapa gue kalo kaga sama dia?" Miko malah balik bertanya. "Tuh dari Achy, ucapan selamat udah lolos ke babak selanjutnya sama dapetin juara satu."
Mulut Deon hanya membentuk 'O' tanpa bersuara dan beralih membuka paper bag pemberian dari Achy yang dititipkan ke Miko itu. Deon mengeluarkan sebuah kotak di dalamnya dan menemukan power bank berukuran sedang berwarna merah terang beserta kartu ucapan.
Dipake. Biar bisa angkat telpon sama bales chat dan gak ada alessn 'hape lowbat' lagi.
Selamat juga udah jadi juara pertama. Semangat ke babak selanjutnya.
You can do it kalo kata Layla.
Love You. Achy.
"Gabisa alesan lowbat lagi dong gue abis ini," guman Deon.
Kepalanya sekali lagi menjadi sasaran empuk bagi Miko untik dihantam.
"Jadi bener kan selama ini lo cuman alesan aja kalo lowbat!" pekik Miko, emosi.
Deon memegangi kepalanya yang sepertinya retak akibat pukulan Miko, lalu membalas dengan menghantam Miko tepat di jakun.
"Bercanda elah bercanda!" tukasnya.
"Ngeles aja lu ah," balas Miko. Menutupi jakunnya dengan kedua tangan.
"Beneran, anjir."
"Halah. Buat kita aja lowbat, coba buat Stella. Siap sedia itu hape," ceplos Miko asal.
Deon tercenung selama beberapa detik dan kemudian tersadar, menatap Miko yang kini mulai merebahkan tubuhnya di pinggir ranjang dan menutup matanya.
"Apaan?"
Miko menggeleng, dengan mata masih terpejam.
"Serius," kata Deon.
Miko tak menanggapi.
Merasa diabaikan, Deon kesal dan hendak mendorong Miko turun dari ranjangnya, namun Miko menahan diri dengan menggenggam erat baju Deon.
"Penyiksaan, njing," ungkap Miko tidak terima.
"Bodo," balas Deon.
"Oke-oke!"
Deon berhenti dan menarik Miko yang sudah separuh jatuh untuk kembali ke atas ranjangnya. Ia menatap sahabatnya itu dalam-dalam dan menunggu.
"Tadi—" Miko mengambil ancang-ancang hendak bercerita. "Gue mau ngajak lo pulang, terus tiba-tiba lo masuk ke pintu staff."
"Terus?"
"Gue nungguin lo di luar, terus gak lama Achy dateng nitipin hadiah itu buat lo soalnya dia gak ketemu sama lo. Terus, gue liat lo ngajak si sesajen masuk ke ruang staff."
Wajah Deon berubah pasi.
"Terus?" pancing Deon, berusaha agar suaranya terdengar biasa saja.
Miko mendelik dan menatap Deon tajam.
"Ya terus gue tarik lah si Achy!" pekik Miko, kesal.
Entah kenapa, Deon langsung menghembuskan napasnya lega.
"Ngapa lu ngehela napas? Seneng kan lu?!"
Tanpa memberi aba-aba, Deon langsung memeluk Miko dan pura-pura menangis tersedu-sedu.
"Terimakasih wahai sahabatku," ujar Deon. "Besok gue beliin diamond buat beli skin epic Lancelot ya."
Terkejut, spontan Miko melepas pelukan Deon dan menepuk punggungnya tak percaya.
"Asli lo?"
Deon merapatkan mulutnya dan mengangguk mantap. "Tiga rebu diamond cukup kan?"
Kini giliran Miko yang memeluknya. Dan di detik itu juga Deon langsung mendorongnya menjauh karena merasakan sesuatu yang tidak biasa akan terjadi setelah jni. Dia menatap Miko aneh.
"Cukup banget lah gila," ungkap Miko yang tak dapat menyembunyikan kebahagiaan. "Tapi bentar."
"Ngapa?"
"Kenapa lo bilang makasih pas gue ngajak Achy pergi?" tanya Miko. "Maksud gue kan biar Achy nggak cemburu sama si sesajen. Kok malah lo yang makasih?"
"Itu dia," kata Deon, menjentikkan jemarinya. "Kalo Achy cemburu sama Stella, nanti nasib Stella gimana?"
Miko mengangkat kedua bahunya acuh. "Tamat lah riwayat dia."
Kesal sekaligus gemas dengan reaksi Miko, Deon langsung menepuk pipinya selama beberapa kali, berharap setidaknya sahabatnya itu kini akan mengerti akan situasi yang tengah mereka hadapi sekarang.
"Gue nggak mau Stella kenapa-napa," papar Deon. "Gue nggak mau dia mundur cuman gara-gara gue yang bersinar."
"Ya justru itu, Yon. Karena lu terlalu bersinar, lo harus jauhin dia kalo lo nggak mau dia kenapa-kenapa."
Deon menggelengkan kepalanya mantap. "Gue gabisa, Ko."
"Gabisa? Ngapa?"
"Gue.. gue mau jagain dia. Gue nggak mau yang lain, gue cuman mau dia di samping gue terus."
• • • • •
Stella menggigit bibir bawahnya dan kakinya bergerak tidak nyaman selagi punggungnya yang tertutupi ransel bersandar di depan pagar rumahnya.
Jam enam lewat sepuluh menit pagi hari.
Mengenakan seragam sekolahnya dengan rapih, Stella berdiri bersama ponsel yang berada di genggaman tangan kanannya. Kentara sekali tengah menunggu kedatangan seseorang. Ia menggigit bibir bawahnya gelisah selagi menunggu.
Sampai, sebuah motor ninja berwarna hitam matte berhenti di hadapan Stella, membuatnya bahkan lupa untuk bernapas, terlebih saat melihat seseorang yang mengendarai motor tersebut tersenyum dari balik kaca helm yang transparan.
Stella meneguk salivanya keras-keras.
Itu dia, Radeon Kusuma. Kakak kelas Stella, seorang atlet panahan terkenal yang entah bagaimana bisa berakhir menjemputnya hari ini.
Deon turun dari motornya kemudian memasang standar motor miring dan melepaskan helmnya. Ia berjalan mendekat ke arah Stella yang masih beku di tempatnya.
"Hai," sapa Deon, dengan senyum cerah di wajahnya.
Stella mengerjapkan selama beberapa kali guna menyadarkan dirinya sendiri. Ia berdiri tegap dan balas tersenyum kikuk.
"Hai..." balasnya, pelan.
Deon tersenyum lagi, kali ini seraya menatap dalam mata Stella dan berhasil membuat pipi gadis itu memerah malu.
Stella menundukkan kepala saat ia merasa pipinya bagai direbus bersamaan dengan kepiting.
Bingung hendak berkata apa, Deon meraih satu lagi pelindung kepala atau helm yang memang sengaja ia bawa dan memakaikannya di kepala Stella.
Memerhatikan Stella dengan seksama, Deon merapihkan beberapa anak rambut yang menutupi wajah Stella dan tersenyum sambil menyubiti pipi gadis itu dengan gemas.
Pipi Stella makin memerah.
"Dasar jambu," ledek Deon, berusaha keras menahan tawanya dan menutup kaca helm Stella.
Selagi Stella merutuk dalam hati, Deon berjalan dan kembali naik ke atas motor serta mengenakan helmnya. Ia mendongak ke arah Stella yang masih terdiam.
"Ayo naik," kata Deon, membuyarkan kesibukkan Stella.
Dengan kikuk, Stella berjalan mendekat dan duduk di boncengan Deon.
Senang bukan main, Deon melirik ke arah spion dan langsung tersenyum penuh kemenangan. Ia menyetater motornya dan berhasil membuat Stella terhentak kaget.
"Masih awal, terserah mau pegang mana," ucap Deon, mengejutkan Stella sekali lagi. "Nanti kalo udah sering aja baru peluk pinggang."
Jantung Stella berdebar kian kencang. Ia membuka mulutnya untuk angkat bicara, namun kembali tertutup lantaran bingung bagaimana membalas ucapan Deon yang dinilainya terlalu blak-blakan itu.
Stella kelabakan.
"Tapi gue saranin sih lo meluk gue."
Mata Stella terbelalak, hampir keluar dari tempatnya.
"P—peluk?"
Deon terkekeh pelan. "Iya. Soalnya, gue mau ngebut."
Tanpa berkata lebih lanjut ataupun meminta izin kepada Stella perihal rencananya yang hendak mengebut, Deon langsung menggas motornya dan membawa Stella melesat keluar dari kawasan perumahannya.
Stella, yang ketakutan setengah mati mengingat ini adalah pengalaman pertamanya digonceng menggunakan motor, secara spontan mencengkram erat seragam Deon di bagian pinggang saking takutnya.
Bukannya apa, Deon malah melirik sekali lagi ke arah spion motor untuk memperhatikan Stella yang kini memejamkan matanya dan kembali terkekeh pelan.
Dan di tengah-tengah perjalanan, Deon menarik tangan Stella ke depan agar memeluk pinggangnya dengan erat, yang tanpa disangka-sangka tidak dielak oleh Stella yang masih memejamkan matanya dengan penuh serngitan di wajahnya.
Dalam hati, Deon bersorak gembira.
Modus sekali-kali gapapa lah ya.
• • • • •
Seperti yang sudah diprediksikan oleh Miko, suasana sekolah di pagi hari yang seharusnya tentram dan tenang berubah jadi ricuh begitu siswi-siswi yang baru datang berkerumun di depan gerbang utama guna dapat melihat dengan jelas siapa yang baru saja memasuki kawasan sekolah.
Tentu saja, itu Deon dan Stella.
Miko menghela napasnya panjang kemudian langsung berlari menyerobot kerumunan siswa untuk masuk ke dalam parkiran dan sesekali mencegah beberapa untuk tidak mendekat. Ia berlari lagi sampai di hadapan Deon dan Stella.
"Kan, apa gua bilang," kata Miko, begitu melihat ekspresi keduanya.
Deon nampak menimang-nimang hendak mengambil langkah apa, sementara Stella menundukkan kepalanya dan memainkan kedua jarinya yang mulai basah akibat keringat.
Deon menoleh. "Masih rame?"
Tanpa ragu Miko mengangguk. "Banget."
Akhirnya, Stella mendongakkan kepalanya.
"Terus aku gimana, Kak?" tanya Stella, suaranya bergetar ketakutan. "Aku—aku takut."
Tiba-tiba saja Miko merasa iba melihat Stella. Dan di saat yang bersamaan, ia jadi paham kenapa Deon begitu tertarik padanya.
Stella adalah tipikal perempuan yang tak ingin kalian sakiti begitu melihatnya, dan karena sifatnya juga, itu membuat kalian memiliki pemikiran yang ingin sekali untuk melindunginya dari apapun. Stella adalah perempuan yang tercipta untuk dilindungi, dan dicintai. Begitulah ia di mata laki-laki.
Miko tersenyum dan memegang pundak Stella. "Gue liatin dulu ya keadaan di depan gimana. Nanti gue kasih tau ke kalian."
Namun saat Miko hendak berbalik dan menjalani perkataannya, tangan Deon menahan pergerakkanya.
"Gausah, Ko," ucap Deon. "Kita jalan bareng aja. Gue gak bakal biarin Stella diapa-apain. Kan gue yang ngajak dia berangkat bareng, jadi gue yang harus nanggung resikonya. Bukan lo, apa lagi dia."
Kalau tidak mengingat bagaimana suasana sekarang ini, Stella pasti sudah menangis tersedu-sedu. Apa Deon barusan saja mengatakan bahwa ia akan menjaganya?
Dan.. apakah ini semua adalah awalnya? Awal dari peristiwa yang selalu Stella hindari sejak awal memasuki SMA ini. Kejadian yang telah menimpanya di masa SMP. Kejadian yang tak diinginkannya untuk terjadi.
• • • • •
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro