Chapter 15 | The Eliminations Day - Part 2
• T H E E L I M I N A T I O N S D A Y •
"Ke mana aja sih lo, kutil dugong!?"
Stella kena amuk oleh Alvian, namun tampaknya itu sama sekali tak mengusiknya yang tak peduli dan langsung mengambil posisi duduk di samping kakak laki-lakinya itu.
Lokasi mereka saat ini adalah bangku penonton stadiun. Berjarak empat tempat duduk penonton dari bawah dan urutan ke enam dari atas.
Sementara para penonton mulai masuk satu persatu dan memenuhi tempat duduk, Stella sibuk memerhatikan lapangan di bawahnya dengan seksama. Mencari seseorang dari sekerumunan orang yang silih berganti masuk ke arena guna mengamankan lokasi perlombaan, mulai dari memeriksa kembali kamera yang terpasang guna memudahkan penilaian juri sampai pengaturan jarak target panahannya.
Dan di saat sedang sibuk-sibuknya memperhatikan lapangan, kenyataan harus menohok Stella ketika sadar bahwa orang yang sebelumnya duduk di samping kakaknya dan kini beralih duduk di sampingnya tengah menatapnya dalam-dalam. Stella meneguk salivanya keras-keras, merasa tidak enak karena menyelak posisi duduk orang tersebut.
"Sorry," ujar Stella, sedikit menolehkan kepalanya namun tak berani menatap.
Bukannya kesal atau apa, orang itu malah justru tertawa.
"Ini adek lo, Al?" tanya orang itu.
Perhatian Stella sepenuhnya teralihkan.
"Iya," jawab Alvian. "Sorry ya emang gitu dia anaknya gatau diri."
Di saat Stella meringis pelan, orang itu malah justru kembali tertawa dan kini menjulurkan tangannya.
"Johan," ucapnya, memperkenalkan diri.
Stella menoleh dan berusaha tersenyum, kemudian mengamit tangan Johan dengan berat hati.
"Stella, Kak."
"Jangan panggil kak, terlalu berjarak, panggil nama aja gapapa, biar lebih deket," kata Johan, mengedipkan sebelah matanya.
Alvian yang duduk berjarak karena Stella duduk di antara mereka berdua langsung maju dan menoyor kepala Johan keras-keras.
"Adek gue masih polos, lu modusin gue rebus lo."
Johan memekik pelan saat kepalanya dipukul tanpa perasaan oleh Alvian. Ia lantas membalasnya dan tanpa sengaja lengannya bersentuhan dengan Stella.
"Sakit!" protes Johan. "Lu mukul di pala, Deon mukul di jakun. Lengkap bat dah penderitaan aa' Johan," dumalnya.
Selagi kedua orang itu bertengkar, Stella mengerjapkan matanya selama beberapa kali. Deon barusan katanya?
"Biar sadar lu biar sadar!" tukas Alvian.
"Yaelah, gue juga pernah kali pacaran sama cewek polos," ucap Johan, membela diri.
Alvian mencibir. "Lo polosin kali."
Johan langsung tertawa mendengarnya. Keras sekali sampai-sampai menarik perhatian orang-orang yang duduk di sekitarnya.
"Ambigu setan."
"Pertandingan hari pertama, panahan pria jarak sembilan puluh meter, babak pertama menuju ASIAN Games, akan segera dimulai dalam lima belas menit."
Suara dari speaker berhasil menghentikan kelakar di antara keduanya, yang akhirnya dapat membuat Stella bernapas lega karena kedua telinganya tak akan lagi terganggu.
Di bawah sana, Stella melihat dengan seksama saat atlet panahan pria satu persatu memasuki arena dengan seragam dan nama serta bendera yang terbordir di atasnya. Stella tak dapat menahan seulas senyum di bibirnya saat melihat sosok Deon masuk dan meraih enam panahan yang digunakan untuk pemanasan sebelum perlombaan yang sebenarnya dimulai.
"Itu Deon kan?" tanya Alvian.
Stella hampir saja menjawab karena mengira Alvian tengah bertanya padanya kalau saja Johan tidak bergumam dan menjawab terlebih dahulu.
"Itu dia bocahnya," balas Johan, menatap lurus-lurus ke arah Deon yang tengah melakukan pemanasan.
"Gimana tuh urusannya sama pelatihnya? Udah kelar?" tanya Alvian lagi, sedikit menoleh ke arah Johan sebelum kembali memerhatikan Deon.
Alis Stella menyerngit seraya mendengarkan.
"Udah lama," jawab Johan. "Lagian juga bukan itu masalah yang sebenernya."
"Bokapnya itu ya?"
Johan mengangguk lesu. "Hari terakhir lomba gue mau kasih tau dia yang sebenernya."
Alvian menolehkan kepalanya dan menatap Johan. "Lo yakin?"
Walau ragu, Johan menjawab, "Yakin."
Tiba-tiba saja kepala Stella terasa pusing. Apa sih yang sebenarnya mereka bicarakan tentang Deon? Dan lagi, bagaimana mereka berdua terlebih kakaknya bisa mengetahui Deon? Apakah atlet panahan yang dimaksudkan oleh kakaknya saat berbicara dengan papanya tempo hari adalah Deon?
Lalu apa barusan yang dikatakan oleh Johan.. ayahnya? Sebenarnya apa masalah yang dimiliki Deon?
Dan selagi Stella sibuk berkutat dengan pikirannya sendiri, ia tidak sadar kala seseorang tengah menatapnya dengan dalam.
• • • • •
Putaran terakhir tengah dimulai. Dan skor Deon saat ini berada pada urutan ketiga.
Sebenarnya, urutan ketiga pun bisa dipastikan akan masuk ke babak selanjutnya sebelum bisa menjadi pemenang yang akan mengikuti ASIAN Games nantinya. Tapi, Deon tidak terlalu puas dengan angka tiga.
Deon bisa saja mengejar kedua orang di atasnya kalau ia mencetak angka sepuluh dan kedua orang tersebut mencapai angka di bawah sembilan, setidaknya. Hanya itu harapan Deon. Tapi kalau mereka berdua mencetak angka sepuluh, maka pupus sudah harapan Deon.
Orang yang berada pada urutan kedua meluncurkan anak panahnya.
Delapan.
Deon bersyukur dalam hati, dan segera meraih anak panahnya. Ia harus melakukan yang terbaik saat ini, dan berharap kalau pemanah di urutan pertama yang akan menembak setelahnya akan mencetak angka di bawah dirinya agar ia mendapatkan peringkat pertama.
"Stand," ucap sang pembicara, memberi aba-aba pertama.
Meregangkan otot-ototnya sebentar, Deon menatap lurus-lurus ke depan.
"Set up."
Deon bersiap menaikkan anak panahnya.
"Drawing."
Ditariknya string oleh Deon.
"Anchor."
Seluruh tubuhnya mengambil ancang-ancang.
"Holding."
Ia menahan anak panahnya dan menjaga agar tangannya tak bergetar.
"Aiming."
Kemudian Deon mulai membidik sasarannya dengan seksama. Matanya menajam kala memerhatikan target dengan seksama.
Ia ingin menyenangkan hati tiga perempuan yang saat ini tengah menonton pertandingannya, dan berhasil membuat tekadnya kian kuat. Namun di tengah-tengah, Deon berhenti.
Apa dia baru saja bilang tiga orang?
Yang pertama ada Mamanya, lalu Ratisa adik perempuannya, dan ketiga..
Pandangannya bertemu dengan perempuan yang mengenakan baju putih dan tas selempang yang berada di pelukannya. Terakhir kali Deon melihat gadis itu, rambutnya tergerai panjang, namun kali ini rambutnya diikat tinggi-tinggi dengan wajah sampai telinganya yang kemerahan karena panas.
"Release."
Deon meneguk salivanya.
Masih terngiang dengan jelas di telinganya saat gadis itu menyemangatinya sebelum lomba berlangsung, dan di saat matanya setengah melirik ke arahnya, anak panah Deon terlepas.
Terkejut bukan main, Deon hampir memaki dirinya sendiri, sampai pandangannya teralih ke target panahannya yang berada tepat di tengah-tengah angka 10, sempurna.
Tentu saja Deon tak dapat menahan rasa gembiranya, ia berada di urutan pertama sementara saat ini. Terlebih saat matanya mendapati gadis yang sebelumnya duduk dengan serius itu kini bersorak kegirangan dan langsung bergerak salah tingkah saat sadar bahwa Deon melihatnya.
Bibir Deon tanpa sadar mengukir senyum yang lebih lebar dari sebelumnya. "Dasar bocah pemalu. Stella Danita.... duh, bisa gila abang, dek."
Deon terus begitu, mengacak-acak rambutnya antara frustasi dan kesenangan. Memancing teriakkan-teriakkan histeris dari para penggemar yang menontonnya dan baru pada diam saat penjaga mulai menghampiri satu persatu.
• • • • •
Senyum merekah tak terelakkan dari wajah cantiknya, membuat Stella yang bahkan tidak melakukan apapun jadi pusat perhatian di antara penonton yang mulai turun ke bawah satu persatu karena pertandingan sudah selesai.
Namun lagi-lagi, Alvian mengganggu kesenangannya. Kali ini dengan menyenggolnya hingga hampir terjatuh andaikan tidak ada Johan yang dengan sigap menangkapnya.
"Berasa nonton drama korea gue," ledek Alvian pada adiknya.
Stella menatapnya sebal. "Kalo gue jatoh gimana!?"
"Auk lu, Al. Gila lu yak," kata Johan, ikut mencibir.
"Mana, kagak jatoh itu."
"Ya karena ditangkep kak Johan!" pekik Stella kesal.
"Ya gue tau dia bakalan nangkep lo makanya gue dorong!"
Habis sudah kesabaran Stella.
Plak!
Stella memukul punggung Alvian, keras sekali. Lalu setelahnya ia berdecih dan berjalan menjauh, mendahului kakaknya itu untuk turun dan keluar dari tempat penonton secepat yang ia bisa. Alvian memang paling pintar dan semangat kalau soal buat mood Stella jungkir balik.
Kaki Stella hendak berjalan lurus ke pintu keluar, saat seseorang tiba-tiba saja menarik tangannya, membuat Stella yang dalam kondisi terkejut tidak bisa melawan kecuali terseret ikut masuk ke dalam salah satu pintu yang Stella yakini tak akan dimasuki oleh orang sembarangan karena ekor matanya sekilas mendapati tulisan 'staffs only' sebelum dirinya masuk dan pintu yang tertutup.
Stella baru saja hendak berteriak saat seseorang mendekap mulutnya. Stella terperangah kaget, terlebih setelah melihat sosok di depannya ini. Matanya mengerjap selama beberapa kali guna menetralkan jantungnya yang tiba-tiba saja berdebar kencang.
Sosok di depannya tersenyum manis, kemudian setelah yakin kalau Stella tidak akan mencoba untuk berteriak maupun kabur, ia melepaskan pegangannya.
"Hai," sapanya.
Stella bergerak kikuk ditempatnya saat suara orang itu menyadarkan dirinya.
"Kak Deon.. ngapain?" tanya Stella, tergagap.
Deon tersenyum, hampir malu-malu. "Ketemu lo."
Wajah Stella langsung berubah semerah jambu. Jambu bol malahan.
Ia menundukkan wajahnya dan menutupi sebagian wajahnya dengan rambutnya yang terkuncir.
Deon menyingkirkan rambutnya dari wajah Stella. "Makasih," kata Deon.
Kepala Stella lantas mendongak. "Buat apa?"
"Nyemangatin gue."
Stella merasa dirinya akan terkena serangan jantung tepat setelah ini. Apa-apaan? Kenapa jantungnya bisa berdegup sedemikian kencang?
Dengan ragu dan kikuk, Stella mundur selangkah takut-takut Deon mendengar suara detak jantungnya yang seperti ingin meledak. Namun ia malah terjeduk pintu dan nampak seperti orang bodoh.
Deon terkekeh pelan melihat tingkah lakunya. Entah kenapa segala sesuatu yang Stella lakukan terlihat menggemaskan di matanya. Dan karena itu juga, Deon berusaha mati-matian menahan tangannya agar tidak mencubit pipi Stella saking gemasnya.
"Jangan salting gitu," ledek Deon.
"Apaan?" sosor Stella, nampak tidak terima. "Siapa juga yang salting."
Kali ini Deon menahan gelak tawanya.
"Okedeh kalo nggak salting," pungkas Deon. "Bagi whatsapp lo dong."
Pupil mata Stella membesar. "Whatsapp? Buat—buat apa?"
"Buat chat sama lo," jawab Deon singkat.
Kaki Stella bergerak tak karuan di bawah sana, dan tangannya sudah basah dengan keringat dingin.
"Tapi.. ngapain chat sama aku?" tanya Stella, suaranya hampir menghilang.
"Biar bisa lebih kenal sama lo. Lebih deket sama lo."
Stella butuu CPR sekarang juga. Karena sepertinya ia terkena serangan jantung saat ini.
"De-deket? Kenapa.. kok.. kakak.." Stella kehabisan kata-katanya.
"Boleh gak? Sekalian, besok gue pengen ngajak lo berangkat sekolah bareng soalnya."
Apa Stella sudah pingsan sekarang? Apa ia sedang berada di alam mimpi sekarang? Di mana dia? Dan.. situasi macam apa ini? Apa jantungnya sudah berhenti berdetak?
• • • • •
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro